COP26: Indonesia Siap Adaptasi Perubahan Iklim


Saatnya bertindak, bukan lagi bicara-bicara. Diharapkan berbagai inisiatif tergerak oleh kesadaran bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian iklim melalui upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang efektif dan efisien.

Oleh Pietsau Amafnini

Pertemuan bergengsi untuk iklim, UNFCCC-COP26 sudah selesai dilaksanakan di kota Glasgow, Inggris Raya. Ambisiusme negara-negara peserta COP26 untuk penyelamatan iklim pun sudah disampaikan di sana. Setidaknya COP26 di Galsgow kali ini dihadiri hampir 200 pemimpin negara di dunia. Mereka sudah hadir di sana untuk membahas kelanjutan dari Paris Accord tahun 2015 terkait konkritnya upaya-upaya setiap negara dalam rangka mengatasi kenaikan suhu global yang sudah mencapai 2,7 derajat celcius. Dampaknya bisa fatal jika tidak ada upaya untuk menurunkan suhu global ini hingga kenaikannya tak melebihi batas 1,5 derajat celcius. Hal ini merupakan fokus utama dalam COP26, terkait komitmen penurunan emisi karbon dari tiap negara. Agar tidak terkesan, bicara bagus tapi tidak ada tindakan nyata.

Pada COP26 setidaknya menghasilkan sejumlah kesepakatan penting, tetapi bagi saya ada empat hal yang menjadi dominan. Dari empat hal tersebut, ada tiga hal utama yang penting yakni negara-negara yang berpartisipasi berkomitmen untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik energi batubara secara bertahap; berupaya untuk menjaga suhu bumi tidak naik di atas 1,5 derajat celcius; dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam NDC tiap negara pada 2022. Untuk upaya percepatan mitigsi iklim dibutuhkan hal keempat yakni Pendanaan Iklim. Karena tanpa ketersediaan dana yang cukup, maka mitigasi dan adaptasi itu pun hanyalah sebuah rencana ambisius belaka. Nah untuk hal keempat ini sejak Paris Accord disepakati USD100 miliar untuk dana iklim yang dibebankan kepada negara-negara industry maju.

Hal menarik lainnya adalah setiap negara peserta UNFCCC, COP26 diminta untuk mengurangi emisi karbon global sebesar 45 persen pada tahun 2030 untuk mencapai emisi nol karbondioksida dengan cara menghentikan subsidi bahan bakar fosil, terutama batu bara. Transisi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan sangat diperlukan untuk menjaga suhu global. Untuk selanjutnya negara-negara yang kesulitan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dapat membeli stock carbon dari negara yang sudah berhasil mengurangi emisi karbon.

Upaya-upaya penyelamatan iklim terbuka untuk umum. Lembaga publik maupun perusahaan swasta dapat berinvestasi dalam proyek hijau di negara berkembang. Misalnya, berusaha dengan cara mengganti penggunaan batubara dengan energi terbarukan untuk menghasilkan stock carbon credit yang kemudian bisa diperdagangkan kembali di masa depan. Indonesia mempunyai potensi besar sebagai penghasil kredit karbon ini, asalkan berani menciptakan pasar karbon yang dapat membuka peluang investasi berupa proyek-proyek hijau. Ya, benar juga bahwa Indonesia mempunyai peluang yang besar juga dalam hal perdagangan karbon di dunia.

Indonesia sudah berkomitmen juga di COP26 dengan target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Namun yang terpenting adalah implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Tidak hanya berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim demi menjaga suhu bumi, tetapi juga berhenti menggunakan batu bara sebagai energi. Dengan membaharui NDC pada COP26 sebagai dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim, maka Indonesia juga memiliki tanggung jawab terhadap iklim dunia.

Nah, dalam pelaksanaannya, apa yang perlu diperhatikan? Saya kira pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. COP26 menekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara, bahkan masyarakat yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Hal itu berarti peran multistakeholders perlu dilibatkan dalam setiap dan semua proses implementasinya. Perlu keterlibatan dari berbagai komponen, misalnya masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, pengusaha swasta, dan lain sebagainya.

Hasil perundingan dari COP26 menjadi acuan yang diakui secara internasional dan mencakup ketentuan yang menjadi standar untuk menghindari perhitungan ganda. Sistem ini menciptakan mekanisme yang transparan dalam perdagangan karbon khususnya bagi voluntary market.

Secara khusus, pembaharuan terhadap Pasal 6 Paris Agreement di COP26 memberikan alat bagi negara-negara yang membutuhkan paparan terhadap komitmen hijau untuk integritas lingkungan dan membuka jalan untuk mengalirkan modal swasta ke negara-negara berkembang. Aturan pasar karbon memungkinkan negara-negara untuk memfokuskan upaya mereka pada implementasi dari target pengurangan emisi sesuai komitmen NDC.

Artikel 6 Persetujuan Paris akhirnya telah diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rules Book mendekati lengkap, sehingga implementasi komitmen Para Pihak di bawah Persetujuan Paris dapat dilakukan secara utuh dan efektif. Salah satu elemen penting dalam agenda ini adalah aturan main mengenai kerjasama antar negara maupun antara pelaku usaha dengan otorisasi nasional sebagai bagian dari upaya pemenuhan komitmen NDC. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui pendekatan pasar dengan adanya transfer unit, maupun pendekatan non pasar tanpa adanya transfer unit.

Selain itu Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara sebagai bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca, walaupun hal ini belum sepenuhnya diterima oleh semua negara peserta COP26. Namun demikian, Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang paling siap saat ini untuk menjalankan komitmen NDC-nya, bahwa siap meninggalkan batu bara sebagai energy fosil.

Hal di atas tentu tergerak oleh alasan mendasar bahwa berbagai dampak dan akibat perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artinya ini sebuah kesadaran akan pentingnya penyelamatan iklim untuk keberlangsungan hidup manusia seutuhnya di dunia, tetapi terlebih bagi masyarakat Indonesia.

Adalah sebuah kemajuan Indonesia dalam rangka mengendalikan perubahan iklim, setidaknya dalam hal kebijakan negara. Pemerintah telah melakukan ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) yang di dalamnya memuat kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius hingga 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu praindustrialisasi. Artinya sudah ada dasar hokum yang kuat sebagai acuan utama untuk melaksanakan dan mewujudkan komitmen bersama di tingkat internasional terhadap iklim melalui upaya-upaya di Indonesia. Sehingga bagi saya, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak melaksanakan perintah UU No. 16 tahun 2016 ini.

Selanjutnya apakah pengendalian iklim ini akan berkontribusi secara ekonomi bagi masyarakat dan negara? Mungkin saja ada keraguan yang sangat berarti. Tetapi, bahwa karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim yang akan kontribusi secara nasional. Carbon, selain mempunyai nilai ekonomi yang penting dan memiliki dimensi internasional berupa manfaat ekonomi bagi masyarakat juga sebagai refleksi prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sesuai amanat Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi menurut saya, nilai ekonomi karbon menjadi salah satu instrumen dalam mewujudkan kewajiban dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca melalui aksi mitigasi dan adaptasi iklim yang efisien, efektif dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Untuk hal ini, saya mengajak para pembaca SANCAPAPUANA agar membantu pemerintah kita mewujudkan ambisi penyelamatan iklim dunia sesuai komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia di mata dunia Internasional. Lebih dari itu, saya mengajak kita semua untuk melakukan berbagai aksi nyata untuk “Menyelamatkan hutan dan manusia di Tanah Papua” sebagai bagian dari upaya penyelamatan iklim dunia, karena “Hutan Papua adalah yang tersisa untuk Paru-paru Dunia”. Nah ini lebih penting, dan mungkin bukan hanya menjadi ambisi saya, tapi ambisi kita semua untuk Tanah Papua. Sssstttt, katanya jangan banyak brisik. Ayooo Kerja, Kerja, Kerja. Hasilnya nanti bisa dievaluasi sebelum COP27, atau dilihat pada capaian akhirnya pada 2030 dan 2050. Apakah saat itu Hutan Papua masih utuh adanya atau tidak? Tergantung kitorang sendiri juga.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Ambisiusme Penyelamatan Iklim


Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan. Bahkan untuk menghadapi dampaknya, manusia harus berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim itu sendiri selain mengobral ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Kekhawatiran saya, Ambisi Iklim itu hanya untuk Uang dan Investasi ber kedok Green.

Oleh Pietsau Amafnini

Setelah Paris Accord disepakati pada tahun 2015, semua negara Utara dan Selatan anggota UNFCCC telah berkomitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Paris Accord bukan sekedar sebuah kesepakatan tanpa kewajiban. Paris Accord mewajibkan semua negara maju (utara) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan perubahan iklim dan dampaknya yang merupakan krisis berkepanjangan di negara-negara berkembang (selatan).

Indonesia merupakan salah satu dari semua negara UNFCCC yang telah menyatakan komitmennya terhadap iklim dalam dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution. Untuk diketahui, setelah ratifikasi Paris Accord pada tahun 2016, negara-negara UNFCCC telah menyerahkan dokumen INDC dimana mereka menegaskan kembali komitmennya untuk masa depan iklim planet ini, berkarbon rendah dan berketahanan iklim. Target bersamanya adalah mencapai Zero Emision pada 2050.

Apakah Indonesia juga berambisi dalam dokumen INDC untuk iklim? Tentu saja, walaupun upaya penurunan emisi gas rumah kaca itu masih wacana politik green belaka. Buktinya masih banyak lahan hutan tropis yang dibuka atau ditebang untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, mafia illegal logging masih marak, energi batu bara masih menjadi primadona, bahkan masyarakat adat masih terus kehilangan tanah adat dan segala potensi alam sebagai sumber-sumber penghidupan mereka untuk pembangunan investasi pengerukan tambang dan perkebunan skala besar. Ini artinya Indonesia juga salah satu penyumbang meningginya emisi gas rumah kaca di dunia.

Ambisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia justru akan menentukan apakah peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celsius seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, atau di bawah 1,5 derajat Celsius seduai hasil penelitian Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) pada 2018. Nah, apakah sudah ada upaya tertentu dari pemerintah negara Indonesia untuk mencapai ambisi ini? Sudah banyak, tapi dalam wacana poltik, dalam bentuk kebijakan, dan sekarang dalam bentuk Agenda GREEN dimana semua sector pembangunan wajib bersinergi untuk mencapai ambisi itu, Zero Emission di tahun 2050, bahkan lebih cepat lebih baik, 2030.

Pada dokumen INDC-Paris Accord, Indonesia berkomitmen untuk melakukan kegiatam-kegiatan strtegis dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 41 persen dibawah scenario bussines as usual. Komitmen ini direncanakan berlangsung hingga tahun 2030. Pertanyaannya adalah apakah kita yakin bahwa Zero Emission itu akan terwujud pada 2030? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Karena menurut hemat saya, komitmen ini belumlah cukup untuk menahan lajunya tingkat pemanasan global yang dibutuhkan untuk mencegah dampaknya berupa bencana-bencana yang kemungkinan jauh lebih besar dari upaya apapun yang dilakukan saat ini dan ke depan. Mengapa demikian? Ambisi iklim itu belum selaras, searah dan setindak antara rencana penurunan emisi dengan pembangunan Indonesia yang masih cenderung eksploitatif. Bahkan, batu bara masih menjadi energi yang terandalkan di Indonesia. Harapan saya, industry ekstraktif batu bara dan penggunaan energy berbahan bakar batu bara serta penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit juga harus dihentikan. Saya kira ini ambisi yang benar-benar nyata dan terukur hingga 2030.

Tidak hanya Indonesia. Negara-negara makmur di Uni Eropa juga tentu mempunyai ambisinya tersendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi Nol persen pada 2050. Bangsa Eropa pun sadari bahwa beberapa dampak perubahan iklim sudah dan sedang dirasakan hingga saat ini dan mungkin ke depan jauh lebih parah, dan itu tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat Eropa diminta juga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan memitigasi dampaknya. Mengapa? Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan.

Uni Eropa sendiri dalam INDC bersedia untuk berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca 55 persen pada 2030. Sementara China, India, Arab Saudi dan Turky mereka bertanggung jawab atas penurunan emisi 33 persen. Namun demikian, dari 191 negara pengikut Paris Accord hanya 113 negara yang mempunyai komitmen jelas untuk iklim. Belum lagi Pemerintah Amerika Serikat yang menolak menandatangani Paris Accord itu. Tetapi posisi Amerika Serikat untuk iklim saat ini sudah diperbaiki oleh Presiden Biden yang menghadiri COP26 di Glasgow dan menyatakan dukungan ambisius negaranya untuk penurunan emisi gas rumah kaca dengan alasan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Negara-negara yang belum membaharui komitmen mereka pun akhirnya bersedia melakukan berbagai upaya dengan targetnya masing-masing untuk menurunkan emisi pada tahun 2030 untuk mendukung ambisi bersama pencapaian Zero Emission tahun 2050. Harapan saya untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah semoga mereka berhenti mengimpor batu bara, berhenti menggunakan batu bara sebagai energy listrik dan juga berhenti mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Ini baru namanya ambisi yang nyata dan terukur.

Tentang kesiapan Indonesia, pemerintah era Jokowi periode ke-2 ini telah menetapkan Peta Jalan (roadmap) Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030. Roadmap ini telah tertuang pula dalam pembaharuan dokumen INDC yang diajukan di COP26, bahkan aksi nyatanya berupa Program Kampung Iklim, Restorasi Mangrove dan Agroforestry Perhutanan Sosial. Program-program kerja ini dilakukan sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Persoalannya siapa yang akan bekerja? Pemerintah perlu mengintegrasikan program kerja adaptasi iklim dengan pihak pemerintah daerah, sector swasta, masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat local di tingkat kampung.

Saya hanya mengkhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim di atas, ada kemungkinan munculnya berbagai kepentingan yang akan terus membuat nasib masyarakat adat semakin tak tentu disamping sebagai bagian dari dampak perubahan iklim itu sendiri. Mengapa? Karena Ambisi Iklim itu adalah untuk Uang dan Investasi berlabel kedok Green, sedangkan perilaku Korupsi dan Kekerasan masih membudaya di Indonesia.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Semoga Ada Harapan Baru dari Glasgow


Pada bagian-bagian sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa semestinya Bali Roadmap, Kyoto Protocol dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini dalam tindakan nyata, bukan lagi bicara-bicara. Tapi kalau masih sebatas wacana, maka itu namanya ‘NATO’ (No Action, Talk Only). Semoga ada Harapan Baru dari Glasgow.

Oleh Pietsau Amafnini

UNFCCC-COP26 ternyata masih membahas tentang scenario pencegahan dan penanganan perubahan iklim dunia. Keseriusan pimpinan negara-negara industry maju masih dipertanyakan masyarakat dunia, karena tidak jelasnya pelaksanaan protocol Kyoto dan Paris Accord. Seakan-akan isu perubahan iklim masih sebatas wacana, sementara sudah melewati 25 kali COP sebagai forum tertinggi pertemuan internasional untuk membahas perubahan iklim dari sisi dampak, pencegahan, penanganan hingga pendanaannya.

Kami sudah mengulas tentang betapa pentingnya pelaksanaan COP26 dalam rangka penyelamatan iklim dunia pada bagian-bagian sebelumnya. Para pemimpin negara-negara di dunia berkumpul di sini untuk membahas tentang skenario, isu utama dan krusial tentang perubahan iklim dan harapan kepada negara anggota di dunia untuk mengambil peran masing-masing sesuai Kyoto Protocol yang menjadi aturan dan pedoman pengikat komitmen bersama untuk mengatasi dan menangani masalah perubahan iklim. Pimpinan negara Indonesia, Presiden Joko Widodo juga hadir di Glasgow untuk memaparkan kemajuan agenda dan aksi perubahan iklim di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sudah berupaya untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius melalui kerja-kerja lapangan menuju netzero emisi atau nol emisi sesuai kemampuan yang ada. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, energi dan land use. Pada pelaksanaannya, Indonesia mempunyai konsep dan agenda green dimana semua sector pembangunan berbasis lintas kementerian harus sinergi dalam pelaksanaannya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.

Dalam hubungannya dengan komitmen bersama semua negara pada saat di Glasgow, Presiden Jokowi telah menyerukan pentingnya sinkronisasi kebijakan antra negara maju dan negara berkembang terkait perubahan iklim. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengharapkan ada langkah-langkah konkret terkait pengendalian iklim, terutama dalam hal dukungan pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Jokowi menegaskan bahwa pendanaan adaptasi iklim sebesar USD 100 miliar dari negara maju harus segera dipenuhi untuk mempercepat upaya penaganan perubahan iklim.

Di COP26, Presiden Jokowi menerangkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, Indonesia sendiri sudah menunjukkan langkah konkret dalam hal pengendalian iklim. Disebutnya bahwa setidaknya 20 tahun terakhir, laju deforestasi sudah ditekan hingga paling rendah saat ini. Tingkat kebakaran hutan pun berkurang 82 persen. Bahkan selanjutnya Indonesia akan melakukan restorasi gambut seluas 64.000 hektar lahan mangrove. Intinya Jokowi yakin bahwa Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, lebih cepat dari target rendah karbon jangka panjang dunia pada 2050.

Presiden Jokowi juga sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan perusahaan setingkat Chief Executive Officer (CEO) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya pada tanggal 1 November 2021. Pada pertemuan ini, Jokowi secara khusus menekankan pada investasi di bidang ekonomi hijau sesuai Peraturan Presiden (Perpres) yang baru selesai ditandatanganinya sesaat sebelum berangkat ke Roma untuk menghadiri KTT G-20 dan juga ke Glasgow untuk menghadiri KTT COP26. Dalam Prepres tersebut sebagai instrument nilai ekonomi karbon yang akan mengatur mekanisme carbon trading di Indonesia ke depan.

Komitmen Indonesia adalah selain mengurangi emisi gas rumah kaca, juga meningkatkan pendanaan pembangunan. Sehingga pasar karbon harus dikelola dengan prinsip berkeadilan dan transparan. Sebab, kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia mencakup transisi menuju green economy yang efektif. Hal lain yang merupakan upaya penurunan emisi itu juga adalah perubahan pada sector energi, dimana Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari penggunaan batubara sebagai sumber energi akan tergantikan dengan energi terbarukan. Sesuai dengan komitmennya, Indonesia akan mengalihkan energi batubara dengan renewable energy pada tahun 2040. Namun hal ini hanya bisa berjalan jika ada kerjasama dan dukungan dari semua pihak internasional dalam hal teknologi dan pendanaan. Pada pasca CEO’s Forum Meeting di Glasgow ini, Jokowi pun memperoleh komitmen investasi sebesar USD 9,29 miliar sebagai nilai tambah untuk investasi USD 35 miliar yang sudah dan sedang berjalan dalam mata rantai energi terbarukan, yakni baterai dan kendaraan listrik di Indonesia.

Dengan melihat ulaan di atas, apa yang ada di benak kita? Terlepas dari sikap pro maupun kontra, saya ingin mengatakan bahwa pada zaman ini, dunia internasional sangat memperhitungkan Indonesia dari posisinya yang strategis di Asia-Pasifik. Indonesia merupakan negara berkepulauan yang luas dengan 17.000 pulau dan bangsa besar dengan 270 juta jiwa dari 250 ribu suku bangsa. Di sisi lain, Forum CEO melihat Indonesia sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi. Ya, mungkin juga ini salah satu dukungan terhadap posisi Indonesia saat ini yang menjadi pemimpin G20 untuk mempersiapkan KTT G20 pada Oktober 2022. Namun demikian, Indonesia telah menjadi destinasi yang sangat atraktif bagi investasi asing dan akan terus menarik investor dari seluruh dunia untuk membuka usaha-usaha berbasis dan berorientasi green economy di Indonesia.

Hmm, susah apalagi? Indonesia sudah mempunyai Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan peluang besar untuk kemajuan Indonesia dalam hal investasi produktif pada berbagai sector. Yang menarik bagi saya adalah CEOs Forum itu ternyata sejumlah perusahaan terkemuka di dunia yang bergerak di berbagai macam industry bidang renewable energy, sustainable commodities, infrastructure dan financial, diantaranya: British Petroleum (BP) Jardine Martheson, Mars Wrigley UK, Standard Chartered, HSBC dan Shire Oak. Ya, British Petroleum (BP) Inggris sudah di Indonesia, yakni di Teluk Bintuni, Papua Barat. Jadi wajarlah kalau BP ingin membantu Indonesia untuk mencapai ambisinya dalam upaya penurunan imisi, yang konon katanya lebih cepat lebih baik sebelum 2050. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, land use dan sector energi.

Selebihnya, terlepas dari Indonesia sebagai negara yang dianggap penting oleh dunia internasional G20 dan COP26, ternyata menarik pula bagi Perusahaan-perusahaan besar CEOs Forum yang telah berani menaruh kepercayaan kepada Indonesia dengan nilai USD 9,29 miliar sebagai dana investasi berbasis GREEN. Hmmm, kalau sudah begini, apa yang mau dibilang lagi? Jokowi memang hebat. Pace dia tra kosong. Pergi membawa konsep, pulang bawa komitmen – berupa uang. Urusan tagih janji-komitmen negara maju-selesai di tangan CEOs Forum.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Perubahan Iklim Menuntut Perubahan Perilaku Manusia?


Pasti setiap daerah atau wilayah mempunyai pengalamannya tersendiri. Ada yang mungkin mengalami bencana banjir bandang, tetapi ada juga yang mengalami kekeringan; ada yang mengalami curah hujan lebih tinggi dari biasanya, tetapi ada yang mengalami kebakaran hutan karena kekeringan. Bencana banjir mungkin hal biasa di Indonesia. Tapi baik kebanjiran maupun kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, karena toh negara-negara di benua Australia, Amerika dan Eropa pun mengalami dampak perubahan iklim yang sama di bumi yang sama pula.

Oleh Pietsau Amafnini

Perubahan iklim sudah menjadi masalah penyebab krisis multidimensi di dunia. Namun apa sebenarnya penyebab perubahan iklim itu sendiri? Perubahan iklim adalah perubahan pola dan intensitas unsure iklim dalam periode waktu yang sangat lama. Bentuk perubahan berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca atau perubahan persebaran kejadian cuaca. Penyebab utamanya adalah pemanasan global.

Tentu kita pun bertanya apa penyebab pemanasan global itu sendiri? Kita bisa membayangkan kesejukan udara di suatu lokasi permukiman yang berada di lembah maupun gunung yang masih utuh hutann alamnya? Kesejukan itu terjadi karena masih banyak pepohonan di sekitarnya, bahkan lingkungan alam di sekitarnya belum terbuka luas untuk suatu alasan pembangunan yang merusak hutan.

Percepatan pemanasan global merupakan akibat dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi yang mengubah peran dari efek GRK yakni lapisan ozzon yang berfungsi melindungi bumi dari panas matahari. Berikutnya apa yang menjadi penyebabnya? Salah satunya adalah aktivitas manusia juga dapat mengubah iklim bumi dan saat ini mendorong perubahan iklim melalui pemanasan global itu. Contohnya, aktifitas penebangan atau pembukaan hutan alam untuk lahan perkebunan sawit, pengerukan lahan untuk pertambangan batu bara, emas, nikel, tembaga dan lain sebagainya yang merupakan industry ekstraktif. Hal lain juga adalah sumbangan asap dari cerobong pabrik industry-industri besar hingga knalpot kendaraan.

Perubahan iklim akan berdampak pada meningkatnya tinggi permukaan air laut karena gunung-gunung es yang berada di daerah kutub utara dan selatan planet bumi mencair sebagai efek dari pemanasan global. Bahkan bencana alam seperti tanah longsor, kekeringan, banjir bandang hingga mengakibatkan gagal panen pada sector pertanian juga merupakan bagian dari dampak buruk dari perubahan iklim itu. Tidak hanya itu, selain cuaca yang tidak menentu, bisa saja terjadi pergeseran rentang geografis pada bumi, hilangnya pulau-pulai kecil dari bumi, dan kerusakan ekosistem yang sangat mengerikan. Kita bisa membayangkan bagaimana di wilayah kita ada air terjun, tetapi suatu waktu air terjun itu mengalami kekeringan. Bahkan suatu ketika negara-negara kepualauan dan pulau-pulau kecil di Asia Pasifik bisa saja hilang ditelan air lautan samudera yang cenderung naik. Singkatnya, perubahan iklim akan membawa dampak di lautan, daratan dan lapisan udara. Hal ini tentu akan dirasakan oleh baik manusia, hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme.

Mengapa pemanasan global itu terjadi? Mungkin kita sudah mengenal yang namanya efek rumah kaca yang merupakan istilah untuk menggambarkan bumi memiliki caranya sendiri untuk menerima dan melepaskan gas-gas di atmosfir seperti karbondioksida. Penyebab tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir adalah hasil dari perbuatan manusia sendiri. Jadi sebenarnya manusia sendirilah yang menjadi pelaku utama penyebab perubahan iklim yang sudah, sedang dan akan terus menghantui kehidupan di planet bumi ini.

Beberapa ulah manusia yang menjadi penyebab perubahan iklim itu diantaranya: penebangan dan pembakaran hutan dalam skala luas untuk kebutuhan permukiman, perkotaan dan perkebunan atau pertanian skala besar. Padahal pohon sangatlah berguna untuk iklim karena dapat mengubah gas karbon dioksida menjadi oksigen yang bermanfaat untuk kehidupan di bumi. Namun manusia yang oleh karena kebutuhan dan keserakahannya dapat mengubah hutan alam seketika menjadi gundul untuk dijadikan tempat bercocok tanam, termasuk lahan perkebunan sawit yang marak di Indonesia saat ini. Tidak hanya itu, penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara yang berlebihan pun merusak kualitas udara dan juga dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.

Selain itu tentu pencemaran laut dan industry pertanian skala besar juga dapat menyumbang masalahnya tersendiri pada perubahan iklim. Singkatnya, biasa kerusakan hutan alam itu disebut dengan satu kata kunci “deforestation”. Cerita sederhananya, kerusakan hutan berskala luas dapat menyumbang emisi gas rumah kaca, bumi pun semakin panas. Tapi pertambangan batu bara dan jenis investasi industry ekstraktif serupa juga tentu menyumbang banyak sekali emisi gas rumah kaca. Untuk itulah sudah berkali-kali dalam setiap pertemuan internasional, PBB selalu mengingatkan negara-negara di Asia agar menghentikan kegiatan-kegiatan penambangan dan eksport/import batu bara.

Tambang batu baru merupakan sumberdaya yang banyak digunakan di negara-negara Asia. Selain potensi batu bara memang tinggi di Asia, tetapi penggunaannya sebagai sumber energi juga sangat tinggi. Maklumlah, negara-negara di Asia masih merupakan negara-negara berkembang yang masih mengejar status kemajuan pada sector ekonomi. Akibat dari perkembangan ekonomi yang semakin tinggi dapat memicu pula permintaan batu bara sebagai sumber energi industry jadi melambung tinggi, dan pada akhirnya berdampak buruk pada lingkungan. Sebuat saja di negara Vietnam, sepertiga energinya berasal dari tenaga batu bara. Vietnam bahkan sudah membangun sejumlah pabrik baru yang bakal menggunakan energi bartu bara dan siap beroperasi pada 2050 mendatang.

Sementara Thailand memiliki investasi besar pada bahan bakar fosil. Wilayah pesisir di Asia Tenggara telah mengalami banjir besar dan tingginya air laut akibat perubahan iklim. Sebuah penelitian baru menunjukkan bagwa setidaknya 300 juta orang di seluruh dunia hidup di tempat-tempat yang berpotensi berisiko terendam banjir pada tahun 2050. Hasil ini jauh lebih buruk dibandingkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Bahkan Jurnal Nature Communication mengabarkan bahwa gelombang badai dan topan akan semakin kuat menghajar Asia ke depan. Hmmm apakah kita perlu menghentikan subsidi untuk bahan bakar fosil? Apakah kita juga perlu menghentikan pembangkit listrik baru berbasis batu bara di masa depan. Ohhh tidak, ini bukan masalah sederhana bagi kita, karena menjadi isu yang sangat sensitive di Asia, di mana sejumlah pembangkit listrik baru berbasis batu bara sedang direncanakan di negara-negara Asia sebagai negara berkembang yang ingin berlomba menuju negara maju dan makmur. Mungkin salah satunya, Indonesia selain Vietnam.

Sebuah laporan dari Climate Central, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di AS mengatakan 190 juta orang akan tinggal di daerah-daerah yang diproyeksikan berada di bawah garis air pasang pada tahun 2100. Laporan ini menyebut enam negara di Asia yakni Cina, Bangladesh, India, Vietnam, Indonesia, dan Thailand terdapat 237 juta orang hidup hari ini akan menghadapi ancaman banjir tahunan pada 2050. Climate Central menjabarkan enam negara dan jumlah penduduk yang berisiko kena banjir pada masa mendatang sebagai berikut. Cina (93 juta orang); Bangladesh (42 juta orang); India (36 juta orang); Vietnam (31 juta orang); Indonesia (23 juta orang); Thailand (12 juta orang). Hmmm kalau sudah seperti ini, apa yang kita pikirkan: meningkatkan emisi atau menurunkan emisi? Melakukan upaya pencegahan atau menunggu saatnya tiba dengan memperkuat barisan Satuan Tanggap Darurat Bencana? Jika bisnis batu bara dan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi tidak dapat dihentikan, maka setidaknya hutan alam, hutan mangrove, lahan gambut jangan sampai dirusaki lagi untuk alasan apapun. Lebih dari itu, hentikan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit, dan pembalakan kayu secara liar dan illegal di Indonesia. Saya lebih suka itu.

Nah, dari ulasan di atas dapatlah kita memahami dampak dari perubahan iklim itu sendiri, bahwa terjadinya: 1) peningkatan suhu bumi; 2) perubahan curah hujan; 3) suhu air laut menjadi panas dan naiknya permukaan air laut; 4) pergeseran musim. Bagi saya keempat jenis dampak ini penting diketahui, karena sangat berhubungan dengan kehidupan manusia. Setidaknya beberapa tahun terakhir banyak bencana terjadi hampir merata di seluruh dunia. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan gambut, petani gagal panen, hasil tangkap ikan nelayan menurun, bahkan baik manusia, hewan dan tumbuhan diserang virus penyakit yang mematikan. ohhh, jangan-jangan pandemic virus Corona atau Covid-19 yang saat ini menghantui umat manusia seantero planet bumi adalah bagian dari efek perubahan iklim yang sangat ekstrim? Bisa saja, karena perubahan iklim pun nampak berupa mewabahnya jenis penyakit yang luar biasa pada manusia, hewan dan tumbuhan.

Pada bagian akhir ini saya tidak ingin capek-capek mencari atau menulis tentang fakta-fakta apa saja yang sudah dan sedang terjadi di lingkungan sekitar kita, di lokasi tempat tinggal kita, atau mungkin di kampung halaman kita, bahkan negara kita dan juga negara-negara tetangga kita. Pasti setiap daerah atau wilayah mempunyai pengalamannya tersendiri. Ada yang mungkin mengalami bencana banjir bandang, tetapi ada juga yang mengalami kekeringan; ada yang mengalami curah hujan lebih tinggi dari biasanya, tetapi ada yang mengalami kebakaran hutan karena kekeringan. Bencana banjir maupun kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, karena toh negara-negara di benua Australia, Amerika dan Eropa pun mengalami dampak perubahan iklim yang sama di bumi yang sama pula. Namun demikian, keadilan iklim tidaklah berarti banjir dan kemarau dibagi rata. Semestinya Protokol Kyoto dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini. Selebihnya terkait semua rencana ambisius dari COP yang satu ke COP yang lainnya untuk menyelamatkan iklim bumi dari bahaya pemanasan global, saya hanya ingin bilang “biarkan alam memperbaiki dirinya sendiri, daripada manusia banyak rencana tanpa tindakan nyata”. Akhir kata, semoga ada solusi dan tindakan nyata dari COP26 di Kota Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Antara Ketakutan dan Ambisi Penyelamatan Iklim


Hal yang menarik bagi saya, sekalipun saya tak suka adalah ‘sistem pasar karbon dan kredit karbon’, atau Carbon Trade (perdagangan karbon) yang biasa saya sebut dalam tulisan-tulisan saya tentang Keadilan Iklim. Konon katanya sampai dengan hari ini masih penuh dengan perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk menerapkan sistem dan mekanismenya? Lebih dari itu, adakah remah-remah dari Carbon Trade itu yang dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat adat yang hidup dan menjaga lingkungan hidupnya selama berjutaan tahun? Ini soal kompensasi yang adil bagi kesejahteraan hidup mereka yang selalu tergolong hidup di bawah garis kemiskinan di tengah hutan belantara dan hamparan lahan gambut, misalnya di Tanah Papua? Apa yang dulu disebut ‘safeguard’ itu setidaknya hingga saat ini masih dalam ‘mitigasi tipu-tipu’.

Oleh Pietsau Amafnini

Sebagai informasi dan tak bermaksud menggurui para pembaca SANCAPAPUANA. Pada awal ini, saya tidak mengulas terdahulu tentang Perubahan Iklim, tetapi lebih mengedepankan mengapa pentingnya suatu pertemuan tingkat internasional yang disebut COP ini untuk bumi. Sebab bahasan tentang topic Perubahan iklim selalu akan panjang dan melelahkan walaupun sedikit menggiurkan bagi negara-negara berkembang, sekaligus merupakan ketakutan negara-negara maju yang disasar-haruskan untuk bertanggungjawab terhadap dampak perubahan iklim itu. Hmmm nyeri juga ya. Untuk itulah, maka pentinglah pertemuan internasional termaksud.

Secara singkat saya akan menjelaskan tentang apa itu COP26, mengapa penting dan apa saja hasil yang diharapkan dari pertemuan yang hari ini tepat 01 November 2021 diselenggarakan di kota Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Pertemuan ini akan berlangsung hingga 12 November 2021. Hmmm pasti penasaran, tentang siapa saja yang akan hadir di sana dan kira-kira apa yang menjadi pertaruhan di sana? Adakah kepentingan politik tertentu dari masing-masing negara yang hadir di sana? Pasti seru, karena kali ini rencananya dihadiri 197 negara, jauh lebih berkembang dari COP1 yang hanya dihadiri 46 negara. Semoga jumlah negara terlibat semakin naik, itu lebih baik daripada berkurang hanya karena alasan Corona, atau separahnya ingin “Cuci Tangan” dari beban tanggung jawab atas komitmen Paris Accord yang akan menjadi materi utama evaluasi kemajuan dan kegagalan pelaksanaannya pada moment COP26 di Glasgow.

COP adalah singkatan dari Conference of the Parties atau dalam sebutan melayu khas Indonesia, Pertemuan Para Pihak. COP adalah forum tingkat tinggi tahunan bagi negara-negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk berbicara, bersepakat dan bertindak bersama terkait Perubahan Iklim (Climate Change). COP tahun 2021 ini dihadiri 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya. COP26 ini merupakan bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas Perubahan Iklim, yakni Perjanjian Internasioanl yang ditandatangani setiap negara berdaulat dan negara territorial di dunia yang bertujuan membatasi dampak aktivitas manusia atas iklim. Konvensi PBB untuk Penyelamatan Iklim Dunia ini disepakati dan diberlakukan sejak 21 Maret 1994. Artinya sejak saat itu, sekarang COP26 masih merupakan lanjutan dari ke-25 COP sebelumnya. Hasilnya sejauh ini? Ya, masih dalam proses bicara-bicara, masih dalam tahap rencana, belum sampai tindakan nyata.

Konferensi ini dilaksanakan pada 2 hari setelah pelaksanaan KTT  negara-negara G20 di Roma, Italia yang menjadi tuan rumah KTT G20 pada 30 – 31 Oktober 2021 dan selanjutnya menunjuk Indonesia menjadi Presiden G20 yang akan menjadi tuan rumah KTT G20 tahun 2022 di Bali, Indonesia. Namun demikian, marilah kita menelusuri lebih lanjut tentang COP26 karena toh topic yang menjadi pembicaraan hangat antara para Kepala Negara sedunia itu masih seputar Perubahan Iklim dan Strategi Penyelamatan Iklim.

Mai kita kembali ke Glasgow yang merupakan kota terbesar di Skotlandia, Inggris Raya itu, tempat dimana COP26 – UNFCCC dilaksanakan. Pertanyaannya sederhana saja. Seberapa pentingkah COP26, atau emangnya penting  (epen) ka? Maybe yes, maybe no. Tetapi sebagai aktivis lingkungan hidup dan kemanusiaan yang sudah sejak tahun 2007 dan 2008 dimana saya serius mengikuti berbagai workshop hingga konferensi UNFCCC pada COP19, saya menjadi tertarik bahwa sangat penting untuk penyelamatan iklim di planet bumi ini, tetapi lebih dari itu yang terpenting adalah keadilan Iklim untuk kelestarian lingkungan hidup dan kesehjahteraan manusia.

COP26 ini akan menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama dimana para peserta akan mengevaluasi baik kemajuan yang telah dilakukan maupun kegagalan yang dihadapi dalam proses implementasinya sejak Persetujuan Iklim Paris COP21 ditandatangani pada tahun 2015. Perjanjian itu, yang juga dikenal sebagai Paris Accord, pada dasarnya adalah rencana kemanusiaan untuk menghindari bencana iklim. Kesepakatan ini menyatakan bila pemanasan global terus naik melampaui 1,5 derajat celcius di atas suhu yang pernah dialami di era praindustri, maka banyak perubahan di planet ini yang tidak dapat dihindarkan lagi. Maka rencana yang sudah dibuat harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan untuk itulah fungsinya COP26 dilaksanakan dengan tujuan mengevaluasi kemajuan dan kegagalannya.

Sebagai informasi, Paris Accord 2015 pada COP21 memuat target-target utama bagi semua negara untuk menghindari bencana perubahan iklim. Semua negara yang terlibat berjanji untuk 1) Mengurangi gas rumah kaca; 2) Meningkatkan produksi energi yang dapat diperbarui; 3) Mempertahankan tingkat suhu global agar kenaikannya tidak sampai dua derajat celcius dan kenaikan idealnya maksimal 1,5 derajat celcius; 4) Berkomitmen menyisihkan miliaran dolar untuk membantu negara-negara miskin menghadapi dampak perubahan iklim. Kesepakatan Paris itu juga menyetujui bahwa setiap lima tahun harus ada evaluasi atas kemajuan yang telah dibuat. Maka, sebenarnya evaluasi pertama atau COP26 sedianya diselenggarakan pada 2020, namun ditunda hingga 2021 ini karena pandemi COVID-19. Hmmm Corona, corona. Maksud hati menghindari dampak perubahan iklim, ehhhh ternyata ketemu Corona. Ini menarik bahwa akhirnya kita semua perlu sadar bahwa mungkin Corona lebih berbahaya dari Climate, tetapi bagi saya keduanya sama pentingnya.

Hehee mau lawan Corona ka? Pandemi COVID-19 ini ternyata dapat mengubah banyak hal dalam jangka waktu yang sesangat-sangat singkat. Wabah yang mendunia ini membawa perubahan besar, karena paling tidak sudah menunda pertemuan COP selama setahun. Namun, ada hikmahnya bahwa Covid ternyata memunculkan peluang yang tidak diperkirakan sebelumnya untuk berpikir ulang terkait pemulihan ekonomi pada pasca-pandemi. Sederhananya kita pun dapat bertanya pada diri sendiri. Apakah bekerja memang harus di kantor atau bisa bekerja dari rumah? APakah pertemuan-pertemuan memang harus berkerumun di hotel-hotel secara tatap muka? Apakah belajar memang harus ke sekolah atau kampus untuk belajar-mengajar secara tatap muka, atau bisa dari rumah? Apakah berdoa itu memang harus ke rumah ibadah, atau bisa berdoa sendiri atau bersama keluarga di rumah sendiri? Apakah belanja kebutuhan hidup harian memang harus ke pasar, took dan supermarket? Apakah kesibukan itu nampak dari sering terbang dengan pesawat, sering berlayar dengan kapal laut dan berdesakan di kereta api? Nah jika bisa bekerja, belajar dan beribadah bahkan berbelanja dari rumah, kenapa tidak bisa beradaptasi dengan perubahan yang diciptakan sebagai efek dari Pandemi Corona? Jika boleh dan bisa beradaptasi, maka itulah peradaban baru di zaman milenial ini. Tinggal caranya adalah semua hal berbasis ONLINE.

Hal menarik adalah Corona berhasil mengubah pikiran salah satu negara anggota COP, yakni Amerika Serikat dimana Presiden Donal Trump pada saat COP25 menarik diri dari Perjanjian Paris atau Paris Accord. Ternyata Presiden AS yang baru ini memang berbeda dengan pendahulunya yang membuat AS menarik diri dari Perjanjian Paris. Presiden Joe Biden justru menempatkan kebijakan-kebijakan ramah iklim sebagai prioritas utama dalam rencananya memulihkan ekonomi AS dari pandemi. Joe Biden memang hebat dan tentu masyarakat dunia dan lebih khusus masyarakat Amerika Serikat serta negara-negara COP26 sangat mengharapkan kehadirannya. Sebab, saat bertemu di COP26, para pemimpin dunia ini diharapkan membuat target-target baru jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim dan semuanya itu harus ambisius dan tegas untuk keadilan iklim dan kemanusiaan.

Tentu saja ada banyak harapan, tetapi pelaksanaannya juga tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Masih ada banyak isu yang belum terpecahkan dari pertemuan-pertemuan tingkat tinggi sebelumnya, seperti COP25 di Madrid, Spanyol. Masih kental dalam ingatan saya ketika menyaksikan seorang aktivis muda asal Swedia bernama Greta Thunberg, ketika menyampaikan pidato yang berapi-api saat itu. Greta memperingatkan para pemimpin dunia bila tetap berpangku tangan dan mengabaikan bukti ilmiah akan bahaya perubahan iklim. Saat itu Greta seakan menghipnotis masyarakat dunia hingga merinding. Namun, tetap saja peringatan itu pun terkesan tidak berpengaruh terhadap kesepakatan-kesepakatan konferensi penting itu. Padal pernyataan Greta itu penting dan justru yang diharapkan untuk dijadikan solusi, dimana negara-negara miskin termasuk yang pertama kali merasakan dampak perubahan iklim harus mendapat perhatian dari negara-negara maju sebagai tanggung jawab. Tidak hanya itu, perubahan iklim pun berdampak pada naiknya permukaan laut secara perlahan menenggelamkan negara-negara kepulauan, menyebabkan kekeringan dan gelombang panas yang membuat petani gagal panen hingga menguatnya angka kelaparan, kemiskinan dan kematian.

Setidaknya saat jelang COP26, lebih dari 100 negara berkembang sudah memaparkan sejumlah tuntutan, bahwa 1) Pendanaan dari negara-negara maju untuk memerangi maupun menanggulangi perubahan iklim; 2) Kompensasi dari negara-negara maju atas dampak yang akan menimpa negara-negara berkembang; dan 3) Uang dari negara-negara maju untuk membantu masyarakat negara berkembang dapat  menerapkan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Ssssttt, ceritanya Indonesia bukan lagi negara berkembang brooo, sudah naik status menjadi negara maju.

Selanjutnya, hanya sebuah pikiran nakal. Coba kita membayangkan bila Indonesia juga termasuk kelompok negara maju? Ohhh ya, benar juga. Bukankah Indonesia sudah meningkat statusnya dari Negara Berkembang menjadi Negara Maju pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini? Ya, suka atau tidak, terima atau tidak, yang jelas status itu sudah berubah. Negara maju tak selamanya atau tak seharusnya semua masyarakatnya makmur ‘kan? Anda bayangkan penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 271 juta jiwa. Toh belum tentu 330 juta jiwa masyarakat Amerika Serikat juga semua hidup makmur. Ini NKRI, maju – mundur itu soal biasa, kedisiplinan waktu saja masih “jam karet”. Namun perlulah kita berbangga saat ini, karena Indonesia menjadi salah satu negara kepulauan di Asia yang diperhitungkan pula oleh negara-negara di benua Eropa dan Amerika.

Nah konsekuensi dari ‘negara maju’ dalam hal penanganan masalah dampak perubahan iklim ini adalah bersama-sama berkomitmen menyediakan $100miliar per-tahun mulai 2020 untuk melaksanakan Paris Accord. Namun kenyataannya hingga 2021 ini, katanya baru terkumpul $79 miliar, dan sebagian besar berupa utang, bukan hibah. Hmmm lagi-lagi utang,  yang artinya nanti harus dikembalikan kepada pemilik modalnya. Weiiii, topic ‘keuangan iklim” ini saya kira akan menarik jadi perdebatan hebat. Pasti ada hitung-hitungan soal “Untung – Rugi” di sini, dan negara pemilik modal siapa yang mau rugi? Bill Gates, Raja Microsoft pemilik kekayaan 136,1 Miliar USD per 2021 yang hadir di COP26 ini pun pasti geleng-geleng kepala kalau uangnya tidak kembali dengan keuntungan yang adil baginya. Point ini menarik bagi saya untuk ikut memainkan peran sebagai pemantau ‘keuangan iklim’ di negara Indonesia yang masih subur  ‘budaya korupsi’. Jangan-jangan nanti dana iklim dari uang utang itu habis menguap seperti karbon juga.

Hal lain yang menarik bagi saya, sekalipun saya tak suka adalah ‘sistem pasar karbon dan kredit karbon’, atau Carbon Trade (perdagangan karbon) yang biasa saya sebut dalam tulisan-tulisan saya tentang Keadilan Iklim. Konon katanya sampai dengan hari ini masih penuh dengan perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk menerapkan sistem dan mekanismenya? Lebih dari itu, adakah remah-remah dari Carbon Trade itu yang dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat adat yang hidup dan menjaga lingkungan hidupnya selama berjutaan tahun? Ini soal kompensasi yang adil bagi kesejahteraan hidup mereka yang selalu tergolong hidup di bawah garis kemiskinan di tengah hutan belantara dan hamparan lahan gambut, misalnya di Tanah Papua? Apa yang dulu disebut ‘safeguard’ itu setidaknya hingga saat ini masih dalam ‘mitigasi tipu-tipu’.

Carbon Trade ini adalah mekanisme yang membuat penghasil polusi untuk membayar emisi dan mereka yang menerapkan ekonomi hijau untuk menjual ‘kredit karbon’. Ok, kedengarannya cukuplah adil. Namun yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kalau negara-negara maju hanya mau membayar lisensi untuk menghasilkan polusi ketimbang mau menerapkan perubahan nyata? Lantas siapakah yang berhak memutuskan berapa banyak yang harus dibayar oleh suatu negara atas emisi yang dibuatnya dengan menggundulkan sebidang hutan untuk sebuah investasi? Hmmm, macam semakin seru untuk mengkritisi masalah ini. Tapi tahan-tahan perasaan saja dulu, karena ini baru hari pertama suasana COP26.

Marilah kita berpikir positif saja, walaupun hati menolak. Saya membayangkan bahkan bila pertemuan di Glasgow nanti berhasil untuk menyepakati semua hal itu, untuk memastikan semua pihak berada pada visi yang sama, maka kita butuh jangka waktu tak tentu bagi semua target ramah lingkungan yang dibuat dalam rangka implementasi Paris Accord. Betapa rumitnya, tak semudah merusak hutan alam atas nama pembangunan dan pengembangan investasi perkebunan skala besar di Indonesia. Namun demikian, COP26 menjadi moment penting untuk membahas hal-hal baru setelah mendapatkan informasi kemajuan dan kegagalan sejauh ini. Sebagaimana tekad bersama semua negara dalam dokumen Paris Accord, yang menjadi prioritas utama adalah memastikan semua negara untuk berkomitmen mencapai nol emisi pada 2050, dengan pengurangan karbon yang lebih agresif dan pesat pada 2030.

Dari berbagai media, dikabarkan bahwa dalam diskusi selama berlangsungnya COP26 Glasgow, diharapkan akan ada solusi-solusi berbasis alam, karena hukum alam pun mengajarkan kepada umat manusia bahwa pada akhirnya Alam akan memperbaiki dirinya sendiri dengan cara dan kekuatannya sendiri. Hmmmm, apa artinya ini? Alam yang dirusak oleh manusia, belum tentu berhasil diperbaiki oleh manusia. Sehingga COP26 diharapkan supaya mengandalkan alam itu sendiri untuk mengatasi tantangan-tantangan iklim. Misalnya, penyerapan karbon atau menanam pohon untuk berlindung dari kejadian cuaca ekstrem seperti banjir bandang, badai pasir dan menurunnya tingkat mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub utara dan selatan bumi yang menyebabkan naiknya air laut. Sejumlah inisiatif juga diperkirakan akan dibuat untuk mengatasi tantangan-tantangan yang spesifik seperti menghapus penggunaan batu bara dan menjaga ekosistem.

Hmmm, saya justru mengharapkan kehadiran Greta Thunberg untuk kembali berteriak di COP26, tetapi dikabarkan justru para pemimpin negara sedunia itu hanya mengharapkan jika Paus Fransiskus sebagai Kepala Negara Vatican bisa hadir pada kesempatan khusus di Glasgow. Pada akhirnya dari Hutan Terakhir Tanah Papua, Surga Kecil yang jatuh ke Bumi dengan Hutan Tropisnya yang unik dan alami sehingga dijuluki sebagai Paru-paru Dunia, saya mengucapkan selamat bersilat lidah di forum bergengsi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada COP26 tahun 2021 di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Harapan saya, semoga Hutan Mangrove dan Lahan Gambut di wilayah kerja LNG Tangguh – British Petroleum (BP) Indonesia di Teluk Bintuni, Papua Barat tetap utuh dan alami seperti sediakalanya. Biar gas alam cairnya habis tidak masalah, yang penting hutannya tetap utuh untuk tetap jamin keadilan iklimnya. Weiii, trus manusianya? Pasti sudah dipikirkan, karena keberadaan BP/LNG Tangguh diharuskan menghormati hak-hak masyarakat adat, dan katanya tergolong proyek investasi Ramah Lingkungan seramah-ramahnya Ratu Elizabeth. Ya, itu tentu menjadi tanggung jawab pula dari Negara Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo, yang terhitung 01 November 2021 hingga 31 Oktober 2022 menjadi Pemimpin Negara-negara G20. Semoga kami tidak terjebak dalam suasana “latihan lain, main lain” dengan mitigasi tipu-tipu tentang perubahan iklim dan solusi-solusinya di Kota Glasgow. Salam sehat dan lestari di musim Corona.***Koordinator JASOIL Tanah Papua