KAYU ILEGAL DI MUSIM CORONA


Lagi-lagi temuan kayu ilegal terjadi di musim Corona. Saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Oleh Pietsau Amafnini

Sejak WHO menetapkan keadaan darurat internasional karena serangan pandemic corona, termasuk masyarakat di Indonesia semuanya terdiam di rumah untuk bertahan hidup dan aman dari virus penyakit yang belum ada obat anti-virusnya di dunia. Pasalnya Virus Corona telah menelan banyak korban nyawa yang diduga sudah terjadi sejak bulan November 2019. Betapa tak kaget dan takutnya semua orang di dunia karena jahatnya Corona. Tanggal 14 Februari 2020 WHO merilis jika jumlah kasus terkonfirmasi virus tersebut mencapai 64,452 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1,384 jiwa yang tersebar di berbagai negara di belahan bumi ini. Angka tertinggi saat itu justru berada di Italia. Virus yang katanya bermula di Kota Wuhan, China ini ternyata menyebar begitu cepat.

Pemerintah China pun menuruti himbauan WHO untuk melakukan policy lockdown dengan mengkarantina 16 kota di China, terutama Kota Wuhan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalisir penyebaran virus Corona. Lockdown tentu menjadi pilihan tersulit, karena akan berdampak besar pada terpuruknya sector ekonomi. Namun, tidak ada pilihan lain, saat itu.

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang berpotensi besar akan terdampak baik pada penyebaran virus Corona, dan tentu juga pada lemahnya ekonomi China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai dampak dari virus Corona bersumber dari tiga sektor utama yakni sektor pariwisata, sektor investasi dan sektor perdagangan. Sementara baik Indonesia maupun negara-bangsa lain pun sepertinya tidak siap menghadapi masalah pandemic Corona beserta dampaknya pada kesehatan dan ekonomi. Pada akhirnya suka atau tidak suka, lockdown jadi pilihan walaupun tidak seutuhnya. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari Rumah” sebagai pilihan untuk “keselamatan”. Seluruh aktivitas rakyat dan pemerintah pun lumpuh, walaupun akan berdampak pada kesulitan akses pangan. Syukurlah dengan fasilitas teknologi informasi yang  walau masih terbatas, namun sejumlah kebutuhan dapat dilakukan secara online.

Sedihnya, Corona bukanlah halangan bagi cukong kayu. Para mafia kayu illegal terus melancarkan aktivitasnya dengan alasan bahwa arena hutan adalah medan bebas virus corona. Hal ini juga merupakan pilihan tepat bagi mereka karena memang aktivitas di perkotaan dibatasi, maka lancarlah aktivitas pencurian kayu dari hutan alam. Ohh tidak. Apakah saya karang cerita ini? Maybe yes, maybe no.

Adalah sebuah fakta telah terjadi di Sorong, Papua Barat. Tanggal 24 Maret 2020 adalah hari dimana Tim Gakkum-KLHK menyita 263 batang kayu olahan tanpa dokumen di Kabupaten Sorong. Kayu illegal yang diangkut 3 unit truck itu dicurigai akan dikirim ke pemeiliknya yakni CV. Anugerah Rimba Papua (ARP) yang berkedudukan di Distrik Aimas. Sayangnya para sopir truck yang menjadi sasaran interogasi karena beraktivitas di musim corona. Sedangkan sang pemilik yang menunggu kayu illegal itu justru tak tersentuh, walaupun sederet pasal dari UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah menjadi alasan dugaan dan hukumannya.

Anehnya kejadian ini terjadi pada saat musim corona, walaupun perilaku pembalakan liar dan pencurian kayu ini sudah berlangsung lama. Ya, seakan-akan tak pernah akan berakhir. Kayu merbau Papua memang ibarat primadona yang selalu diburu oleh para mafia kayu. Mereka tak peduli dengan kerusakan hutan dan dampaknya berupa banjir dan lain sebagainya. Ya, sedangkan keselamatan diri terhadap Corona saja mereka tidak peduli, apalagi keselamatan lingkungan alam?

Benar-benar Corona bukan halangan bagi mereka. Tanggal 13 Juli 2020 Tim Gakkum-KLHK kembali mengamankan 8 unit truck bermuatan kayu olahan jenis merbau di Aimas, kabupaten Sorong, Papua Barat. Kayu-kayu yang diduga berasal dari distrik Moswaren itu tidak dilengkapi dokumen angkutan kayu yang sah. Setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, maka Tim Operasi kemudian melakukan pemantauan dan pengawasan hingga akhirnya menghentikan iringan 8 unit truck itu bermuatan kayu itu dari arah jalan Klamono menuju sawmill di sekitar wilayah Kabupaten Sorong, dan selanjutnya digiring untuk diamankan ke gudang penyimpanan barang bukti yang berlokasi di Jalan Petrochina, Kelurahan Warmon Klalin, Aimas, Kabupaten Sorong.

Lagi-lagi peristiwa ini terjadi di masa musim Corona, saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Semoga Gakkum-KLHK tiada goyahnya memproses pelakunya sesuai hokum yang berlaku. Sebab kerjanya sang pemburu kayu illegal tentu merugikan masyarakat adat pemilik kayu itu dengan segala tipu dayanya hingga dibelinya dengan harga murah. Belum lagi kerugian negara yang diakibatkan oleh cara kerjanya mafia kayu illegal.

Pada akhirnya, hati ini hanya bisa berharap pada lingkungan alam untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan yang ada, dan bila Alam Tanah Papua mendengarkan jeritan hati para penghuni Tanah Moi, maka biarlah mereka terhukum seadilnya setimpal air mata para korban banjir di antara Kali Klamono dan Kali Remu.***

“MR. WONG”, SANG PEMBURU MERBAU PAPUA


Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek illegal logging masih marak di Kabupaten Sorong. Para pemburu kayu komersil masih terus melakukan pembalakan kayu baik di hutan hak masyarakat adat maupun di kawasan HGU perkebunan sawit tanpa mengantongi IPK. Sasarannya tentu kayu merbau. Sementara ketersediaan tegakkan kayu jenis merbau sudah semakin jarang. Sudah hampir tidak ditemukan lagi pohon induk di hutan. Karena Sang Pemburu itu pun masih dan semakin bebas membalak secara liar dengan berbagai modus baru, dan alasan yang masuk akal dengan memperdayai masyarakat adat.

Kegiatan pembalakan kayu di Kabupaten Sorong seakan-akan tidak mungkin lagi untuk dihentikan. Pembalakan terus dilancarkan oleh cukong-cukong kayu dengan segala tipu daya untuk meyakinkan masyarakat pemilik hutan. Tidak hanya itu, banyak kayu jenis merbau juga keluar dari HGU perkebunan sawit. Apakah mereka memiliki IPK atau tidak? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Mungkin dan sangat mungkin semua itu non-IPK. Jika non-IPK, apalagi SVLK…..? Tentu saja kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu masih terus melaju dan akan semakin gila pula, setelah ada Pergub 51/2018 yang kembali membuka peluang untuk peredaran kayu bulat menjadi bebas beredar keluar antar pulau di luar Tanah Papua sebagai product unggulan dari provinsi Papua Barat.

Achhh, Sang Pemburu kayu merbau tentu merasa legah dan bahagia luar biasa. Apa yang sebelumnya menjadi “haram”, kini kayu bulat sudah boleh bebas diperdagangkan dan diedarkan antar pulau di dalam negeri atau bahkan diekspor sebagai barang dagang unggulan. Sedih memang, tetapi apa boleh buat. Pohon merbau itu sudah ditumbangkan, juga sudah dijadikan kayu olahan berupa balak 20 cm x 20 cm. Tumpukan kayu balak pun menjadi pemandangan indah di sepanjang jalan menuju distrik Sayosa, Sayosa Timur, Maudus, dan Moi Segen. Mobil-mobil truck pun Nampak berjejer antrian memuat kayu. Karena merbau masih ditempatkan pada posisi “primadona”.

Sang pemburu itu adalah seorang China Malaysia yang dikenal sebagai cukong pembalakan kayu secara liar (illegal logging) dan sudah melalang buana di Indonesia. Dia hanya dikenal dengan sebutan Mr. Wong yang dari rekam jejagnya pernah beroperasi di daerah Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Tanah Papua sejak tahun 2000. Menteri Kehutanan, Malem Sambat Kaban, pernah menjadikan Mr. Wong sebagai salah satu dari 50 cukong pembalakan kayu liar yang masuk dalam daftar hitam target operasi hutan lestari.

“Mr. Wong” pernah menjadi tersangka dan berurusan dengan Mabes Polri pada tahun 2010. Pada Juli 2006, petugas Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Adi, Fakfak, Papua Barat, menangkap kapal MV King Glory, kapal asal Thailand dan berbendera Panama. Kapal tersebut mengangkut kayu hasil penebangan liar di daerah setempat yang hendak diangkut ke Cina dengan menggunakan dokumen pemerintah Papua New Guinea. Kapal dan muatan kayu tersebut terkait dengan bisnis ilegal Mr. Wong. Tidak ada informasi detail kasus tersebut dan diberitakan Mr. Wong  bebas dari tuntutan hukum.

Mr. Wong dikenal selalu berganti nama setelah menjadi warga negara Indonesia. Dia pun beberapa kali lolos dari jeratan hokum dan bisnisnya justeru menggurita di Papua, di bawah bendera Mega Masindo Group, beralamat kantor di Jalan Kelapa Hybrida Raya Blok PF 18 Nomor 32, Kelapa Gading, Jakarta Utara, sedangkan alamat kantor di Sorong Jl. Tidar No.1 Kota Sorong .

Perusahaan-perusahaan pengusahaan hasil hutan kayu yang diketahui dimiliki, dikelola dan dikendalikan oleh Mr. Wong, terdiri dari: (1) PT. Alas Tirta Kencana, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Timika, Provinsi Papua, seluas 87.500 ha; (2) PT. Wukirasari, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Teluk Bintuni dan Kaimana, Provinsi Papua Barat, seluas 116.320 ha; (3) PT. Arfak Indra, perusahaan kayu berlokasi di Fakfak, Provinsi Papua Barat, seluas 153.000 ha, dan (4) PT. Bagus Jaya Abadi (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.120/Menhut-II/2009, tanggal 12 Maret 2009, perusahaan industry pengolahan kayu berlokasi di Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan kapasitas produksi 60.000 meter kubik per tahun.

Selain itu, terdapat juga perusahaan PT. Masindo Mitra Papua, yang beroperasi dalam bisnis angkutan kapal laut atas nama Maspapua, yang digunakan untuk membawa kayu keluar pulau Papua dan diduga menyelundupkan kayu logging ke industry kayu di Papua dan luar Papua. Mega Masindo juga memiliki PT. Mega Nusantara Indah, perusahaan yang menangani bisnis bidang penyewaan alat berat, logging, truk dan excavator. Alat-alat tersebut digunakan dalam operasional logging perusahaan di kota Sorong.

Bisnis pengusahaan hasil hutan kayu Mr. Wong di Papua sering mendapat complain keluhan masyarakat karena permasalahan hak buruh, kelalaian kewajiban pembayaran kompensasi, manipulasi terhadap masyarakat dan laporan hasil produksi, pengabaian tanggung jawab sosial, perampasan hak masyarakat, praktik kekerasan, intimidasi, pengrusakan hutan hingga kejahatan kehutanan di areal konsesi. Kasus-kasus tersebut hingga kini, belum ada penanganan dan penegakan hokum secara jelas. Kedekatan Mr. Wong dengan pejabat nasional dan pejabat daerah ditengarai melindungi aktifitas bisnis anak perusahaan Mega Masindo Group.

Dari hasil penelusuran dan pengembangan informasi selama proses investigasi dan monitoring di lapangan, terungkap bahwa perusahaan lainnya berada di bawah kontrol Mega Masindo Group adalah PT. Papua Lestari Abadi(15.231 ha) dan PT. Sorong Agro Sawitindo (11.000 ha), keduanya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sorong, Papua Barat. Terdapat pula perusahaan pertambangan, yakni: (1) PT. Bagus Jaya Abadi(SK BupatiNomor 223 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara berlokasi di Salawati, Kab. Sorong, seluas 7.843 hektar); (2) PT. Papua Lestari Abadi (SK BupatiNomor 224 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara di Mayamuk dan Salawati, Kab. Sorong, seluas 9.707 ha); (3) PT. Mega Masindo Bara Abadi (SK Bupati Mimika Nomor 122 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (4) PT. Mega Masindo Bara Sukses(SK Bupati Mimika Nomor 123 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (5) PT. Mega Masindo Coalindo(SK Bupati Mimika Nomor 124 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (6) PT. Kalteng Bara Persada(SK Bupati Mimika Nomor 125 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (7) PT. Mega Masindo Bara Utama (SK Bupati Mimika Nomor 126 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha. Bisnis pertambangan tersebut berada dibawah bendera PT. Mega Masindo Energi.

Kejahatan Kehutanan masih marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal ini berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua.  Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang cangih dan terorganisir melibatkan banyak pihak. Walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH). Dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari Kementrian Lingungan Hidup dan Kehutanan, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang  di Indonesia. Sistem yang cangih dan ketat membuat para mavia kayu menciptkan bisnis ilegal yang cangih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus yang baru pula.

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hukum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) menyatakan bahwa di tanah Papua Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT, Provinsi Papua Barat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Dari fungsi kawasan hutan Papua Barat, Hutan Konservas (HK) 1.721.768 Hutan Lindung 1.66.590 hektar Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar sesuai dokumen RTRWP Provinsi Papua Barat tahun 2008-2029.

Papua Barat merupakan salah satu  Provinsi yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Daya tarik Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persensate luas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam.

Namun demikian, praktek mafia illegal logging dan illegal trading juga semakin marak di wilayah Papua Barat yang tentu berdampak pula pada kerusakan hutan alam dan semakin menipisnya tegakan pohon merbau di hutan alam Papua Barat. Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.***