COP26: Ambisiusme Penyelamatan Iklim


Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan. Bahkan untuk menghadapi dampaknya, manusia harus berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim itu sendiri selain mengobral ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Kekhawatiran saya, Ambisi Iklim itu hanya untuk Uang dan Investasi ber kedok Green.

Oleh Pietsau Amafnini

Setelah Paris Accord disepakati pada tahun 2015, semua negara Utara dan Selatan anggota UNFCCC telah berkomitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Paris Accord bukan sekedar sebuah kesepakatan tanpa kewajiban. Paris Accord mewajibkan semua negara maju (utara) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan perubahan iklim dan dampaknya yang merupakan krisis berkepanjangan di negara-negara berkembang (selatan).

Indonesia merupakan salah satu dari semua negara UNFCCC yang telah menyatakan komitmennya terhadap iklim dalam dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution. Untuk diketahui, setelah ratifikasi Paris Accord pada tahun 2016, negara-negara UNFCCC telah menyerahkan dokumen INDC dimana mereka menegaskan kembali komitmennya untuk masa depan iklim planet ini, berkarbon rendah dan berketahanan iklim. Target bersamanya adalah mencapai Zero Emision pada 2050.

Apakah Indonesia juga berambisi dalam dokumen INDC untuk iklim? Tentu saja, walaupun upaya penurunan emisi gas rumah kaca itu masih wacana politik green belaka. Buktinya masih banyak lahan hutan tropis yang dibuka atau ditebang untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, mafia illegal logging masih marak, energi batu bara masih menjadi primadona, bahkan masyarakat adat masih terus kehilangan tanah adat dan segala potensi alam sebagai sumber-sumber penghidupan mereka untuk pembangunan investasi pengerukan tambang dan perkebunan skala besar. Ini artinya Indonesia juga salah satu penyumbang meningginya emisi gas rumah kaca di dunia.

Ambisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia justru akan menentukan apakah peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celsius seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, atau di bawah 1,5 derajat Celsius seduai hasil penelitian Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) pada 2018. Nah, apakah sudah ada upaya tertentu dari pemerintah negara Indonesia untuk mencapai ambisi ini? Sudah banyak, tapi dalam wacana poltik, dalam bentuk kebijakan, dan sekarang dalam bentuk Agenda GREEN dimana semua sector pembangunan wajib bersinergi untuk mencapai ambisi itu, Zero Emission di tahun 2050, bahkan lebih cepat lebih baik, 2030.

Pada dokumen INDC-Paris Accord, Indonesia berkomitmen untuk melakukan kegiatam-kegiatan strtegis dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 41 persen dibawah scenario bussines as usual. Komitmen ini direncanakan berlangsung hingga tahun 2030. Pertanyaannya adalah apakah kita yakin bahwa Zero Emission itu akan terwujud pada 2030? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Karena menurut hemat saya, komitmen ini belumlah cukup untuk menahan lajunya tingkat pemanasan global yang dibutuhkan untuk mencegah dampaknya berupa bencana-bencana yang kemungkinan jauh lebih besar dari upaya apapun yang dilakukan saat ini dan ke depan. Mengapa demikian? Ambisi iklim itu belum selaras, searah dan setindak antara rencana penurunan emisi dengan pembangunan Indonesia yang masih cenderung eksploitatif. Bahkan, batu bara masih menjadi energi yang terandalkan di Indonesia. Harapan saya, industry ekstraktif batu bara dan penggunaan energy berbahan bakar batu bara serta penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit juga harus dihentikan. Saya kira ini ambisi yang benar-benar nyata dan terukur hingga 2030.

Tidak hanya Indonesia. Negara-negara makmur di Uni Eropa juga tentu mempunyai ambisinya tersendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi Nol persen pada 2050. Bangsa Eropa pun sadari bahwa beberapa dampak perubahan iklim sudah dan sedang dirasakan hingga saat ini dan mungkin ke depan jauh lebih parah, dan itu tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat Eropa diminta juga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan memitigasi dampaknya. Mengapa? Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan.

Uni Eropa sendiri dalam INDC bersedia untuk berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca 55 persen pada 2030. Sementara China, India, Arab Saudi dan Turky mereka bertanggung jawab atas penurunan emisi 33 persen. Namun demikian, dari 191 negara pengikut Paris Accord hanya 113 negara yang mempunyai komitmen jelas untuk iklim. Belum lagi Pemerintah Amerika Serikat yang menolak menandatangani Paris Accord itu. Tetapi posisi Amerika Serikat untuk iklim saat ini sudah diperbaiki oleh Presiden Biden yang menghadiri COP26 di Glasgow dan menyatakan dukungan ambisius negaranya untuk penurunan emisi gas rumah kaca dengan alasan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Negara-negara yang belum membaharui komitmen mereka pun akhirnya bersedia melakukan berbagai upaya dengan targetnya masing-masing untuk menurunkan emisi pada tahun 2030 untuk mendukung ambisi bersama pencapaian Zero Emission tahun 2050. Harapan saya untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah semoga mereka berhenti mengimpor batu bara, berhenti menggunakan batu bara sebagai energy listrik dan juga berhenti mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Ini baru namanya ambisi yang nyata dan terukur.

Tentang kesiapan Indonesia, pemerintah era Jokowi periode ke-2 ini telah menetapkan Peta Jalan (roadmap) Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030. Roadmap ini telah tertuang pula dalam pembaharuan dokumen INDC yang diajukan di COP26, bahkan aksi nyatanya berupa Program Kampung Iklim, Restorasi Mangrove dan Agroforestry Perhutanan Sosial. Program-program kerja ini dilakukan sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Persoalannya siapa yang akan bekerja? Pemerintah perlu mengintegrasikan program kerja adaptasi iklim dengan pihak pemerintah daerah, sector swasta, masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat local di tingkat kampung.

Saya hanya mengkhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim di atas, ada kemungkinan munculnya berbagai kepentingan yang akan terus membuat nasib masyarakat adat semakin tak tentu disamping sebagai bagian dari dampak perubahan iklim itu sendiri. Mengapa? Karena Ambisi Iklim itu adalah untuk Uang dan Investasi berlabel kedok Green, sedangkan perilaku Korupsi dan Kekerasan masih membudaya di Indonesia.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

Tinggalkan komentar