COP26: Catatan Akhir Dari Glasgow


Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Oleh Pietsau Amafnini

Sebuah proses dari Konferensi Perubahan Iklim Dunia sudah selesai pada 12 Novemver 2021. Glasgow adalah sebuah kota di Skotlandia, Inggris Raya telah menjadi saksi atas pelaksanaan COP26 yang dihadiri 197 negara anggota UNFCCC. Para pimpinan negara sedunia mungkin pulang dengan bangga bahwa masing-masing mereka telah mempresentasikan ambisinya untuk menanggulangi perubahan iklim. Ya, mereka pun tentu bahagia karena bisa bertemu dan berkomunikasi satu sama lain diantara mereka yang mendapat kepercayaan rakyat di negaranya sebagai pemimpin.

Namun tentu tidak demikian bagi gerakan masyarakat sipil dari kalangan CSO dan komunitas masyarakat adat. Bagi mereka, hasil COP26 masih jauh dari harapan. Perubahan iklim dan terutama dampak dari pemanasan global ini sudah seharusnya membutuhkan aksi-aksi nyata, bukan lagi komitmen politik ekonomi perdagangan karbon. Salah satu yang menjadi harapan CSO adalah komitmen tegas dari para pemimpin dunia di COP26 bahwa sudah saatnya berhenti menggunakan energy dari batu bara, dan berhenti mengeksploitasi sumberdaya alam, termasuk perusakan hutan alam.

Akhirnya komitmen Glasgow masih “janji tinggal janji” untuk dibicarakan lagi pada COP berikutnya yang disepakati akan dilaksanakan COP27 di Mesir pada tahun 2022 mendatang. Dinamika politik jauh lebih dominan daripada komitmen nyata untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Memang suhu bumi semakin meningkat, bahkan dampak perubahan iklim itu sudah nyata terjadi hampir di seluruh dunia. Kekeringan, kebanjiran, kelongsoran tanah hingga naiknya permukaan air laut adalah dampak dari perubahan iklim itu. Namun keputusan Glasgow ternyata masih berupa janji-janji yang tidak mengikat.

Terlepas dari semua itu, sejumlah hal penting walaupun masih dianggap sebagai ‘kesepakatan lemah’ menjadi rumusan utama sebagai hasil COP26 di Glasgow. Sedikitnya ada 12 point yang menurut saya penting sebagai acuan untuk dibicarakan lagi pada COP27 di Mesir. Sebanyak 197 negara di Glasgow, Skotlandia telah mengadopsi dokumen yang dikenal sebagai Pakta Iklim Glasgow atau Glasgow Climate Pact. Pakta ini meminta 197 negara untuk melaporkan peningkatan ambisi iklim mereka pada COP27 di Mesir. Meski mengecewakan karena tidak ada hal yang memuaskan dari Glasgow, namun UNFCCC mengklaim bahwa Glasgow Pact justru memperkuat kesepakatan global untuk mempercepat aksi iklim dalam dekade ini.

Ke-12 point ‘kesepakatan lemah’ tersebut adalah: 1) Glasgow Leaders Declaration on Forest and Land Use dimana 141 negara (per tanggal 12 November 2021) yang mewakili sekitar 90,94% hutan dunia telah berjanji untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi pada tahun 2030; 2) Secara spesifik para pemimpin dunia berjanji untuk memfasilitasi kebijakan perdagangan dan pembangunan secara internasional maupun domestik yang mendorong pembangunan berkelanjutan, produksi dan konsumsi komoditas berkelanjutan demi keuntungan bersama negara, dan yang tidak mendorong deforestasi dan degradasi lahan; 3) Ada juga janji untuk mengurangi emisi metana, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, di mana lebih dari 100 negara sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ini pada tahun 2030; 4) Sementara itu, lebih dari 40 negara – termasuk pengguna batu bara utama seperti Polandia, Vietnam dan Chili – sepakat untuk beralih dari batu bara, salah satu penghasil emisi CO2 terbesar walau dengan tenggat waktu yang berbeda-beda; 5) Dari sektor swasta, hampir 500 perusahaan jasa keuangan global setuju untuk “menyelaraskan” dana $130 triliun – sekitar 40 persen dari aset keuangan dunia – agar penggunaannya sejalan dengan tujuan yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, termasuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius; 6) Juga, yang mengejutkan bagi banyak orang, Amerika Serikat dan China berjanji untuk meningkatkan kerja sama iklim dalam 10 tahun ke depan. Mereka memgeluarkan deklarasi bersama dan setuju untuk beraksi mengurangi emisi termasuk emisi metana, melakukan transisi ke energi bersih dan dekarbonisasi. Mereka juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk menjaga target 1.5°C sesuai Persetujuan Paris bisa tercapai; 7) Terkait transportasi hijau, lebih dari 100 pemangku kepentingan, termasuk negara, kota, negara bagian, dan perusahaan besar menandatangani Deklarasi Glasgow dimana mereka akan mengakhiri penjualan kendaraan dengan pembakaran internal pada tahun 2035 di pasar utama, dan pada tahun 2040 di seluruh dunia. Setidaknya 13 negara juga berkomitmen untuk mengakhiri penjualan kendaraan berat berbahan bakar fosil pada tahun 2040; 8) Komitmen yang ‘lebih kecil’ namun sama-sama menginspirasi datang dari 11 negara yang menciptakan Beyond Oil and Gas Alliance (BOGA). Irlandia, Prancis, Denmark, dan Costa Rica, serta beberapa pemerintah daerah, meluncurkan aliansi pertama untuk menetapkan batas akhir (deadline) kegiatan eksplorasi dan ekstraksi minyak dan gas nasional; 9) Terkait adaptasi perubahan iklim, para pihak membentuk program kerja adaptasi global, yang akan mengidentifikasi kebutuhan dan solusi kolektif untuk krisis iklim yang telah merugikan banyak negara. Caranya adalah dengan memperkuat “The Santiago Network” guna mengatasi dan mengelola klausul kerugian dan kerusakan atau loss and damage; 10) Masalah pendanaan dibahas secara ekstensif sepanjang COP26 dan telah tercipta konsensus perlunya untuk terus meningkatkan dukungan pada negara-negara berkembang. Seruan untuk setidaknya menggandakan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim disambut baik oleh para pihak. Komitmen dana mitigasi perubahan iklim meningkat dari USD 129 juta di COP24 di Katowice, Polandia menjadi USD 356 juta di COP26. Walau target pendanaan belum tercapai, COP26 juga menegaskan kembali kewajiban negara maju untuk memenuhi janji mereka memberikan bantuan USD 100 miliar setiap tahun ke negara berkembang; 11) Terkait mitigasi, COP26 mengidentifikasi dengan jelas kesenjangan pengurangan emisi GRK yang belum tercapai dan meminta para pihak bersama-sama bekerja mengurangi kesenjangan itu sehingga bisa membatasi kenaikan suhu rata-rata hingga 1.5°C. Para pihak juga didorong untuk memperkuat aksi pengurangan emisi mereka dan menyelaraskan janji NDC mereka dengan Persetujuan Paris; dan 12) Terakhir, secara teknis, COP26 berhasil menyepakati “Paris Rulebook” yang menjadi dasar pelaksanaan Persetujuan Paris. Di dalamnya tercakup norma-norma mendasar terkait Article 6 atau Pasal 6 tentang pasar karbon, yang akan membuat Perjanjian Paris beroperasi penuh. Article 6 memberikan kepastian dan prediktabilitas – baik pendekatan pasar maupun non-pasar – dalam mendukung aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Negosiasi terkait Kerangka Transparansi yang Disempurnakan atau “Enhanced Transparency Framework” juga telah diselesaikan, sehingga negara bisa memiliki panduan untuk memperhitungkan dan melaporkan target dan emisi.

Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Selebihnya, saya kira sebagai manusia, tentu perlu menyadari bahwa kita adalah bagian dari alam yang sama di planet bumi ini. Kita semua dituntut untuk memperlakukan lingkungan alam di sekitar kita secara adil dan bijaksana. Sebab bencana alam selalu akan datang kapan saja. Kesadaran itu perlu ada dan masing-masing kita dapat melakukan tindakan nyata untuk mencegah sekaligus menyelamatkan diri dari setiap jenis bencana yang timbul sebagai akibat dari perubahan iklim.

Nah bagaimana dengan komitmen dan kesiapan Indonesia sendiri untuk melaksanakan apa yang menjadi komitmennya untuk iklim? Pada tulisan-tulisan sebelumnya, saya sudah mengulas tentang apa yang bisa diharapkan dari Indonesia dalam hal upaya mitigasi dan adaptasi iklim sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC). Yang jelas sehebat apapun ambisi pemerintah Indonesia untuk menunjukkan diri pada dunia internasional terkait sikap dan peran aktifnya terhadap iklim, tak mungkin mencapai ambisi itu tanpa anggaran (uang). Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menyatakan bahwa pemerintah membutuhkan biaya sebesar Rp. 3.461,31 Triliun untuk mitigasi perubahan iklim periode 2020 – 2030.

Kebutuhan pendanaan ini semakin meningkat sebab Roadmap NDC Mitigasi Indonesia pada 2020 estimasinya mencapai Rp.3.799,63 triliun pada 2020-2030. Perinciannya, Rp.3,500 triliun dibutuhkan sektor energi dan transportasi. Diantaranya untuk menjalankan program renewable energy dan pensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Sedangkan sisanya Rp.181,40 Triliun untuk limbah, Rp.93,28 Triliun untuk kehutanan, dan Rp.4,04 triliun untuk pertanian. Ya tentu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sementara pemerintah sendiri hanya bisa menyiapkan 27 persen dari total kebutuhan anggaran itu, sehingga sisanya diharapkan dukungan dari sector swasta dan dukungan negara-negara maju sesuai Paris Accord.

Salah satu langkah perhatian dari sector swasta dari negara maju untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan NDC adalah Chief Executive Officer (CEO) Forum yang sudah berkomitmen dengan Presiden Jokowi di Glasgow pada 1 November 2021. CEOs Forum Inggris ini berkomitmen untuk menginvest USD 9,29 Miliar di Indonesia. Salah satu investor dari CEOs Forum ini adalah British Petroleum (BP). Bahkan sejauh ini sudah ada USD 35 Miliar investasi yang sudah terkomitmen dan juga sedang berjalan dalam mata rantai baterai dan kendaraan listrik.

Dari sisi kebijakan, Indonesia sudah memiliki aturan berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang instrument nilai ekonomi karbon yang mengatur mekanisme perdagangan karbon. Dengan adanya Perpres ini, justru diharapkan mekanisme pasar karbon dapat dikelola dengan baik. Perpres No. 98 tahun 2021 yang diberlakukan sejak 29 Oktober 2021, atau 2 hari sebelum KTT G20 di Roma, Italia. Bahkan sector swasta di Indonesia pun sudah menjemput bola penyelamatan iklim dengan memanfaatkan peluang kebijakan Perpres 98 tersebut, yakni Melchor Group (PT. Melchor Tiara Pratama) dan Medco Group telah melakukan MoU pengelolaan hutan seluas 180.000 hektar di Tanah Papua. Penandatanganan MoU tersebut dilakukan oleh Rudi Poespoprodjo selaku Pimpinan Melchor Group dan Hilmi Panigoro selaku Pimpinan Medco Group. Proses MoU ini disaksikan Arifin Panigoro (pendiri Medco Group) dan Peter Gontha (pendiri Melchor Group).

Selain itu, di sektor energi, Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari pembangkit-pembangkit batubara dan menggantikannya dengan energi terbarukan. Pemerintah telah mengidentifikasi ada 5,5 GW PLTU batubara yang bisa masuk dalam proyek ini dengan kebutuhan pendanaan sebesar USD 25-30 Miliar selama 8 tahun ke depan. Indonesia akan mengalihkan pembangkit batubara dengan renewable energy pada tahun 2040, dengan catatan jika terdapat kerja sama, teknologi, nilai keekonomian yang layak, dan pendanaan internasional yang membantu transisi energi tersebut. Indonesia juga memiliki potensi pengembangan kendaraan dan baterai listrik, karena kekayaan mineral di Indonesia seperti nikel, tembaga dan bauksit/alumunium sangat potensial tersedia. Wowwww, memang Indonesia boleh. Semoga bukan hanya sekedar pemanis sesaat saja di bibir ini. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

Tinggalkan komentar