TIPUKA: Orang Kamoro Mampu Beradaptasi Dengan Tailing Freeport……..(6)


Orang Tipuka masih terus berjuang untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka juga bisa hidup layak, sekalipun tanpa dukungan perusahaan dan dukungan pemerintah. Yang terpenting bagi mereka adalah kondisi alam di wilayah adat mereka bisa dikembalikan seperti semulanya. Tapi tak seoramg pun akan bersuara, apalagi memberontak. Banyak label bisa membawa mereka hingga penjara dan pemakaman. Beradaptasi dengan tailing jadi pilihan. Seperti lagu de bilang “ko diam, ko aman”.

Oleh Pietsau Amafnini

Orang yang berada di luar wilayah kabupaten Timika, bahkan orang yang berada di luar Tanah Papua selalu beranggapan bahwa manusia di daerah tempat beroperasinya PT Freeport Indonesia hidup mewah, kaya-raya dan berkelimpahan. Tidak hanya pada masyarakat biasa, tetapi juga pemerintah pun beranggapan demikian. Namun yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, bahwa dimana ada perusahaan besar di sector pertambangan, tentu banyak masalahnya, bahkan masyarakat adat setempat selalu bernasib buruk. Selebihnya saya ingin memberitahu anda bahwa daerah dimana terdapat banyak kekayaan sumberdaya alam pasti jadi rebutan, dan tempat di mana ada perusahaan pertambangan emas dan lain sebagainya, pasti banyak masalah seputar kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Masalah pokok di sekitar lokasi tambang PT Freeport adalah pembuangan tailing yang langsung ke sungai dimana sungai adalah wilayah hidupnya masyarakat adat setempat. Kampung Tipuka berada di dataran rendah, muara sungai. Itu artinya mereka yang paling menanggung resiko atas kerusakan alam dan sumber penghidupan mereka. Sedih. Sementara banyak orang di luar Papua selalu bangga dengan perhiasan emas yang dibelinya dari toko perhiasan. Sedangkan orang asli Papua yang memiliki tempat dimana emas itu digaruk, justru bernasib buruk karena harus berjuang untuk hidup beradaptasi dengan limbah tailing dari Freeport sejak lahir. Belum masalah lainnya seperti tekanan, intimidasi dan terror berdimensi hak asasi manusia.

Setidaknya ada sebanyak sembilan sungai di muara yang mengalami pendangkalan. Kesembilan sungai itu antara lain: Sungai Ajikwa, Sungai Moare, Sungai Wania, Sungai Atuka, Sungai Ipa, Sungai Kekwa, Sungai Kokonao, dan Sungai Otakwa. Pendangkalan sungai menyebabkan kualitas air menurun dan mencemari potensi hidupan perairan sungai. Dampak-dampak akibat pendangkalan yang terjadi sekarang ini adalah ikan-ikan di sungai cepat busuk, sungai sudah tidak dapat dilayari oleh perahu motor. Pasalnya, tailing hasil produksi berasal dan penambangan terbuka di Grasberg dan penambangan bawah tanah di wilayah timur tambang terbuka Ertsberg yakni di Intermediate Ore Zone (IOZ) dan Deep Ore Zone(DOZ). Timbunan limbah terlihat pula di sekitar lubang tambang terbuka di lembah Cartenz, Grasberg Barat dan Lembah Wanagong. Seluruh proses penambangan hingga pemisahan logam-logam yang bernilai ekonomis itu ternyata lebih banyak memproduksi pula limbah tailling.

Tantangan bagi masyarakat adat pemukim di daerah-daerah muara sungai adalah harus beradaptasi dengan kondisi terkini dimana ruang hidup dan sumber penghidupan mereka menjadi rusak akibat tailing. Setidaknya pemgalaman masyarakat adat suku Kamoro di Kampung Tipuka Mimika Timur ini menjadi salah satu fakta kehidupan yang menyedihkan di Lingkungan Industri PT Freeport Indonesia yang selalu dibanggakan oleh Pemerintah Indonesia. Berbagai macam resiko dampak tailing itu harus ditanggung oleh mereka selama sepanjang setengah abad ini. Tidak hanya urusan limbah tailing, tapi sejak awal keberadaan Freeport dan Indonesia di wilayah adat Kamoro dan Amungme di Timika, masyarakat adat setempat pun harus menanggung berbagai tekanan, intimidasi dan terror hingga kekerasan berdimensi hak asasi manusia. Bila mereka bersuara untuk meminta keadilan, mereka pun gampang dituding sebagai penghambat pembangunan dengan label separatis dan teroris yang pada akhirnya berujung pada penjara dan pemakaman. Seperti lagu kekinian dari anak-anak Papua sendiri bilang: “Ko diam, ko aman” (kau diam, kau aman), maka mereka pun memilih beradaptasi dengan tailing Freeport yang sudah merusak ruang sumber penghidupan mereka.

Mungkin saja banyak orang pintar yang melakukan penelitian di sana, belum lagi penelitian yang difasilitasi oleh perusahaan dan pemerintah. Mereka tentu melaporkan hal yang baik-baik saja, bahkan semakin berusaha untuk meyakinkan masyarakat umum, bahkan khusus bagi masyarakat adat setempat bahwa limbah tailing tak beracun. Namun, masyarakat adat Kamoro yang hari-hari hidupnya berada bersama ruang hidupnya di kampung Tipuka justru berpendapat lain. Saya lebih percaya mereka, karena merekalah yang merasakan itu dari hari ke hari, bahkan generasi berganti generasi. Bagi mereka, limbah yang mencemari sungai sudah sangat berpengaruh pada biota air sungai, sehingga mereka selalu akan bilang bahwa hasil tangkapan ikan harus segera dimasak karena kalau terlambat akan cepat membusuk. Ya, pernyataan orang sederhana tentu bertolak pada kenyataan yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari, bukan seperti para peneliti yang datang sesaat dan pergi selamanya.

Seperti yang saya sudah ulas pada serial-serial sebelumnya bahwa masyarakat adat suku Kamoro di Tipuka pada umumnya berprofesi nelayan tradisional. Wilayah adat bahkan ruang hidup mereka adalah dataran rendah dimana mereka bergantungkan hidup pada potensi alam yang ada di hutan mangrove, hutan sagu, dan muara sungai. Dalam hal ekonomi, memang masyarakat Tipuka merupakan komunitas masyarakat yang relatif tertinggal. Ya, tidak hanya tertinggal secara ekonomi, tetapi juga sosial, dan budaya. Tidak berarti bahwa Freeport berada di wilayah mereka, terus semua orang di sekitarnya jadi makmur. Bahkan jika kita kembali membuka lembaran sejarahnya perjuangan masyarakat adat suku Kamoro dan Amungme menuntut keadilan terkait keberadaan Freeport sepanjang 50-an tahun, sangat menyedihkan.

Emas dan tembaga yang digali dari tanah Amungsa dan dibawa ke Amerika atau entah kemana rimbanya, ternyata meninggalkan limbah tailing yang telah merusak dan menghancurkan kehidupan manusia di sekitar wilayah operasi perusahaan itu. Keadaan alam yang sudah tercemar limbah tailing dari PT Freeport Indonesia menambah beban dalam mata pencaharian sebagai nelayan dengan berkurangnya hasil tangkapan ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, dan rendahnya sumber daya manusia karena kurangnya perhatian dari perusahaan dan juga pemerintah di sisi lainnya. Di kampung Tipuka, sebagian besar penduduknya hanya lulus sekolah dasar, bahkan tidak sempat tamat sekolah dasar. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Pada serial sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Tipuka adalah komunitas nelayan tradisional yang tidak bisa hidup tanpa sagu, perahu dan kali (sungai). Beberapa kaum muda pernah mencoba untuk bekerja di kota, tetapi tidak satu pun diterima di toko, hotel atau rumah makan. Setidaknya mereka sudah mencoba untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak seperti orang-orang pendatang yang memadati kota Timika. Tetapi nasib anak-anak muda itu tidak beruntung, apakah karena mereka tidak dipercaya atau karena mereka tidak mempunyai keahlian tertentu? Ya, setidaknya tukang sapu tidak mengharuskan lulusan sarjana ilmu kebersihan lingkungan. Sedangkan di Freeport, hanya beberapa orang yang bekerja di sana, tetapi bukan pengurus kantor perusahaan.

Ya, mereka masih terus berjuang untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka juga bisa hidup layak, sekalipun tanpa dukungan perusahaan dan dukungan pemerintah. Yang terpenting bagi mereka adalah kondisi alam di wilayah adat mereka bisa dikembalikan seperti semulanya. Mungkin ini hanya sebuah harapan yang tak pasti, tetapi sebagai komunitas adat nelayan tradisional, mereka tentu ingin tetap menjaga kelestarian alam yang yang menjadi sumber penghidupan mereka, sekaligus tetap melestarikan budaya warisan leluhur mereka. Sebab, Freeport bukan milik mereka.

Namun terdapat sesuatu yang menarik di kampung Tipuka dan bisa menjadi pelajaran bagi semua orang di dunia. Apakah itu? Anda membayangkan betapa hebatnya orang Kamoro di kampung Tipuka yang sudah 50-an tahun hidup di daerah muara tailing Freeport. Mereka mampu beradaptasi dengan masalah tailing itu. Mereka sanggup bertahan hidup dalam situasi berbagai tekanan fisik dan psikis. Mereka sanggup menahan diri untuk tidak memberontak melawan penyebab pencemaran sungai yang menjadi sumber penghidupan mereka. Mereka sanggup untuk tetap tinggal menetap di wilayah adat warisan leluhur. Singkatnya, orang Kamoro sanggup menanggung semua resiko sejak awal keberadaannya Freeport dan Indonesia di wilayah adat mereka. Apa sih resepnya? Mungkin saja rahasianya adalah “Ko diam, ko aman”. Selamat datang di kampung Tipuka. Nimaome – Amole. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

Tinggalkan komentar