COP26: Ambisiusme Penyelamatan Iklim


Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan. Bahkan untuk menghadapi dampaknya, manusia harus berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim itu sendiri selain mengobral ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Kekhawatiran saya, Ambisi Iklim itu hanya untuk Uang dan Investasi ber kedok Green.

Oleh Pietsau Amafnini

Setelah Paris Accord disepakati pada tahun 2015, semua negara Utara dan Selatan anggota UNFCCC telah berkomitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Paris Accord bukan sekedar sebuah kesepakatan tanpa kewajiban. Paris Accord mewajibkan semua negara maju (utara) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan perubahan iklim dan dampaknya yang merupakan krisis berkepanjangan di negara-negara berkembang (selatan).

Indonesia merupakan salah satu dari semua negara UNFCCC yang telah menyatakan komitmennya terhadap iklim dalam dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution. Untuk diketahui, setelah ratifikasi Paris Accord pada tahun 2016, negara-negara UNFCCC telah menyerahkan dokumen INDC dimana mereka menegaskan kembali komitmennya untuk masa depan iklim planet ini, berkarbon rendah dan berketahanan iklim. Target bersamanya adalah mencapai Zero Emision pada 2050.

Apakah Indonesia juga berambisi dalam dokumen INDC untuk iklim? Tentu saja, walaupun upaya penurunan emisi gas rumah kaca itu masih wacana politik green belaka. Buktinya masih banyak lahan hutan tropis yang dibuka atau ditebang untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, mafia illegal logging masih marak, energi batu bara masih menjadi primadona, bahkan masyarakat adat masih terus kehilangan tanah adat dan segala potensi alam sebagai sumber-sumber penghidupan mereka untuk pembangunan investasi pengerukan tambang dan perkebunan skala besar. Ini artinya Indonesia juga salah satu penyumbang meningginya emisi gas rumah kaca di dunia.

Ambisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia justru akan menentukan apakah peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celsius seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, atau di bawah 1,5 derajat Celsius seduai hasil penelitian Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) pada 2018. Nah, apakah sudah ada upaya tertentu dari pemerintah negara Indonesia untuk mencapai ambisi ini? Sudah banyak, tapi dalam wacana poltik, dalam bentuk kebijakan, dan sekarang dalam bentuk Agenda GREEN dimana semua sector pembangunan wajib bersinergi untuk mencapai ambisi itu, Zero Emission di tahun 2050, bahkan lebih cepat lebih baik, 2030.

Pada dokumen INDC-Paris Accord, Indonesia berkomitmen untuk melakukan kegiatam-kegiatan strtegis dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 41 persen dibawah scenario bussines as usual. Komitmen ini direncanakan berlangsung hingga tahun 2030. Pertanyaannya adalah apakah kita yakin bahwa Zero Emission itu akan terwujud pada 2030? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Karena menurut hemat saya, komitmen ini belumlah cukup untuk menahan lajunya tingkat pemanasan global yang dibutuhkan untuk mencegah dampaknya berupa bencana-bencana yang kemungkinan jauh lebih besar dari upaya apapun yang dilakukan saat ini dan ke depan. Mengapa demikian? Ambisi iklim itu belum selaras, searah dan setindak antara rencana penurunan emisi dengan pembangunan Indonesia yang masih cenderung eksploitatif. Bahkan, batu bara masih menjadi energi yang terandalkan di Indonesia. Harapan saya, industry ekstraktif batu bara dan penggunaan energy berbahan bakar batu bara serta penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit juga harus dihentikan. Saya kira ini ambisi yang benar-benar nyata dan terukur hingga 2030.

Tidak hanya Indonesia. Negara-negara makmur di Uni Eropa juga tentu mempunyai ambisinya tersendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi Nol persen pada 2050. Bangsa Eropa pun sadari bahwa beberapa dampak perubahan iklim sudah dan sedang dirasakan hingga saat ini dan mungkin ke depan jauh lebih parah, dan itu tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat Eropa diminta juga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan memitigasi dampaknya. Mengapa? Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan.

Uni Eropa sendiri dalam INDC bersedia untuk berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca 55 persen pada 2030. Sementara China, India, Arab Saudi dan Turky mereka bertanggung jawab atas penurunan emisi 33 persen. Namun demikian, dari 191 negara pengikut Paris Accord hanya 113 negara yang mempunyai komitmen jelas untuk iklim. Belum lagi Pemerintah Amerika Serikat yang menolak menandatangani Paris Accord itu. Tetapi posisi Amerika Serikat untuk iklim saat ini sudah diperbaiki oleh Presiden Biden yang menghadiri COP26 di Glasgow dan menyatakan dukungan ambisius negaranya untuk penurunan emisi gas rumah kaca dengan alasan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Negara-negara yang belum membaharui komitmen mereka pun akhirnya bersedia melakukan berbagai upaya dengan targetnya masing-masing untuk menurunkan emisi pada tahun 2030 untuk mendukung ambisi bersama pencapaian Zero Emission tahun 2050. Harapan saya untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah semoga mereka berhenti mengimpor batu bara, berhenti menggunakan batu bara sebagai energy listrik dan juga berhenti mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Ini baru namanya ambisi yang nyata dan terukur.

Tentang kesiapan Indonesia, pemerintah era Jokowi periode ke-2 ini telah menetapkan Peta Jalan (roadmap) Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030. Roadmap ini telah tertuang pula dalam pembaharuan dokumen INDC yang diajukan di COP26, bahkan aksi nyatanya berupa Program Kampung Iklim, Restorasi Mangrove dan Agroforestry Perhutanan Sosial. Program-program kerja ini dilakukan sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Persoalannya siapa yang akan bekerja? Pemerintah perlu mengintegrasikan program kerja adaptasi iklim dengan pihak pemerintah daerah, sector swasta, masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat local di tingkat kampung.

Saya hanya mengkhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim di atas, ada kemungkinan munculnya berbagai kepentingan yang akan terus membuat nasib masyarakat adat semakin tak tentu disamping sebagai bagian dari dampak perubahan iklim itu sendiri. Mengapa? Karena Ambisi Iklim itu adalah untuk Uang dan Investasi berlabel kedok Green, sedangkan perilaku Korupsi dan Kekerasan masih membudaya di Indonesia.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Semoga Ada Harapan Baru dari Glasgow


Pada bagian-bagian sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa semestinya Bali Roadmap, Kyoto Protocol dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini dalam tindakan nyata, bukan lagi bicara-bicara. Tapi kalau masih sebatas wacana, maka itu namanya ‘NATO’ (No Action, Talk Only). Semoga ada Harapan Baru dari Glasgow.

Oleh Pietsau Amafnini

UNFCCC-COP26 ternyata masih membahas tentang scenario pencegahan dan penanganan perubahan iklim dunia. Keseriusan pimpinan negara-negara industry maju masih dipertanyakan masyarakat dunia, karena tidak jelasnya pelaksanaan protocol Kyoto dan Paris Accord. Seakan-akan isu perubahan iklim masih sebatas wacana, sementara sudah melewati 25 kali COP sebagai forum tertinggi pertemuan internasional untuk membahas perubahan iklim dari sisi dampak, pencegahan, penanganan hingga pendanaannya.

Kami sudah mengulas tentang betapa pentingnya pelaksanaan COP26 dalam rangka penyelamatan iklim dunia pada bagian-bagian sebelumnya. Para pemimpin negara-negara di dunia berkumpul di sini untuk membahas tentang skenario, isu utama dan krusial tentang perubahan iklim dan harapan kepada negara anggota di dunia untuk mengambil peran masing-masing sesuai Kyoto Protocol yang menjadi aturan dan pedoman pengikat komitmen bersama untuk mengatasi dan menangani masalah perubahan iklim. Pimpinan negara Indonesia, Presiden Joko Widodo juga hadir di Glasgow untuk memaparkan kemajuan agenda dan aksi perubahan iklim di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sudah berupaya untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius melalui kerja-kerja lapangan menuju netzero emisi atau nol emisi sesuai kemampuan yang ada. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, energi dan land use. Pada pelaksanaannya, Indonesia mempunyai konsep dan agenda green dimana semua sector pembangunan berbasis lintas kementerian harus sinergi dalam pelaksanaannya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.

Dalam hubungannya dengan komitmen bersama semua negara pada saat di Glasgow, Presiden Jokowi telah menyerukan pentingnya sinkronisasi kebijakan antra negara maju dan negara berkembang terkait perubahan iklim. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengharapkan ada langkah-langkah konkret terkait pengendalian iklim, terutama dalam hal dukungan pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Jokowi menegaskan bahwa pendanaan adaptasi iklim sebesar USD 100 miliar dari negara maju harus segera dipenuhi untuk mempercepat upaya penaganan perubahan iklim.

Di COP26, Presiden Jokowi menerangkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, Indonesia sendiri sudah menunjukkan langkah konkret dalam hal pengendalian iklim. Disebutnya bahwa setidaknya 20 tahun terakhir, laju deforestasi sudah ditekan hingga paling rendah saat ini. Tingkat kebakaran hutan pun berkurang 82 persen. Bahkan selanjutnya Indonesia akan melakukan restorasi gambut seluas 64.000 hektar lahan mangrove. Intinya Jokowi yakin bahwa Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, lebih cepat dari target rendah karbon jangka panjang dunia pada 2050.

Presiden Jokowi juga sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan perusahaan setingkat Chief Executive Officer (CEO) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya pada tanggal 1 November 2021. Pada pertemuan ini, Jokowi secara khusus menekankan pada investasi di bidang ekonomi hijau sesuai Peraturan Presiden (Perpres) yang baru selesai ditandatanganinya sesaat sebelum berangkat ke Roma untuk menghadiri KTT G-20 dan juga ke Glasgow untuk menghadiri KTT COP26. Dalam Prepres tersebut sebagai instrument nilai ekonomi karbon yang akan mengatur mekanisme carbon trading di Indonesia ke depan.

Komitmen Indonesia adalah selain mengurangi emisi gas rumah kaca, juga meningkatkan pendanaan pembangunan. Sehingga pasar karbon harus dikelola dengan prinsip berkeadilan dan transparan. Sebab, kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia mencakup transisi menuju green economy yang efektif. Hal lain yang merupakan upaya penurunan emisi itu juga adalah perubahan pada sector energi, dimana Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari penggunaan batubara sebagai sumber energi akan tergantikan dengan energi terbarukan. Sesuai dengan komitmennya, Indonesia akan mengalihkan energi batubara dengan renewable energy pada tahun 2040. Namun hal ini hanya bisa berjalan jika ada kerjasama dan dukungan dari semua pihak internasional dalam hal teknologi dan pendanaan. Pada pasca CEO’s Forum Meeting di Glasgow ini, Jokowi pun memperoleh komitmen investasi sebesar USD 9,29 miliar sebagai nilai tambah untuk investasi USD 35 miliar yang sudah dan sedang berjalan dalam mata rantai energi terbarukan, yakni baterai dan kendaraan listrik di Indonesia.

Dengan melihat ulaan di atas, apa yang ada di benak kita? Terlepas dari sikap pro maupun kontra, saya ingin mengatakan bahwa pada zaman ini, dunia internasional sangat memperhitungkan Indonesia dari posisinya yang strategis di Asia-Pasifik. Indonesia merupakan negara berkepulauan yang luas dengan 17.000 pulau dan bangsa besar dengan 270 juta jiwa dari 250 ribu suku bangsa. Di sisi lain, Forum CEO melihat Indonesia sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi. Ya, mungkin juga ini salah satu dukungan terhadap posisi Indonesia saat ini yang menjadi pemimpin G20 untuk mempersiapkan KTT G20 pada Oktober 2022. Namun demikian, Indonesia telah menjadi destinasi yang sangat atraktif bagi investasi asing dan akan terus menarik investor dari seluruh dunia untuk membuka usaha-usaha berbasis dan berorientasi green economy di Indonesia.

Hmm, susah apalagi? Indonesia sudah mempunyai Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan peluang besar untuk kemajuan Indonesia dalam hal investasi produktif pada berbagai sector. Yang menarik bagi saya adalah CEOs Forum itu ternyata sejumlah perusahaan terkemuka di dunia yang bergerak di berbagai macam industry bidang renewable energy, sustainable commodities, infrastructure dan financial, diantaranya: British Petroleum (BP) Jardine Martheson, Mars Wrigley UK, Standard Chartered, HSBC dan Shire Oak. Ya, British Petroleum (BP) Inggris sudah di Indonesia, yakni di Teluk Bintuni, Papua Barat. Jadi wajarlah kalau BP ingin membantu Indonesia untuk mencapai ambisinya dalam upaya penurunan imisi, yang konon katanya lebih cepat lebih baik sebelum 2050. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, land use dan sector energi.

Selebihnya, terlepas dari Indonesia sebagai negara yang dianggap penting oleh dunia internasional G20 dan COP26, ternyata menarik pula bagi Perusahaan-perusahaan besar CEOs Forum yang telah berani menaruh kepercayaan kepada Indonesia dengan nilai USD 9,29 miliar sebagai dana investasi berbasis GREEN. Hmmm, kalau sudah begini, apa yang mau dibilang lagi? Jokowi memang hebat. Pace dia tra kosong. Pergi membawa konsep, pulang bawa komitmen – berupa uang. Urusan tagih janji-komitmen negara maju-selesai di tangan CEOs Forum.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Nasib Masa Dulu dan Masa Depan Orang Tipuka…..(2)


Saya mau bilang bahwa kawasan yang ditempati Suku Kamoro di kampung Tipuka itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Kamoro dan Amungme. Mari lanjutkan cerita. Sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka. Seperti yang telah saya gambarkan di serial sebelumnya bahwa Tipuka adalah salah satu kampung berada di kabupaten Mimika, provinsi Papua. Tipuka terletak di dataran rendah, persis bagian muara sungai di mana aliran pasir tailing dari hulu kali Ajkwa pun kandas di situ sejak 50 tahun lalu. Bisa dibayangkan, dari beberapa sungai akhirnya bermuara di Tipuka?

Hmmmm, belum lagi ceritanya Freeport mampu memproduksi tailing sebanyak 200ribu ton per hari. Coba tindis kalkulator sudah, 200.000 x 1000 (karena 1 ton = 1000 kg) dikalikan 366 hari trus dikalikan lagi dengan 50 tahun? Su dapat de pu hasil ka? Mama yooo, setumpukan itu? Ya itu tambang dia pu limbah yang dong bilang tai-ling.

Ohhh ya, selain kampung Tipuka, mungkin senasib juga orang Kamoro dan orang Amungme di kampung lainnya yang menempati dataran rendah hingga dataran tinggi di kawasan kekuasaan Freeport itu. Kampung lain yang berada di dataran rendah itu adalah kampung Ayuka, Koprapoka, Nayaro dan Nawaripi. Sedangkan kampung yang berada di dataran tinggi atau bagian hulu itu adalah kampung Banti, Arwanop dan Tsinga. Artinya ada 8 (delapan) kampung yang berada di sekitar kawasan kekuasaan PT Freeport Indonesia. Tetapi apabila karena dampak dari UU Desa No. 6/2014 dan ternyata jumlah kampung melebihi angka yang saya sebutkan, mohon maklum. Karena saya berkunjung terakhir di tahun 2015, dan tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 6 tahun terakhir. Semoga saja mereka tidak tergiur dengan semangat pemekaran kampung baru pasca pelaksanaan undang-undang desa.

Oh ya, saya tidak ingin kita terjebak dalam perdebatan angka perubahan, karena toh dari politik angka itu ternyata ekonomi masyarakat se-Tanah Papua masih menempati urutan tertinggi posisi berada di bawah garis kemiskinan. Belum tergantikan pula posisi itu di Indonesia, bahkan provinsi NTT dan Maluku masih lebih rendah posisinya ‘kan? Lho, koq bisa ya? Katanya Papua punya Freeport dan banyak emasnya pula? Belum lagi hasil alam lainnya di sector kehutanan, perkebunan dan kelautan? Aneh juga ya. Salahnya di mana ya. Ohhh Tuhan tolong. Achhh lupakan itu dulu, capek deh.

Mendingan kita cerita barang lain sudah. Seperti apa sih kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat di kampung Tipuka? Ya, namanya juga orang hidup di wilayah pantai, di muara sungai. Surganya adalah sungai dan laut. Surganya juga adalah dusun sagu dan hutan mangrove. Selebihnya jangan pernah bertanya, apakah orang-orang Tipuka semuanya bekerja di PT Freeport? Ya, wajarlah bertanya itu. Karena perusahaan raksasa ini berada di tempat mereka.

Namun yang saya tahu, orang Kamoro di kampung Tipuka itu juga turunan leluhur pencari ikan dan peramu hutan sesuai kebiasaan warisan leluhurnya, layaknya kehidupan orang pantai pada umumnya. Nelayan tradisional tepatnya menyebut matapencaharian orang-orang sekampung Tipuka. Sebagai nelayan tradisional dan peramu hasil hutan, tentu mati dan hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Dusun sagu, jangan ditanya lagi. Apalagi sungainya, kalau orang-orang tua cerita, katanya dulu masih zaman Belanda itu kapal-kapal bisa masuk sampai di bagian hilirnya. Wiiihhh, berarti dalam juga. Yooo, namanya juga muara, apalagi dataran rendah itu berarti rawa-rawa ganas punya yang dorang bilang lahan gambut.

Soal hasil apa yang diharapkan dari sungai dan laut di muara itu, saya mau bilang bahwa kawasan itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”. Saya membayangkan kira-kira kepiting itu besarnya bagaimana eee. Tapi itu hanya ada di saat sungai itu masih dalam, dan belum tertimbun oleh aliran pasir tailing dari pusat produksi emas dan tembaga oleh Freeport di bagian hulu.

Ya, Freeport lagi dan lagi-lagi Freeport selama 50 tahun lalu di tangan pemegang saham tertinggi, Amerika Serikat. Lain ceritanya klo 50 tahun ke depan di tangan Indonesia sebagai pemegang saham 51%, siapa tahu kondisi alam yang dirusak Amerika itu dikembalikan Indonesia ke wajah semulanya. Bisa, Tapi. Ya, optimis saja kawan. Barang apa jadi, karena memang saat ini sampai masa depan, kitorang wajib berpikir positif. Sekalipun “keperawanan” itu tak mungkin kembali lagi setelah dirusak secara paksa. Sayang achhh, trus masa depan orang Tipuka? Itu lagi. Ko jawab sendiri sudah, karena sa juga hati hancur kawan.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

KAYU ILEGAL DI MUSIM CORONA


Lagi-lagi temuan kayu ilegal terjadi di musim Corona. Saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Oleh Pietsau Amafnini

Sejak WHO menetapkan keadaan darurat internasional karena serangan pandemic corona, termasuk masyarakat di Indonesia semuanya terdiam di rumah untuk bertahan hidup dan aman dari virus penyakit yang belum ada obat anti-virusnya di dunia. Pasalnya Virus Corona telah menelan banyak korban nyawa yang diduga sudah terjadi sejak bulan November 2019. Betapa tak kaget dan takutnya semua orang di dunia karena jahatnya Corona. Tanggal 14 Februari 2020 WHO merilis jika jumlah kasus terkonfirmasi virus tersebut mencapai 64,452 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1,384 jiwa yang tersebar di berbagai negara di belahan bumi ini. Angka tertinggi saat itu justru berada di Italia. Virus yang katanya bermula di Kota Wuhan, China ini ternyata menyebar begitu cepat.

Pemerintah China pun menuruti himbauan WHO untuk melakukan policy lockdown dengan mengkarantina 16 kota di China, terutama Kota Wuhan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalisir penyebaran virus Corona. Lockdown tentu menjadi pilihan tersulit, karena akan berdampak besar pada terpuruknya sector ekonomi. Namun, tidak ada pilihan lain, saat itu.

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang berpotensi besar akan terdampak baik pada penyebaran virus Corona, dan tentu juga pada lemahnya ekonomi China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai dampak dari virus Corona bersumber dari tiga sektor utama yakni sektor pariwisata, sektor investasi dan sektor perdagangan. Sementara baik Indonesia maupun negara-bangsa lain pun sepertinya tidak siap menghadapi masalah pandemic Corona beserta dampaknya pada kesehatan dan ekonomi. Pada akhirnya suka atau tidak suka, lockdown jadi pilihan walaupun tidak seutuhnya. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari Rumah” sebagai pilihan untuk “keselamatan”. Seluruh aktivitas rakyat dan pemerintah pun lumpuh, walaupun akan berdampak pada kesulitan akses pangan. Syukurlah dengan fasilitas teknologi informasi yang  walau masih terbatas, namun sejumlah kebutuhan dapat dilakukan secara online.

Sedihnya, Corona bukanlah halangan bagi cukong kayu. Para mafia kayu illegal terus melancarkan aktivitasnya dengan alasan bahwa arena hutan adalah medan bebas virus corona. Hal ini juga merupakan pilihan tepat bagi mereka karena memang aktivitas di perkotaan dibatasi, maka lancarlah aktivitas pencurian kayu dari hutan alam. Ohh tidak. Apakah saya karang cerita ini? Maybe yes, maybe no.

Adalah sebuah fakta telah terjadi di Sorong, Papua Barat. Tanggal 24 Maret 2020 adalah hari dimana Tim Gakkum-KLHK menyita 263 batang kayu olahan tanpa dokumen di Kabupaten Sorong. Kayu illegal yang diangkut 3 unit truck itu dicurigai akan dikirim ke pemeiliknya yakni CV. Anugerah Rimba Papua (ARP) yang berkedudukan di Distrik Aimas. Sayangnya para sopir truck yang menjadi sasaran interogasi karena beraktivitas di musim corona. Sedangkan sang pemilik yang menunggu kayu illegal itu justru tak tersentuh, walaupun sederet pasal dari UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah menjadi alasan dugaan dan hukumannya.

Anehnya kejadian ini terjadi pada saat musim corona, walaupun perilaku pembalakan liar dan pencurian kayu ini sudah berlangsung lama. Ya, seakan-akan tak pernah akan berakhir. Kayu merbau Papua memang ibarat primadona yang selalu diburu oleh para mafia kayu. Mereka tak peduli dengan kerusakan hutan dan dampaknya berupa banjir dan lain sebagainya. Ya, sedangkan keselamatan diri terhadap Corona saja mereka tidak peduli, apalagi keselamatan lingkungan alam?

Benar-benar Corona bukan halangan bagi mereka. Tanggal 13 Juli 2020 Tim Gakkum-KLHK kembali mengamankan 8 unit truck bermuatan kayu olahan jenis merbau di Aimas, kabupaten Sorong, Papua Barat. Kayu-kayu yang diduga berasal dari distrik Moswaren itu tidak dilengkapi dokumen angkutan kayu yang sah. Setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, maka Tim Operasi kemudian melakukan pemantauan dan pengawasan hingga akhirnya menghentikan iringan 8 unit truck itu bermuatan kayu itu dari arah jalan Klamono menuju sawmill di sekitar wilayah Kabupaten Sorong, dan selanjutnya digiring untuk diamankan ke gudang penyimpanan barang bukti yang berlokasi di Jalan Petrochina, Kelurahan Warmon Klalin, Aimas, Kabupaten Sorong.

Lagi-lagi peristiwa ini terjadi di masa musim Corona, saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Semoga Gakkum-KLHK tiada goyahnya memproses pelakunya sesuai hokum yang berlaku. Sebab kerjanya sang pemburu kayu illegal tentu merugikan masyarakat adat pemilik kayu itu dengan segala tipu dayanya hingga dibelinya dengan harga murah. Belum lagi kerugian negara yang diakibatkan oleh cara kerjanya mafia kayu illegal.

Pada akhirnya, hati ini hanya bisa berharap pada lingkungan alam untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan yang ada, dan bila Alam Tanah Papua mendengarkan jeritan hati para penghuni Tanah Moi, maka biarlah mereka terhukum seadilnya setimpal air mata para korban banjir di antara Kali Klamono dan Kali Remu.***

“MR. WONG”, SANG PEMBURU MERBAU PAPUA


Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek illegal logging masih marak di Kabupaten Sorong. Para pemburu kayu komersil masih terus melakukan pembalakan kayu baik di hutan hak masyarakat adat maupun di kawasan HGU perkebunan sawit tanpa mengantongi IPK. Sasarannya tentu kayu merbau. Sementara ketersediaan tegakkan kayu jenis merbau sudah semakin jarang. Sudah hampir tidak ditemukan lagi pohon induk di hutan. Karena Sang Pemburu itu pun masih dan semakin bebas membalak secara liar dengan berbagai modus baru, dan alasan yang masuk akal dengan memperdayai masyarakat adat.

Kegiatan pembalakan kayu di Kabupaten Sorong seakan-akan tidak mungkin lagi untuk dihentikan. Pembalakan terus dilancarkan oleh cukong-cukong kayu dengan segala tipu daya untuk meyakinkan masyarakat pemilik hutan. Tidak hanya itu, banyak kayu jenis merbau juga keluar dari HGU perkebunan sawit. Apakah mereka memiliki IPK atau tidak? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Mungkin dan sangat mungkin semua itu non-IPK. Jika non-IPK, apalagi SVLK…..? Tentu saja kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu masih terus melaju dan akan semakin gila pula, setelah ada Pergub 51/2018 yang kembali membuka peluang untuk peredaran kayu bulat menjadi bebas beredar keluar antar pulau di luar Tanah Papua sebagai product unggulan dari provinsi Papua Barat.

Achhh, Sang Pemburu kayu merbau tentu merasa legah dan bahagia luar biasa. Apa yang sebelumnya menjadi “haram”, kini kayu bulat sudah boleh bebas diperdagangkan dan diedarkan antar pulau di dalam negeri atau bahkan diekspor sebagai barang dagang unggulan. Sedih memang, tetapi apa boleh buat. Pohon merbau itu sudah ditumbangkan, juga sudah dijadikan kayu olahan berupa balak 20 cm x 20 cm. Tumpukan kayu balak pun menjadi pemandangan indah di sepanjang jalan menuju distrik Sayosa, Sayosa Timur, Maudus, dan Moi Segen. Mobil-mobil truck pun Nampak berjejer antrian memuat kayu. Karena merbau masih ditempatkan pada posisi “primadona”.

Sang pemburu itu adalah seorang China Malaysia yang dikenal sebagai cukong pembalakan kayu secara liar (illegal logging) dan sudah melalang buana di Indonesia. Dia hanya dikenal dengan sebutan Mr. Wong yang dari rekam jejagnya pernah beroperasi di daerah Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Tanah Papua sejak tahun 2000. Menteri Kehutanan, Malem Sambat Kaban, pernah menjadikan Mr. Wong sebagai salah satu dari 50 cukong pembalakan kayu liar yang masuk dalam daftar hitam target operasi hutan lestari.

“Mr. Wong” pernah menjadi tersangka dan berurusan dengan Mabes Polri pada tahun 2010. Pada Juli 2006, petugas Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Adi, Fakfak, Papua Barat, menangkap kapal MV King Glory, kapal asal Thailand dan berbendera Panama. Kapal tersebut mengangkut kayu hasil penebangan liar di daerah setempat yang hendak diangkut ke Cina dengan menggunakan dokumen pemerintah Papua New Guinea. Kapal dan muatan kayu tersebut terkait dengan bisnis ilegal Mr. Wong. Tidak ada informasi detail kasus tersebut dan diberitakan Mr. Wong  bebas dari tuntutan hukum.

Mr. Wong dikenal selalu berganti nama setelah menjadi warga negara Indonesia. Dia pun beberapa kali lolos dari jeratan hokum dan bisnisnya justeru menggurita di Papua, di bawah bendera Mega Masindo Group, beralamat kantor di Jalan Kelapa Hybrida Raya Blok PF 18 Nomor 32, Kelapa Gading, Jakarta Utara, sedangkan alamat kantor di Sorong Jl. Tidar No.1 Kota Sorong .

Perusahaan-perusahaan pengusahaan hasil hutan kayu yang diketahui dimiliki, dikelola dan dikendalikan oleh Mr. Wong, terdiri dari: (1) PT. Alas Tirta Kencana, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Timika, Provinsi Papua, seluas 87.500 ha; (2) PT. Wukirasari, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Teluk Bintuni dan Kaimana, Provinsi Papua Barat, seluas 116.320 ha; (3) PT. Arfak Indra, perusahaan kayu berlokasi di Fakfak, Provinsi Papua Barat, seluas 153.000 ha, dan (4) PT. Bagus Jaya Abadi (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.120/Menhut-II/2009, tanggal 12 Maret 2009, perusahaan industry pengolahan kayu berlokasi di Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan kapasitas produksi 60.000 meter kubik per tahun.

Selain itu, terdapat juga perusahaan PT. Masindo Mitra Papua, yang beroperasi dalam bisnis angkutan kapal laut atas nama Maspapua, yang digunakan untuk membawa kayu keluar pulau Papua dan diduga menyelundupkan kayu logging ke industry kayu di Papua dan luar Papua. Mega Masindo juga memiliki PT. Mega Nusantara Indah, perusahaan yang menangani bisnis bidang penyewaan alat berat, logging, truk dan excavator. Alat-alat tersebut digunakan dalam operasional logging perusahaan di kota Sorong.

Bisnis pengusahaan hasil hutan kayu Mr. Wong di Papua sering mendapat complain keluhan masyarakat karena permasalahan hak buruh, kelalaian kewajiban pembayaran kompensasi, manipulasi terhadap masyarakat dan laporan hasil produksi, pengabaian tanggung jawab sosial, perampasan hak masyarakat, praktik kekerasan, intimidasi, pengrusakan hutan hingga kejahatan kehutanan di areal konsesi. Kasus-kasus tersebut hingga kini, belum ada penanganan dan penegakan hokum secara jelas. Kedekatan Mr. Wong dengan pejabat nasional dan pejabat daerah ditengarai melindungi aktifitas bisnis anak perusahaan Mega Masindo Group.

Dari hasil penelusuran dan pengembangan informasi selama proses investigasi dan monitoring di lapangan, terungkap bahwa perusahaan lainnya berada di bawah kontrol Mega Masindo Group adalah PT. Papua Lestari Abadi(15.231 ha) dan PT. Sorong Agro Sawitindo (11.000 ha), keduanya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sorong, Papua Barat. Terdapat pula perusahaan pertambangan, yakni: (1) PT. Bagus Jaya Abadi(SK BupatiNomor 223 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara berlokasi di Salawati, Kab. Sorong, seluas 7.843 hektar); (2) PT. Papua Lestari Abadi (SK BupatiNomor 224 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara di Mayamuk dan Salawati, Kab. Sorong, seluas 9.707 ha); (3) PT. Mega Masindo Bara Abadi (SK Bupati Mimika Nomor 122 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (4) PT. Mega Masindo Bara Sukses(SK Bupati Mimika Nomor 123 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (5) PT. Mega Masindo Coalindo(SK Bupati Mimika Nomor 124 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (6) PT. Kalteng Bara Persada(SK Bupati Mimika Nomor 125 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (7) PT. Mega Masindo Bara Utama (SK Bupati Mimika Nomor 126 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha. Bisnis pertambangan tersebut berada dibawah bendera PT. Mega Masindo Energi.

Kejahatan Kehutanan masih marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal ini berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua.  Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang cangih dan terorganisir melibatkan banyak pihak. Walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH). Dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari Kementrian Lingungan Hidup dan Kehutanan, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang  di Indonesia. Sistem yang cangih dan ketat membuat para mavia kayu menciptkan bisnis ilegal yang cangih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus yang baru pula.

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hukum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) menyatakan bahwa di tanah Papua Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT, Provinsi Papua Barat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Dari fungsi kawasan hutan Papua Barat, Hutan Konservas (HK) 1.721.768 Hutan Lindung 1.66.590 hektar Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar sesuai dokumen RTRWP Provinsi Papua Barat tahun 2008-2029.

Papua Barat merupakan salah satu  Provinsi yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Daya tarik Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persensate luas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam.

Namun demikian, praktek mafia illegal logging dan illegal trading juga semakin marak di wilayah Papua Barat yang tentu berdampak pula pada kerusakan hutan alam dan semakin menipisnya tegakan pohon merbau di hutan alam Papua Barat. Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.***

REKOMENDASI KLASAMAN


Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek perusakan hutan karena alasan pembangunan sektoral terutama pengelolaan kehutanan dan perkebunan sawit tentu sudah berdampak langsung pada perubahan iklim. Salah satu penyumbang perubahan iklim itu adalah deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk lahan perkebunan sawit skala luas dan juga pengelolaan hasil hutan yang didominasi oleh aktivitas pembalakan liar. Praktek illegal logging juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan?

Emma Raw Malaseme, direktur Papua Forest Watch (PFW) menerangkan bahwa pihaknya menggelar berbagai macam rangkaian acara Pendidikan Lingkungan Hidup diantaranya: pelatihan pemantauan dan advokasi kejahatan kehutanan, focus group discussion, kuliah umum di kampus-kampus, hingga kampanye di ruang terbuka di Sorong pada tanggal 11 – 14 Desember 2019 dengan harapan bahwa masyarakat sipil dan pemerintah daerah sadar dan termotivasi untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Pihaknya mengkhawatirkan semakin hilangnya hutan alam di wilayah adat Orang Moi di kabupaten Sorong.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Selain itu, Papua Forest Watch sendiri juga menemukan beberapa aktivitas yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu sudah dilaporkan kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari Kondisi sebagaimana tergambarkan di atas, maka Papua Forest Watch bersama Peserta Kegiatan Pelatihan Pemantauan dan Advokasi Kejahatan Kehutanan di Klasaman tanggal 11 – 14 Desember 2019 bersama Perwakilan Kelembagaan Masyarakat Sipil Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup di Papua Barat merumuskan Point – Point Rekomendasi sebagaimana tersebut di bawah ini:

  1. Pemerintah melalui dinas kehutanan bekerjasama dengan stakeholder lainnya melakukan evaluasi implementasi peraturan yang terkait dengan kehutanan
  2. Pemerintah melalui dinas kehutanan Papua Barat perlu melakukan Evaluasi kinerja HPH terkait perencanaan dan laporan produksi kayu bulat
  3. Pemerintah melalui Dinas Kehutanan Papua Barat Perlu melakukan evaluasi jumlah produksi kayu bulat dengan jumlah dan kapasitas industry pengolahan kayu untuk memastikan telah sesuai dengan Pergub Papua Barat No 2 Tahun 2008
  4. Aparat kemanan baik Gakkum KLHK dan Kepolisian menggali keterlibatan pengusaha-pengusaha Surabaya dan China yang menjadi pemodal atas tindak kejahatan ilegal loging
  5. Aparat keamanan baik Gakkum, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menindak lanjuti kasus ilegal loging hingga sampai pada market internasional dan tidak hanya mengkambing hitamkan masyarakat adat Papua
  6. Tindak kejahatan ilegal loging tidak bisa dilakukan oleh orang perorangan sehingga Gakkum KLHK, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menggali lebih dalam keterlibatan perusahaan pengolah kayu dengan menggunakan UU 18 Tahun 2013 terkait keterlibatan korporasi atas kejahatan ilegal loging.
  7. Memberikan Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat adat untuk dapat mengelolan kayu yang bersumber dari wilayah adat.
  8. Dinas Kehutanan wajib mereview ijin pemanfatan dan tata kelolan kehutanan (Hasil hutan kayu) di Papua Barat.
  9. Dalam hal pemantauan oleh masyarakat Pemantau Independen Kehutanan di Kabupaten Sorong, maka PFW membutuhkan informasi dan data RPBBI serta data prasyarat izin, data prasyarat produksi hingga data hasil produksi dari setiap perusahaan pemegang izin di wilayah kabupaten Sorong dan wilayah Provinsi Papua Barat untuk menjadi acuan pemantauan terhadap Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sesuai mekanisme SVLK.
  10. Review Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat Tahun 2018/2019:
  • Tanggal 7 Desember 2018; pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya
  • Tanggal 11 Februai 2019; Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat
  • Tanggal 19 Juni 2019; empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi
  • Tanggal 4 Juli 2019; Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong
  • Tanggal 1 November 2019; 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong
  1. Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPM/PTSP) dapat memberikan informasi terkait Daftar Izin Perusahaan Pengelola Hasil Hutan Kayu IUPHHK-HA, IPK, dan Izin Perusahaan Industri Kayu Primer IUI-PHHK dan Izin Industri Perusahaan Pengelolaan Kayu Lanjutan di Kabupaten Sorong dan di Provinsi Papua Barat. Karena sebagai Pemantau Independen Kehutanan, kami masih mengalami kesulitan untuk mengakses jumlah Izin Terdaftar, Nama dan Alamat Perusahaan, Jenis dan Kapasitas Produksi dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari Prasyarat SVLK dan PHPL di tingkat daerah.
  2. GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi Illegal Logging Papua Forest Wach :
  • Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati, PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.
  • Tgl 3 November 2019; Papua Forest Watch Melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri
  • Tanggal 4 November 2019; Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong. Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

Demikian Catatan dan Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019. Selain perwakilan komunitas masyarakat adat dan komunitas-komunitas pemantau independen kehutanan, perwakilan kelembagaan pemantau independen dari kalangan LSM yang ikut menandatangani Rekomendasi Klasaman ini adalah Papua Forest Watch, JASOIL Tanah Papua, SekNas JPIK, dan Greenpeace Indonesia kantor Papua Barat*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

SVLK: Sebuah Cara Peranserta Masyarakat Dalam Penyelamatan Hutan


Pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Oleh Pietsau Amafnini

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hokum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. DalamUndang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang samadan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Selanjutnya diatur secara rinci dan tegas dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan  Produksi  Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak; Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Nomor: P.5/VI-BPPHH/2014, Tanggal: 14 Juli 2014 Tentang: Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

Ketegasan mengenai Tatakelola Kehutanan dan Pengawasannya juga semakin diperketat dengan adanya Permen KLHK p.30/2016 tentang Pelaksanaan SVLK dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari; Perdirjen p.14/2016 tentang Standard Pedoman Penilaian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Namun, kenyataannya masih terjadi penemuan kasus illegal logging dan illegal trading di Indonesia, termasuk di wilayah kabupaten Sorong, Papua Barat. Hak ini menurut hemat kami, sebagai masyarakat sipil Pemantau Independen Kehutanan, kelemahannya ada pada sistem pengawasan yang belum atau tidak sepenuhnya melibatkan peranserta masyarakat sebagai pioneer utama pengawasan itu sendiri sesuai mandate UU Kehutanan dan Aturan Terkait SVLK dan PHPL.

Praktek pembalakan liar juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan? Pasalnya sudah banyak kasus yang ditemukan dan tindak tegas juga oleh GAKKUM/KLHK tetapi kenyataan bahwa usaha kayu illegal itu pun masih marak di Kabupaten Sorong. Karena itu pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Emma Raw Malaseme mengharapkan kinerja extra dari GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi dan Monitoring kegiatan Illegal Logging oleh Papua Forest Watch (PFW). Emma, direktur Papua Forest menerangkan bahwa pihaknya meminta agar GAKKUM dapat melakukan review terhadap kemungkinan adanya Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat, terutama di wilayah Sorong Raya.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Tidak hanya itu, Gunawan, Juru Kampanye Papua Forest Watch juga menjelaskan bahwa pihak penegak hokum kehutanan seperti GAKKUM semestinya tanggap terhadap laporan masyarakat. “Kami menemukan beberapa kasus yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu kami sudah laporkan juga kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang”. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan  di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

“Kami di Papua Forest Watch juga menjalankan mandate UU Kehutanan dan juga Permen-KLHK tentang SVLK dimana mengatur tentang peranserta masyarakat dalam pengawasan hutan, apalagi dalam aturan SVLK yang jelas-jelas mengakomodir masyarakat sebagai Pemantau Independen. Kami juga bermitra dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Nasional dan juga JASOIL Tanah Papua di tingkat daerah, yang mana peran masyarakat sipil ini sangat membantu dan mendukung Pengelolaan Hutan Produksi lestari. Aturan sudah menjamin semua itu, bahkan SVLK kami yakin dibuat untuk menjamin bisnis yang adil dimana bila dilaksanakan dengan baik, maka kepatuhan itu ada dan perilaku illegal logging dan peredaran kayu illegal bisa diberantas, atau setidaknya berkurang. Sayangnya, defacto apa yang kita temukan sebagai masalah di lapangan ternyata masih sulit juga ditanggapi oleh GAKKUM sebagai penegak hokum khusus untuk kasus illegal logging atau kasus lingkungan hidup. Kalau seperti ini, maka aktivitas illegal itu akan terus terjadi dan berakibat pada hancurnya hutan, tetapi juga negara dan masyarakat adat dirugikan oleh cukong-cukong kayu illegal”, ungkap Gunawan dengan nada kesal usai acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup bagi masyarakat umum di Klasaman, Sorong pada 13/12/2019. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

PAPUA FOREST WATCH: Paru-paru Dunia Itu Sudah Bocor Besar Di Sorong


HUTAN TERSISA 8,7 juta hektar di Papua Barat semestinya sudah harus terlindung untuk masa depan anak cucu dan juga untuk menjamin kesejukan bumi sebagai paru-paru dunia. Sayangnya, paru-paru itu sudah bocor besar di Kabupaten Sorong.

Oleh Pietsau Amafnini

Slogan kampanye yang sudah lama enak dalam ingatan kita adalah “Hutan Papua sebagai Paru-paru Dunia”. Siapa yang tidak bangga jika julukan ini kita di Tanah Papua menyandangnya sebagai harapan masyarakat dunia untuk keselamatan dan keseimbangan iklim di bumi ini. Hingga pada akhirnya matematika perhitungan stock carbon dari hutan alam Papua juga menjadi buah bibir dari kaum ilmuwan sampe masyarakat luas tentang soal carbon trade dan kompensasinya, hingga mekanisme penyaluran manfaat ekonomi dari pemanfaatan stock carbon sebagai sebuah komoditi jualan daerah. Bahkan sebuah kelembagaan donasi asing sempat membuat komitmen bersama Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri saat itu bahwa siap membeli (membayar) stock carbon Papua Barat dengan hitungan US Dollar.

Para ahli lingkungan dan kehutanan juga mulai menghitung stock carbon berdasarkan tegakan pohon hingga luasan kawasan hutan dan kemudian dengan kemampuan design grafisnya, begitu mudah menunjukkan dalam bacaan sederhana berupa peta tematik Stock Carbon di Papua dan Papua Barat. Selanjutnya isu REDD plus pun berhasil menggiring Carbon Trade hingga ikut terangkat pula slogan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi, dan kemudian disusul Kabupaten Tambrauw yang sebagian besar wilayahnya adalah Kawasan Hutan Konservasi. Namun, kenyataan menjadi lain.

Semua akhirnya masih perlu diperjuangkan, termasuk meninjau kembali semua kebijakan terkait Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kebijakan terkait pengmbangan investasi skala besar maupun kecil, hingga kebijakan RTRWP Papua Barat dan RTRWK setiap Kabupaten di provinsi ini. Tak semudah apa yang dibayangkan dalam angan-angan memperoleh kompensasi atas stock carbon dari hutan alam di Tanah Papua, terutama di Papua Barat seperti ‘gula-gula’ kepedulian dunia internasional yang sempat mengenakkan gendang telinga.

“Tidak perlu merusak hutan, tidak perlu menebang pohon. Bila hutan dijaga, atau pohon dijaga, maka akan mendapatkan uang kompensasi dari masyarakat internasional di negara-negara industry yang kaya-raya. Hmmm….katanya begitu. Selanjutnya, semua sebenarnya tergantung pada komitmen dan kemauan kita untuk mewujudkan impian itu. Jangan cuman slogan politik semata untuk mengenakkan telinga masyarakat dunia.

Sejauh mana upaya kita untuk menjalankan komitmen kita agar tetap menjaga hutan tersisa di dunia ini supaya tetap utuh dan lestari? Masyarakat internasional siapa yang akan membayar kompensasi itu? Sedangkan mekanismenya saat itu sudah banyak didiskusikan hingga akhirnya dirumuskan melalui terbentuknya Badan Pengelola REDD (BP-REDD) pada rezim Presiden Susilo Bambang Yughoyono (SBY). Dalam rangka menunjang carbon trade berbagai upaya juga dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil dan masyarakat adat. Bahkan kebijakan pemerintah SBY saat itu adalah “1 Miliar Pohon”. Ternyata semua berhasil saja di aksi-aksi penanaman seremonial di halaman-halaman kantor pemerintah pada saat memperingati Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup.

Hal yang lebih parah lagi adalah akhir-akhir masa jabatan SBY hingga masa periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terdapat begitu banyak izin baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi para pengembang investasi pada sector perkebunan sawit, sector kehutanan dan sector pertambangan ekstraktif. Belum lagi aktivitas perusahan hutan alam untuk perkebunan sawit yang melakukan land clearing di lahan-lahan HGU baru. Ditambah lagi aktivitas illegal logging yang semakin marak dilakukan oleh para pemilik modal besar dengan mendayagunakan masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menebang dan merusak hutan adatnya sendiri melalui kemudahan izin IPK dan IPHHK.

Akibatnya, “Paru-paru dunia” itu pun bocor di mana-mana, bahkan berimbas pula pada perubahan iklim yang semakin extrim yang kita nikmati saat ini. Hmmm…. Carbon belum laku di pasaran, sementara sudah panen hasil dari pemanasan global itu. Kebocoran itu saat ini menurut direktur LSM- Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme justru berada di wilayah Kabupaten Sorong.

“Luas hutan di Provinsi Papua Barat dari hari ke hari terus mengalami penyusutan sebagian besar karena alih fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan, pembangunan infrastruktur, pemukiman, kompleks pemerintahan maupun peruntukkan lainnya. Kegiatan penebangan hutan pun terus dilancarkan oleh para pemburu kayu merbau baik yang legal maupun yang illegal”, tegas Gunawan, coordinator Advokasi dan Kampanye Papua Forest Watch di Sorong, pada event Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Sorong Kota (13/12/19).

Semenetara itu kekhawatiran terhadap kerusakan hutan pun justru datang dari seorang pemimpin utama di Papua Barat. Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan menyatakan keperihatinannya bahwa saat ini luas hutan yang masih terjaga kelestariannya di Papua Barat hanya tersisa 8,7 juta hektar dari sebelumnya mencapai hampir sepuluh juta hektar di awal pemekaran provinsi. Berkaitan dengan itu, Gubernur Mandacan mengajak semua pihak menjaga kawasan hutan yang masih tersisa itu agar tetap lestari. Sebab hutan selain menjadi paru-paru dunia juga menyimpan sumber daya alam yang bermanfaat untuk keberlanjutan hidup manusia.

Pada sebuah kesempatan di kabupaten Teluk Wondama, Gubernur Provinsi Papua Barat, Dominggus Mandacan menghimbau masyarakat Se-Papua Barat agar menjaga kelestarian hutan yang tersisa di setiap daerah kabupaten. “……. saya menghimbau kita semua, mari kita manfaatkan hutan secara baik dan bijaksana serta menjaga kelestariannya agar manfaatnya berkelanjutan dan tetap lestari. Kawasan hutan yang sudah kritis kita tanam kembali dan kita pelihara sehingga dapat meningkatkan kualitas hutan dan fungsinya sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi,“ pesan Dominggus, sebagaimana dilansir media online Kabartimur.com (sumber: https://kabartimur.com/2019/11/15/luas-hutan-tersisa-87-juta-gubernur-ingatkan-komitmen-pembangunan-berkelanjutan-di-papua-barat/)

Sedangkan menurut Charles Tawaru, Koordinator Greenpeace Papua di Sorong, ia justru mengharapkan semua masyarakat sipil berperanserta dalam memantau pengelolaan hutan terutama oleh perusahaan-perusahaan Non-HPH karena merekalah penyebab semakin tingginya deforestasi hutan di Papua Barat. “Ini bukan saja tugasnya pemerintah, tetapi juga tugasnya kita semua aktivis lingkungan. Dengan melihat kondisi kerusakan hutan yang semakin parah di atas tanah ini (Papua), maka masyarakat sipil termasuk komunitas masyarakat adat yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan hutan semestinya dimotivasi untuk ikut ambil peransertanya dalam pengawasan pengelolaan hutan produksi lestari. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum saja tidak cukup”, ungkap Charles.

Hal ini menurut Tawaru, dimaksudkan supaya memastikan bahwa pengusahaan hasil hutan kayu itu memang penting, tetapi tidak boleh dengan cara-cara illegal dan kecenderungan perusahan hutan. Karena kita semua mengharapkan agar hutan-hutan potensial yang masih tersisa di Tanah Papua, terutama di Kabupaten Sorong diharapkan untuk tetap dijaga dan dijamin keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan anak-cucu dan masa depan planet bumi. “….. bukankah Hutan Papua dijuluki sebagai Paru-paru Dunia, dan saya kira Papua Forest Watch adalah salah satu organisasi lingkungan hidup di kabupaten Sorong yang mempunyai tanggung jawab itu….”. Demikian kata Charles Tawaru pada saat tampil sebagai pembawa materi dalam Dialog Masyarakat dalam acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup yang digelar Papua Forest Watch di kampung Noken Klasaman, Sorong (13/12/19). *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

BIARKAN HUTAN PAPUA YANG TERSISA TETAP UTUH UNTUK MASA DEPAN BUMI


“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang canggih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula di kabupaten Sorong. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula

Oleh Pietsau Amafnini

Pada event kampanye dan pendidikan lingkungan hidup yang digelar oleh Papua Forest Watch di Kampung Noken, Kota Sorong, pesan penting dari cuplikan keseluruhan prose situ adalah pernyataan masyarakat peserta kegiatan: “Kami menyadari bahwa pengelolaan sumberdaya hutan dan pengaturannya adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara Negara, termasuk memberikan kuasa pengelolaan dengan menerbitkan izin pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pihak pengembang investasi baik swasta dalam negeri maupun swasta asing, dan juga masyarakat local sendiri. Namun kami merasa bahwa pengawasan tatakelola kehutanan masih sangat jauh dari yang diharapkan untuk menjamin hutan itu tetap lestari sebagai salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam sector kehutanan dan lingkungan hidup”.

“Kurangnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam hal pembinaan pelaksanaan Pengelolaan  Hutan Produksi Lestari (PHPL) berakibat pada semakin luasnya tingkat kerusakan hutan dan juga maraknya perilaku illegal logging di Kabupaten Sorong”. Demikian kata direktur Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme pada Kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman Sorong, tanggal 13 Desember 2019.

Direktur Papua Forest Watch (PFW), Emma Raw Malaseme juga menerangkan bahwa Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Dengan luasan kawasan hutan alam seperti ini justru cukup besar juga menyumbang oksigen dari emisi karbion dari hutan alam itu untuk masyarakat dunia dan juga menjaga suhu planet bumi. Namun, luasan kawasan hutan ini juga menjadi daya tarik tersendiri pada dunia investasi. Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persentase terluas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam. Sekarang ini, di kabupaten Sorong kawasan hutan alam itu sudah menipis, mungkin saja hutan lindung juga sudah mulai dirambah oleh kegiatan illegal logging. Sementara kawasan hutan produksi, rata-rata kerusakan hutan itu sudah merata pula. Karena aktifitas pembalakan baik yang legal maupun yang illegal terus dilancarkan. Hal ini juga terjadi karena kayu jenis merbau masih menjadi primadonna komoditi unggulan hasil hutan kayu di Papua Barat.

Terkait pengelolaan hutan di Tanah Papua, Emma menceritakan bahwa Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) pernah merilis bahwa di Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT. Sedangkan di Provinsi Papua Barat terdapat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Mengutip RTRWP Papua Barat 2008-2029, Emma menjelaskan bahwa dari untuk fungsi kawasan hutan di Papua Barat, Hutan Konservasi (HK) 1.721.768, Hutan Lindung 1.66.590 hektar, Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar, Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar, dan  Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar.

Isak Chlumbless, Koordinator Risset Papua Forest Watch juga menyatakan bahwa dari analisis fakta lapangan terkait kawasan APL, peruntukannya lebih banyak untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Di kabupaten Sorong ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang memiliki izin HGU dan sudah beroperasi. APL memberikan peluang kepada munculnya izin-izin HGU perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya dari lokasi HGU, banyak kayu merbau bisa tumbang dan hilang dari lokasi itu dan ditemukan sudah dalam bentuk kayu eksport. Ada yang legal karena punya IPK dan Perjanjian Suplay Bahan Baku industry kayu dengan pihak perusahaan industry kayu. Tetapi, ada juga yang tidak mempunyai surat izin. Kebanyakan menggunakan modus Kayu Olahan Masyarakat sendiri.

Staff Advokasi dan Kampanye PFW, Jefry Duwit juga menjelaskan bahwa fakta pengelolaan hutan produksi lestari itu, terbukti sarat dengan perilaku Kejahatan Kehutanan, dimana terdapat sejumlah kasus illegal logging dan illegal trading yang semakin mengkhawatirkan di Papua Barat, termasuk di wilayah kabupaten Sorong. Kejahatan Kehutanan masih dan semakin marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim GAKKUM- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan di Pelabuhan Surabaya dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal yang diketahui berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua. Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang canggih dan terorganisir melibatkan banyak pihak, termasuk oknum-oknum yang diduga merupakan apparatus Negara baik sipil, militer maupun polisi.

Jefry menegaskan bahwa semua peraturan perundangan terkait pengelolaan kehutanan dan pengawasannya yang ada saat ini memang semakin memperketat dan menjamin tatakelola kehutanan yang baik. Namun, walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan dan taat aturan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH), akan tetapi “mafia kayu illegal” pun semakin menemukan modus-modus operandi yang baru dalam menjalankan usahanya.

“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang cangih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula”, kata Jefry.

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di kabupaten Sorong menurut Emma Malaseme, direktur PFW masih sangat tidak mendukung slogan kampanye besar dari Pemerintah Papua Barat tentang Provinsi Konservasi. Karena pengawasan dan pembinaan bahkan penanganan masalah lingkungan hidup terkait tindakan kejahatan kehutanan masih sangat lemah. Hutan semakin rusak karena kegiatan pembalakan liar. Papua Forest Watch dalam monitoring dan investigasinya sepanjang tahun 2018-2019 justru menemukan banyak fakta kegiatan illegal logging. Sayangnya penindakan sesuai prosedur hokum selalu saja masyarakat kecil yang hanya bekerja di situ karena dia mencari makan. Sementara cukong-cukong besar yang menjadi mafia sesungguhnya itu justru tidak diproses. Tidak mungkin tanpa izin, atau pemerintah tidak tahu kalau ada orang masuk tebang kayu dan memobilisasi kayu secara terang-terangan menggunakan kendaraan besar  membawa kayu lewat jalan umum atau mengeksportnya ke luar dari pulau Papua.

Aktivitas illegal logging yang semakin marak di kabupaten Sorong ini justru menambah semakin berkurangnya hutan alam. Kalau Hutan Papua dikampanyekan sebagai “Paru-paru dunia”, maka kebocoran paru-paru itu ada di Sorong, saat ini. Menurut saya, hutan-hutan alam yang tersisa saat ini, entah sebagai kawasan Hutan Lindung atau hutan adat, semestinya biar tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pengawasan ketat dan penindakan yang tegas kepada cukong-cukong pelaku pembalakan dan perdagangan kayu illegal. Kalau tidak ada langkah-langkah strategis untuk pemberantasan secara tuntas terhadap mafia kejahatan kehutanan di Sorong, maka cepat atau lambat hutan alam yang tersisa di kabupaten Sorong juga akan habis. Demikian catatan penting dari Emma Malaseme, direktur PFW dalam rangkaian kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Kota Sorong. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua