COP26: Antara Ketakutan dan Ambisi Penyelamatan Iklim


Hal yang menarik bagi saya, sekalipun saya tak suka adalah ‘sistem pasar karbon dan kredit karbon’, atau Carbon Trade (perdagangan karbon) yang biasa saya sebut dalam tulisan-tulisan saya tentang Keadilan Iklim. Konon katanya sampai dengan hari ini masih penuh dengan perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk menerapkan sistem dan mekanismenya? Lebih dari itu, adakah remah-remah dari Carbon Trade itu yang dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat adat yang hidup dan menjaga lingkungan hidupnya selama berjutaan tahun? Ini soal kompensasi yang adil bagi kesejahteraan hidup mereka yang selalu tergolong hidup di bawah garis kemiskinan di tengah hutan belantara dan hamparan lahan gambut, misalnya di Tanah Papua? Apa yang dulu disebut ‘safeguard’ itu setidaknya hingga saat ini masih dalam ‘mitigasi tipu-tipu’.

Oleh Pietsau Amafnini

Sebagai informasi dan tak bermaksud menggurui para pembaca SANCAPAPUANA. Pada awal ini, saya tidak mengulas terdahulu tentang Perubahan Iklim, tetapi lebih mengedepankan mengapa pentingnya suatu pertemuan tingkat internasional yang disebut COP ini untuk bumi. Sebab bahasan tentang topic Perubahan iklim selalu akan panjang dan melelahkan walaupun sedikit menggiurkan bagi negara-negara berkembang, sekaligus merupakan ketakutan negara-negara maju yang disasar-haruskan untuk bertanggungjawab terhadap dampak perubahan iklim itu. Hmmm nyeri juga ya. Untuk itulah, maka pentinglah pertemuan internasional termaksud.

Secara singkat saya akan menjelaskan tentang apa itu COP26, mengapa penting dan apa saja hasil yang diharapkan dari pertemuan yang hari ini tepat 01 November 2021 diselenggarakan di kota Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Pertemuan ini akan berlangsung hingga 12 November 2021. Hmmm pasti penasaran, tentang siapa saja yang akan hadir di sana dan kira-kira apa yang menjadi pertaruhan di sana? Adakah kepentingan politik tertentu dari masing-masing negara yang hadir di sana? Pasti seru, karena kali ini rencananya dihadiri 197 negara, jauh lebih berkembang dari COP1 yang hanya dihadiri 46 negara. Semoga jumlah negara terlibat semakin naik, itu lebih baik daripada berkurang hanya karena alasan Corona, atau separahnya ingin “Cuci Tangan” dari beban tanggung jawab atas komitmen Paris Accord yang akan menjadi materi utama evaluasi kemajuan dan kegagalan pelaksanaannya pada moment COP26 di Glasgow.

COP adalah singkatan dari Conference of the Parties atau dalam sebutan melayu khas Indonesia, Pertemuan Para Pihak. COP adalah forum tingkat tinggi tahunan bagi negara-negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk berbicara, bersepakat dan bertindak bersama terkait Perubahan Iklim (Climate Change). COP tahun 2021 ini dihadiri 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya. COP26 ini merupakan bagian dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas Perubahan Iklim, yakni Perjanjian Internasioanl yang ditandatangani setiap negara berdaulat dan negara territorial di dunia yang bertujuan membatasi dampak aktivitas manusia atas iklim. Konvensi PBB untuk Penyelamatan Iklim Dunia ini disepakati dan diberlakukan sejak 21 Maret 1994. Artinya sejak saat itu, sekarang COP26 masih merupakan lanjutan dari ke-25 COP sebelumnya. Hasilnya sejauh ini? Ya, masih dalam proses bicara-bicara, masih dalam tahap rencana, belum sampai tindakan nyata.

Konferensi ini dilaksanakan pada 2 hari setelah pelaksanaan KTT  negara-negara G20 di Roma, Italia yang menjadi tuan rumah KTT G20 pada 30 – 31 Oktober 2021 dan selanjutnya menunjuk Indonesia menjadi Presiden G20 yang akan menjadi tuan rumah KTT G20 tahun 2022 di Bali, Indonesia. Namun demikian, marilah kita menelusuri lebih lanjut tentang COP26 karena toh topic yang menjadi pembicaraan hangat antara para Kepala Negara sedunia itu masih seputar Perubahan Iklim dan Strategi Penyelamatan Iklim.

Mai kita kembali ke Glasgow yang merupakan kota terbesar di Skotlandia, Inggris Raya itu, tempat dimana COP26 – UNFCCC dilaksanakan. Pertanyaannya sederhana saja. Seberapa pentingkah COP26, atau emangnya penting  (epen) ka? Maybe yes, maybe no. Tetapi sebagai aktivis lingkungan hidup dan kemanusiaan yang sudah sejak tahun 2007 dan 2008 dimana saya serius mengikuti berbagai workshop hingga konferensi UNFCCC pada COP19, saya menjadi tertarik bahwa sangat penting untuk penyelamatan iklim di planet bumi ini, tetapi lebih dari itu yang terpenting adalah keadilan Iklim untuk kelestarian lingkungan hidup dan kesehjahteraan manusia.

COP26 ini akan menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama dimana para peserta akan mengevaluasi baik kemajuan yang telah dilakukan maupun kegagalan yang dihadapi dalam proses implementasinya sejak Persetujuan Iklim Paris COP21 ditandatangani pada tahun 2015. Perjanjian itu, yang juga dikenal sebagai Paris Accord, pada dasarnya adalah rencana kemanusiaan untuk menghindari bencana iklim. Kesepakatan ini menyatakan bila pemanasan global terus naik melampaui 1,5 derajat celcius di atas suhu yang pernah dialami di era praindustri, maka banyak perubahan di planet ini yang tidak dapat dihindarkan lagi. Maka rencana yang sudah dibuat harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dan untuk itulah fungsinya COP26 dilaksanakan dengan tujuan mengevaluasi kemajuan dan kegagalannya.

Sebagai informasi, Paris Accord 2015 pada COP21 memuat target-target utama bagi semua negara untuk menghindari bencana perubahan iklim. Semua negara yang terlibat berjanji untuk 1) Mengurangi gas rumah kaca; 2) Meningkatkan produksi energi yang dapat diperbarui; 3) Mempertahankan tingkat suhu global agar kenaikannya tidak sampai dua derajat celcius dan kenaikan idealnya maksimal 1,5 derajat celcius; 4) Berkomitmen menyisihkan miliaran dolar untuk membantu negara-negara miskin menghadapi dampak perubahan iklim. Kesepakatan Paris itu juga menyetujui bahwa setiap lima tahun harus ada evaluasi atas kemajuan yang telah dibuat. Maka, sebenarnya evaluasi pertama atau COP26 sedianya diselenggarakan pada 2020, namun ditunda hingga 2021 ini karena pandemi COVID-19. Hmmm Corona, corona. Maksud hati menghindari dampak perubahan iklim, ehhhh ternyata ketemu Corona. Ini menarik bahwa akhirnya kita semua perlu sadar bahwa mungkin Corona lebih berbahaya dari Climate, tetapi bagi saya keduanya sama pentingnya.

Hehee mau lawan Corona ka? Pandemi COVID-19 ini ternyata dapat mengubah banyak hal dalam jangka waktu yang sesangat-sangat singkat. Wabah yang mendunia ini membawa perubahan besar, karena paling tidak sudah menunda pertemuan COP selama setahun. Namun, ada hikmahnya bahwa Covid ternyata memunculkan peluang yang tidak diperkirakan sebelumnya untuk berpikir ulang terkait pemulihan ekonomi pada pasca-pandemi. Sederhananya kita pun dapat bertanya pada diri sendiri. Apakah bekerja memang harus di kantor atau bisa bekerja dari rumah? APakah pertemuan-pertemuan memang harus berkerumun di hotel-hotel secara tatap muka? Apakah belajar memang harus ke sekolah atau kampus untuk belajar-mengajar secara tatap muka, atau bisa dari rumah? Apakah berdoa itu memang harus ke rumah ibadah, atau bisa berdoa sendiri atau bersama keluarga di rumah sendiri? Apakah belanja kebutuhan hidup harian memang harus ke pasar, took dan supermarket? Apakah kesibukan itu nampak dari sering terbang dengan pesawat, sering berlayar dengan kapal laut dan berdesakan di kereta api? Nah jika bisa bekerja, belajar dan beribadah bahkan berbelanja dari rumah, kenapa tidak bisa beradaptasi dengan perubahan yang diciptakan sebagai efek dari Pandemi Corona? Jika boleh dan bisa beradaptasi, maka itulah peradaban baru di zaman milenial ini. Tinggal caranya adalah semua hal berbasis ONLINE.

Hal menarik adalah Corona berhasil mengubah pikiran salah satu negara anggota COP, yakni Amerika Serikat dimana Presiden Donal Trump pada saat COP25 menarik diri dari Perjanjian Paris atau Paris Accord. Ternyata Presiden AS yang baru ini memang berbeda dengan pendahulunya yang membuat AS menarik diri dari Perjanjian Paris. Presiden Joe Biden justru menempatkan kebijakan-kebijakan ramah iklim sebagai prioritas utama dalam rencananya memulihkan ekonomi AS dari pandemi. Joe Biden memang hebat dan tentu masyarakat dunia dan lebih khusus masyarakat Amerika Serikat serta negara-negara COP26 sangat mengharapkan kehadirannya. Sebab, saat bertemu di COP26, para pemimpin dunia ini diharapkan membuat target-target baru jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim dan semuanya itu harus ambisius dan tegas untuk keadilan iklim dan kemanusiaan.

Tentu saja ada banyak harapan, tetapi pelaksanaannya juga tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Masih ada banyak isu yang belum terpecahkan dari pertemuan-pertemuan tingkat tinggi sebelumnya, seperti COP25 di Madrid, Spanyol. Masih kental dalam ingatan saya ketika menyaksikan seorang aktivis muda asal Swedia bernama Greta Thunberg, ketika menyampaikan pidato yang berapi-api saat itu. Greta memperingatkan para pemimpin dunia bila tetap berpangku tangan dan mengabaikan bukti ilmiah akan bahaya perubahan iklim. Saat itu Greta seakan menghipnotis masyarakat dunia hingga merinding. Namun, tetap saja peringatan itu pun terkesan tidak berpengaruh terhadap kesepakatan-kesepakatan konferensi penting itu. Padal pernyataan Greta itu penting dan justru yang diharapkan untuk dijadikan solusi, dimana negara-negara miskin termasuk yang pertama kali merasakan dampak perubahan iklim harus mendapat perhatian dari negara-negara maju sebagai tanggung jawab. Tidak hanya itu, perubahan iklim pun berdampak pada naiknya permukaan laut secara perlahan menenggelamkan negara-negara kepulauan, menyebabkan kekeringan dan gelombang panas yang membuat petani gagal panen hingga menguatnya angka kelaparan, kemiskinan dan kematian.

Setidaknya saat jelang COP26, lebih dari 100 negara berkembang sudah memaparkan sejumlah tuntutan, bahwa 1) Pendanaan dari negara-negara maju untuk memerangi maupun menanggulangi perubahan iklim; 2) Kompensasi dari negara-negara maju atas dampak yang akan menimpa negara-negara berkembang; dan 3) Uang dari negara-negara maju untuk membantu masyarakat negara berkembang dapat  menerapkan ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Ssssttt, ceritanya Indonesia bukan lagi negara berkembang brooo, sudah naik status menjadi negara maju.

Selanjutnya, hanya sebuah pikiran nakal. Coba kita membayangkan bila Indonesia juga termasuk kelompok negara maju? Ohhh ya, benar juga. Bukankah Indonesia sudah meningkat statusnya dari Negara Berkembang menjadi Negara Maju pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini? Ya, suka atau tidak, terima atau tidak, yang jelas status itu sudah berubah. Negara maju tak selamanya atau tak seharusnya semua masyarakatnya makmur ‘kan? Anda bayangkan penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 271 juta jiwa. Toh belum tentu 330 juta jiwa masyarakat Amerika Serikat juga semua hidup makmur. Ini NKRI, maju – mundur itu soal biasa, kedisiplinan waktu saja masih “jam karet”. Namun perlulah kita berbangga saat ini, karena Indonesia menjadi salah satu negara kepulauan di Asia yang diperhitungkan pula oleh negara-negara di benua Eropa dan Amerika.

Nah konsekuensi dari ‘negara maju’ dalam hal penanganan masalah dampak perubahan iklim ini adalah bersama-sama berkomitmen menyediakan $100miliar per-tahun mulai 2020 untuk melaksanakan Paris Accord. Namun kenyataannya hingga 2021 ini, katanya baru terkumpul $79 miliar, dan sebagian besar berupa utang, bukan hibah. Hmmm lagi-lagi utang,  yang artinya nanti harus dikembalikan kepada pemilik modalnya. Weiiii, topic ‘keuangan iklim” ini saya kira akan menarik jadi perdebatan hebat. Pasti ada hitung-hitungan soal “Untung – Rugi” di sini, dan negara pemilik modal siapa yang mau rugi? Bill Gates, Raja Microsoft pemilik kekayaan 136,1 Miliar USD per 2021 yang hadir di COP26 ini pun pasti geleng-geleng kepala kalau uangnya tidak kembali dengan keuntungan yang adil baginya. Point ini menarik bagi saya untuk ikut memainkan peran sebagai pemantau ‘keuangan iklim’ di negara Indonesia yang masih subur  ‘budaya korupsi’. Jangan-jangan nanti dana iklim dari uang utang itu habis menguap seperti karbon juga.

Hal lain yang menarik bagi saya, sekalipun saya tak suka adalah ‘sistem pasar karbon dan kredit karbon’, atau Carbon Trade (perdagangan karbon) yang biasa saya sebut dalam tulisan-tulisan saya tentang Keadilan Iklim. Konon katanya sampai dengan hari ini masih penuh dengan perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk menerapkan sistem dan mekanismenya? Lebih dari itu, adakah remah-remah dari Carbon Trade itu yang dapat bermanfaat secara langsung kepada masyarakat adat yang hidup dan menjaga lingkungan hidupnya selama berjutaan tahun? Ini soal kompensasi yang adil bagi kesejahteraan hidup mereka yang selalu tergolong hidup di bawah garis kemiskinan di tengah hutan belantara dan hamparan lahan gambut, misalnya di Tanah Papua? Apa yang dulu disebut ‘safeguard’ itu setidaknya hingga saat ini masih dalam ‘mitigasi tipu-tipu’.

Carbon Trade ini adalah mekanisme yang membuat penghasil polusi untuk membayar emisi dan mereka yang menerapkan ekonomi hijau untuk menjual ‘kredit karbon’. Ok, kedengarannya cukuplah adil. Namun yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kalau negara-negara maju hanya mau membayar lisensi untuk menghasilkan polusi ketimbang mau menerapkan perubahan nyata? Lantas siapakah yang berhak memutuskan berapa banyak yang harus dibayar oleh suatu negara atas emisi yang dibuatnya dengan menggundulkan sebidang hutan untuk sebuah investasi? Hmmm, macam semakin seru untuk mengkritisi masalah ini. Tapi tahan-tahan perasaan saja dulu, karena ini baru hari pertama suasana COP26.

Marilah kita berpikir positif saja, walaupun hati menolak. Saya membayangkan bahkan bila pertemuan di Glasgow nanti berhasil untuk menyepakati semua hal itu, untuk memastikan semua pihak berada pada visi yang sama, maka kita butuh jangka waktu tak tentu bagi semua target ramah lingkungan yang dibuat dalam rangka implementasi Paris Accord. Betapa rumitnya, tak semudah merusak hutan alam atas nama pembangunan dan pengembangan investasi perkebunan skala besar di Indonesia. Namun demikian, COP26 menjadi moment penting untuk membahas hal-hal baru setelah mendapatkan informasi kemajuan dan kegagalan sejauh ini. Sebagaimana tekad bersama semua negara dalam dokumen Paris Accord, yang menjadi prioritas utama adalah memastikan semua negara untuk berkomitmen mencapai nol emisi pada 2050, dengan pengurangan karbon yang lebih agresif dan pesat pada 2030.

Dari berbagai media, dikabarkan bahwa dalam diskusi selama berlangsungnya COP26 Glasgow, diharapkan akan ada solusi-solusi berbasis alam, karena hukum alam pun mengajarkan kepada umat manusia bahwa pada akhirnya Alam akan memperbaiki dirinya sendiri dengan cara dan kekuatannya sendiri. Hmmmm, apa artinya ini? Alam yang dirusak oleh manusia, belum tentu berhasil diperbaiki oleh manusia. Sehingga COP26 diharapkan supaya mengandalkan alam itu sendiri untuk mengatasi tantangan-tantangan iklim. Misalnya, penyerapan karbon atau menanam pohon untuk berlindung dari kejadian cuaca ekstrem seperti banjir bandang, badai pasir dan menurunnya tingkat mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub utara dan selatan bumi yang menyebabkan naiknya air laut. Sejumlah inisiatif juga diperkirakan akan dibuat untuk mengatasi tantangan-tantangan yang spesifik seperti menghapus penggunaan batu bara dan menjaga ekosistem.

Hmmm, saya justru mengharapkan kehadiran Greta Thunberg untuk kembali berteriak di COP26, tetapi dikabarkan justru para pemimpin negara sedunia itu hanya mengharapkan jika Paus Fransiskus sebagai Kepala Negara Vatican bisa hadir pada kesempatan khusus di Glasgow. Pada akhirnya dari Hutan Terakhir Tanah Papua, Surga Kecil yang jatuh ke Bumi dengan Hutan Tropisnya yang unik dan alami sehingga dijuluki sebagai Paru-paru Dunia, saya mengucapkan selamat bersilat lidah di forum bergengsi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada COP26 tahun 2021 di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Harapan saya, semoga Hutan Mangrove dan Lahan Gambut di wilayah kerja LNG Tangguh – British Petroleum (BP) Indonesia di Teluk Bintuni, Papua Barat tetap utuh dan alami seperti sediakalanya. Biar gas alam cairnya habis tidak masalah, yang penting hutannya tetap utuh untuk tetap jamin keadilan iklimnya. Weiii, trus manusianya? Pasti sudah dipikirkan, karena keberadaan BP/LNG Tangguh diharuskan menghormati hak-hak masyarakat adat, dan katanya tergolong proyek investasi Ramah Lingkungan seramah-ramahnya Ratu Elizabeth. Ya, itu tentu menjadi tanggung jawab pula dari Negara Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo, yang terhitung 01 November 2021 hingga 31 Oktober 2022 menjadi Pemimpin Negara-negara G20. Semoga kami tidak terjebak dalam suasana “latihan lain, main lain” dengan mitigasi tipu-tipu tentang perubahan iklim dan solusi-solusinya di Kota Glasgow. Salam sehat dan lestari di musim Corona.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

Tinggalkan komentar