TIPUKA: Orang Kamoro Mampu Beradaptasi Dengan Tailing Freeport……..(6)


Orang Tipuka masih terus berjuang untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka juga bisa hidup layak, sekalipun tanpa dukungan perusahaan dan dukungan pemerintah. Yang terpenting bagi mereka adalah kondisi alam di wilayah adat mereka bisa dikembalikan seperti semulanya. Tapi tak seoramg pun akan bersuara, apalagi memberontak. Banyak label bisa membawa mereka hingga penjara dan pemakaman. Beradaptasi dengan tailing jadi pilihan. Seperti lagu de bilang “ko diam, ko aman”.

Oleh Pietsau Amafnini

Orang yang berada di luar wilayah kabupaten Timika, bahkan orang yang berada di luar Tanah Papua selalu beranggapan bahwa manusia di daerah tempat beroperasinya PT Freeport Indonesia hidup mewah, kaya-raya dan berkelimpahan. Tidak hanya pada masyarakat biasa, tetapi juga pemerintah pun beranggapan demikian. Namun yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya, bahwa dimana ada perusahaan besar di sector pertambangan, tentu banyak masalahnya, bahkan masyarakat adat setempat selalu bernasib buruk. Selebihnya saya ingin memberitahu anda bahwa daerah dimana terdapat banyak kekayaan sumberdaya alam pasti jadi rebutan, dan tempat di mana ada perusahaan pertambangan emas dan lain sebagainya, pasti banyak masalah seputar kemanusiaan dan lingkungan hidup.

Masalah pokok di sekitar lokasi tambang PT Freeport adalah pembuangan tailing yang langsung ke sungai dimana sungai adalah wilayah hidupnya masyarakat adat setempat. Kampung Tipuka berada di dataran rendah, muara sungai. Itu artinya mereka yang paling menanggung resiko atas kerusakan alam dan sumber penghidupan mereka. Sedih. Sementara banyak orang di luar Papua selalu bangga dengan perhiasan emas yang dibelinya dari toko perhiasan. Sedangkan orang asli Papua yang memiliki tempat dimana emas itu digaruk, justru bernasib buruk karena harus berjuang untuk hidup beradaptasi dengan limbah tailing dari Freeport sejak lahir. Belum masalah lainnya seperti tekanan, intimidasi dan terror berdimensi hak asasi manusia.

Setidaknya ada sebanyak sembilan sungai di muara yang mengalami pendangkalan. Kesembilan sungai itu antara lain: Sungai Ajikwa, Sungai Moare, Sungai Wania, Sungai Atuka, Sungai Ipa, Sungai Kekwa, Sungai Kokonao, dan Sungai Otakwa. Pendangkalan sungai menyebabkan kualitas air menurun dan mencemari potensi hidupan perairan sungai. Dampak-dampak akibat pendangkalan yang terjadi sekarang ini adalah ikan-ikan di sungai cepat busuk, sungai sudah tidak dapat dilayari oleh perahu motor. Pasalnya, tailing hasil produksi berasal dan penambangan terbuka di Grasberg dan penambangan bawah tanah di wilayah timur tambang terbuka Ertsberg yakni di Intermediate Ore Zone (IOZ) dan Deep Ore Zone(DOZ). Timbunan limbah terlihat pula di sekitar lubang tambang terbuka di lembah Cartenz, Grasberg Barat dan Lembah Wanagong. Seluruh proses penambangan hingga pemisahan logam-logam yang bernilai ekonomis itu ternyata lebih banyak memproduksi pula limbah tailling.

Tantangan bagi masyarakat adat pemukim di daerah-daerah muara sungai adalah harus beradaptasi dengan kondisi terkini dimana ruang hidup dan sumber penghidupan mereka menjadi rusak akibat tailing. Setidaknya pemgalaman masyarakat adat suku Kamoro di Kampung Tipuka Mimika Timur ini menjadi salah satu fakta kehidupan yang menyedihkan di Lingkungan Industri PT Freeport Indonesia yang selalu dibanggakan oleh Pemerintah Indonesia. Berbagai macam resiko dampak tailing itu harus ditanggung oleh mereka selama sepanjang setengah abad ini. Tidak hanya urusan limbah tailing, tapi sejak awal keberadaan Freeport dan Indonesia di wilayah adat Kamoro dan Amungme di Timika, masyarakat adat setempat pun harus menanggung berbagai tekanan, intimidasi dan terror hingga kekerasan berdimensi hak asasi manusia. Bila mereka bersuara untuk meminta keadilan, mereka pun gampang dituding sebagai penghambat pembangunan dengan label separatis dan teroris yang pada akhirnya berujung pada penjara dan pemakaman. Seperti lagu kekinian dari anak-anak Papua sendiri bilang: “Ko diam, ko aman” (kau diam, kau aman), maka mereka pun memilih beradaptasi dengan tailing Freeport yang sudah merusak ruang sumber penghidupan mereka.

Mungkin saja banyak orang pintar yang melakukan penelitian di sana, belum lagi penelitian yang difasilitasi oleh perusahaan dan pemerintah. Mereka tentu melaporkan hal yang baik-baik saja, bahkan semakin berusaha untuk meyakinkan masyarakat umum, bahkan khusus bagi masyarakat adat setempat bahwa limbah tailing tak beracun. Namun, masyarakat adat Kamoro yang hari-hari hidupnya berada bersama ruang hidupnya di kampung Tipuka justru berpendapat lain. Saya lebih percaya mereka, karena merekalah yang merasakan itu dari hari ke hari, bahkan generasi berganti generasi. Bagi mereka, limbah yang mencemari sungai sudah sangat berpengaruh pada biota air sungai, sehingga mereka selalu akan bilang bahwa hasil tangkapan ikan harus segera dimasak karena kalau terlambat akan cepat membusuk. Ya, pernyataan orang sederhana tentu bertolak pada kenyataan yang dialaminya dalam kehidupan sehari-hari, bukan seperti para peneliti yang datang sesaat dan pergi selamanya.

Seperti yang saya sudah ulas pada serial-serial sebelumnya bahwa masyarakat adat suku Kamoro di Tipuka pada umumnya berprofesi nelayan tradisional. Wilayah adat bahkan ruang hidup mereka adalah dataran rendah dimana mereka bergantungkan hidup pada potensi alam yang ada di hutan mangrove, hutan sagu, dan muara sungai. Dalam hal ekonomi, memang masyarakat Tipuka merupakan komunitas masyarakat yang relatif tertinggal. Ya, tidak hanya tertinggal secara ekonomi, tetapi juga sosial, dan budaya. Tidak berarti bahwa Freeport berada di wilayah mereka, terus semua orang di sekitarnya jadi makmur. Bahkan jika kita kembali membuka lembaran sejarahnya perjuangan masyarakat adat suku Kamoro dan Amungme menuntut keadilan terkait keberadaan Freeport sepanjang 50-an tahun, sangat menyedihkan.

Emas dan tembaga yang digali dari tanah Amungsa dan dibawa ke Amerika atau entah kemana rimbanya, ternyata meninggalkan limbah tailing yang telah merusak dan menghancurkan kehidupan manusia di sekitar wilayah operasi perusahaan itu. Keadaan alam yang sudah tercemar limbah tailing dari PT Freeport Indonesia menambah beban dalam mata pencaharian sebagai nelayan dengan berkurangnya hasil tangkapan ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, dan rendahnya sumber daya manusia karena kurangnya perhatian dari perusahaan dan juga pemerintah di sisi lainnya. Di kampung Tipuka, sebagian besar penduduknya hanya lulus sekolah dasar, bahkan tidak sempat tamat sekolah dasar. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Pada serial sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Tipuka adalah komunitas nelayan tradisional yang tidak bisa hidup tanpa sagu, perahu dan kali (sungai). Beberapa kaum muda pernah mencoba untuk bekerja di kota, tetapi tidak satu pun diterima di toko, hotel atau rumah makan. Setidaknya mereka sudah mencoba untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak seperti orang-orang pendatang yang memadati kota Timika. Tetapi nasib anak-anak muda itu tidak beruntung, apakah karena mereka tidak dipercaya atau karena mereka tidak mempunyai keahlian tertentu? Ya, setidaknya tukang sapu tidak mengharuskan lulusan sarjana ilmu kebersihan lingkungan. Sedangkan di Freeport, hanya beberapa orang yang bekerja di sana, tetapi bukan pengurus kantor perusahaan.

Ya, mereka masih terus berjuang untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka juga bisa hidup layak, sekalipun tanpa dukungan perusahaan dan dukungan pemerintah. Yang terpenting bagi mereka adalah kondisi alam di wilayah adat mereka bisa dikembalikan seperti semulanya. Mungkin ini hanya sebuah harapan yang tak pasti, tetapi sebagai komunitas adat nelayan tradisional, mereka tentu ingin tetap menjaga kelestarian alam yang yang menjadi sumber penghidupan mereka, sekaligus tetap melestarikan budaya warisan leluhur mereka. Sebab, Freeport bukan milik mereka.

Namun terdapat sesuatu yang menarik di kampung Tipuka dan bisa menjadi pelajaran bagi semua orang di dunia. Apakah itu? Anda membayangkan betapa hebatnya orang Kamoro di kampung Tipuka yang sudah 50-an tahun hidup di daerah muara tailing Freeport. Mereka mampu beradaptasi dengan masalah tailing itu. Mereka sanggup bertahan hidup dalam situasi berbagai tekanan fisik dan psikis. Mereka sanggup menahan diri untuk tidak memberontak melawan penyebab pencemaran sungai yang menjadi sumber penghidupan mereka. Mereka sanggup untuk tetap tinggal menetap di wilayah adat warisan leluhur. Singkatnya, orang Kamoro sanggup menanggung semua resiko sejak awal keberadaannya Freeport dan Indonesia di wilayah adat mereka. Apa sih resepnya? Mungkin saja rahasianya adalah “Ko diam, ko aman”. Selamat datang di kampung Tipuka. Nimaome – Amole. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Orang Kamoro Hidup Tertekan Di Tanah Leluhur Sendiri…….(5)


Sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu.

Oleh Pietsau Amafnini

Tidak ada harapan yang lebih dari hidup saat ini. Bagi masyarakat adat, yang terpenting adalah mereka bisa hidup nyaman di wilayah adat mereka. Masyarakat adat dapat memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarganya dengan memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya. Tetapi seperlunya. Bila memungkinkan, mereka akan menjual sebagian dari hasil usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya termasuk pendidikan anak-anak mereka. Namun yang utama adalah mereka mencari untuk makan. Hutan, sungai dan laut adalah ibarat “ibu kandung” bagi mereka. Sehingga sulit untuk menjauhkan pola hidup mereka dari potensi alam yang ada di wilayah adat mereka.

Berbeda dengan masyarakat ekonomi modern yang cenderung tamak dan rakus. Apapun yang diinginkan, dikuras sampai habis. Mereka mengejar banyak hasil untuk sebuah tujuan, kaya raya. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat pedagang, tetapi juga pada masyarakat peramu modern seperti peramu modern, nelayan modern, pemburu modern hingga para mafia kayu merbau yang selalu disebut mafia illegal logging. Bahkan pada dunia modern ini, perilaku kerakusan ini nampak pada penyerobotan tanah-tanah adat dalam skala sangat luas untuk kepentingan investasi perkebunan sawit dan pertambangan. Mungkin salah satu contoh nyata yang telah lama dihadapi masyarakat adat Suku Kamoro di kampung Tipuka adalah kehadiran PT Freeport Indonesia.

Masyarakat ekonomi modern di Tanah Papua tidak terlepas dari keberadaan kaum migran yang sejak awal pasca integrasi paksa Papua ke dalam wilayah Indonesia “didudukkan sebagai wajah Indonesia” melalui program transmigrasi nasional. Adapun kaum migrant spontan yang datang sebagai “perantau” secara individual untuk mencari hidup di Tanah Papua setelah terbentuknya komunitas-komunitas urban di pusat kota provinsi maupun kabupaten. Lambat laun, kota-kota kecamatan hingga kampung-kampung pun tidak luput dari incaran kaum migran. Salah satu penyebab melonjaknya kaum migran di Tanah Papua adalah “menjamurnya investasi sektoral” yang telah membagi-bagi Tanah Papua seperti “kue”. Nah mengapa begitu banyak orang dengan perilaku tamak menjamur pula di Tanah Papua? Ya, mencari hidup lebih baik dengan memanfaatkan peluang “ekonomi modern” yang secara terstruktur dikerahkan oleh negara sebagai strategi “pendudukan” di Tanah Papua. Sementara masyarakat adat yang masih berharap sepenuhnya pada kekayaan sumberdaya alamnya sebagai sumber penghidupan justru semakin tak pasti nasibnya. Mereka terus tersingkir, bahkan tergeser dari tanah leluhur mereka sendiri.

Memang, tak dipungkiri jika ekonomi modern tidak dapat terlepas dari akses pasar, dunia dagang. Hal ini tentu berbeda dengan masyarakat adat Papua yang sebenarnya masih dalam tahap penyesuaian diri dalam hal kebudayaannya. Mereka seakan-akan dibingungkan dengan berbagai macam wajah masyarakat urban Indonesia dalam bentuk “pasar dan toko”. Di sisi lain mereka dipaksa secara terstruktur untuk meninggalkan tradisi hidup sebagai peramu hasil hutan dan nelayan tradisional melalui penyerobotan tanah-tanah adat warisan leluhur mereka atas nama pembangunan untuk permukiman, perkotaan dan lahan investasi.

Dalam hal akses pasar, hal ini yang perlu didorong dan difasilitasi agar masyarakan terbiasa dengan dunia ekonomi modern dimana pasar memegang peranan penting. Orang-orang berbudaya pedagang seperti Bugis, Makassar dan Jawa di Tanah Papua justru lebih banyak menguasai dunia dagang di pasar-pasar kota. Kita bisa lihat dari tampak fisik sosial kehidupan di sana. Kondisi ini memang terbentuk oleh sistem ekonomi modern itu sendiri. Sistem itu pun tercipta dari kebiasaan masyarakat ekonomi modern yang memposisikan diri secara terstruktur dalam hal alur perdaganga. Produsen – Distribusi – Konsumen. Distribusi dalam konteks ini dimaknai sebagai suatu sistem kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Dalam prosesnya, distribusi diidentikkan dengan pemasaran. Pemasaran sendiri juga bisa dalam arti bekerja sama dengan pasar atau mencari manfaat dengan cara kerjasama dengan pasar. Sebab, memang hubungan kerjasama dalam dunia dagang akan dapat berlangsung selama jika keduanya merasa dapat diuntungkan. Oleh sebab itu diperlukan komunikasi dua arah yang efektif, sehingga kemungkinan merugikan satu sama lain dapat diantisipasi. Hal ini lambat laun berkembang menjadi suatu budaya dalam kehidupan sosial dimana “ada barang, ada uang; ada uang, ada barang”.

Nah dengan melihat kondisi di atas, adakah sesuatu yang menarik? Tentu, uang dan uang atau modal yang selalu menjadi tolak-ukurnya. Masyarakat ekonomi modern yang dalam hal ini kaum migran atau urban kota akan memulai usahanya dengan modal yang cukup, bukan sekedar nekat. Tidak hanya di dunia dagang di pasar-pasar kota, toh banyak investor perkebunan sawit dan juga perusahaan kayu juga mendapatkan banyak kemudahan soal modal usaha dari negara dan perbankan. Mereka tahu dari mana harus mendapatkan modal usaha, misalnya akses modal pinjaman dari bank, atau bahkan modal dari negara. Hal ini tentu tidak berlaku untuk seorang petani tradisional dan nelayan tradisional, apalagi peramu hasil hutan dan pemburu hewan liar. Justru mereka hidup tertekan bahkan terasing di tanah leluhur sendiri.

Masyarakat nelayan tradisional di kampung Tipuka bernasib tak beruntung dalam hal dunia usaha-ekonomi modern. Kurangnya modal usaha, membuat mereka selalu kalah bersaing dengan para nelayan migran yang melakukan penangkapan menggunakan kapal dan peralatan modern, hingga penggunaan pukat trawll. Pola penangkapan ikan secara tradisional dengan peralatan seadanya, terkadang membuat nelayan suku Kamoro merugi, bahkan memang mereka mencari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini. Selain itu, teknik pengawetan ikan yang belum memadai sehingga belum sampai di pasar atau di tangan konsumen, ikan sudah busuk di tangan sendiri dalam perjalanan menuju pasar. Belum lagi jarak antara kampung Tipuka yang jauh dari pasar kota Timika menjadi salah satu faktor pendukung membusuknya ikan hasil tangkapan masyarakat ekonomi tradisional tersebut.

Melihat kondisi seperti di atas, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas salah satu faktor penyebab kesenjangan sosial dalam kehidupan Orang Tipuka di tengah kemajuan masyarakat urban kota Timika? Sebuah sumber menyebut bahwa pada tahun 2006, ada kepedulian dari PT Freeport Indonesia melalui program Social Local Development (SLD) bekerjasama dengan Keuskupan Timika untuk memberdayakan nelayan tradisional suku Kamoro yang menetap di sekitar daerah endapan tailing. Kerjasama ini dilakukan dalam bentuk pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan, penyediaan bahan bakar minyak, sembako, balok es batu yang dikelola oleh Koperasi Maria Bintang Laut Kamoro.

Program SLD ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat nelayan tradisional suku Kamoro lambat-laun mulai merubah kebiasaan dari budaya meramu, mengelola hasil laut dan sungai untuk keperluan konsumtif, menuju usaha ekonomi produktif – menuju masyarakat ekonomi modern. Benar, dan luar biasa tujuannya. Namun pada saat yang sama, masyarakat adat suku Kamoro juga sudah memulai kehidupan baru dalam mengelola hasil laut dan sungai dengan cara, alat dan tujuan baru. Bila sebelumnya mereka bermodalkan perahu dayung di sungai dengan jala dan nelon seadanya untuk sekedar mencari untuk makan sendiri, maka sekarang dan ke depan mencari dengan perahu motor tempel untuk mendistribusikan hasil tangkapannya ke pasar atau masyarakat konsumen di kota Timika. Mereka harus berusaha untuk bersaing dengan masyarakat migran yang memang sudah terbiasa dengan sistem kerja ekonomi modern.

Hmmm, apa yang dilakukan Freeport dengan program SLD di atas memang patut dihargai sesbagai sebuah upaya positif untuk memajukan orang Tipuka menjadi masyarakat ekonomi maju. Namun sangatlah disayangkan bila program ini terlaksana hanya sebagai cara menutupi ketamakan dan kerakusan Freeport Indonesia sendiri yang telah mengeruk hasil alam berupa emas dan tembaga di wilayah adat orang Kamoro dan Amungme. Toh akibat penambangan Freeport di Grasberg ini telah menyebabkan sungai-sungai disekitarnya tertimbun pasir tailing. Sungai-sungai menjadi dangkal, bahkan kering. Orang Kamoro di kampung Tipuka sendiri sudah kesulitan dalam mencari ikan di sungai karena tailing. Bahkan masyarakat Tipuka sendiri menyatakan “sekarang ikan cepat busuk karena racun dari tailing”.

Sebuah pemandangan indah, semakin terbuka dan meluas di sepanjang tepi sungai hingga muara-muara sungai. Pasir tailing. Luapan tailing dan sedimentasi yang terus menerus terjadi selama limapuluhan tahun sudah tentu memutuskan mata rantai makanan mereka, bahkan turut menghancurkan budaya mereka pula. Apakah Freeport dan Pemerintah Indonesia bermaksud menciptakan ketergantungan baru bagi orang Kamoro di kampung Tipuka terhadap kehadiran dan bantuan program SLD dari perusahaan yang bekerjasama dengan Gereja Katolik saat ini? Bagaimana jika suatu waktu program ini terhenti dengan alasan tertentu? Ataukah program SLD ini adalah bagian dari “penenang hati yang terluka” akibat kehancuran ruang sumber penghidupan mereka yakni sungai-sungai yang tertimbun dan tercemar limbah tailing dari tambang Freeport Indonesia? Atau memang ini bagian dari scenario “pendudukan” dimana Negara dan Investor “menguasai, merampas dan menghancurkan” apa yag menjadi hak masyarakat adat Suku Kamoro termasuk kebudayaannya?

Saya melihat dan merasakan sendiri bahwa dalam kenyataannya, kegiatan ekonomi rumah tangga bagi keluarga orang Kamoro di kampung Tipuka justru dalam kondisi “tidak baik-baik saja”. Sehingga sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu. Toh sejarah hidup mereka membuktikan bahwa Suku Kamoro bukan Orang Penambang, tapi peramu dan nelayan tradisional. Namun kini, rantai kehidupan itu sudah nyaris terputus karena Limbah Tailling dari perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia bahkan dunia. Semoga mereka tidak pernah akan merasa “terasing di negeri sendiri” karena tekanan kebijakan negara, kerakusan investor hingga ketamakan masyarakat ekonomi modern. Semoga suatu saat nanti, generasi penerus Suku Kamoro di kampung Tipuka dapat berucap bahwa benar “mereka tertolong, bukan tertipu”. Nimaome – Amole. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Ambisiusme Penyelamatan Iklim


Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan. Bahkan untuk menghadapi dampaknya, manusia harus berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim itu sendiri selain mengobral ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Kekhawatiran saya, Ambisi Iklim itu hanya untuk Uang dan Investasi ber kedok Green.

Oleh Pietsau Amafnini

Setelah Paris Accord disepakati pada tahun 2015, semua negara Utara dan Selatan anggota UNFCCC telah berkomitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Paris Accord bukan sekedar sebuah kesepakatan tanpa kewajiban. Paris Accord mewajibkan semua negara maju (utara) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan perubahan iklim dan dampaknya yang merupakan krisis berkepanjangan di negara-negara berkembang (selatan).

Indonesia merupakan salah satu dari semua negara UNFCCC yang telah menyatakan komitmennya terhadap iklim dalam dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution. Untuk diketahui, setelah ratifikasi Paris Accord pada tahun 2016, negara-negara UNFCCC telah menyerahkan dokumen INDC dimana mereka menegaskan kembali komitmennya untuk masa depan iklim planet ini, berkarbon rendah dan berketahanan iklim. Target bersamanya adalah mencapai Zero Emision pada 2050.

Apakah Indonesia juga berambisi dalam dokumen INDC untuk iklim? Tentu saja, walaupun upaya penurunan emisi gas rumah kaca itu masih wacana politik green belaka. Buktinya masih banyak lahan hutan tropis yang dibuka atau ditebang untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, mafia illegal logging masih marak, energi batu bara masih menjadi primadona, bahkan masyarakat adat masih terus kehilangan tanah adat dan segala potensi alam sebagai sumber-sumber penghidupan mereka untuk pembangunan investasi pengerukan tambang dan perkebunan skala besar. Ini artinya Indonesia juga salah satu penyumbang meningginya emisi gas rumah kaca di dunia.

Ambisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia justru akan menentukan apakah peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celsius seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, atau di bawah 1,5 derajat Celsius seduai hasil penelitian Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) pada 2018. Nah, apakah sudah ada upaya tertentu dari pemerintah negara Indonesia untuk mencapai ambisi ini? Sudah banyak, tapi dalam wacana poltik, dalam bentuk kebijakan, dan sekarang dalam bentuk Agenda GREEN dimana semua sector pembangunan wajib bersinergi untuk mencapai ambisi itu, Zero Emission di tahun 2050, bahkan lebih cepat lebih baik, 2030.

Pada dokumen INDC-Paris Accord, Indonesia berkomitmen untuk melakukan kegiatam-kegiatan strtegis dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 41 persen dibawah scenario bussines as usual. Komitmen ini direncanakan berlangsung hingga tahun 2030. Pertanyaannya adalah apakah kita yakin bahwa Zero Emission itu akan terwujud pada 2030? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Karena menurut hemat saya, komitmen ini belumlah cukup untuk menahan lajunya tingkat pemanasan global yang dibutuhkan untuk mencegah dampaknya berupa bencana-bencana yang kemungkinan jauh lebih besar dari upaya apapun yang dilakukan saat ini dan ke depan. Mengapa demikian? Ambisi iklim itu belum selaras, searah dan setindak antara rencana penurunan emisi dengan pembangunan Indonesia yang masih cenderung eksploitatif. Bahkan, batu bara masih menjadi energi yang terandalkan di Indonesia. Harapan saya, industry ekstraktif batu bara dan penggunaan energy berbahan bakar batu bara serta penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit juga harus dihentikan. Saya kira ini ambisi yang benar-benar nyata dan terukur hingga 2030.

Tidak hanya Indonesia. Negara-negara makmur di Uni Eropa juga tentu mempunyai ambisinya tersendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi Nol persen pada 2050. Bangsa Eropa pun sadari bahwa beberapa dampak perubahan iklim sudah dan sedang dirasakan hingga saat ini dan mungkin ke depan jauh lebih parah, dan itu tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat Eropa diminta juga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan memitigasi dampaknya. Mengapa? Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan.

Uni Eropa sendiri dalam INDC bersedia untuk berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca 55 persen pada 2030. Sementara China, India, Arab Saudi dan Turky mereka bertanggung jawab atas penurunan emisi 33 persen. Namun demikian, dari 191 negara pengikut Paris Accord hanya 113 negara yang mempunyai komitmen jelas untuk iklim. Belum lagi Pemerintah Amerika Serikat yang menolak menandatangani Paris Accord itu. Tetapi posisi Amerika Serikat untuk iklim saat ini sudah diperbaiki oleh Presiden Biden yang menghadiri COP26 di Glasgow dan menyatakan dukungan ambisius negaranya untuk penurunan emisi gas rumah kaca dengan alasan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Negara-negara yang belum membaharui komitmen mereka pun akhirnya bersedia melakukan berbagai upaya dengan targetnya masing-masing untuk menurunkan emisi pada tahun 2030 untuk mendukung ambisi bersama pencapaian Zero Emission tahun 2050. Harapan saya untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah semoga mereka berhenti mengimpor batu bara, berhenti menggunakan batu bara sebagai energy listrik dan juga berhenti mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Ini baru namanya ambisi yang nyata dan terukur.

Tentang kesiapan Indonesia, pemerintah era Jokowi periode ke-2 ini telah menetapkan Peta Jalan (roadmap) Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030. Roadmap ini telah tertuang pula dalam pembaharuan dokumen INDC yang diajukan di COP26, bahkan aksi nyatanya berupa Program Kampung Iklim, Restorasi Mangrove dan Agroforestry Perhutanan Sosial. Program-program kerja ini dilakukan sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Persoalannya siapa yang akan bekerja? Pemerintah perlu mengintegrasikan program kerja adaptasi iklim dengan pihak pemerintah daerah, sector swasta, masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat local di tingkat kampung.

Saya hanya mengkhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim di atas, ada kemungkinan munculnya berbagai kepentingan yang akan terus membuat nasib masyarakat adat semakin tak tentu disamping sebagai bagian dari dampak perubahan iklim itu sendiri. Mengapa? Karena Ambisi Iklim itu adalah untuk Uang dan Investasi berlabel kedok Green, sedangkan perilaku Korupsi dan Kekerasan masih membudaya di Indonesia.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Semoga Ada Harapan Baru dari Glasgow


Pada bagian-bagian sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa semestinya Bali Roadmap, Kyoto Protocol dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini dalam tindakan nyata, bukan lagi bicara-bicara. Tapi kalau masih sebatas wacana, maka itu namanya ‘NATO’ (No Action, Talk Only). Semoga ada Harapan Baru dari Glasgow.

Oleh Pietsau Amafnini

UNFCCC-COP26 ternyata masih membahas tentang scenario pencegahan dan penanganan perubahan iklim dunia. Keseriusan pimpinan negara-negara industry maju masih dipertanyakan masyarakat dunia, karena tidak jelasnya pelaksanaan protocol Kyoto dan Paris Accord. Seakan-akan isu perubahan iklim masih sebatas wacana, sementara sudah melewati 25 kali COP sebagai forum tertinggi pertemuan internasional untuk membahas perubahan iklim dari sisi dampak, pencegahan, penanganan hingga pendanaannya.

Kami sudah mengulas tentang betapa pentingnya pelaksanaan COP26 dalam rangka penyelamatan iklim dunia pada bagian-bagian sebelumnya. Para pemimpin negara-negara di dunia berkumpul di sini untuk membahas tentang skenario, isu utama dan krusial tentang perubahan iklim dan harapan kepada negara anggota di dunia untuk mengambil peran masing-masing sesuai Kyoto Protocol yang menjadi aturan dan pedoman pengikat komitmen bersama untuk mengatasi dan menangani masalah perubahan iklim. Pimpinan negara Indonesia, Presiden Joko Widodo juga hadir di Glasgow untuk memaparkan kemajuan agenda dan aksi perubahan iklim di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sudah berupaya untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius melalui kerja-kerja lapangan menuju netzero emisi atau nol emisi sesuai kemampuan yang ada. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, energi dan land use. Pada pelaksanaannya, Indonesia mempunyai konsep dan agenda green dimana semua sector pembangunan berbasis lintas kementerian harus sinergi dalam pelaksanaannya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.

Dalam hubungannya dengan komitmen bersama semua negara pada saat di Glasgow, Presiden Jokowi telah menyerukan pentingnya sinkronisasi kebijakan antra negara maju dan negara berkembang terkait perubahan iklim. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengharapkan ada langkah-langkah konkret terkait pengendalian iklim, terutama dalam hal dukungan pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Jokowi menegaskan bahwa pendanaan adaptasi iklim sebesar USD 100 miliar dari negara maju harus segera dipenuhi untuk mempercepat upaya penaganan perubahan iklim.

Di COP26, Presiden Jokowi menerangkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, Indonesia sendiri sudah menunjukkan langkah konkret dalam hal pengendalian iklim. Disebutnya bahwa setidaknya 20 tahun terakhir, laju deforestasi sudah ditekan hingga paling rendah saat ini. Tingkat kebakaran hutan pun berkurang 82 persen. Bahkan selanjutnya Indonesia akan melakukan restorasi gambut seluas 64.000 hektar lahan mangrove. Intinya Jokowi yakin bahwa Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, lebih cepat dari target rendah karbon jangka panjang dunia pada 2050.

Presiden Jokowi juga sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan perusahaan setingkat Chief Executive Officer (CEO) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya pada tanggal 1 November 2021. Pada pertemuan ini, Jokowi secara khusus menekankan pada investasi di bidang ekonomi hijau sesuai Peraturan Presiden (Perpres) yang baru selesai ditandatanganinya sesaat sebelum berangkat ke Roma untuk menghadiri KTT G-20 dan juga ke Glasgow untuk menghadiri KTT COP26. Dalam Prepres tersebut sebagai instrument nilai ekonomi karbon yang akan mengatur mekanisme carbon trading di Indonesia ke depan.

Komitmen Indonesia adalah selain mengurangi emisi gas rumah kaca, juga meningkatkan pendanaan pembangunan. Sehingga pasar karbon harus dikelola dengan prinsip berkeadilan dan transparan. Sebab, kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia mencakup transisi menuju green economy yang efektif. Hal lain yang merupakan upaya penurunan emisi itu juga adalah perubahan pada sector energi, dimana Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari penggunaan batubara sebagai sumber energi akan tergantikan dengan energi terbarukan. Sesuai dengan komitmennya, Indonesia akan mengalihkan energi batubara dengan renewable energy pada tahun 2040. Namun hal ini hanya bisa berjalan jika ada kerjasama dan dukungan dari semua pihak internasional dalam hal teknologi dan pendanaan. Pada pasca CEO’s Forum Meeting di Glasgow ini, Jokowi pun memperoleh komitmen investasi sebesar USD 9,29 miliar sebagai nilai tambah untuk investasi USD 35 miliar yang sudah dan sedang berjalan dalam mata rantai energi terbarukan, yakni baterai dan kendaraan listrik di Indonesia.

Dengan melihat ulaan di atas, apa yang ada di benak kita? Terlepas dari sikap pro maupun kontra, saya ingin mengatakan bahwa pada zaman ini, dunia internasional sangat memperhitungkan Indonesia dari posisinya yang strategis di Asia-Pasifik. Indonesia merupakan negara berkepulauan yang luas dengan 17.000 pulau dan bangsa besar dengan 270 juta jiwa dari 250 ribu suku bangsa. Di sisi lain, Forum CEO melihat Indonesia sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi. Ya, mungkin juga ini salah satu dukungan terhadap posisi Indonesia saat ini yang menjadi pemimpin G20 untuk mempersiapkan KTT G20 pada Oktober 2022. Namun demikian, Indonesia telah menjadi destinasi yang sangat atraktif bagi investasi asing dan akan terus menarik investor dari seluruh dunia untuk membuka usaha-usaha berbasis dan berorientasi green economy di Indonesia.

Hmm, susah apalagi? Indonesia sudah mempunyai Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan peluang besar untuk kemajuan Indonesia dalam hal investasi produktif pada berbagai sector. Yang menarik bagi saya adalah CEOs Forum itu ternyata sejumlah perusahaan terkemuka di dunia yang bergerak di berbagai macam industry bidang renewable energy, sustainable commodities, infrastructure dan financial, diantaranya: British Petroleum (BP) Jardine Martheson, Mars Wrigley UK, Standard Chartered, HSBC dan Shire Oak. Ya, British Petroleum (BP) Inggris sudah di Indonesia, yakni di Teluk Bintuni, Papua Barat. Jadi wajarlah kalau BP ingin membantu Indonesia untuk mencapai ambisinya dalam upaya penurunan imisi, yang konon katanya lebih cepat lebih baik sebelum 2050. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, land use dan sector energi.

Selebihnya, terlepas dari Indonesia sebagai negara yang dianggap penting oleh dunia internasional G20 dan COP26, ternyata menarik pula bagi Perusahaan-perusahaan besar CEOs Forum yang telah berani menaruh kepercayaan kepada Indonesia dengan nilai USD 9,29 miliar sebagai dana investasi berbasis GREEN. Hmmm, kalau sudah begini, apa yang mau dibilang lagi? Jokowi memang hebat. Pace dia tra kosong. Pergi membawa konsep, pulang bawa komitmen – berupa uang. Urusan tagih janji-komitmen negara maju-selesai di tangan CEOs Forum.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Nasib Masa Dulu dan Masa Depan Orang Tipuka…..(2)


Saya mau bilang bahwa kawasan yang ditempati Suku Kamoro di kampung Tipuka itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Kamoro dan Amungme. Mari lanjutkan cerita. Sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka. Seperti yang telah saya gambarkan di serial sebelumnya bahwa Tipuka adalah salah satu kampung berada di kabupaten Mimika, provinsi Papua. Tipuka terletak di dataran rendah, persis bagian muara sungai di mana aliran pasir tailing dari hulu kali Ajkwa pun kandas di situ sejak 50 tahun lalu. Bisa dibayangkan, dari beberapa sungai akhirnya bermuara di Tipuka?

Hmmmm, belum lagi ceritanya Freeport mampu memproduksi tailing sebanyak 200ribu ton per hari. Coba tindis kalkulator sudah, 200.000 x 1000 (karena 1 ton = 1000 kg) dikalikan 366 hari trus dikalikan lagi dengan 50 tahun? Su dapat de pu hasil ka? Mama yooo, setumpukan itu? Ya itu tambang dia pu limbah yang dong bilang tai-ling.

Ohhh ya, selain kampung Tipuka, mungkin senasib juga orang Kamoro dan orang Amungme di kampung lainnya yang menempati dataran rendah hingga dataran tinggi di kawasan kekuasaan Freeport itu. Kampung lain yang berada di dataran rendah itu adalah kampung Ayuka, Koprapoka, Nayaro dan Nawaripi. Sedangkan kampung yang berada di dataran tinggi atau bagian hulu itu adalah kampung Banti, Arwanop dan Tsinga. Artinya ada 8 (delapan) kampung yang berada di sekitar kawasan kekuasaan PT Freeport Indonesia. Tetapi apabila karena dampak dari UU Desa No. 6/2014 dan ternyata jumlah kampung melebihi angka yang saya sebutkan, mohon maklum. Karena saya berkunjung terakhir di tahun 2015, dan tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 6 tahun terakhir. Semoga saja mereka tidak tergiur dengan semangat pemekaran kampung baru pasca pelaksanaan undang-undang desa.

Oh ya, saya tidak ingin kita terjebak dalam perdebatan angka perubahan, karena toh dari politik angka itu ternyata ekonomi masyarakat se-Tanah Papua masih menempati urutan tertinggi posisi berada di bawah garis kemiskinan. Belum tergantikan pula posisi itu di Indonesia, bahkan provinsi NTT dan Maluku masih lebih rendah posisinya ‘kan? Lho, koq bisa ya? Katanya Papua punya Freeport dan banyak emasnya pula? Belum lagi hasil alam lainnya di sector kehutanan, perkebunan dan kelautan? Aneh juga ya. Salahnya di mana ya. Ohhh Tuhan tolong. Achhh lupakan itu dulu, capek deh.

Mendingan kita cerita barang lain sudah. Seperti apa sih kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat di kampung Tipuka? Ya, namanya juga orang hidup di wilayah pantai, di muara sungai. Surganya adalah sungai dan laut. Surganya juga adalah dusun sagu dan hutan mangrove. Selebihnya jangan pernah bertanya, apakah orang-orang Tipuka semuanya bekerja di PT Freeport? Ya, wajarlah bertanya itu. Karena perusahaan raksasa ini berada di tempat mereka.

Namun yang saya tahu, orang Kamoro di kampung Tipuka itu juga turunan leluhur pencari ikan dan peramu hutan sesuai kebiasaan warisan leluhurnya, layaknya kehidupan orang pantai pada umumnya. Nelayan tradisional tepatnya menyebut matapencaharian orang-orang sekampung Tipuka. Sebagai nelayan tradisional dan peramu hasil hutan, tentu mati dan hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Dusun sagu, jangan ditanya lagi. Apalagi sungainya, kalau orang-orang tua cerita, katanya dulu masih zaman Belanda itu kapal-kapal bisa masuk sampai di bagian hilirnya. Wiiihhh, berarti dalam juga. Yooo, namanya juga muara, apalagi dataran rendah itu berarti rawa-rawa ganas punya yang dorang bilang lahan gambut.

Soal hasil apa yang diharapkan dari sungai dan laut di muara itu, saya mau bilang bahwa kawasan itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”. Saya membayangkan kira-kira kepiting itu besarnya bagaimana eee. Tapi itu hanya ada di saat sungai itu masih dalam, dan belum tertimbun oleh aliran pasir tailing dari pusat produksi emas dan tembaga oleh Freeport di bagian hulu.

Ya, Freeport lagi dan lagi-lagi Freeport selama 50 tahun lalu di tangan pemegang saham tertinggi, Amerika Serikat. Lain ceritanya klo 50 tahun ke depan di tangan Indonesia sebagai pemegang saham 51%, siapa tahu kondisi alam yang dirusak Amerika itu dikembalikan Indonesia ke wajah semulanya. Bisa, Tapi. Ya, optimis saja kawan. Barang apa jadi, karena memang saat ini sampai masa depan, kitorang wajib berpikir positif. Sekalipun “keperawanan” itu tak mungkin kembali lagi setelah dirusak secara paksa. Sayang achhh, trus masa depan orang Tipuka? Itu lagi. Ko jawab sendiri sudah, karena sa juga hati hancur kawan.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

KAYU ILEGAL DI MUSIM CORONA


Lagi-lagi temuan kayu ilegal terjadi di musim Corona. Saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Oleh Pietsau Amafnini

Sejak WHO menetapkan keadaan darurat internasional karena serangan pandemic corona, termasuk masyarakat di Indonesia semuanya terdiam di rumah untuk bertahan hidup dan aman dari virus penyakit yang belum ada obat anti-virusnya di dunia. Pasalnya Virus Corona telah menelan banyak korban nyawa yang diduga sudah terjadi sejak bulan November 2019. Betapa tak kaget dan takutnya semua orang di dunia karena jahatnya Corona. Tanggal 14 Februari 2020 WHO merilis jika jumlah kasus terkonfirmasi virus tersebut mencapai 64,452 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1,384 jiwa yang tersebar di berbagai negara di belahan bumi ini. Angka tertinggi saat itu justru berada di Italia. Virus yang katanya bermula di Kota Wuhan, China ini ternyata menyebar begitu cepat.

Pemerintah China pun menuruti himbauan WHO untuk melakukan policy lockdown dengan mengkarantina 16 kota di China, terutama Kota Wuhan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalisir penyebaran virus Corona. Lockdown tentu menjadi pilihan tersulit, karena akan berdampak besar pada terpuruknya sector ekonomi. Namun, tidak ada pilihan lain, saat itu.

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang berpotensi besar akan terdampak baik pada penyebaran virus Corona, dan tentu juga pada lemahnya ekonomi China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai dampak dari virus Corona bersumber dari tiga sektor utama yakni sektor pariwisata, sektor investasi dan sektor perdagangan. Sementara baik Indonesia maupun negara-bangsa lain pun sepertinya tidak siap menghadapi masalah pandemic Corona beserta dampaknya pada kesehatan dan ekonomi. Pada akhirnya suka atau tidak suka, lockdown jadi pilihan walaupun tidak seutuhnya. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari Rumah” sebagai pilihan untuk “keselamatan”. Seluruh aktivitas rakyat dan pemerintah pun lumpuh, walaupun akan berdampak pada kesulitan akses pangan. Syukurlah dengan fasilitas teknologi informasi yang  walau masih terbatas, namun sejumlah kebutuhan dapat dilakukan secara online.

Sedihnya, Corona bukanlah halangan bagi cukong kayu. Para mafia kayu illegal terus melancarkan aktivitasnya dengan alasan bahwa arena hutan adalah medan bebas virus corona. Hal ini juga merupakan pilihan tepat bagi mereka karena memang aktivitas di perkotaan dibatasi, maka lancarlah aktivitas pencurian kayu dari hutan alam. Ohh tidak. Apakah saya karang cerita ini? Maybe yes, maybe no.

Adalah sebuah fakta telah terjadi di Sorong, Papua Barat. Tanggal 24 Maret 2020 adalah hari dimana Tim Gakkum-KLHK menyita 263 batang kayu olahan tanpa dokumen di Kabupaten Sorong. Kayu illegal yang diangkut 3 unit truck itu dicurigai akan dikirim ke pemeiliknya yakni CV. Anugerah Rimba Papua (ARP) yang berkedudukan di Distrik Aimas. Sayangnya para sopir truck yang menjadi sasaran interogasi karena beraktivitas di musim corona. Sedangkan sang pemilik yang menunggu kayu illegal itu justru tak tersentuh, walaupun sederet pasal dari UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah menjadi alasan dugaan dan hukumannya.

Anehnya kejadian ini terjadi pada saat musim corona, walaupun perilaku pembalakan liar dan pencurian kayu ini sudah berlangsung lama. Ya, seakan-akan tak pernah akan berakhir. Kayu merbau Papua memang ibarat primadona yang selalu diburu oleh para mafia kayu. Mereka tak peduli dengan kerusakan hutan dan dampaknya berupa banjir dan lain sebagainya. Ya, sedangkan keselamatan diri terhadap Corona saja mereka tidak peduli, apalagi keselamatan lingkungan alam?

Benar-benar Corona bukan halangan bagi mereka. Tanggal 13 Juli 2020 Tim Gakkum-KLHK kembali mengamankan 8 unit truck bermuatan kayu olahan jenis merbau di Aimas, kabupaten Sorong, Papua Barat. Kayu-kayu yang diduga berasal dari distrik Moswaren itu tidak dilengkapi dokumen angkutan kayu yang sah. Setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, maka Tim Operasi kemudian melakukan pemantauan dan pengawasan hingga akhirnya menghentikan iringan 8 unit truck itu bermuatan kayu itu dari arah jalan Klamono menuju sawmill di sekitar wilayah Kabupaten Sorong, dan selanjutnya digiring untuk diamankan ke gudang penyimpanan barang bukti yang berlokasi di Jalan Petrochina, Kelurahan Warmon Klalin, Aimas, Kabupaten Sorong.

Lagi-lagi peristiwa ini terjadi di masa musim Corona, saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Semoga Gakkum-KLHK tiada goyahnya memproses pelakunya sesuai hokum yang berlaku. Sebab kerjanya sang pemburu kayu illegal tentu merugikan masyarakat adat pemilik kayu itu dengan segala tipu dayanya hingga dibelinya dengan harga murah. Belum lagi kerugian negara yang diakibatkan oleh cara kerjanya mafia kayu illegal.

Pada akhirnya, hati ini hanya bisa berharap pada lingkungan alam untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan yang ada, dan bila Alam Tanah Papua mendengarkan jeritan hati para penghuni Tanah Moi, maka biarlah mereka terhukum seadilnya setimpal air mata para korban banjir di antara Kali Klamono dan Kali Remu.***

“MR. WONG”, SANG PEMBURU MERBAU PAPUA


Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek illegal logging masih marak di Kabupaten Sorong. Para pemburu kayu komersil masih terus melakukan pembalakan kayu baik di hutan hak masyarakat adat maupun di kawasan HGU perkebunan sawit tanpa mengantongi IPK. Sasarannya tentu kayu merbau. Sementara ketersediaan tegakkan kayu jenis merbau sudah semakin jarang. Sudah hampir tidak ditemukan lagi pohon induk di hutan. Karena Sang Pemburu itu pun masih dan semakin bebas membalak secara liar dengan berbagai modus baru, dan alasan yang masuk akal dengan memperdayai masyarakat adat.

Kegiatan pembalakan kayu di Kabupaten Sorong seakan-akan tidak mungkin lagi untuk dihentikan. Pembalakan terus dilancarkan oleh cukong-cukong kayu dengan segala tipu daya untuk meyakinkan masyarakat pemilik hutan. Tidak hanya itu, banyak kayu jenis merbau juga keluar dari HGU perkebunan sawit. Apakah mereka memiliki IPK atau tidak? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Mungkin dan sangat mungkin semua itu non-IPK. Jika non-IPK, apalagi SVLK…..? Tentu saja kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu masih terus melaju dan akan semakin gila pula, setelah ada Pergub 51/2018 yang kembali membuka peluang untuk peredaran kayu bulat menjadi bebas beredar keluar antar pulau di luar Tanah Papua sebagai product unggulan dari provinsi Papua Barat.

Achhh, Sang Pemburu kayu merbau tentu merasa legah dan bahagia luar biasa. Apa yang sebelumnya menjadi “haram”, kini kayu bulat sudah boleh bebas diperdagangkan dan diedarkan antar pulau di dalam negeri atau bahkan diekspor sebagai barang dagang unggulan. Sedih memang, tetapi apa boleh buat. Pohon merbau itu sudah ditumbangkan, juga sudah dijadikan kayu olahan berupa balak 20 cm x 20 cm. Tumpukan kayu balak pun menjadi pemandangan indah di sepanjang jalan menuju distrik Sayosa, Sayosa Timur, Maudus, dan Moi Segen. Mobil-mobil truck pun Nampak berjejer antrian memuat kayu. Karena merbau masih ditempatkan pada posisi “primadona”.

Sang pemburu itu adalah seorang China Malaysia yang dikenal sebagai cukong pembalakan kayu secara liar (illegal logging) dan sudah melalang buana di Indonesia. Dia hanya dikenal dengan sebutan Mr. Wong yang dari rekam jejagnya pernah beroperasi di daerah Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Tanah Papua sejak tahun 2000. Menteri Kehutanan, Malem Sambat Kaban, pernah menjadikan Mr. Wong sebagai salah satu dari 50 cukong pembalakan kayu liar yang masuk dalam daftar hitam target operasi hutan lestari.

“Mr. Wong” pernah menjadi tersangka dan berurusan dengan Mabes Polri pada tahun 2010. Pada Juli 2006, petugas Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Adi, Fakfak, Papua Barat, menangkap kapal MV King Glory, kapal asal Thailand dan berbendera Panama. Kapal tersebut mengangkut kayu hasil penebangan liar di daerah setempat yang hendak diangkut ke Cina dengan menggunakan dokumen pemerintah Papua New Guinea. Kapal dan muatan kayu tersebut terkait dengan bisnis ilegal Mr. Wong. Tidak ada informasi detail kasus tersebut dan diberitakan Mr. Wong  bebas dari tuntutan hukum.

Mr. Wong dikenal selalu berganti nama setelah menjadi warga negara Indonesia. Dia pun beberapa kali lolos dari jeratan hokum dan bisnisnya justeru menggurita di Papua, di bawah bendera Mega Masindo Group, beralamat kantor di Jalan Kelapa Hybrida Raya Blok PF 18 Nomor 32, Kelapa Gading, Jakarta Utara, sedangkan alamat kantor di Sorong Jl. Tidar No.1 Kota Sorong .

Perusahaan-perusahaan pengusahaan hasil hutan kayu yang diketahui dimiliki, dikelola dan dikendalikan oleh Mr. Wong, terdiri dari: (1) PT. Alas Tirta Kencana, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Timika, Provinsi Papua, seluas 87.500 ha; (2) PT. Wukirasari, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Teluk Bintuni dan Kaimana, Provinsi Papua Barat, seluas 116.320 ha; (3) PT. Arfak Indra, perusahaan kayu berlokasi di Fakfak, Provinsi Papua Barat, seluas 153.000 ha, dan (4) PT. Bagus Jaya Abadi (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.120/Menhut-II/2009, tanggal 12 Maret 2009, perusahaan industry pengolahan kayu berlokasi di Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan kapasitas produksi 60.000 meter kubik per tahun.

Selain itu, terdapat juga perusahaan PT. Masindo Mitra Papua, yang beroperasi dalam bisnis angkutan kapal laut atas nama Maspapua, yang digunakan untuk membawa kayu keluar pulau Papua dan diduga menyelundupkan kayu logging ke industry kayu di Papua dan luar Papua. Mega Masindo juga memiliki PT. Mega Nusantara Indah, perusahaan yang menangani bisnis bidang penyewaan alat berat, logging, truk dan excavator. Alat-alat tersebut digunakan dalam operasional logging perusahaan di kota Sorong.

Bisnis pengusahaan hasil hutan kayu Mr. Wong di Papua sering mendapat complain keluhan masyarakat karena permasalahan hak buruh, kelalaian kewajiban pembayaran kompensasi, manipulasi terhadap masyarakat dan laporan hasil produksi, pengabaian tanggung jawab sosial, perampasan hak masyarakat, praktik kekerasan, intimidasi, pengrusakan hutan hingga kejahatan kehutanan di areal konsesi. Kasus-kasus tersebut hingga kini, belum ada penanganan dan penegakan hokum secara jelas. Kedekatan Mr. Wong dengan pejabat nasional dan pejabat daerah ditengarai melindungi aktifitas bisnis anak perusahaan Mega Masindo Group.

Dari hasil penelusuran dan pengembangan informasi selama proses investigasi dan monitoring di lapangan, terungkap bahwa perusahaan lainnya berada di bawah kontrol Mega Masindo Group adalah PT. Papua Lestari Abadi(15.231 ha) dan PT. Sorong Agro Sawitindo (11.000 ha), keduanya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sorong, Papua Barat. Terdapat pula perusahaan pertambangan, yakni: (1) PT. Bagus Jaya Abadi(SK BupatiNomor 223 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara berlokasi di Salawati, Kab. Sorong, seluas 7.843 hektar); (2) PT. Papua Lestari Abadi (SK BupatiNomor 224 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara di Mayamuk dan Salawati, Kab. Sorong, seluas 9.707 ha); (3) PT. Mega Masindo Bara Abadi (SK Bupati Mimika Nomor 122 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (4) PT. Mega Masindo Bara Sukses(SK Bupati Mimika Nomor 123 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (5) PT. Mega Masindo Coalindo(SK Bupati Mimika Nomor 124 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (6) PT. Kalteng Bara Persada(SK Bupati Mimika Nomor 125 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (7) PT. Mega Masindo Bara Utama (SK Bupati Mimika Nomor 126 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha. Bisnis pertambangan tersebut berada dibawah bendera PT. Mega Masindo Energi.

Kejahatan Kehutanan masih marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal ini berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua.  Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang cangih dan terorganisir melibatkan banyak pihak. Walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH). Dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari Kementrian Lingungan Hidup dan Kehutanan, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang  di Indonesia. Sistem yang cangih dan ketat membuat para mavia kayu menciptkan bisnis ilegal yang cangih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus yang baru pula.

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hukum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) menyatakan bahwa di tanah Papua Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT, Provinsi Papua Barat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Dari fungsi kawasan hutan Papua Barat, Hutan Konservas (HK) 1.721.768 Hutan Lindung 1.66.590 hektar Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar sesuai dokumen RTRWP Provinsi Papua Barat tahun 2008-2029.

Papua Barat merupakan salah satu  Provinsi yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Daya tarik Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persensate luas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam.

Namun demikian, praktek mafia illegal logging dan illegal trading juga semakin marak di wilayah Papua Barat yang tentu berdampak pula pada kerusakan hutan alam dan semakin menipisnya tegakan pohon merbau di hutan alam Papua Barat. Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.***

FPIC dan Strategi Negosiasi Bagi Masyarakat Adat


Anda mengalami kesulitan untuk bernegosiasi? Berikut ini adalah Sebuah Panduan Penguatan Kapasitas Masyarakat Adat melalui pendampingan dan pendidikan penyadaran kritis sebagai metode perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya dan perlindungan hak -hak dasarnya atas tanah dan hutan sesuai hukum yang berlaku di ranah internasional, nasional maupun lokal.

Oleh Pietsau Amafnini

Prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent)

FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) merupakan prinsip-prinsip keadilan terkait hak-hak masyarakat adat dalam pembangunan  dimana  mereka  sebagai  komunitas  adat  perlu  dihormati  dan  dihargai  untuk  menyatakan sikapnya secara bebas tanpa tekanan dalam menghadapi pembangunan sektor apapun. Setiap kata dari singkatan FPIC dapat dimaknai sebagaimana kami uraikan di bawah ini.

Free (bebas): kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan membuat keputusan, tanpa dipengaruhi pihak lain, tanpa kekerasan, pemaksaan, intimidasi, rekayasa, manipulasi dan sogokan.

Prior (didahulukan): Hak masyarakat untuk berunding dan mengambil keputusan terhadap proyek yang akan memanfaatkan tanah, sebelum pemerintah dan project developer melaksanakan rencana mereka. Masyarakat diberikan kesempatan dan ‘waktu’ untuk    melakukan konsultasi, mencari informasi dan mencapai kesepakatan.

Informed (diinformasikan): hak masyarakat untuk mendapatkan dan mengakses informasi yang lengkap membaca dan mempelajari, serta menilai informasi. Misalnya: Informasi rencana disain proyek (tujuan, hasil, tahapan, cakupan, prosedur, aktifitas, persiapan, dampak kinerja perusahaan dan sebagainya).

Consent (persetujuan), hak masyarakat adat untuk membuat keputusan dan melakukan perundingan dengan pihak-pihak berkepentingan secara tulus dan menghormati prosedur masyarakat adat setempat. Prosesnya terbuka, adil dan partisipatif, dapat dipertanggungjawabkan, tidak diskriminatif, tidak pro pada kepentingan pemimpin tertentu, melainkan kepentingan masyarakat. Prosesnya bertahap dan berulang-ulang, dapat dianulir kembali persetujuan jika ada pelanggaran.

Prinsip FPIC sesuai kesepakatan negara-negara di tingkat PBB menjamin bahwa: Masyarakat adat mempunyai hak untuk membuat keputusan/persetujuan (consent) yang dilakukan secara bebas (free), tanpa paksaan dan berdasarkan informasi (informed) yang lengkap sejak awal (prior) sebelum proyek pembangunan berlangsung dan memanfaatkan sumberdaya alam dan tanah di wilayah mereka. Maknanya, masyarakat adat mempunyai hak untuk mengatakan “YA”- menerima atau “Tidak” dan – menolak terhadap rencana proyek yang akan berlangsung di wilayah adat mereka. FPIC merupakan alat negosiasi yang adil untuk menyelesaikan bahkan mencegah konflik sejak awal. Masyarakat yang kritis, tidak mengandalkan “KAYU PALANG”, tetapi NEGOSIASI yang Adil.

FPIC DAN PENTINGNYA REFORMASI TENURIAL KEHUTANAN

Mungkin saja banyak masalah yang sudah, sedang dan akan terus dihadapi oleh komunitas masyarakat adat sebagai efek dari kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat, juga efek dari kebijakan pembangunan nasional maupun daerah. Tetapi dalam tulisan ini, kami membatasi diri hanya dan hanya pada masalah terkait Tenurial Kehutanan. Adakah alasannya? Kami hanya bisa bilang, ini masalah sepanjang masa, yang seakan tak ‘kan berkesudahan di negeri ini. Untuk itulah perlu direformasi. Ada begitu banyak istilah pula, tetapi saya mengajak anda untuk menggunakan istilah Reformasi Tenurial Kehutanan. Cukup itu dulu, karena FPIC bisa menyentuh masalah apa saja baik di darat, di laut, maupun di hutan dan udara. Walaupun ada yang bilang, masalah di laut jangan dibawa ke darat. Tapi FPIC adalah satu kunci untuk semua pintu yang bermasalah. Yang sudah rusak, marilah kita betulkan; dan yang masih baik mari kita benahi menuju sempurna dengan FPIC, FPIC dan FPIC.

Mengapa Perlu melakukan Reformasi Tenurial Kehutanan di Indonesia?

  1. Beban  persoalan   tenurial   yang   membelenggu   kehutanan   Indonesia   perlu  diakhiri,   karena ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan menghambat pencapaian efektifitas dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan pemberian izin yang tidak terkoordinasi, penafian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal memicu adanya konflik-konflik tenurial di kawasan hutan.
  2. Kita perlu  arah  perubahan kebijakan penguasaan kawasan hutan  untuk  mencapai kepastian dan keadilan tenurial. Kepastian tenurial terwujud dengan sistem hukum dan kebijakan yang jelas untuk memberikan hak yang kuat dan terlindungi bagi seluruh pengguna hutan. Keadilan tenurial memastikan  meluasnya  akses  kelompok  masyarakat,  terutama  yang  berada  pada  lapis  das ar kemiskinan, pada kawasan hutan, tidak tereksklusi dalam proses pengambilan kebijakan dan memperoleh manfaat yang nyata dari aksesnya.
  3. Reformasi tenurial hutan adalah mandat hukum, dimulai dari UUD’45, Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam, UU No.5/1960 tentang Agraria dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Bagaimana melakukan Reformasi Tenurial? Melalui perbaikan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan:

  1. Merumuskan kembali pengertian definisi tentang kawasan hutan, hutan negara dan hutan adat yang tepat.
  2. Mendorong perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan, melalui revisi peraturan-perundangan yang terkait,  partisipatif,  tata  batas  hak  dan  alokasi  hutan  untuk  rakyat sampai perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa.
  3. Membangun sistem pemetaan yang akuntabel, terbuka dan terintegrasi melalui sistem partisipatif yang didukung dengan dasar hukum yang kuat.
  4. Menyelesaikan tumpang  tindih  perizinan  di  kawasan  hutan  dan  melakukan  penegakan  hukum terhadap  pemberian izin-izin  yang  menyimpang dari  fungsi  kawasan hutan  melalui  kajian-kajian sosial dan kajian tata kelola fungsi lahan sektoral kehutanan, perkebunan, pertambangan, dll.
  5. Menyelesaikan status   hukum   desa-desa  dalam   kawasan  hutan   melalui   pemetaan  partisipatif, pemetaan sosial dan kepastian hukum bagi masyarakat adat yang tetap berada di dalam kawasan hutan dan kepastian tenurial bagi mereka sesuai sejarah/silsilahnya sebagai pengakuan atas hak – haknya atas tanah dan hutan.
  6. Menetapkan hak pengelolaan sebagai alas hak yang sah bagi Kemenhut untuk menguasai kawasan hutan negara (lihat psl.2 ayat 4 UUPA dan PP. No.24/2007 tentang pendaftaran tanah dan membatasi kewenangannya bahwa hanya boleh mengelola kawasan hutan negara.

Bagaimana melakukan penyelesaian konflik kehutanan dalam rangka Reformasi Tenurial kehutanan?

  1. Membangun strategi terpadu untuk penyelesaian konflik tenurial kehutanan
  2. Mempercepat proses penyelesaian konflik dan mencegah terjadinya konflik baru.
  3. Pelembagaan penyelesaian konflik dengan memperkuat lembaga yang sudah ada dan sedang berjalan dengan fungsinya untuk mengidentifikasi konflik, menjalankan mediasi atau memfasilitasi perundingan dalam rangka penyelesaian konflik.

Apa yang seharusnya dilakukan terkait hak masyarakat adat/lokal dalam rangka reformasi tenurial? Perluasan wilayah kelola rakyat (masyarakat adat/lokal) dan peningkatan kesejahteraannya:

  1. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, melalui:
  • Identifikasi/inventarisasi dan pemetaan wilayah adat berdasarkan marga/suku.
  • Pemetaan sosial masyarakat adat (kampung, distrik, kabupaten, provinsi)
  • Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan segala yang terkandung di dalam suatu kawasan tertentu oleh negara sebagai milik marga/suku.
  • Penguatan ekonomi dan sosial masyarakat adat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
  • Pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat suatu marga//suku (komunitas) melalui peraturan-perundangan (UU, PP, Perda).
  • Pembentukan UU untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
  1. Percepatan dan perluasan wilayah kelola masyarakat lokal di sekitar hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat melalui kebijakan dan fasilitasi kegiatan masyarakat adat.
  1. Pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi melalui HKm-Konservasi atau pengelolaan jasa lingkungan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat adat.
  2. Pemberdayaan masyarakat melalui sistem/skema kemitraan dengan: Regulasi yang adil; Kembangkan afirmatif action;  Lembaga  arbitrase  sebagai  pihak  ketiga  penyelesaian  sengketa;  Kelembagaan monitoring dan evaluasi.
  1. Peningkatan kesejahteraan  masyarakat,  melalui  akses  masyarakat  pada  modal,  pasar,  produksi, pendampingan sosial–ekonomi, dukungan pembangunan infrastruktur, akses informasi, kemampuan/keahlian dan keberlanjutan produksi hasil hutan.

FPIC  dan Pemetaan Wilayah Adat Sebagai Alat Penyelesaian Sengketa

  1. Pemetaan wilayah komunitas adat (marga/suku) telah lama dikenal dengan istilah pemetaan partisipatif yang sudah secara luas diterapkan di wilayah masyarakat adat di Indonesia sejak awal 1990-an. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses-proses pemetaan partisipatif:
  2. Masyarakat adat  suku/marga  perlu  membuat  kesepakatan  mengenai  wilayah/kawasan  dengan mengacu pada batas-batas adat sesuai silsilah/history kepemilikannya.
  3. Perlu dilakukan identifikasi batas-batas wilayah  melalui  study/kajian sosial  untuk  mengenal  dan memahami aspek historis kepemilikan lahan/kawasan.
  4. Kesadaran kritis akan pentingnya suatu peta hak ulayat perlu dibangun di pihak masyarakat.
  5. Memastikan bahwa peta-peta tersebut dibuat dengan kesadaran dan kesepakatan penuh dan dengan pengawasan dari anggota masyarakat adat yang terlibat dalam prosesnya.
  6. Memastikan bahwa masyarakat adat memahami tujuan-tujuan pembuatan peta partisipatif.
  7. Melibatkan anggota masyarakat adat  setempat  pada  semua  tahapan  pemetaan  dari  memutuskan informasi   apa   yang   relevan,   mengumpulkan   informasi   di   lapangan,   sampai   mencatat   dan menunjukkan informasi dalam peta-peta dasar.
  8. Sedapat mungkin mencatat pemanfaatan lahan dan batas-batasnya, memasukkan nama-nama lokasi (sesuai  bahasa  lokal)  kategori  pemanfaatan  lahan  dan  istilah-istilah  untuk  jenis-jenis  tanaman, semuanya sesuai penamaan oleh masyarakat adat ke dalam peta-peta tersebut.
  9. Memastikan bahwa semua generasi terlibat dalam setiap prosesnya, orang-orang tua (laki-laki dan perempuan), seringkali yang  paling  mengetahui wilayah-wilayah sejarah,  nilai-nilai budaya,  serta sejarah kepemilikan wilayah adat tersebut.
  10. Melibatkan laki-laki  dan  perempuan  dalam  proses  pemetaan  karena  mereka  sering  cenderung memanfaatkan  lahan  dan  sumberdaya  hutan  secara  berbeda-beda,  keduanya  benar  dan  perlu perlindungan.
  11. Pada daerah yang didiami oleh dua (2) atau lebih kelompok marga/suku yang berbeda, perlu melibatkan semua kelompok  suku/marga  yang  berbeda  dan  berbatasan  tersebut  dalam  proses pemetaan. Semuanya punya hak yang sama untuk terlibat, karena mereka yang tahu batas -batas dan harus disepakati lagi. Hal ini untuk menegaskan hak, hanya satu kelompok yang cenderung mengarah pada konflik dan memperlemah pengakuan semua kelompok tersebut.
  12. Melibatkan komunitas marga/suku tetangga dalam pemetaan batas-batas yang berada pada masing- masing wilayah mereka. Jika batas-batas tersebut di kemudian hari disengketakan oleh suku/komunitas tetangga, maka klaim hak atas wilayah tersebut menjadi lemah bagi semua kelompok suku tersebut.
  13. Pastikan bahwa      peta-peta  diperiksa  dengan  teliti  oleh  anggota  masyarakat,  direvisi  jika  perlu, sebelum digunakan dalam negosiasi-negosiasi dengan pihak ketiga (lihat tujuan peta). Jika itu untuk kepentingan perlindungan hak adat, maka sebaiknya tidak untuk diperjual-belikan.
  14. Jika hukum nasional memungkinkan, tetapkan hak kepemilikan intelektual atas peta dan database yang terekam sebagai kepemilikan masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.
  15. Buat aturan untuk melindungi pemanfaatan informasi, sehingga informasi tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan untuk kepentingan orang lain.
  16. Membuat kesepakatan bersama dalam  menunjuk  siapa  yang  diberikan kuasa  kepercaya an  untuk menyimpan  peta  dan  informasi  yang  sudah  jadi  sebagai  asetmilik  bersama  untuk  menghindari penyalahgunaan wewenang terhadap kepemilikan peta dan fungsinya.
  17. Sebagai tindakan pencegahan dan penyelesaian masalah yang melibatkan masyarakat adat sebagai komunitas dengan pihak lain misalnya perusahaan dan pemerintah, maka yang perlu dilakukan adalah menjalankan prinsip-prinsip  FPIC;   Musyawarah adat/kampung; pemetaan hak adat; menulis/membuat aturan  kampung/desa;  pertemuan  kampung;  membuat  rencana  pembangunan kampung/desa; pertemuan antara kampung, antar marga, antar suku hingga pertemuan pihak -pihak terkait yang berkepentingan (komunitas adat, perusahaan, pemerintah) dengan difasilitasi oleh pihak penengah/arbitrase yang disepakati bersama oleh semua pihak bersengketa.

FPIC: Antara Hak Masyarakat Adat dan Kewajiban Pengembang Investasi

Sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC bahwa masyarakat adat berhak memperoleh informasi yang lengkap sejak awal dan mengetujui atau menolak secara bebas tanpa tekanan, maka tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang harus dibuat sebagai kewajiban oleh perusahaan pengembang proyek (investor) dan karenanya perlu diketahui oleh komunitas masyarakat adat setempat sebagai hak sesuai FPIC adalah:

  1. SCOPING: perusahaan  harus  periksa  siapa  saja  kelompok  masyarakat  di  dalam  kawasan/lokasi sasaran proyek.
  2. Lembaga apa saja yang mempunyai peran penting dalam pengurusan kampung dan komunitas adat setempat.
  3. Konservasi/perlindungan terhadap potensi nilai konservasi tinggi misalnya tempat-tempat pemali dan hewan endemik yang terancam hilang dan punah; dan karenanya pemetaan/tata ruang kawasan menjadi sangat penting untuk ditunjukkan dan diketahui oleh masyarakat. Pemetaan tata ruang untuk dampak sosial dan lingkungan perlu mencakup: peta wilayah adat, luasan kawasan adat, kepemilikan marga/suku/komunitas, terutama memperhitungkan alokasi kawasan untuk menjamin keberlangsungan hidup komunitas adat.
  4. Masyarakat  dan   perusahaan   sama-sama   menyediakan   informasi   yang   lengkap,   tentang:   a) kemungkinan adanya tumpang tindih hak atas lahan/kawasan (misalnya: perusahaan/tambang, kayu; pemerintah/CA, HL; komunitas adat/tempat pemali, hutan sagu, kebun). b) masyarakat adat harus menunjukkan bahwa komunitas mereka adalah pemegang hak  atas tanah dan kawasan hutan. c) perusahaan harus  menyediakan informasi  lengkap  mengenai  DAMPAK  (positif,  negatif),  manfaat, resiko, keuangan, perizinan, mitra kerjanya dengan siapa saja.
  5. Masyarakat adat  harus  bangun  komitmen  untuk  tegas  dengan  FPIC  dimana  mengedepankan Musyawarah Adat/Kampung.
  6. Masyarakat adat harus membentuk TIM BERUNDING yang beranggotakan Laki-laki dan perempuan, tokoh adat, pemerintah desa).  Tim berunding ini harus bekerja sesuai masa waktu usia kontrak perusahaan, misalnya kalau perusahaan tersebut kontrak kerjanya 30 tahun, maka masa kerja tim berunding ini harus berusia 30 tahun pula. Tim Berunding ini dapat memainkan perannya untuk bertanya: Apa manfaatnya untuk masyarakat; bagaimana pembagian keuntungan; apa bentuk penyaluran dari perusahaan dan pemerintah; bagaimana menghadapi dampak; cara mendapatkan hak atas keuntungan; bagaimana kalau perusahan tiba-tiba bangkrut, dll. Semua hasil dari proses pertemuan antara Tim Berunding dengan pihak perusahaan maupun pemerintah wajib disampaikan dalam forum pertemuan/musyawarah adat/kampung.
  7. Tim Berunding tidak boleh membuat agenda dan permintaan-permintaan sendiri di luar ketentuan yang disetujui bersama dalam musyawarah adat/kampung. Untuk itu dalam menghadapi perusahaan (ketika harus bernegosiasi secara adil) maka komunitas dalam musyawarah itu harus membuat Target TUNTUTAN Tertinggi, dan ketika ditanggapi dengan melemah, Tim Berunding tidak dapat mengambil keputusan sendiri  dalam  proses  negosiasi  itu,  tetapi dimusyawarahkan kembali  dengan  anggota komunitas. Tim harus menyiapkan diri secara fisik dan mental. Tim Berunding selalu harus melaporkan kembali setiap hasil perundingan kepada warga/anggota komunitas dalam musyawarah. Setiap hasil tahapan bisa saja berakibat fatal/macet, maka KEMBALI ke TUNTUTAN AWAL dimana Musyawarah menentukan TARGET TERTINGGI. Kesepakatan Akhir antara Tim Berunding dengan perusahaan setelah menempuh proses sesuai prinsip FPIC merupakan SOLUSI dan karenanya Kesepakatan tersebut MENGIKAT kedua belah pihak. Biasanya ketika belum ada solusi, maka muncu l ancaman, intimidasi yang menyebabkan masyarakat menjadi pecah-belah, pro – kontra. Kesepakatan pun biasanya berupa UANG dan Pembangunan Fisik. Jangan menerima kompensasi berupa “iming – iming/janji-janji” kesejahteraan berjangka panjang.
  8. Masyarakat adat  harus  menyiapkan  rencana  kalau  terjadi  kesepakatan:  bentuknya  jelas,  apakah berupa    koperasi    atau    berupa uang tunai dan langsung    dibagi    sesuai    dengan    jumlah jiwa/keluarga/marga, dll.
  9. Terkait KESEPAKATAN,  maka   Masyarakat  Adat  JANGAN  TANDA  TANGANI:  Kwitansi  Kosong; dokumen yang tidak lengkap atau dokumen yang merujuk pada LAMPIRAN yang tidak ditunjukkan; dokumen  yang  masih  ada  titik-titik  (………….)  atau  ruang  kosong  yang  tersembunyi……;  dokumen contoh; hati-hati terhadap politik pecah-belah dengan isu-isu hasutan pro/kontra dan iming-iming uang  dan  lain  sebagainya  yang  dapat  memperlemah posisi  masyarakat adat.  Untuk  itulah,  maka perjanjian dan dokumen perjanjian/kesepakatan penting dibaca, diteliti, dipertimbangkan dan ditandatangani NOTARIS sebagai pejabat negara yang berwenang dalam Hukum Perikatan.
  10. Penegasan isi perjanjian/kesepakatan oleh NOTARIS dan diketahui Pemerintah Daerah.
  11. Mengawasi Pelaksanaan isi Kesepakatan FPIC. Bila ada hal yang menyimpang dari kesepakatan, maka komunitas adat melalui musyawarah melakukan komplain.

Semoga Lembaran Panduan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat adat dan semua aktivis pendamping komunitas masyarakat adat, khususnya para aktivis JASOIL yang selalu bekerja tanpa pamrih penuh pengabdian untuk KEADILAN di Tanah Papua. ****Koordinator JASOIL Tanah Papua

UU DESA: Otonomi Desa tak dapat berjalan tanpa BUMDes……….(bagian_7)


Pelaksanaan UU Desa No.6/2014 tidak hanya untuk kemandirian pemerintahan desa dalam kebijakan pembangunan desa. Karena Nyawa UU Desa itu ada di BUMDes yang lahir dari semangat kemandirian desa sesuai mandate UU Desa (baca: Otonomi Desa). Makna kemandirian itu sendiri menyasar dua bidang yaitu mandiri dalam keuangan, serta mandiri dalam mengelola pemerintahan. Seiring dengan diberikannya kebebasan kepada pemerintah desa untuk mengelola sendiri urusan internalnya, berdampak pada beban keuangan yang juga harus dipikul oleh pemerintah desa. BUMDes hadir dalam rangka menyasar kemandirian dibidang keuangan desa. Lembaga ini diproyeksikan untuk turut membantu pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa (PAD) untuk kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Namun tidaklah berarti, BUMDes adalah “MESIN UANG” semata.

Oleh Pietsau Amafnini

Memang, tentu butuh banyak energy terkuras bila pembangunan harus didorong dari pinggiran dan pelosok-pelosok agar memperkuat Indonesia dari kemajuan daerah-daerah. Impian bahwa kemiskinan harus terhapuskan dari bumi Indonesia dengan strategi ‘membangun Indonesia dari desa’. Namun, kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena multidimensional yang disebabkan tidak saja oleh faktor ekonomi, tetapi juga keterbatasan akses terhadap layanan dasar dan ketidak-terpenuhinya pelayanan dasar itu. UU Desa No.6/2014 sudah menjadi peluang menuju Indonesia yang jauh lebih baik dan mandiri secara ekonomi. Bahkan sejak awal, para pendiri bangsa dan Negara ini sudah bergumul dengan aspek kemandirian ekonomi itu.

Muhammad Hatta dalam konsepnya tentang Koperasi justru menekankan kemandirian bangsa dan Negara ini hanya melalui pertumbuhan ekonomi kerakyatan dengan prinsip kegotong-royongan sebagai modal social pembangunan. Namun, kenyataan menjadi lain bahwa kini usia Indonesia yang ke-73 tahun pun bangsa dan Negara ini hidup dari Utang Luar Negeri. Lantas sampai kapankah kemandirian itu bisa nampak? Ternyata kemerdekaan itu hanya sebuah kedaulatan politik, tetapi tidak dalam hal kemandirian ekonomi. Buktinya, kebanyakan investasi asing yang menguasai ‘lahan’ Indonesia. Tidak hanya itu, urusan tenaga kerja pun dikuasai oleh asing. Nah, rupanya untuk mewujudkan “desa memajukan Negara”, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi tidaklah berarti bahwa itu cuman slogan semata. Ada kemajuan, tetapi tidak seberapa. Ada perubahan, tetapi masih samar-samar. Bahkan kita harus berusaha untuk keluar dari lilitan utang luar negeri, dan juga ketergantungan pada product import dari luar negeri.

Jika konsep koperasi dimaksudkan untuk mendorong kemandirian ekonomi bangsa, maka sekiranya konsep BUMdes merupakan wadah usaha dengan tujuan yang sama dimulai dari desa. Sama-sama kelembagaan ekonomi. Bedanya, koperasi berbasis anggota dan bermodalkan sumbangan anggota. Sedangkan BUMDes berbasis masyarakat desa, bermodalkan dana dari ADD yang bersumber dari APBN. Dilihat dari tujuannya secara garis besar memang sama antara koperasi dan BUMDes, tetapi ada perbedaan prinsip antara koperasi dan BUMDes. Dalam bentuk BUMdes ada kemitraan antara pemerintah desa dengan mayarakat yang meletakan kekuasaan tertinggi pada musyawarah desa, berbeda dengan koperasi. Koperasi adalah kelembagaan ekonomi yang didirikan oleh beberapa orang yang mempunyai tujuan yang sama, kekuasaan tertinggi ada pada rapat anggota. Modal BUMDes menggunakan dana desa dari pemerintah pusat yang diberikan untuk desa. Dengan bantuan modal dari pemerintah pusat, BUMDes bisa mengelola potensi-potensi yang ada di desa untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan upaya mengatasi kesenjangan ekonomi yang tercipta antara desa dan kota.

Dalam rangka mengatasi kesenjangan antar wilayah dan antara desa dan kota, pemerintah menerapkan paradigma “Membangun dari Pinggiran” yang berarti membangun daerah-daerah tertinggal dan kawasan-kawasan perdesaan. Pemerintah percaya pembangunan berbasis perdesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan antarwilayah. Sebagai solusi bagi perubahan sosial, desa mempunyai posisi strategis sebagai basis perubahan.

Pertumbuhan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat serta perubahan struktur perekonomian Indonesia memiliki dua konsekuensi penting yaitu; pertama, penduduk golongan menengah ke bawah semakin membutuhkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif; dan kedua, adanya potensi meningkatnya kesenjangan antar kelompok berpendapatan rendah dan menengah ke atas. Sistem perlindungan sosial diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar bagi penduduk yang kurang mampu serta menjaga mereka dari guncangan sosial ekonomi yang mungkin terjadi. Dalam mengurangi kesenjangan ekonomi, perlu perluasan akses terhadap kesempatan lapangan kerja dan sumber-sumber kegiatan ekonomi setempat.

Dalam konteks itu maka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi harus digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan karena dipandang memberi peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Infrastruktur desa, seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan, kesehatan dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan, harus menjadi lebih baik dan merata sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan Lembaga Usaha Desa yang dikelola oleh masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Pendirian BUMDes harus didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDes dibangun atas dasar prakarsa masyarakat, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, transparansi, emansipatif, akuntabel, dan sustainabel dengan mekanisme member-base and self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional dan mandiri.

Selain itu yang perlu diingat adalah BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution). BUMDes sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan. Tentu butuh ketekunan dan keuletas tersendiri, selain semangat kebersamaan dan kekompakan dalam upaya mengembangkan usaha-usaha kreatif yang menjadi bagian dari impian bersama untuk mewujudkan perubahan-perubahan di perdesaan.

Untuk dibedakan dari kelembagaan lainnya, BUMDes sendiri memiliki cirri khas tertentu, yakni: dimiliki oleh desa dan dikelola bersama oleh masyarakat desa; modal bersumber dari desa sebesar 51% dan dari masyarakat sebesar 49% melalui penyertaan modal (saham atau andil); operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya local; bidang usaha yang dijalankan berdasarkan pada potensi dan informasi pasar; keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat melalui kebijakan desa; Difasilitasi oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintahan desa; selanjutnya operasionalisasi dikontrol secara bersama oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), Pemerintah Desa dan Anggota.

Tentu ada tujuannya, bahwa pendirian BUMDes dimaksudkan untuk: meningkatkan perekonomian desa; meningkatkan Pendapatan Asli Desa; meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa. Nah, untuk bisa mencapai empat tujuan BUMDes di atas tentu harus dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan barang dan jasa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (pihak luar desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan sesuai standar pasar. Artinya perlu ada mekanisme kelembagaan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi pedesaan disebabkan oleh usaha BUMDes.

Apa yang dimaksud dengan ”kebutuhan dan potensi desa” adalah: kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok; tersedia sumber daya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar; tersedia sumber daya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat; adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi. Apa yang dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi desa seperti antara lain: usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis lainnya; penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa; perdagangan hasil pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan agrobisnis; industri dan kerajinan rakyat.

Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai badan hukum yang berpijak pada tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa.

Sebagaimana kita ketahui BUMDes merupakan lembaga yang baru hadir dari adanya semangat kemandirian desa. Makna kemandirian itu sendiri menyasar dua bidang yaitu mandiri dalam keuangan serta mandiri dalam mengelola pemerintahan. Seiring dengan diberikannya kebebasan kepada pemerintah desa untuk mengelola sendiri urusan internalnya, berdampak pada beban keuangan yang juga harus dipikul oleh pemerintah desa. BUMDes hadir dalam rangka menyasar kemandirian dibidang keuangan desa. Lembaga ini diproyeksikan untuk turut membantu pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa untuk kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.

Akan tetapi disisi lain BUMDes juga mendapat tanggungjawab untuk melaksanakan tujuan sosialnya yaitu melaksanakan aspek pemberdayaan kepada masyarakat desa. Tujuan sosial ini lebih cenderung untuk menjaga agar nantinya BUMDes tidak semata-mata hanya mengejar nilai profit, tetapi juga mampu memberikan dampak secara nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Selain itu harus disadari bahwa, BUMDes hadir di wilayah pedesaan yang memiliki ikatan sosial budaya yang kuat, dimana masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai adat. Hal itu pula yang mengharuskan BUMDes menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa. Artinya, apa yang masih tak mungkin dilakukan karena tak menjadi kebutuhan mereka, jangan dipaksakan. Misalnya yang dibutuhkan adalah pengembangan sector pertanian daripada pengelolaan warung makan atau kios sembako karena kekhawatiran manajement, maka sebaiknya mengutamakan sector pertanian.

BUMDes sebagai kelembagaan ekonomi, memiliki dua tujuan besar yaitu mengejar profit untuk peningkatan pendapatan asli desa dan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat. Kedua tujuan tersebut kemudian menjadi acuan utama dalam mengelola BUMDes. Akan tetapi menjadi sulit ketika dalam prakteknya kedua tujuan utama dibenturkan. Hal ini dikarenakan kedua tujuan tersebut bertolak belakang. BUMDes tidak bisa disamakan dengan logika pengelolaan layaknya bumn yang memang mengejar profit sebesar-besarnya, ataupun dengan konsep pengelolaan layaknya LSM yang mengutamakan fungsi pemberdayaan kepada masyarakat daripada mengejar profitnya. Artinya, menggabungkan dua tujuan besar ini bukanlah hal yang mudah, dan memang masih menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah desa untuk merumuskan konsep pengelolaan BUMDes yang ideal.

Salah satu solusi yang dapat dilaksanakan adalah dengan merumuskan anak usaha BUMDes yang menyentuh aspek pemberdayaan di dalamnya. Sebagai contoh, anak usaha BUMDes yang mengelola pasar desa. BUMDes selain memungut retribusi terhadap pedagang di pasar desa, juga dapat memberikan pelatihan manajemen usaha yang baik, atau menerapkan SOP yang jelas dalam kegiatan jual beli di pasar desa. Sehingga secara tidak langsung, selain mendapatkan keuntungan dalam memungut retribusi di pasar desa, masyarakat juga mendapat tambahan wawasan mengenai cara mengelola dagangannya dengan baik serta pemahaman mengenai transaksi dagang di pasar. Hal ini bisa menjadi contoh sederhana bagaimana menggabungkan dua tujuan besar BUMDes dilaksanakan dalam satu kegiatan.

Solusi lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah dengan melibatkan langsung atau merekrut warga desa sebagai karyawan dalam anak usaha BUMDes. Nantinya ketika mereka sudah direkrut kemudian dilakukan peningkatan kemampuan khususnya dalam dunia kerja. Sehingga diharapakan nantinya anak usaha BUMDes akan berjalan dan mendapat profit. Tetapi di sisi lainnya, warga desa yang terlibat langsung dalam usaha tersebut bertambah wawasan dan kemampuannya dalam dunia kerja. Strategi ini juga menjamin bahwa masyarakat di desa diberi ruang bagi pemerintah desa untuk dapat terlibat langsung dalam mengelola BUMDes sesuai peran dan fungsi yang diberikan.

Memang bukan hal yang mudah dalam mengelola BUMDes. Apalagi dengan tanggungjawab yang cukup besar. Akan tetapi tidak perlu jadi pesimis. Harus selalu optimis untuk perubahan. Kenapa orang lain bisa dan kita tidak bisa. Untuk itulah, maka diperlukan kreatifitas dan keberanian dalam mengelola BUMDes sehingga kelak menjadi lembaga yang memberi manfaat yang nyata bagi masyarakat di desa. Salah satu yang menghambat berkembangnya BUMDes sebagai unit usaha milik desa adalah karena sebagian kepala desa beranggapan bahwa BUMDes harus menjalankan fugsinya sebagai Mesin Uang. Akibatnya, banyak BUMDes menjalankan usaha yang justru mematikan usaha warga dan sebagian lagi segera mati karena tak mampu menjalankannya. Padahal dana terlanjur mengucur sebagai modalnya. Prinsip BUMDes sebagai Mesin Uang boleh menjadi semangat pengelolaan usaha, tetapi tidak dimaksudkan untuk BUMDes dapat mematikan usaha dan kreatifitas individu setiap anggota masyarakat di desa. Justru sebaliknya BUMDes harus membantu memberikan dukungan agar semakin berkembangnya usaha-usaha pribadi masyarakat itu.

Salah satu yang membuat pemahaman mengenai fungsi BUMDes menciut menjadi ‘mesin uang’ adalah karena selama ini wacana yang berhembus mengenai BUMDes yang hebat adalah BUMDes yang mampu membukukan miliaran rupiah setahun dari usaha yang dijalankannya. Fakta ini bahkan terpapar dengan gamblang pada setiap award mengenai ‘BUMDes-BUMDes Terbaik baik di tingkat nasional maupun regional. Award ini sebenarnya perlu dilihat sebagai upaya memotivasi usaha-usaha kreatif rakyat memalui peran BUMDes antar Desa di seluruh Indonesia. Sederhananya, “kenapa dorang bisa dan kitorang tidak bisa?”.

Beberapa BUMDes memang memiliki penghasilan yang mencengangkan, terutama di daerah Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Bagi masyarakat desa di Tanah Papua, mungkin hal ini masih menjadi proses belajar ke depan. Di luar Papua, memang ada desa-desa yang sudah maju sebelumnya. Mereka malah sudah mempunyai asset obyek wisata berbasis desa sehingga mengundang ribuan orang datang berwisata ke sana. Obyek wisata itu bahkan sebenarnya memang sudah ramai sejak sebelum wacana BUMDes membahana di nusantara pada pasca penetapan UU Desa No.6/2014. Sehingga sebenarnya bukanlah sebuah prestasi, tapi tak perlu kitorang heran karena itu;ah kesepakatan masyarakat desa untuk dijadikan bagian dari usaha BUMDes, makanya begitu dikelola BUMDes, lalu menciptakan angka penghasilan yang luar biasa. Mengapa? Karena modalnya sudah didukung dengan Alokasi Dana Desa, dan tentu didukung penuh juga dengan APBD Kabupaten dan Provinsi. Bahkan ada pula BUMDes yang dianggap sukses luar biasa tetapi ternyata infrastruktur yang dijalankan BUMDes untuk menghasilkan uang adalah infrastruktur yang lahir karena bantuan pemerintah pada jauh hari sebelum BUMDes mengelolanya. Fenomena ini terjadi pada beberapa BUMDes yag dinilai gemilang karena berhasil mengelola layanan dan usaha tertentu misalnya penyediaan air minum kemasan, usaha air gallon, usaha pulsa listrik dan pulsa telkomsel. Tidak hanya itu, tapi pada beberapa BUMDes yang kelola Pabrik Minyak Atsiri dan juga Budidaya Tanaman Penghasil Minyak Atsiri seperti Sereh Wangi, Akar Wangi, Nilam dan lain sebagainya.

Fenomena ini menciptakan beberapa akibat yakni sebagian besar kepala desa menganggap BUMDes yang hebat hanya diukur dari jumlah pendapatan rupiah yang dibukukan setiap tahun. Akhirnya, mereka terus mencari cara agar bisa menciptakan BUMDes yang bisa menghasilkan yang sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya, mendirikan unit usaha yang sebenarnya sudah dijalankan sebagian warganya. Soalnya, merumuskan jenis bisnis yang baru sama sekali tidak mudah bagi seorang kepala desa dan perangkatnya. Artinya apa? Jangankan merumuskan konsep usaha baru, yang kalaupun toh bisa dilakukan, tetapi belum tentu berhasil. Akhirnya, ada banyak cerita BUMDes yang penuh semangat mendirikan unit usaha lalu dalam hitungan bulan kemudian mandeg tak jelas nasibnya.

Akibat kedua adalah sebagian desa menjadi ciut nyali mengejar ‘ketertinggalannya’. Mereka merasa tidak memiliki potensi alam yang hebat sebagaimana BUMDes yang dianggap hebat dan tak punya pula potensi yang hebat untuk diolah menjadi BUMDes yang hebat. Pendeknya, mereka merasa tak akan bakal besar dan hebat dengan kondisi desanya. Belum lagi menghadapi resiko hukum jika salah kelola dana desa. Soalnya, tak sedikit pula kepala desa yang kini mendekam di penjara karena diputus salah dalam mengelola dana desa. Tetapi tidaklah berarti bahwa nyali kita menjadi pudar untuk mewujudkan perubahan desa dengan menumbuhkan usaha-usaha kreatif yang produktif dengan semangat pengelolaan BUMDes. Karena itulah semangat UU Desa itu sendiri, bahwa kemandirian ekonomi desa adalah mutlak diperlukan, sehingga diatur secara tegas dalam UU ini. Mengapa demikian? Supaya masyarakat desa dan pemerintah desa tidak hanya berharap sepenuhnya pada Alokasi Dana Desa dari APBN sebagai satu-satunya modal Pendapatan Asli Desa. Itu artinya, kita masih tetap bersikap pasif pada pembangunan dan berprinsip “NRIMO”, asal jadi dan yang penting ada.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

UU DESA: Slogan “Desa memajukan Indonesia” masih berjalan di tempat ……(bagian_6)


Impian kita adalah, masyarakat kampung tidak menganggap kota adalah segalanya. Justru sumber penghidupan itu tersedia di tempat mereka berada, yaitu Kampung (desa). Jika Kota adalah tempatnya keramaian, mengapa tidak diadakan di tingkat kampung? Undang-undang Desa sudah memberi peluang besar untuk semua perubahan dimulai dari kampung (desa), tetapi semangat perubahan itu pun kini seakan berhenti di tengah jalan. Slogan “Desa membangun Indonesia, atau Desa memajukan Indonesia” pun menjadi kabur dan berjalan di tempat. Mengapa? Mungkin saja kita terlalu termanja untuk membangun diri sendiri, sehingga segala sesuatu hanya bisa berharap “Nanti Tuhan Tolong”. Lantas untuk apa ada UU Desa….?

Oleh Pietsau Amafnini

Tidak disadari, ternyata kini usia UU Desa sudah hendak memasuki tahun kelima. Kontribusinya juga sudah tentu sangat signifikan dalam membangun seluruh desa di Indonesia. Perubahan wajah desa pun sudah nampak, walaupun belum keseluruhannya. Namun demikian, tak berarti bahwa UU Desa bermaksud memanjakan masyarakat untuk berharap pada bantuan Negara dari konsekuensi pelaksanaan undang-undang ini. Lebih dari itu, perlu diakui bahwa untuk mewujudkan “desa memajukan Negara”, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi tidaklah berarti bahwa itu cuman slogan semata. Ada kemajuan, tetapi tidak seberapa. Ada perubahan, tetapi masih samar-samar.

Selama hampir lima (5) tahun sejak UU Desa diterapkan, kami terus melakukan monitoring sebagai tanggungjawab social terhadap pelaksanaannya. Sejumlah kampung di provinsi Papua dan Papua Barat disinggahi untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak positif dari pelaksanaan UU Desa. Perubahan tentu ada saja, karena memang ada anggarannya. Bahkan di setiap kampung dipastikan ada petugas Pendamping Desanya. Mereka pun bekerja keras, walaupun banyak keluhan. Soal keluhan dari para pendamping desa, tentu terkait apa yang menjadi hak mereka.

Selanjutnya dengan tulisan ini, kami menyampaikan hasil kajian kami terhadap pelaksanaan kegiatan tahun 2015 hingga tahun 2017, dimana dominan ADD dimanfaatkan untuk pembangunan sarana-prasarana (sarpras) desa, yang sebagian besar berupa jalan, jembatan, dan bangunan fisik lainnya. Sarpras yang ditemukan umumnya berkualitas rendah, lebih mahal, dan kurang memberikan manfaat bagi masyarakat di desa. Sementara itu, penggunaan ADD untuk kegiatan peningkatan kapasitas aparatur desa, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta usaha ekonomi desa justru masih sangat terbatas.

Dari observasi dan wawancara sejumlah tokoh terkait pelaksanaan Alokasi Dana Desa (ADD), sedikitnya ada empat temuan utama, yaitu: ADD yang dianggarkan desa untuk pembangunan sarana-prasarana mencapai kisaran antara 85% hingga 90%; Terbatasnya pilihan kegiatan sarpras yang didanai dan kualitas teknis yang masih rendah; Pengadaan barang dan jasa di desa belum menggunakan ketentuan yang memadai; Rendahnya kapasitas pendamping desa dalam aspek teknis, fasilitasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa; serta terbatasnya kemampuan aparatur pemerintah desa dalam proses penyusunan dokumen perencanaan pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa.

Selain itu memang ada indikasi pengambilan keputusan sepihak oleh aparatur pemerintah desa, tanpa melibatkan masyarakat. Adapun factor prinsip top down yang masih dominan dari tingkat Kabupaten, Provinsi dan Pusat. Sehingga impian bahkan rencana pengembangan usaha-usaha mikro pun jadi terhambat di tingkat desa. Banyak desa menginginkan agar sector pertanian dan usaha-usaha mikro menjadi prioritas pengelolaan ADD, agar dapat memacu peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat dimulai dari tingkat rumah tangga. “Perubahan harus dimulai dari ranah rumah tangga, itu Negara lingkup terkecil. Karena itulah usaha-usaha kreatif di bidang pertanian yang produktif harus diprioritaskan. Pemerintah juga harus memfasilitasi teknologi tepat guna dan juga akses pasarnya”, kata seorang responden di kabupaten Tambrauw, Papua Barat dalam kesempatan diskusi di awal Juli 2018.

Nah, mungkin pernyataan responden di atas ada benarnya. Karena memang upaya memperbaiki penghidupan rumah tangga miskin secara berkelanjutan adalah prioritas pemerintah di banyak negara miskin dan berpenghasilan menengah. Namun, bukti dari apa yang berhasil dan apa yang tidak dalam mendorong usaha mikro serta meningkatnya lapangan kerja sebagai sumber mata pencaharian masih terbatas, itulah masalahnya di negara-negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia.

Beberapa inisiatif yang menjanjikan (global dan lokal) telah mencoba menggabungkan berbagai kegiatan dengan mengadopsi pendekatan multi-sektoral (menyediakan dukungan modal atau aset, pelatihan, program bantuan konsumsi, simpanan, jaringan sosial, keterhubungan pasar, dan lainnya) guna membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinan. Namun masih juga menuai banyak kendalanya. Dengan demikian, berdasarkan pengalaman dan praktik sebelumnya di Indonesia dan bukti global saat ini, pemerintah Indonesia telah merancang suatu program, Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B), untuk memperbaiki penghidupan dan produktivitas pekerja dan rumah tangga miskin.

Dari kajian ini, kami hendak menyajikan evaluasi dampak yang bertujuan untuk menilai keefektifan komponen inti P2B: program peningkatan kesejahteraan keluarga melalui pemberdayaan masyarakat (PKKPM). Pertanyaannya adalah apa yang harus dibuat dengan PKKPM ini? Kembali ke mandate UU Desa, maka BUMDes harus dijalankan. Tidak bisa tidak. Karena itulah jalan menuju kesejahteraan keluarga dari tingkat desa.

Melalui tulisan ini, kami juga bermaksud untuk mengevaluasi formula dana desa beserta implikasinya terhadap distribusi dana antar wilayah dan antar daerah, serta menganalisis distribusi dana desa dalam kaitannya dengan ketersediaan dana untuk membantu penanggulangan kemiskinan. Evaluasi ini sangat penting mengingat formula dana desa sudah digunakan untuk pengalokasian di tahun 2015 hingga 2018 ini. Jumlah dana desa pun akan terus semakin meningkat sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memenuhi jumlah yang diamanatkan oleh UU Desa. Sesuai rencana penganggaran Dana Desa yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, diperkirakan jumlah dana yang dikelola oleh pemerintah desa pada 2017 dan 2018 adalah Rp.128 triliun dan terus meningkat menjadi Rp.178,5 triliun di tahun 2019. Sementara, pembentukan desa baru di daerah-daerah pun terus bertambah.

Adapun tantangan lain, yakni bagaimana agar dana yang masuk ke desa tersebut dapat dibagi dengan adil kepada 74.754 desa (mungkin saja sudah bertambah lagi) di seluruh Indonesia. Sehingga perlu ada penyesuaian berdasarkan tinggi-rendahnya keberagaman ukuran (jumlah penduduk dan luas wilayah), tingkat kemiskinan dan tingkat kemajuan desa di Indonesia. Selanjutnya, bagaimana seharusnya anggaran desa itu digunakan secara efisien dan efektif oleh desa untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini, maka semestinya memang perlunya menumbuh-kembangkan usaha-usaha kreatif di sector pertanian dan sector lainnya yang produktif. Misalnya, pengelolaan tanah dan lahan kas desa sebagai asset penting untuk sector pertanian. Peran BUMDes adalah mengelola asset desa itu dengan dukungan penuh dari ADD.

Berpijak pada UU Desa, memang mengamanatkan agar ADD yang bersumber dari APBN dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Namun defacto, saat ini 90% dana desa masih dibagi rata sebagai alokasi dasar, dan 10% sisanya dibagi berdasarkan empat variabel tersebut di atas. Dari hasil analisis skala nasional, formula dana desa masih dapat berkontribusi pada peningkatan ketimpangan, mengingat keberagaman desa yang sangat besar antar daerah, bahkan di dalam suatu wilayah provinsi.

Sementara itu, keberagaman antar daerah yang menggambarkan kebutuhan untuk meningkatkan layanan dan penanggulangan kemiskinan tidak disesuaikan dengan baik, karena hanya 10% mempengaruhi distribusi. Semestinya daerah yang memiliki jumlah desa yang banyak dengan jumlah penduduk miskin yang sedikit, akan mendapatkan dana desa yang jauh lebih besar dari daerah yang memiliki jumlah desa yang sedikit namun penduduk miskinnya banyak. Dengan demikian, formula yang diterapkan saat ini kurang mendukung tujuan UU Desa, yaitu untuk pemerataan pembangunan dan peningkatan akses masyarakat miskin terhadap layanan publik. Untuk itulah, jika melalui analisis kebijakan ini kami mengusulkan agar proporsi alokasi dasar dalam dana desa adalah sebesar 70% dan 30% dihitung berdasarkan formula yang juga mempertimbangkan variabel yang terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan dan keadilan.

Kini, usia pelaksanaan UU Desa sudah memasuki tahun kelima. Kontribusinya pun tentu sudah sangat signifikan dalam membangun seluruh desa di Indonesia. Semua program prioritas pun tentu relatif sudah dijalankan, walaupun masih ada sebagian desa yang belum mampu menjalankan secara optimal. Alokasi Dana Desa pun sudah semakin meningkat hingga mencapai rata-rata Rp.800 juta per-desa di tahun 2018 ini. Hal ini berarti bahwa kondisi perdesaan sudah jauh lebih maju.

Ya, tentu desa-desa di Indonesia kini sudah mampu meningkatkan kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pembangunan, sehingga mendorong pergerakan ekonomi yang semakin dinamis. Semua pihak terkait yang terlibat dalam perintisan UU Desa dan memperjuangkannya hingga ditetapkan menjadi sebuah peraturan-perundangan, tentu kini walaupun mungkin “terabaikan”, tetapi toh sebuah keberhasilan dalam mendorong perubahan di negeri ini telah terbukti dengan adanya ‘otonomi desa’. Diharapkan pengelolaannya benar-benar sesuai visi dan misi pembangunan desa, bahwa “desa membangun Indonesia” itu memang terbukti, jangan berhenti di tengah jalan. Memang berjalan, tapi masih di tempat.

Tak dapat dipungkiri pula bahwa masih ada desa yang belum mampu menyerap secara penuh anggaran dari pemerintah pusat karena terkendala kualitas sumberdaya manusia dan rezim administrasi yang melampaui kemampuan aparatur desa. Sehingga, keberadaan tenaga pendamping desa dan program pelatihan-pelatihan bagi perangkat desa untuk meningkatkan kualitas SDM dan kapasitas pemerintahan desa menjadi sesuatu yang masih perlu dijalankan. Tidak bisa digeneralisir bahwa semua aparatur desa sudah mempunyai kemampuan yang sama di seluruh Indonesia, termasuk para pendamping desa juga. Tidak bisa juga digeneralisir pula bahwa aparatus semua desa mengabaikan partisipasi masyarakat warganya. Namun, mereka perlu didukung agar perlahan-lahan mewujudkan impian bersama akan kesejahteraan social itu dapat tercipta dari kampung (desa) yang terpencil sekalipun. Agar kelak, masyarakat desa sudah tidak menganggap kota sebagai segalanya, karena kemajuan dan keramaian itu justru bersumber dari dan tersedia di tempat mereka berada.

Memang, tentu butuh banyak energy terkuras bila pembangunan harus didorong dari pinggiran dan pelosok-pelosok agar memperkuat Indonesia dari kemajuan daerah-daerah. Impian bahwa kemiskinan harus terhapuskan dari bumi Indonesia dengan strategi ‘membangun Indonesia dari desa’. Namun, kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena multidimensional yang disebabkan tidak saja oleh faktor ekonomi, tetapi juga keterbatasan akses terhadap layanan dasar dan ketidak-terpenuhinya pelayanan dasar itu. Oleh karena itu, saran kami adalah selain prioritas untuk infrastruktur, dana desa sebaiknya digunakan untuk kegiatan peningkatan ketersediaan pelayanan dasar dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Kami selalu akan menyebut BUMDes adalah solusinya, agar desa dapat maju secara ekonomi. Karena menurut hemat kami, BUMDes menjadi media dimana rakyat seutuhnya di perdesaan bisa berusaha dengan dukungan modal ADD dari APBN untuk tujuan mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa dan Negara. Setidaknya, termasuk infrastruktur desa pun bisa terpenuhi di kemudian hari, dan ketergantungan kepada ADD pun lambat-laun dapat berkurang. Sebab, sampai kapankah desa harus terus berharap pada ADD dari APBN…? Semestinya mereka tertolong saat ini, agar kelak desa kembali menyumbang untuk APBN. Namun sebagai warga Negara, kami juga berhak untuk bertanya dan berharap bahwa semoga saja sumber ADD saat ini bukan berasal dari Utang Luar Negeri. Semoga tidak demikian, dan marilah kita terus berbesar hati dengan penuh harapan bahwa Nanti Tuhan Tolong kitorang semua.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua