TIPUKA: Nasib Masa Dulu dan Masa Depan Orang Tipuka…..(2)


Saya mau bilang bahwa kawasan yang ditempati Suku Kamoro di kampung Tipuka itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Kamoro dan Amungme. Mari lanjutkan cerita. Sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka. Seperti yang telah saya gambarkan di serial sebelumnya bahwa Tipuka adalah salah satu kampung berada di kabupaten Mimika, provinsi Papua. Tipuka terletak di dataran rendah, persis bagian muara sungai di mana aliran pasir tailing dari hulu kali Ajkwa pun kandas di situ sejak 50 tahun lalu. Bisa dibayangkan, dari beberapa sungai akhirnya bermuara di Tipuka?

Hmmmm, belum lagi ceritanya Freeport mampu memproduksi tailing sebanyak 200ribu ton per hari. Coba tindis kalkulator sudah, 200.000 x 1000 (karena 1 ton = 1000 kg) dikalikan 366 hari trus dikalikan lagi dengan 50 tahun? Su dapat de pu hasil ka? Mama yooo, setumpukan itu? Ya itu tambang dia pu limbah yang dong bilang tai-ling.

Ohhh ya, selain kampung Tipuka, mungkin senasib juga orang Kamoro dan orang Amungme di kampung lainnya yang menempati dataran rendah hingga dataran tinggi di kawasan kekuasaan Freeport itu. Kampung lain yang berada di dataran rendah itu adalah kampung Ayuka, Koprapoka, Nayaro dan Nawaripi. Sedangkan kampung yang berada di dataran tinggi atau bagian hulu itu adalah kampung Banti, Arwanop dan Tsinga. Artinya ada 8 (delapan) kampung yang berada di sekitar kawasan kekuasaan PT Freeport Indonesia. Tetapi apabila karena dampak dari UU Desa No. 6/2014 dan ternyata jumlah kampung melebihi angka yang saya sebutkan, mohon maklum. Karena saya berkunjung terakhir di tahun 2015, dan tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 6 tahun terakhir. Semoga saja mereka tidak tergiur dengan semangat pemekaran kampung baru pasca pelaksanaan undang-undang desa.

Oh ya, saya tidak ingin kita terjebak dalam perdebatan angka perubahan, karena toh dari politik angka itu ternyata ekonomi masyarakat se-Tanah Papua masih menempati urutan tertinggi posisi berada di bawah garis kemiskinan. Belum tergantikan pula posisi itu di Indonesia, bahkan provinsi NTT dan Maluku masih lebih rendah posisinya ‘kan? Lho, koq bisa ya? Katanya Papua punya Freeport dan banyak emasnya pula? Belum lagi hasil alam lainnya di sector kehutanan, perkebunan dan kelautan? Aneh juga ya. Salahnya di mana ya. Ohhh Tuhan tolong. Achhh lupakan itu dulu, capek deh.

Mendingan kita cerita barang lain sudah. Seperti apa sih kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat di kampung Tipuka? Ya, namanya juga orang hidup di wilayah pantai, di muara sungai. Surganya adalah sungai dan laut. Surganya juga adalah dusun sagu dan hutan mangrove. Selebihnya jangan pernah bertanya, apakah orang-orang Tipuka semuanya bekerja di PT Freeport? Ya, wajarlah bertanya itu. Karena perusahaan raksasa ini berada di tempat mereka.

Namun yang saya tahu, orang Kamoro di kampung Tipuka itu juga turunan leluhur pencari ikan dan peramu hutan sesuai kebiasaan warisan leluhurnya, layaknya kehidupan orang pantai pada umumnya. Nelayan tradisional tepatnya menyebut matapencaharian orang-orang sekampung Tipuka. Sebagai nelayan tradisional dan peramu hasil hutan, tentu mati dan hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Dusun sagu, jangan ditanya lagi. Apalagi sungainya, kalau orang-orang tua cerita, katanya dulu masih zaman Belanda itu kapal-kapal bisa masuk sampai di bagian hilirnya. Wiiihhh, berarti dalam juga. Yooo, namanya juga muara, apalagi dataran rendah itu berarti rawa-rawa ganas punya yang dorang bilang lahan gambut.

Soal hasil apa yang diharapkan dari sungai dan laut di muara itu, saya mau bilang bahwa kawasan itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”. Saya membayangkan kira-kira kepiting itu besarnya bagaimana eee. Tapi itu hanya ada di saat sungai itu masih dalam, dan belum tertimbun oleh aliran pasir tailing dari pusat produksi emas dan tembaga oleh Freeport di bagian hulu.

Ya, Freeport lagi dan lagi-lagi Freeport selama 50 tahun lalu di tangan pemegang saham tertinggi, Amerika Serikat. Lain ceritanya klo 50 tahun ke depan di tangan Indonesia sebagai pemegang saham 51%, siapa tahu kondisi alam yang dirusak Amerika itu dikembalikan Indonesia ke wajah semulanya. Bisa, Tapi. Ya, optimis saja kawan. Barang apa jadi, karena memang saat ini sampai masa depan, kitorang wajib berpikir positif. Sekalipun “keperawanan” itu tak mungkin kembali lagi setelah dirusak secara paksa. Sayang achhh, trus masa depan orang Tipuka? Itu lagi. Ko jawab sendiri sudah, karena sa juga hati hancur kawan.***Koordinator JASOIL Tanah Papua