Pelaksanaan UU Desa No.6/2014 tidak hanya untuk kemandirian pemerintahan desa dalam kebijakan pembangunan desa. Karena Nyawa UU Desa itu ada di BUMDes yang lahir dari semangat kemandirian desa sesuai mandate UU Desa (baca: Otonomi Desa). Makna kemandirian itu sendiri menyasar dua bidang yaitu mandiri dalam keuangan, serta mandiri dalam mengelola pemerintahan. Seiring dengan diberikannya kebebasan kepada pemerintah desa untuk mengelola sendiri urusan internalnya, berdampak pada beban keuangan yang juga harus dipikul oleh pemerintah desa. BUMDes hadir dalam rangka menyasar kemandirian dibidang keuangan desa. Lembaga ini diproyeksikan untuk turut membantu pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa (PAD) untuk kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Namun tidaklah berarti, BUMDes adalah “MESIN UANG” semata.
Oleh Pietsau Amafnini
Memang, tentu butuh banyak energy terkuras bila pembangunan harus didorong dari pinggiran dan pelosok-pelosok agar memperkuat Indonesia dari kemajuan daerah-daerah. Impian bahwa kemiskinan harus terhapuskan dari bumi Indonesia dengan strategi ‘membangun Indonesia dari desa’. Namun, kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena multidimensional yang disebabkan tidak saja oleh faktor ekonomi, tetapi juga keterbatasan akses terhadap layanan dasar dan ketidak-terpenuhinya pelayanan dasar itu. UU Desa No.6/2014 sudah menjadi peluang menuju Indonesia yang jauh lebih baik dan mandiri secara ekonomi. Bahkan sejak awal, para pendiri bangsa dan Negara ini sudah bergumul dengan aspek kemandirian ekonomi itu.
Muhammad Hatta dalam konsepnya tentang Koperasi justru menekankan kemandirian bangsa dan Negara ini hanya melalui pertumbuhan ekonomi kerakyatan dengan prinsip kegotong-royongan sebagai modal social pembangunan. Namun, kenyataan menjadi lain bahwa kini usia Indonesia yang ke-73 tahun pun bangsa dan Negara ini hidup dari Utang Luar Negeri. Lantas sampai kapankah kemandirian itu bisa nampak? Ternyata kemerdekaan itu hanya sebuah kedaulatan politik, tetapi tidak dalam hal kemandirian ekonomi. Buktinya, kebanyakan investasi asing yang menguasai ‘lahan’ Indonesia. Tidak hanya itu, urusan tenaga kerja pun dikuasai oleh asing. Nah, rupanya untuk mewujudkan “desa memajukan Negara”, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi tidaklah berarti bahwa itu cuman slogan semata. Ada kemajuan, tetapi tidak seberapa. Ada perubahan, tetapi masih samar-samar. Bahkan kita harus berusaha untuk keluar dari lilitan utang luar negeri, dan juga ketergantungan pada product import dari luar negeri.
Jika konsep koperasi dimaksudkan untuk mendorong kemandirian ekonomi bangsa, maka sekiranya konsep BUMdes merupakan wadah usaha dengan tujuan yang sama dimulai dari desa. Sama-sama kelembagaan ekonomi. Bedanya, koperasi berbasis anggota dan bermodalkan sumbangan anggota. Sedangkan BUMDes berbasis masyarakat desa, bermodalkan dana dari ADD yang bersumber dari APBN. Dilihat dari tujuannya secara garis besar memang sama antara koperasi dan BUMDes, tetapi ada perbedaan prinsip antara koperasi dan BUMDes. Dalam bentuk BUMdes ada kemitraan antara pemerintah desa dengan mayarakat yang meletakan kekuasaan tertinggi pada musyawarah desa, berbeda dengan koperasi. Koperasi adalah kelembagaan ekonomi yang didirikan oleh beberapa orang yang mempunyai tujuan yang sama, kekuasaan tertinggi ada pada rapat anggota. Modal BUMDes menggunakan dana desa dari pemerintah pusat yang diberikan untuk desa. Dengan bantuan modal dari pemerintah pusat, BUMDes bisa mengelola potensi-potensi yang ada di desa untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan upaya mengatasi kesenjangan ekonomi yang tercipta antara desa dan kota.
Dalam rangka mengatasi kesenjangan antar wilayah dan antara desa dan kota, pemerintah menerapkan paradigma “Membangun dari Pinggiran” yang berarti membangun daerah-daerah tertinggal dan kawasan-kawasan perdesaan. Pemerintah percaya pembangunan berbasis perdesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan antarwilayah. Sebagai solusi bagi perubahan sosial, desa mempunyai posisi strategis sebagai basis perubahan.
Pertumbuhan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat serta perubahan struktur perekonomian Indonesia memiliki dua konsekuensi penting yaitu; pertama, penduduk golongan menengah ke bawah semakin membutuhkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif; dan kedua, adanya potensi meningkatnya kesenjangan antar kelompok berpendapatan rendah dan menengah ke atas. Sistem perlindungan sosial diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar bagi penduduk yang kurang mampu serta menjaga mereka dari guncangan sosial ekonomi yang mungkin terjadi. Dalam mengurangi kesenjangan ekonomi, perlu perluasan akses terhadap kesempatan lapangan kerja dan sumber-sumber kegiatan ekonomi setempat.
Dalam konteks itu maka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi harus digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan karena dipandang memberi peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Infrastruktur desa, seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan, kesehatan dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan, harus menjadi lebih baik dan merata sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang.
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan Lembaga Usaha Desa yang dikelola oleh masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Pendirian BUMDes harus didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDes dibangun atas dasar prakarsa masyarakat, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, transparansi, emansipatif, akuntabel, dan sustainabel dengan mekanisme member-base and self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional dan mandiri.
Selain itu yang perlu diingat adalah BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution). BUMDes sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan. Tentu butuh ketekunan dan keuletas tersendiri, selain semangat kebersamaan dan kekompakan dalam upaya mengembangkan usaha-usaha kreatif yang menjadi bagian dari impian bersama untuk mewujudkan perubahan-perubahan di perdesaan.
Untuk dibedakan dari kelembagaan lainnya, BUMDes sendiri memiliki cirri khas tertentu, yakni: dimiliki oleh desa dan dikelola bersama oleh masyarakat desa; modal bersumber dari desa sebesar 51% dan dari masyarakat sebesar 49% melalui penyertaan modal (saham atau andil); operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya local; bidang usaha yang dijalankan berdasarkan pada potensi dan informasi pasar; keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat melalui kebijakan desa; Difasilitasi oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintahan desa; selanjutnya operasionalisasi dikontrol secara bersama oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), Pemerintah Desa dan Anggota.
Tentu ada tujuannya, bahwa pendirian BUMDes dimaksudkan untuk: meningkatkan perekonomian desa; meningkatkan Pendapatan Asli Desa; meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa. Nah, untuk bisa mencapai empat tujuan BUMDes di atas tentu harus dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan barang dan jasa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (pihak luar desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan sesuai standar pasar. Artinya perlu ada mekanisme kelembagaan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi pedesaan disebabkan oleh usaha BUMDes.
Apa yang dimaksud dengan ”kebutuhan dan potensi desa” adalah: kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok; tersedia sumber daya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar; tersedia sumber daya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat; adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi. Apa yang dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi desa seperti antara lain: usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis lainnya; penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa; perdagangan hasil pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan agrobisnis; industri dan kerajinan rakyat.
Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai badan hukum yang berpijak pada tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa.
Sebagaimana kita ketahui BUMDes merupakan lembaga yang baru hadir dari adanya semangat kemandirian desa. Makna kemandirian itu sendiri menyasar dua bidang yaitu mandiri dalam keuangan serta mandiri dalam mengelola pemerintahan. Seiring dengan diberikannya kebebasan kepada pemerintah desa untuk mengelola sendiri urusan internalnya, berdampak pada beban keuangan yang juga harus dipikul oleh pemerintah desa. BUMDes hadir dalam rangka menyasar kemandirian dibidang keuangan desa. Lembaga ini diproyeksikan untuk turut membantu pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa untuk kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.
Akan tetapi disisi lain BUMDes juga mendapat tanggungjawab untuk melaksanakan tujuan sosialnya yaitu melaksanakan aspek pemberdayaan kepada masyarakat desa. Tujuan sosial ini lebih cenderung untuk menjaga agar nantinya BUMDes tidak semata-mata hanya mengejar nilai profit, tetapi juga mampu memberikan dampak secara nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Selain itu harus disadari bahwa, BUMDes hadir di wilayah pedesaan yang memiliki ikatan sosial budaya yang kuat, dimana masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai adat. Hal itu pula yang mengharuskan BUMDes menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa. Artinya, apa yang masih tak mungkin dilakukan karena tak menjadi kebutuhan mereka, jangan dipaksakan. Misalnya yang dibutuhkan adalah pengembangan sector pertanian daripada pengelolaan warung makan atau kios sembako karena kekhawatiran manajement, maka sebaiknya mengutamakan sector pertanian.
BUMDes sebagai kelembagaan ekonomi, memiliki dua tujuan besar yaitu mengejar profit untuk peningkatan pendapatan asli desa dan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat. Kedua tujuan tersebut kemudian menjadi acuan utama dalam mengelola BUMDes. Akan tetapi menjadi sulit ketika dalam prakteknya kedua tujuan utama dibenturkan. Hal ini dikarenakan kedua tujuan tersebut bertolak belakang. BUMDes tidak bisa disamakan dengan logika pengelolaan layaknya bumn yang memang mengejar profit sebesar-besarnya, ataupun dengan konsep pengelolaan layaknya LSM yang mengutamakan fungsi pemberdayaan kepada masyarakat daripada mengejar profitnya. Artinya, menggabungkan dua tujuan besar ini bukanlah hal yang mudah, dan memang masih menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah desa untuk merumuskan konsep pengelolaan BUMDes yang ideal.
Salah satu solusi yang dapat dilaksanakan adalah dengan merumuskan anak usaha BUMDes yang menyentuh aspek pemberdayaan di dalamnya. Sebagai contoh, anak usaha BUMDes yang mengelola pasar desa. BUMDes selain memungut retribusi terhadap pedagang di pasar desa, juga dapat memberikan pelatihan manajemen usaha yang baik, atau menerapkan SOP yang jelas dalam kegiatan jual beli di pasar desa. Sehingga secara tidak langsung, selain mendapatkan keuntungan dalam memungut retribusi di pasar desa, masyarakat juga mendapat tambahan wawasan mengenai cara mengelola dagangannya dengan baik serta pemahaman mengenai transaksi dagang di pasar. Hal ini bisa menjadi contoh sederhana bagaimana menggabungkan dua tujuan besar BUMDes dilaksanakan dalam satu kegiatan.
Solusi lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah dengan melibatkan langsung atau merekrut warga desa sebagai karyawan dalam anak usaha BUMDes. Nantinya ketika mereka sudah direkrut kemudian dilakukan peningkatan kemampuan khususnya dalam dunia kerja. Sehingga diharapakan nantinya anak usaha BUMDes akan berjalan dan mendapat profit. Tetapi di sisi lainnya, warga desa yang terlibat langsung dalam usaha tersebut bertambah wawasan dan kemampuannya dalam dunia kerja. Strategi ini juga menjamin bahwa masyarakat di desa diberi ruang bagi pemerintah desa untuk dapat terlibat langsung dalam mengelola BUMDes sesuai peran dan fungsi yang diberikan.
Memang bukan hal yang mudah dalam mengelola BUMDes. Apalagi dengan tanggungjawab yang cukup besar. Akan tetapi tidak perlu jadi pesimis. Harus selalu optimis untuk perubahan. Kenapa orang lain bisa dan kita tidak bisa. Untuk itulah, maka diperlukan kreatifitas dan keberanian dalam mengelola BUMDes sehingga kelak menjadi lembaga yang memberi manfaat yang nyata bagi masyarakat di desa. Salah satu yang menghambat berkembangnya BUMDes sebagai unit usaha milik desa adalah karena sebagian kepala desa beranggapan bahwa BUMDes harus menjalankan fugsinya sebagai Mesin Uang. Akibatnya, banyak BUMDes menjalankan usaha yang justru mematikan usaha warga dan sebagian lagi segera mati karena tak mampu menjalankannya. Padahal dana terlanjur mengucur sebagai modalnya. Prinsip BUMDes sebagai Mesin Uang boleh menjadi semangat pengelolaan usaha, tetapi tidak dimaksudkan untuk BUMDes dapat mematikan usaha dan kreatifitas individu setiap anggota masyarakat di desa. Justru sebaliknya BUMDes harus membantu memberikan dukungan agar semakin berkembangnya usaha-usaha pribadi masyarakat itu.
Salah satu yang membuat pemahaman mengenai fungsi BUMDes menciut menjadi ‘mesin uang’ adalah karena selama ini wacana yang berhembus mengenai BUMDes yang hebat adalah BUMDes yang mampu membukukan miliaran rupiah setahun dari usaha yang dijalankannya. Fakta ini bahkan terpapar dengan gamblang pada setiap award mengenai ‘BUMDes-BUMDes Terbaik baik di tingkat nasional maupun regional. Award ini sebenarnya perlu dilihat sebagai upaya memotivasi usaha-usaha kreatif rakyat memalui peran BUMDes antar Desa di seluruh Indonesia. Sederhananya, “kenapa dorang bisa dan kitorang tidak bisa?”.
Beberapa BUMDes memang memiliki penghasilan yang mencengangkan, terutama di daerah Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Bagi masyarakat desa di Tanah Papua, mungkin hal ini masih menjadi proses belajar ke depan. Di luar Papua, memang ada desa-desa yang sudah maju sebelumnya. Mereka malah sudah mempunyai asset obyek wisata berbasis desa sehingga mengundang ribuan orang datang berwisata ke sana. Obyek wisata itu bahkan sebenarnya memang sudah ramai sejak sebelum wacana BUMDes membahana di nusantara pada pasca penetapan UU Desa No.6/2014. Sehingga sebenarnya bukanlah sebuah prestasi, tapi tak perlu kitorang heran karena itu;ah kesepakatan masyarakat desa untuk dijadikan bagian dari usaha BUMDes, makanya begitu dikelola BUMDes, lalu menciptakan angka penghasilan yang luar biasa. Mengapa? Karena modalnya sudah didukung dengan Alokasi Dana Desa, dan tentu didukung penuh juga dengan APBD Kabupaten dan Provinsi. Bahkan ada pula BUMDes yang dianggap sukses luar biasa tetapi ternyata infrastruktur yang dijalankan BUMDes untuk menghasilkan uang adalah infrastruktur yang lahir karena bantuan pemerintah pada jauh hari sebelum BUMDes mengelolanya. Fenomena ini terjadi pada beberapa BUMDes yag dinilai gemilang karena berhasil mengelola layanan dan usaha tertentu misalnya penyediaan air minum kemasan, usaha air gallon, usaha pulsa listrik dan pulsa telkomsel. Tidak hanya itu, tapi pada beberapa BUMDes yang kelola Pabrik Minyak Atsiri dan juga Budidaya Tanaman Penghasil Minyak Atsiri seperti Sereh Wangi, Akar Wangi, Nilam dan lain sebagainya.
Fenomena ini menciptakan beberapa akibat yakni sebagian besar kepala desa menganggap BUMDes yang hebat hanya diukur dari jumlah pendapatan rupiah yang dibukukan setiap tahun. Akhirnya, mereka terus mencari cara agar bisa menciptakan BUMDes yang bisa menghasilkan yang sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya, mendirikan unit usaha yang sebenarnya sudah dijalankan sebagian warganya. Soalnya, merumuskan jenis bisnis yang baru sama sekali tidak mudah bagi seorang kepala desa dan perangkatnya. Artinya apa? Jangankan merumuskan konsep usaha baru, yang kalaupun toh bisa dilakukan, tetapi belum tentu berhasil. Akhirnya, ada banyak cerita BUMDes yang penuh semangat mendirikan unit usaha lalu dalam hitungan bulan kemudian mandeg tak jelas nasibnya.
Akibat kedua adalah sebagian desa menjadi ciut nyali mengejar ‘ketertinggalannya’. Mereka merasa tidak memiliki potensi alam yang hebat sebagaimana BUMDes yang dianggap hebat dan tak punya pula potensi yang hebat untuk diolah menjadi BUMDes yang hebat. Pendeknya, mereka merasa tak akan bakal besar dan hebat dengan kondisi desanya. Belum lagi menghadapi resiko hukum jika salah kelola dana desa. Soalnya, tak sedikit pula kepala desa yang kini mendekam di penjara karena diputus salah dalam mengelola dana desa. Tetapi tidaklah berarti bahwa nyali kita menjadi pudar untuk mewujudkan perubahan desa dengan menumbuhkan usaha-usaha kreatif yang produktif dengan semangat pengelolaan BUMDes. Karena itulah semangat UU Desa itu sendiri, bahwa kemandirian ekonomi desa adalah mutlak diperlukan, sehingga diatur secara tegas dalam UU ini. Mengapa demikian? Supaya masyarakat desa dan pemerintah desa tidak hanya berharap sepenuhnya pada Alokasi Dana Desa dari APBN sebagai satu-satunya modal Pendapatan Asli Desa. Itu artinya, kita masih tetap bersikap pasif pada pembangunan dan berprinsip “NRIMO”, asal jadi dan yang penting ada.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua