TIPUKA: Kampung Orang Kamoro Di Muara Tailing Freeport Indonesia…..(1)


Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah.

Oleh Pietsau Amafnini

Kali ini saya mengajak pembaca untuk mengarahkan hati dan pikiran kepada sebuah wilayah kecil di Tanah Papua dengan sebutan TIPUKA.Tipuka adalah sebuah kampung kecil dengan jumlah penduduk sekitar 175 KK di Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Mayoritas suku di sini adalah Suku Kamoro. Kampung Tipuka terletak persis di muara sungai dimana tailling Freeport dilepas di situ. Semakin ke atas ada kampung Ayuka, Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Aroanop, Banti, dan Tsinga. Ketujuh kampung ini berada di sekitar kawasan pertambangan milik PT Freeport Indonesia yang telah lama mengeruk sumberdaya tambang emas dan tembaga wilayah ini, dan akibatnya sungai-sungai pun tertimbun oleh pembuangan pasir tailing itu.

Kalau kita bicara tentang Freeport Indonesia di Timika, selain berbicara tentang kemewahan produksi dengan hasilnya yang menggiurkan, tentu kita bicara tentang konflik pengelolaan sumberdaya alam hingga masalah pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan terhadap lingkungan hidup. Namun, adakah yang bisa membatasi perusahaan emas raksasa dari Amerika Serikat di Tanah Papua ini? Achhh cukup sudah, jangan kitong bicara masalah terus. Katanya kita harus positive thinking di zaman now.

Sebelumnya tentu kita hitung-hitungan soal keuntungan dan kerugian negara hingga kerugian masyarakat adat setempat. Tetapi setelah 50 tahun kemudian, tepatnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia konon katanya “berhasil” merebut saham 51% dari Freeport, sehingga normalnya Amerika Serikat (Freeport) hanya dapat 49%. Sementara banyak pihak di antara kita juga akan terus bertanya, siapa yang akan makan uang dari saham 51% itu? Bahkan dari namanya saja sudah bukan Freeport America, tapi Freeport Indonesia. Achhh, masih banyak hal lagi. Tetapi saya tidak mau membahas barang itu lagi, nanti saya tambah pikiran karena toh saya juga tidak dapat apa-apa juga mo. Karena saya bukan siapa-siapa, hanya orang biasa yang peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan hidup di Tanah Papua, terutama Orang Tipuka di muara sungai tailing itu.

Hmmm, namun yang perlu anda ketahui di sini adalah apa yang sekiranya menarik bagi saya untuk dibahas di sini, yakni persoalan lingkungan hidup. Ya, maksud saya terkait AMDAL dari perusahaan ini. Apakah sudah atau belum dibaharui? Bagaimana dengan pasir tailingnya? Emas dan tembaga itu telah dibawa pergi, tetapi pasirnya ditinggalkan dan dibiarkan mengalir melalui sungai-sungai yang berhulu di Grasberg dan berhilir melintasi tujuh kampung yang berada di sana hingga bermuara di wilayah kampung Tipuka. Anda bayangkan jikalau sungai yang semulanya adalah “aliran air” tetapi setelah 50 tahun kemudian justru yang ada itu “aliran pasir”. Beeehhhh, janganlah kau bilang barang ini tipu-tipu ka? Ini memang mbenar-benar kenyataan di kampung Tipuka. Bayangkan saja dalam sehari Freeport menghasilkan tailing 200ribu ton. Waoww, seandainya masyarakat adat Kamoro di Tipuka bisa eksport tailing ini? Klo tra percaya, silahkan datang sendiri ke kampung Tipuka yang dulu terkenal karena kepiting (keraka). Amole, amole sobatku, selanjutnya kita akan lihat kembali dinamika-dinamika yang terjadi sebelum tahun 2021. Ya bisa tarik sampe de pu akar-akar ka ini.

Mungkin saja ada banyak hal yang masih teka-teki di sana, dan semakin samar-samar untuk diingat. Yoooo, mbegitu sudah. Tapi saya kira biar kitong sedikit tarik waktu ke belakang untuk melihat bagaimana kondisi kehidupan masyarakat adat setempat dan juga ketergantungan mereka kepada sumberdaya alam yang mereka miliki, terutama sungai dan hutan alam sekitarnya sebagai sumber penghidupan bagi mereka. Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah. Biar ko liat dengan ko pu mata sendiri, bagaimana sungai air itu bisa disulap Freeport dalam 50 tahun jadi sungai pasir. “weii tipu ka apa eee”.

Trus mungkin masyarakat dong su ada gedung gedung pencakar langit dari hasil Freeport ka? Sssttt tailing tralaku itu? Hahaa ini Tipuka di Timika sobat, bukan di Turky. Dekat saja to? Jang ko bilang sa tipu ko lagi eee. Sedangkan masyarakat dong mo mencari ikan di sungai saja harus ada semacam upacara ritual sedikit dengan mengucap kata “oto erkata” untuk memanggil ikan, bukan mengejar ikan. Sebelumnya mereka perlu meminta izin dan restu dari leluhur dengan memberikan sesajian berupa gulungan tembakau atau sebatang rokok sambil berucap, prapeka enaro kapaki makakeman e airu ta” artinya tete’ ini ambil rokok tolong kasih kami ikan untuk anak-cucu. Selanjutnya, “prapoka kau katna ikutu maha imaku ereka maka kemanu arie” artinya nene’ lindungi kami dalam perjalanan dan bawa ikan masuk ke jaring. Sadaaapppp. Itulah syarat yang harus dilakukan seorang pencari ikan (nelayan tradisional) yang disebut dengan Mikuku dalam bahasa Suku Kamoro di kampung Tipuka. Bukan ko cari dengan ko pu cara-cara tak karuan adat. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua