COP26: Ambisiusme Penyelamatan Iklim


Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan. Bahkan untuk menghadapi dampaknya, manusia harus berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim itu sendiri selain mengobral ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Kekhawatiran saya, Ambisi Iklim itu hanya untuk Uang dan Investasi ber kedok Green.

Oleh Pietsau Amafnini

Setelah Paris Accord disepakati pada tahun 2015, semua negara Utara dan Selatan anggota UNFCCC telah berkomitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Paris Accord bukan sekedar sebuah kesepakatan tanpa kewajiban. Paris Accord mewajibkan semua negara maju (utara) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan perubahan iklim dan dampaknya yang merupakan krisis berkepanjangan di negara-negara berkembang (selatan).

Indonesia merupakan salah satu dari semua negara UNFCCC yang telah menyatakan komitmennya terhadap iklim dalam dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution. Untuk diketahui, setelah ratifikasi Paris Accord pada tahun 2016, negara-negara UNFCCC telah menyerahkan dokumen INDC dimana mereka menegaskan kembali komitmennya untuk masa depan iklim planet ini, berkarbon rendah dan berketahanan iklim. Target bersamanya adalah mencapai Zero Emision pada 2050.

Apakah Indonesia juga berambisi dalam dokumen INDC untuk iklim? Tentu saja, walaupun upaya penurunan emisi gas rumah kaca itu masih wacana politik green belaka. Buktinya masih banyak lahan hutan tropis yang dibuka atau ditebang untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, mafia illegal logging masih marak, energi batu bara masih menjadi primadona, bahkan masyarakat adat masih terus kehilangan tanah adat dan segala potensi alam sebagai sumber-sumber penghidupan mereka untuk pembangunan investasi pengerukan tambang dan perkebunan skala besar. Ini artinya Indonesia juga salah satu penyumbang meningginya emisi gas rumah kaca di dunia.

Ambisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia justru akan menentukan apakah peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celsius seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, atau di bawah 1,5 derajat Celsius seduai hasil penelitian Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) pada 2018. Nah, apakah sudah ada upaya tertentu dari pemerintah negara Indonesia untuk mencapai ambisi ini? Sudah banyak, tapi dalam wacana poltik, dalam bentuk kebijakan, dan sekarang dalam bentuk Agenda GREEN dimana semua sector pembangunan wajib bersinergi untuk mencapai ambisi itu, Zero Emission di tahun 2050, bahkan lebih cepat lebih baik, 2030.

Pada dokumen INDC-Paris Accord, Indonesia berkomitmen untuk melakukan kegiatam-kegiatan strtegis dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 41 persen dibawah scenario bussines as usual. Komitmen ini direncanakan berlangsung hingga tahun 2030. Pertanyaannya adalah apakah kita yakin bahwa Zero Emission itu akan terwujud pada 2030? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Karena menurut hemat saya, komitmen ini belumlah cukup untuk menahan lajunya tingkat pemanasan global yang dibutuhkan untuk mencegah dampaknya berupa bencana-bencana yang kemungkinan jauh lebih besar dari upaya apapun yang dilakukan saat ini dan ke depan. Mengapa demikian? Ambisi iklim itu belum selaras, searah dan setindak antara rencana penurunan emisi dengan pembangunan Indonesia yang masih cenderung eksploitatif. Bahkan, batu bara masih menjadi energi yang terandalkan di Indonesia. Harapan saya, industry ekstraktif batu bara dan penggunaan energy berbahan bakar batu bara serta penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit juga harus dihentikan. Saya kira ini ambisi yang benar-benar nyata dan terukur hingga 2030.

Tidak hanya Indonesia. Negara-negara makmur di Uni Eropa juga tentu mempunyai ambisinya tersendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi Nol persen pada 2050. Bangsa Eropa pun sadari bahwa beberapa dampak perubahan iklim sudah dan sedang dirasakan hingga saat ini dan mungkin ke depan jauh lebih parah, dan itu tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat Eropa diminta juga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan memitigasi dampaknya. Mengapa? Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan.

Uni Eropa sendiri dalam INDC bersedia untuk berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca 55 persen pada 2030. Sementara China, India, Arab Saudi dan Turky mereka bertanggung jawab atas penurunan emisi 33 persen. Namun demikian, dari 191 negara pengikut Paris Accord hanya 113 negara yang mempunyai komitmen jelas untuk iklim. Belum lagi Pemerintah Amerika Serikat yang menolak menandatangani Paris Accord itu. Tetapi posisi Amerika Serikat untuk iklim saat ini sudah diperbaiki oleh Presiden Biden yang menghadiri COP26 di Glasgow dan menyatakan dukungan ambisius negaranya untuk penurunan emisi gas rumah kaca dengan alasan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Negara-negara yang belum membaharui komitmen mereka pun akhirnya bersedia melakukan berbagai upaya dengan targetnya masing-masing untuk menurunkan emisi pada tahun 2030 untuk mendukung ambisi bersama pencapaian Zero Emission tahun 2050. Harapan saya untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah semoga mereka berhenti mengimpor batu bara, berhenti menggunakan batu bara sebagai energy listrik dan juga berhenti mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Ini baru namanya ambisi yang nyata dan terukur.

Tentang kesiapan Indonesia, pemerintah era Jokowi periode ke-2 ini telah menetapkan Peta Jalan (roadmap) Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030. Roadmap ini telah tertuang pula dalam pembaharuan dokumen INDC yang diajukan di COP26, bahkan aksi nyatanya berupa Program Kampung Iklim, Restorasi Mangrove dan Agroforestry Perhutanan Sosial. Program-program kerja ini dilakukan sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Persoalannya siapa yang akan bekerja? Pemerintah perlu mengintegrasikan program kerja adaptasi iklim dengan pihak pemerintah daerah, sector swasta, masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat local di tingkat kampung.

Saya hanya mengkhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim di atas, ada kemungkinan munculnya berbagai kepentingan yang akan terus membuat nasib masyarakat adat semakin tak tentu disamping sebagai bagian dari dampak perubahan iklim itu sendiri. Mengapa? Karena Ambisi Iklim itu adalah untuk Uang dan Investasi berlabel kedok Green, sedangkan perilaku Korupsi dan Kekerasan masih membudaya di Indonesia.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Semoga Ada Harapan Baru dari Glasgow


Pada bagian-bagian sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa semestinya Bali Roadmap, Kyoto Protocol dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini dalam tindakan nyata, bukan lagi bicara-bicara. Tapi kalau masih sebatas wacana, maka itu namanya ‘NATO’ (No Action, Talk Only). Semoga ada Harapan Baru dari Glasgow.

Oleh Pietsau Amafnini

UNFCCC-COP26 ternyata masih membahas tentang scenario pencegahan dan penanganan perubahan iklim dunia. Keseriusan pimpinan negara-negara industry maju masih dipertanyakan masyarakat dunia, karena tidak jelasnya pelaksanaan protocol Kyoto dan Paris Accord. Seakan-akan isu perubahan iklim masih sebatas wacana, sementara sudah melewati 25 kali COP sebagai forum tertinggi pertemuan internasional untuk membahas perubahan iklim dari sisi dampak, pencegahan, penanganan hingga pendanaannya.

Kami sudah mengulas tentang betapa pentingnya pelaksanaan COP26 dalam rangka penyelamatan iklim dunia pada bagian-bagian sebelumnya. Para pemimpin negara-negara di dunia berkumpul di sini untuk membahas tentang skenario, isu utama dan krusial tentang perubahan iklim dan harapan kepada negara anggota di dunia untuk mengambil peran masing-masing sesuai Kyoto Protocol yang menjadi aturan dan pedoman pengikat komitmen bersama untuk mengatasi dan menangani masalah perubahan iklim. Pimpinan negara Indonesia, Presiden Joko Widodo juga hadir di Glasgow untuk memaparkan kemajuan agenda dan aksi perubahan iklim di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sudah berupaya untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius melalui kerja-kerja lapangan menuju netzero emisi atau nol emisi sesuai kemampuan yang ada. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, energi dan land use. Pada pelaksanaannya, Indonesia mempunyai konsep dan agenda green dimana semua sector pembangunan berbasis lintas kementerian harus sinergi dalam pelaksanaannya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.

Dalam hubungannya dengan komitmen bersama semua negara pada saat di Glasgow, Presiden Jokowi telah menyerukan pentingnya sinkronisasi kebijakan antra negara maju dan negara berkembang terkait perubahan iklim. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengharapkan ada langkah-langkah konkret terkait pengendalian iklim, terutama dalam hal dukungan pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Jokowi menegaskan bahwa pendanaan adaptasi iklim sebesar USD 100 miliar dari negara maju harus segera dipenuhi untuk mempercepat upaya penaganan perubahan iklim.

Di COP26, Presiden Jokowi menerangkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, Indonesia sendiri sudah menunjukkan langkah konkret dalam hal pengendalian iklim. Disebutnya bahwa setidaknya 20 tahun terakhir, laju deforestasi sudah ditekan hingga paling rendah saat ini. Tingkat kebakaran hutan pun berkurang 82 persen. Bahkan selanjutnya Indonesia akan melakukan restorasi gambut seluas 64.000 hektar lahan mangrove. Intinya Jokowi yakin bahwa Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, lebih cepat dari target rendah karbon jangka panjang dunia pada 2050.

Presiden Jokowi juga sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan perusahaan setingkat Chief Executive Officer (CEO) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya pada tanggal 1 November 2021. Pada pertemuan ini, Jokowi secara khusus menekankan pada investasi di bidang ekonomi hijau sesuai Peraturan Presiden (Perpres) yang baru selesai ditandatanganinya sesaat sebelum berangkat ke Roma untuk menghadiri KTT G-20 dan juga ke Glasgow untuk menghadiri KTT COP26. Dalam Prepres tersebut sebagai instrument nilai ekonomi karbon yang akan mengatur mekanisme carbon trading di Indonesia ke depan.

Komitmen Indonesia adalah selain mengurangi emisi gas rumah kaca, juga meningkatkan pendanaan pembangunan. Sehingga pasar karbon harus dikelola dengan prinsip berkeadilan dan transparan. Sebab, kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia mencakup transisi menuju green economy yang efektif. Hal lain yang merupakan upaya penurunan emisi itu juga adalah perubahan pada sector energi, dimana Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari penggunaan batubara sebagai sumber energi akan tergantikan dengan energi terbarukan. Sesuai dengan komitmennya, Indonesia akan mengalihkan energi batubara dengan renewable energy pada tahun 2040. Namun hal ini hanya bisa berjalan jika ada kerjasama dan dukungan dari semua pihak internasional dalam hal teknologi dan pendanaan. Pada pasca CEO’s Forum Meeting di Glasgow ini, Jokowi pun memperoleh komitmen investasi sebesar USD 9,29 miliar sebagai nilai tambah untuk investasi USD 35 miliar yang sudah dan sedang berjalan dalam mata rantai energi terbarukan, yakni baterai dan kendaraan listrik di Indonesia.

Dengan melihat ulaan di atas, apa yang ada di benak kita? Terlepas dari sikap pro maupun kontra, saya ingin mengatakan bahwa pada zaman ini, dunia internasional sangat memperhitungkan Indonesia dari posisinya yang strategis di Asia-Pasifik. Indonesia merupakan negara berkepulauan yang luas dengan 17.000 pulau dan bangsa besar dengan 270 juta jiwa dari 250 ribu suku bangsa. Di sisi lain, Forum CEO melihat Indonesia sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi. Ya, mungkin juga ini salah satu dukungan terhadap posisi Indonesia saat ini yang menjadi pemimpin G20 untuk mempersiapkan KTT G20 pada Oktober 2022. Namun demikian, Indonesia telah menjadi destinasi yang sangat atraktif bagi investasi asing dan akan terus menarik investor dari seluruh dunia untuk membuka usaha-usaha berbasis dan berorientasi green economy di Indonesia.

Hmm, susah apalagi? Indonesia sudah mempunyai Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan peluang besar untuk kemajuan Indonesia dalam hal investasi produktif pada berbagai sector. Yang menarik bagi saya adalah CEOs Forum itu ternyata sejumlah perusahaan terkemuka di dunia yang bergerak di berbagai macam industry bidang renewable energy, sustainable commodities, infrastructure dan financial, diantaranya: British Petroleum (BP) Jardine Martheson, Mars Wrigley UK, Standard Chartered, HSBC dan Shire Oak. Ya, British Petroleum (BP) Inggris sudah di Indonesia, yakni di Teluk Bintuni, Papua Barat. Jadi wajarlah kalau BP ingin membantu Indonesia untuk mencapai ambisinya dalam upaya penurunan imisi, yang konon katanya lebih cepat lebih baik sebelum 2050. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, land use dan sector energi.

Selebihnya, terlepas dari Indonesia sebagai negara yang dianggap penting oleh dunia internasional G20 dan COP26, ternyata menarik pula bagi Perusahaan-perusahaan besar CEOs Forum yang telah berani menaruh kepercayaan kepada Indonesia dengan nilai USD 9,29 miliar sebagai dana investasi berbasis GREEN. Hmmm, kalau sudah begini, apa yang mau dibilang lagi? Jokowi memang hebat. Pace dia tra kosong. Pergi membawa konsep, pulang bawa komitmen – berupa uang. Urusan tagih janji-komitmen negara maju-selesai di tangan CEOs Forum.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Nasib Masa Dulu dan Masa Depan Orang Tipuka…..(2)


Saya mau bilang bahwa kawasan yang ditempati Suku Kamoro di kampung Tipuka itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Kamoro dan Amungme. Mari lanjutkan cerita. Sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka. Seperti yang telah saya gambarkan di serial sebelumnya bahwa Tipuka adalah salah satu kampung berada di kabupaten Mimika, provinsi Papua. Tipuka terletak di dataran rendah, persis bagian muara sungai di mana aliran pasir tailing dari hulu kali Ajkwa pun kandas di situ sejak 50 tahun lalu. Bisa dibayangkan, dari beberapa sungai akhirnya bermuara di Tipuka?

Hmmmm, belum lagi ceritanya Freeport mampu memproduksi tailing sebanyak 200ribu ton per hari. Coba tindis kalkulator sudah, 200.000 x 1000 (karena 1 ton = 1000 kg) dikalikan 366 hari trus dikalikan lagi dengan 50 tahun? Su dapat de pu hasil ka? Mama yooo, setumpukan itu? Ya itu tambang dia pu limbah yang dong bilang tai-ling.

Ohhh ya, selain kampung Tipuka, mungkin senasib juga orang Kamoro dan orang Amungme di kampung lainnya yang menempati dataran rendah hingga dataran tinggi di kawasan kekuasaan Freeport itu. Kampung lain yang berada di dataran rendah itu adalah kampung Ayuka, Koprapoka, Nayaro dan Nawaripi. Sedangkan kampung yang berada di dataran tinggi atau bagian hulu itu adalah kampung Banti, Arwanop dan Tsinga. Artinya ada 8 (delapan) kampung yang berada di sekitar kawasan kekuasaan PT Freeport Indonesia. Tetapi apabila karena dampak dari UU Desa No. 6/2014 dan ternyata jumlah kampung melebihi angka yang saya sebutkan, mohon maklum. Karena saya berkunjung terakhir di tahun 2015, dan tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 6 tahun terakhir. Semoga saja mereka tidak tergiur dengan semangat pemekaran kampung baru pasca pelaksanaan undang-undang desa.

Oh ya, saya tidak ingin kita terjebak dalam perdebatan angka perubahan, karena toh dari politik angka itu ternyata ekonomi masyarakat se-Tanah Papua masih menempati urutan tertinggi posisi berada di bawah garis kemiskinan. Belum tergantikan pula posisi itu di Indonesia, bahkan provinsi NTT dan Maluku masih lebih rendah posisinya ‘kan? Lho, koq bisa ya? Katanya Papua punya Freeport dan banyak emasnya pula? Belum lagi hasil alam lainnya di sector kehutanan, perkebunan dan kelautan? Aneh juga ya. Salahnya di mana ya. Ohhh Tuhan tolong. Achhh lupakan itu dulu, capek deh.

Mendingan kita cerita barang lain sudah. Seperti apa sih kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat di kampung Tipuka? Ya, namanya juga orang hidup di wilayah pantai, di muara sungai. Surganya adalah sungai dan laut. Surganya juga adalah dusun sagu dan hutan mangrove. Selebihnya jangan pernah bertanya, apakah orang-orang Tipuka semuanya bekerja di PT Freeport? Ya, wajarlah bertanya itu. Karena perusahaan raksasa ini berada di tempat mereka.

Namun yang saya tahu, orang Kamoro di kampung Tipuka itu juga turunan leluhur pencari ikan dan peramu hutan sesuai kebiasaan warisan leluhurnya, layaknya kehidupan orang pantai pada umumnya. Nelayan tradisional tepatnya menyebut matapencaharian orang-orang sekampung Tipuka. Sebagai nelayan tradisional dan peramu hasil hutan, tentu mati dan hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Dusun sagu, jangan ditanya lagi. Apalagi sungainya, kalau orang-orang tua cerita, katanya dulu masih zaman Belanda itu kapal-kapal bisa masuk sampai di bagian hilirnya. Wiiihhh, berarti dalam juga. Yooo, namanya juga muara, apalagi dataran rendah itu berarti rawa-rawa ganas punya yang dorang bilang lahan gambut.

Soal hasil apa yang diharapkan dari sungai dan laut di muara itu, saya mau bilang bahwa kawasan itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”. Saya membayangkan kira-kira kepiting itu besarnya bagaimana eee. Tapi itu hanya ada di saat sungai itu masih dalam, dan belum tertimbun oleh aliran pasir tailing dari pusat produksi emas dan tembaga oleh Freeport di bagian hulu.

Ya, Freeport lagi dan lagi-lagi Freeport selama 50 tahun lalu di tangan pemegang saham tertinggi, Amerika Serikat. Lain ceritanya klo 50 tahun ke depan di tangan Indonesia sebagai pemegang saham 51%, siapa tahu kondisi alam yang dirusak Amerika itu dikembalikan Indonesia ke wajah semulanya. Bisa, Tapi. Ya, optimis saja kawan. Barang apa jadi, karena memang saat ini sampai masa depan, kitorang wajib berpikir positif. Sekalipun “keperawanan” itu tak mungkin kembali lagi setelah dirusak secara paksa. Sayang achhh, trus masa depan orang Tipuka? Itu lagi. Ko jawab sendiri sudah, karena sa juga hati hancur kawan.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

FPIC dan Strategi Negosiasi Bagi Masyarakat Adat


Anda mengalami kesulitan untuk bernegosiasi? Berikut ini adalah Sebuah Panduan Penguatan Kapasitas Masyarakat Adat melalui pendampingan dan pendidikan penyadaran kritis sebagai metode perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya dan perlindungan hak -hak dasarnya atas tanah dan hutan sesuai hukum yang berlaku di ranah internasional, nasional maupun lokal.

Oleh Pietsau Amafnini

Prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent)

FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) merupakan prinsip-prinsip keadilan terkait hak-hak masyarakat adat dalam pembangunan  dimana  mereka  sebagai  komunitas  adat  perlu  dihormati  dan  dihargai  untuk  menyatakan sikapnya secara bebas tanpa tekanan dalam menghadapi pembangunan sektor apapun. Setiap kata dari singkatan FPIC dapat dimaknai sebagaimana kami uraikan di bawah ini.

Free (bebas): kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan membuat keputusan, tanpa dipengaruhi pihak lain, tanpa kekerasan, pemaksaan, intimidasi, rekayasa, manipulasi dan sogokan.

Prior (didahulukan): Hak masyarakat untuk berunding dan mengambil keputusan terhadap proyek yang akan memanfaatkan tanah, sebelum pemerintah dan project developer melaksanakan rencana mereka. Masyarakat diberikan kesempatan dan ‘waktu’ untuk    melakukan konsultasi, mencari informasi dan mencapai kesepakatan.

Informed (diinformasikan): hak masyarakat untuk mendapatkan dan mengakses informasi yang lengkap membaca dan mempelajari, serta menilai informasi. Misalnya: Informasi rencana disain proyek (tujuan, hasil, tahapan, cakupan, prosedur, aktifitas, persiapan, dampak kinerja perusahaan dan sebagainya).

Consent (persetujuan), hak masyarakat adat untuk membuat keputusan dan melakukan perundingan dengan pihak-pihak berkepentingan secara tulus dan menghormati prosedur masyarakat adat setempat. Prosesnya terbuka, adil dan partisipatif, dapat dipertanggungjawabkan, tidak diskriminatif, tidak pro pada kepentingan pemimpin tertentu, melainkan kepentingan masyarakat. Prosesnya bertahap dan berulang-ulang, dapat dianulir kembali persetujuan jika ada pelanggaran.

Prinsip FPIC sesuai kesepakatan negara-negara di tingkat PBB menjamin bahwa: Masyarakat adat mempunyai hak untuk membuat keputusan/persetujuan (consent) yang dilakukan secara bebas (free), tanpa paksaan dan berdasarkan informasi (informed) yang lengkap sejak awal (prior) sebelum proyek pembangunan berlangsung dan memanfaatkan sumberdaya alam dan tanah di wilayah mereka. Maknanya, masyarakat adat mempunyai hak untuk mengatakan “YA”- menerima atau “Tidak” dan – menolak terhadap rencana proyek yang akan berlangsung di wilayah adat mereka. FPIC merupakan alat negosiasi yang adil untuk menyelesaikan bahkan mencegah konflik sejak awal. Masyarakat yang kritis, tidak mengandalkan “KAYU PALANG”, tetapi NEGOSIASI yang Adil.

FPIC DAN PENTINGNYA REFORMASI TENURIAL KEHUTANAN

Mungkin saja banyak masalah yang sudah, sedang dan akan terus dihadapi oleh komunitas masyarakat adat sebagai efek dari kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat, juga efek dari kebijakan pembangunan nasional maupun daerah. Tetapi dalam tulisan ini, kami membatasi diri hanya dan hanya pada masalah terkait Tenurial Kehutanan. Adakah alasannya? Kami hanya bisa bilang, ini masalah sepanjang masa, yang seakan tak ‘kan berkesudahan di negeri ini. Untuk itulah perlu direformasi. Ada begitu banyak istilah pula, tetapi saya mengajak anda untuk menggunakan istilah Reformasi Tenurial Kehutanan. Cukup itu dulu, karena FPIC bisa menyentuh masalah apa saja baik di darat, di laut, maupun di hutan dan udara. Walaupun ada yang bilang, masalah di laut jangan dibawa ke darat. Tapi FPIC adalah satu kunci untuk semua pintu yang bermasalah. Yang sudah rusak, marilah kita betulkan; dan yang masih baik mari kita benahi menuju sempurna dengan FPIC, FPIC dan FPIC.

Mengapa Perlu melakukan Reformasi Tenurial Kehutanan di Indonesia?

  1. Beban  persoalan   tenurial   yang   membelenggu   kehutanan   Indonesia   perlu  diakhiri,   karena ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan menghambat pencapaian efektifitas dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan pemberian izin yang tidak terkoordinasi, penafian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal memicu adanya konflik-konflik tenurial di kawasan hutan.
  2. Kita perlu  arah  perubahan kebijakan penguasaan kawasan hutan  untuk  mencapai kepastian dan keadilan tenurial. Kepastian tenurial terwujud dengan sistem hukum dan kebijakan yang jelas untuk memberikan hak yang kuat dan terlindungi bagi seluruh pengguna hutan. Keadilan tenurial memastikan  meluasnya  akses  kelompok  masyarakat,  terutama  yang  berada  pada  lapis  das ar kemiskinan, pada kawasan hutan, tidak tereksklusi dalam proses pengambilan kebijakan dan memperoleh manfaat yang nyata dari aksesnya.
  3. Reformasi tenurial hutan adalah mandat hukum, dimulai dari UUD’45, Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam, UU No.5/1960 tentang Agraria dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Bagaimana melakukan Reformasi Tenurial? Melalui perbaikan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan:

  1. Merumuskan kembali pengertian definisi tentang kawasan hutan, hutan negara dan hutan adat yang tepat.
  2. Mendorong perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan, melalui revisi peraturan-perundangan yang terkait,  partisipatif,  tata  batas  hak  dan  alokasi  hutan  untuk  rakyat sampai perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa.
  3. Membangun sistem pemetaan yang akuntabel, terbuka dan terintegrasi melalui sistem partisipatif yang didukung dengan dasar hukum yang kuat.
  4. Menyelesaikan tumpang  tindih  perizinan  di  kawasan  hutan  dan  melakukan  penegakan  hukum terhadap  pemberian izin-izin  yang  menyimpang dari  fungsi  kawasan hutan  melalui  kajian-kajian sosial dan kajian tata kelola fungsi lahan sektoral kehutanan, perkebunan, pertambangan, dll.
  5. Menyelesaikan status   hukum   desa-desa  dalam   kawasan  hutan   melalui   pemetaan  partisipatif, pemetaan sosial dan kepastian hukum bagi masyarakat adat yang tetap berada di dalam kawasan hutan dan kepastian tenurial bagi mereka sesuai sejarah/silsilahnya sebagai pengakuan atas hak – haknya atas tanah dan hutan.
  6. Menetapkan hak pengelolaan sebagai alas hak yang sah bagi Kemenhut untuk menguasai kawasan hutan negara (lihat psl.2 ayat 4 UUPA dan PP. No.24/2007 tentang pendaftaran tanah dan membatasi kewenangannya bahwa hanya boleh mengelola kawasan hutan negara.

Bagaimana melakukan penyelesaian konflik kehutanan dalam rangka Reformasi Tenurial kehutanan?

  1. Membangun strategi terpadu untuk penyelesaian konflik tenurial kehutanan
  2. Mempercepat proses penyelesaian konflik dan mencegah terjadinya konflik baru.
  3. Pelembagaan penyelesaian konflik dengan memperkuat lembaga yang sudah ada dan sedang berjalan dengan fungsinya untuk mengidentifikasi konflik, menjalankan mediasi atau memfasilitasi perundingan dalam rangka penyelesaian konflik.

Apa yang seharusnya dilakukan terkait hak masyarakat adat/lokal dalam rangka reformasi tenurial? Perluasan wilayah kelola rakyat (masyarakat adat/lokal) dan peningkatan kesejahteraannya:

  1. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, melalui:
  • Identifikasi/inventarisasi dan pemetaan wilayah adat berdasarkan marga/suku.
  • Pemetaan sosial masyarakat adat (kampung, distrik, kabupaten, provinsi)
  • Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan segala yang terkandung di dalam suatu kawasan tertentu oleh negara sebagai milik marga/suku.
  • Penguatan ekonomi dan sosial masyarakat adat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
  • Pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat suatu marga//suku (komunitas) melalui peraturan-perundangan (UU, PP, Perda).
  • Pembentukan UU untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
  1. Percepatan dan perluasan wilayah kelola masyarakat lokal di sekitar hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat melalui kebijakan dan fasilitasi kegiatan masyarakat adat.
  1. Pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi melalui HKm-Konservasi atau pengelolaan jasa lingkungan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat adat.
  2. Pemberdayaan masyarakat melalui sistem/skema kemitraan dengan: Regulasi yang adil; Kembangkan afirmatif action;  Lembaga  arbitrase  sebagai  pihak  ketiga  penyelesaian  sengketa;  Kelembagaan monitoring dan evaluasi.
  1. Peningkatan kesejahteraan  masyarakat,  melalui  akses  masyarakat  pada  modal,  pasar,  produksi, pendampingan sosial–ekonomi, dukungan pembangunan infrastruktur, akses informasi, kemampuan/keahlian dan keberlanjutan produksi hasil hutan.

FPIC  dan Pemetaan Wilayah Adat Sebagai Alat Penyelesaian Sengketa

  1. Pemetaan wilayah komunitas adat (marga/suku) telah lama dikenal dengan istilah pemetaan partisipatif yang sudah secara luas diterapkan di wilayah masyarakat adat di Indonesia sejak awal 1990-an. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses-proses pemetaan partisipatif:
  2. Masyarakat adat  suku/marga  perlu  membuat  kesepakatan  mengenai  wilayah/kawasan  dengan mengacu pada batas-batas adat sesuai silsilah/history kepemilikannya.
  3. Perlu dilakukan identifikasi batas-batas wilayah  melalui  study/kajian sosial  untuk  mengenal  dan memahami aspek historis kepemilikan lahan/kawasan.
  4. Kesadaran kritis akan pentingnya suatu peta hak ulayat perlu dibangun di pihak masyarakat.
  5. Memastikan bahwa peta-peta tersebut dibuat dengan kesadaran dan kesepakatan penuh dan dengan pengawasan dari anggota masyarakat adat yang terlibat dalam prosesnya.
  6. Memastikan bahwa masyarakat adat memahami tujuan-tujuan pembuatan peta partisipatif.
  7. Melibatkan anggota masyarakat adat  setempat  pada  semua  tahapan  pemetaan  dari  memutuskan informasi   apa   yang   relevan,   mengumpulkan   informasi   di   lapangan,   sampai   mencatat   dan menunjukkan informasi dalam peta-peta dasar.
  8. Sedapat mungkin mencatat pemanfaatan lahan dan batas-batasnya, memasukkan nama-nama lokasi (sesuai  bahasa  lokal)  kategori  pemanfaatan  lahan  dan  istilah-istilah  untuk  jenis-jenis  tanaman, semuanya sesuai penamaan oleh masyarakat adat ke dalam peta-peta tersebut.
  9. Memastikan bahwa semua generasi terlibat dalam setiap prosesnya, orang-orang tua (laki-laki dan perempuan), seringkali yang  paling  mengetahui wilayah-wilayah sejarah,  nilai-nilai budaya,  serta sejarah kepemilikan wilayah adat tersebut.
  10. Melibatkan laki-laki  dan  perempuan  dalam  proses  pemetaan  karena  mereka  sering  cenderung memanfaatkan  lahan  dan  sumberdaya  hutan  secara  berbeda-beda,  keduanya  benar  dan  perlu perlindungan.
  11. Pada daerah yang didiami oleh dua (2) atau lebih kelompok marga/suku yang berbeda, perlu melibatkan semua kelompok  suku/marga  yang  berbeda  dan  berbatasan  tersebut  dalam  proses pemetaan. Semuanya punya hak yang sama untuk terlibat, karena mereka yang tahu batas -batas dan harus disepakati lagi. Hal ini untuk menegaskan hak, hanya satu kelompok yang cenderung mengarah pada konflik dan memperlemah pengakuan semua kelompok tersebut.
  12. Melibatkan komunitas marga/suku tetangga dalam pemetaan batas-batas yang berada pada masing- masing wilayah mereka. Jika batas-batas tersebut di kemudian hari disengketakan oleh suku/komunitas tetangga, maka klaim hak atas wilayah tersebut menjadi lemah bagi semua kelompok suku tersebut.
  13. Pastikan bahwa      peta-peta  diperiksa  dengan  teliti  oleh  anggota  masyarakat,  direvisi  jika  perlu, sebelum digunakan dalam negosiasi-negosiasi dengan pihak ketiga (lihat tujuan peta). Jika itu untuk kepentingan perlindungan hak adat, maka sebaiknya tidak untuk diperjual-belikan.
  14. Jika hukum nasional memungkinkan, tetapkan hak kepemilikan intelektual atas peta dan database yang terekam sebagai kepemilikan masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.
  15. Buat aturan untuk melindungi pemanfaatan informasi, sehingga informasi tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan untuk kepentingan orang lain.
  16. Membuat kesepakatan bersama dalam  menunjuk  siapa  yang  diberikan kuasa  kepercaya an  untuk menyimpan  peta  dan  informasi  yang  sudah  jadi  sebagai  asetmilik  bersama  untuk  menghindari penyalahgunaan wewenang terhadap kepemilikan peta dan fungsinya.
  17. Sebagai tindakan pencegahan dan penyelesaian masalah yang melibatkan masyarakat adat sebagai komunitas dengan pihak lain misalnya perusahaan dan pemerintah, maka yang perlu dilakukan adalah menjalankan prinsip-prinsip  FPIC;   Musyawarah adat/kampung; pemetaan hak adat; menulis/membuat aturan  kampung/desa;  pertemuan  kampung;  membuat  rencana  pembangunan kampung/desa; pertemuan antara kampung, antar marga, antar suku hingga pertemuan pihak -pihak terkait yang berkepentingan (komunitas adat, perusahaan, pemerintah) dengan difasilitasi oleh pihak penengah/arbitrase yang disepakati bersama oleh semua pihak bersengketa.

FPIC: Antara Hak Masyarakat Adat dan Kewajiban Pengembang Investasi

Sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC bahwa masyarakat adat berhak memperoleh informasi yang lengkap sejak awal dan mengetujui atau menolak secara bebas tanpa tekanan, maka tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang harus dibuat sebagai kewajiban oleh perusahaan pengembang proyek (investor) dan karenanya perlu diketahui oleh komunitas masyarakat adat setempat sebagai hak sesuai FPIC adalah:

  1. SCOPING: perusahaan  harus  periksa  siapa  saja  kelompok  masyarakat  di  dalam  kawasan/lokasi sasaran proyek.
  2. Lembaga apa saja yang mempunyai peran penting dalam pengurusan kampung dan komunitas adat setempat.
  3. Konservasi/perlindungan terhadap potensi nilai konservasi tinggi misalnya tempat-tempat pemali dan hewan endemik yang terancam hilang dan punah; dan karenanya pemetaan/tata ruang kawasan menjadi sangat penting untuk ditunjukkan dan diketahui oleh masyarakat. Pemetaan tata ruang untuk dampak sosial dan lingkungan perlu mencakup: peta wilayah adat, luasan kawasan adat, kepemilikan marga/suku/komunitas, terutama memperhitungkan alokasi kawasan untuk menjamin keberlangsungan hidup komunitas adat.
  4. Masyarakat  dan   perusahaan   sama-sama   menyediakan   informasi   yang   lengkap,   tentang:   a) kemungkinan adanya tumpang tindih hak atas lahan/kawasan (misalnya: perusahaan/tambang, kayu; pemerintah/CA, HL; komunitas adat/tempat pemali, hutan sagu, kebun). b) masyarakat adat harus menunjukkan bahwa komunitas mereka adalah pemegang hak  atas tanah dan kawasan hutan. c) perusahaan harus  menyediakan informasi  lengkap  mengenai  DAMPAK  (positif,  negatif),  manfaat, resiko, keuangan, perizinan, mitra kerjanya dengan siapa saja.
  5. Masyarakat adat  harus  bangun  komitmen  untuk  tegas  dengan  FPIC  dimana  mengedepankan Musyawarah Adat/Kampung.
  6. Masyarakat adat harus membentuk TIM BERUNDING yang beranggotakan Laki-laki dan perempuan, tokoh adat, pemerintah desa).  Tim berunding ini harus bekerja sesuai masa waktu usia kontrak perusahaan, misalnya kalau perusahaan tersebut kontrak kerjanya 30 tahun, maka masa kerja tim berunding ini harus berusia 30 tahun pula. Tim Berunding ini dapat memainkan perannya untuk bertanya: Apa manfaatnya untuk masyarakat; bagaimana pembagian keuntungan; apa bentuk penyaluran dari perusahaan dan pemerintah; bagaimana menghadapi dampak; cara mendapatkan hak atas keuntungan; bagaimana kalau perusahan tiba-tiba bangkrut, dll. Semua hasil dari proses pertemuan antara Tim Berunding dengan pihak perusahaan maupun pemerintah wajib disampaikan dalam forum pertemuan/musyawarah adat/kampung.
  7. Tim Berunding tidak boleh membuat agenda dan permintaan-permintaan sendiri di luar ketentuan yang disetujui bersama dalam musyawarah adat/kampung. Untuk itu dalam menghadapi perusahaan (ketika harus bernegosiasi secara adil) maka komunitas dalam musyawarah itu harus membuat Target TUNTUTAN Tertinggi, dan ketika ditanggapi dengan melemah, Tim Berunding tidak dapat mengambil keputusan sendiri  dalam  proses  negosiasi  itu,  tetapi dimusyawarahkan kembali  dengan  anggota komunitas. Tim harus menyiapkan diri secara fisik dan mental. Tim Berunding selalu harus melaporkan kembali setiap hasil perundingan kepada warga/anggota komunitas dalam musyawarah. Setiap hasil tahapan bisa saja berakibat fatal/macet, maka KEMBALI ke TUNTUTAN AWAL dimana Musyawarah menentukan TARGET TERTINGGI. Kesepakatan Akhir antara Tim Berunding dengan perusahaan setelah menempuh proses sesuai prinsip FPIC merupakan SOLUSI dan karenanya Kesepakatan tersebut MENGIKAT kedua belah pihak. Biasanya ketika belum ada solusi, maka muncu l ancaman, intimidasi yang menyebabkan masyarakat menjadi pecah-belah, pro – kontra. Kesepakatan pun biasanya berupa UANG dan Pembangunan Fisik. Jangan menerima kompensasi berupa “iming – iming/janji-janji” kesejahteraan berjangka panjang.
  8. Masyarakat adat  harus  menyiapkan  rencana  kalau  terjadi  kesepakatan:  bentuknya  jelas,  apakah berupa    koperasi    atau    berupa uang tunai dan langsung    dibagi    sesuai    dengan    jumlah jiwa/keluarga/marga, dll.
  9. Terkait KESEPAKATAN,  maka   Masyarakat  Adat  JANGAN  TANDA  TANGANI:  Kwitansi  Kosong; dokumen yang tidak lengkap atau dokumen yang merujuk pada LAMPIRAN yang tidak ditunjukkan; dokumen  yang  masih  ada  titik-titik  (………….)  atau  ruang  kosong  yang  tersembunyi……;  dokumen contoh; hati-hati terhadap politik pecah-belah dengan isu-isu hasutan pro/kontra dan iming-iming uang  dan  lain  sebagainya  yang  dapat  memperlemah posisi  masyarakat adat.  Untuk  itulah,  maka perjanjian dan dokumen perjanjian/kesepakatan penting dibaca, diteliti, dipertimbangkan dan ditandatangani NOTARIS sebagai pejabat negara yang berwenang dalam Hukum Perikatan.
  10. Penegasan isi perjanjian/kesepakatan oleh NOTARIS dan diketahui Pemerintah Daerah.
  11. Mengawasi Pelaksanaan isi Kesepakatan FPIC. Bila ada hal yang menyimpang dari kesepakatan, maka komunitas adat melalui musyawarah melakukan komplain.

Semoga Lembaran Panduan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat adat dan semua aktivis pendamping komunitas masyarakat adat, khususnya para aktivis JASOIL yang selalu bekerja tanpa pamrih penuh pengabdian untuk KEADILAN di Tanah Papua. ****Koordinator JASOIL Tanah Papua

UU DESA: Otonomi Desa tak dapat berjalan tanpa BUMDes……….(bagian_7)


Pelaksanaan UU Desa No.6/2014 tidak hanya untuk kemandirian pemerintahan desa dalam kebijakan pembangunan desa. Karena Nyawa UU Desa itu ada di BUMDes yang lahir dari semangat kemandirian desa sesuai mandate UU Desa (baca: Otonomi Desa). Makna kemandirian itu sendiri menyasar dua bidang yaitu mandiri dalam keuangan, serta mandiri dalam mengelola pemerintahan. Seiring dengan diberikannya kebebasan kepada pemerintah desa untuk mengelola sendiri urusan internalnya, berdampak pada beban keuangan yang juga harus dipikul oleh pemerintah desa. BUMDes hadir dalam rangka menyasar kemandirian dibidang keuangan desa. Lembaga ini diproyeksikan untuk turut membantu pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa (PAD) untuk kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Namun tidaklah berarti, BUMDes adalah “MESIN UANG” semata.

Oleh Pietsau Amafnini

Memang, tentu butuh banyak energy terkuras bila pembangunan harus didorong dari pinggiran dan pelosok-pelosok agar memperkuat Indonesia dari kemajuan daerah-daerah. Impian bahwa kemiskinan harus terhapuskan dari bumi Indonesia dengan strategi ‘membangun Indonesia dari desa’. Namun, kemiskinan itu sendiri merupakan fenomena multidimensional yang disebabkan tidak saja oleh faktor ekonomi, tetapi juga keterbatasan akses terhadap layanan dasar dan ketidak-terpenuhinya pelayanan dasar itu. UU Desa No.6/2014 sudah menjadi peluang menuju Indonesia yang jauh lebih baik dan mandiri secara ekonomi. Bahkan sejak awal, para pendiri bangsa dan Negara ini sudah bergumul dengan aspek kemandirian ekonomi itu.

Muhammad Hatta dalam konsepnya tentang Koperasi justru menekankan kemandirian bangsa dan Negara ini hanya melalui pertumbuhan ekonomi kerakyatan dengan prinsip kegotong-royongan sebagai modal social pembangunan. Namun, kenyataan menjadi lain bahwa kini usia Indonesia yang ke-73 tahun pun bangsa dan Negara ini hidup dari Utang Luar Negeri. Lantas sampai kapankah kemandirian itu bisa nampak? Ternyata kemerdekaan itu hanya sebuah kedaulatan politik, tetapi tidak dalam hal kemandirian ekonomi. Buktinya, kebanyakan investasi asing yang menguasai ‘lahan’ Indonesia. Tidak hanya itu, urusan tenaga kerja pun dikuasai oleh asing. Nah, rupanya untuk mewujudkan “desa memajukan Negara”, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Tetapi tidaklah berarti bahwa itu cuman slogan semata. Ada kemajuan, tetapi tidak seberapa. Ada perubahan, tetapi masih samar-samar. Bahkan kita harus berusaha untuk keluar dari lilitan utang luar negeri, dan juga ketergantungan pada product import dari luar negeri.

Jika konsep koperasi dimaksudkan untuk mendorong kemandirian ekonomi bangsa, maka sekiranya konsep BUMdes merupakan wadah usaha dengan tujuan yang sama dimulai dari desa. Sama-sama kelembagaan ekonomi. Bedanya, koperasi berbasis anggota dan bermodalkan sumbangan anggota. Sedangkan BUMDes berbasis masyarakat desa, bermodalkan dana dari ADD yang bersumber dari APBN. Dilihat dari tujuannya secara garis besar memang sama antara koperasi dan BUMDes, tetapi ada perbedaan prinsip antara koperasi dan BUMDes. Dalam bentuk BUMdes ada kemitraan antara pemerintah desa dengan mayarakat yang meletakan kekuasaan tertinggi pada musyawarah desa, berbeda dengan koperasi. Koperasi adalah kelembagaan ekonomi yang didirikan oleh beberapa orang yang mempunyai tujuan yang sama, kekuasaan tertinggi ada pada rapat anggota. Modal BUMDes menggunakan dana desa dari pemerintah pusat yang diberikan untuk desa. Dengan bantuan modal dari pemerintah pusat, BUMDes bisa mengelola potensi-potensi yang ada di desa untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan upaya mengatasi kesenjangan ekonomi yang tercipta antara desa dan kota.

Dalam rangka mengatasi kesenjangan antar wilayah dan antara desa dan kota, pemerintah menerapkan paradigma “Membangun dari Pinggiran” yang berarti membangun daerah-daerah tertinggal dan kawasan-kawasan perdesaan. Pemerintah percaya pembangunan berbasis perdesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat fondasi perekonomian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan antarwilayah. Sebagai solusi bagi perubahan sosial, desa mempunyai posisi strategis sebagai basis perubahan.

Pertumbuhan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat serta perubahan struktur perekonomian Indonesia memiliki dua konsekuensi penting yaitu; pertama, penduduk golongan menengah ke bawah semakin membutuhkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif; dan kedua, adanya potensi meningkatnya kesenjangan antar kelompok berpendapatan rendah dan menengah ke atas. Sistem perlindungan sosial diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan akses terhadap pelayanan dasar bagi penduduk yang kurang mampu serta menjaga mereka dari guncangan sosial ekonomi yang mungkin terjadi. Dalam mengurangi kesenjangan ekonomi, perlu perluasan akses terhadap kesempatan lapangan kerja dan sumber-sumber kegiatan ekonomi setempat.

Dalam konteks itu maka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi harus digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan karena dipandang memberi peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Infrastruktur desa, seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan, kesehatan dan sarana-sarana lain yang dibutuhkan, harus menjadi lebih baik dan merata sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan Lembaga Usaha Desa yang dikelola oleh masyarakat dan Pemerintah Desa dalam upaya memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa. Pendirian BUMDes harus didasarkan pada kebutuhan dan potensi desa, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDes dibangun atas dasar prakarsa masyarakat, serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, transparansi, emansipatif, akuntabel, dan sustainabel dengan mekanisme member-base and self-help. Dari semua itu yang terpenting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan secara profesional dan mandiri.

Selain itu yang perlu diingat adalah BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution). BUMDes sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan efektifitas harus selalu ditekankan. Tentu butuh ketekunan dan keuletas tersendiri, selain semangat kebersamaan dan kekompakan dalam upaya mengembangkan usaha-usaha kreatif yang menjadi bagian dari impian bersama untuk mewujudkan perubahan-perubahan di perdesaan.

Untuk dibedakan dari kelembagaan lainnya, BUMDes sendiri memiliki cirri khas tertentu, yakni: dimiliki oleh desa dan dikelola bersama oleh masyarakat desa; modal bersumber dari desa sebesar 51% dan dari masyarakat sebesar 49% melalui penyertaan modal (saham atau andil); operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya local; bidang usaha yang dijalankan berdasarkan pada potensi dan informasi pasar; keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat melalui kebijakan desa; Difasilitasi oleh pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintahan desa; selanjutnya operasionalisasi dikontrol secara bersama oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), Pemerintah Desa dan Anggota.

Tentu ada tujuannya, bahwa pendirian BUMDes dimaksudkan untuk: meningkatkan perekonomian desa; meningkatkan Pendapatan Asli Desa; meningkatkan pengelolaan potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa. Nah, untuk bisa mencapai empat tujuan BUMDes di atas tentu harus dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan barang dan jasa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (pihak luar desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan sesuai standar pasar. Artinya perlu ada mekanisme kelembagaan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi pedesaan disebabkan oleh usaha BUMDes.

Apa yang dimaksud dengan ”kebutuhan dan potensi desa” adalah: kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok; tersedia sumber daya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar; tersedia sumber daya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat; adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi. Apa yang dimaksud dengan “usaha desa” adalah jenis usaha yang meliputi pelayanan ekonomi desa seperti antara lain: usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis lainnya; penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa; perdagangan hasil pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan agrobisnis; industri dan kerajinan rakyat.

Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes atau sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan (proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam pembentukan BUMDes sebagai badan hukum yang berpijak pada tata aturan perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa.

Sebagaimana kita ketahui BUMDes merupakan lembaga yang baru hadir dari adanya semangat kemandirian desa. Makna kemandirian itu sendiri menyasar dua bidang yaitu mandiri dalam keuangan serta mandiri dalam mengelola pemerintahan. Seiring dengan diberikannya kebebasan kepada pemerintah desa untuk mengelola sendiri urusan internalnya, berdampak pada beban keuangan yang juga harus dipikul oleh pemerintah desa. BUMDes hadir dalam rangka menyasar kemandirian dibidang keuangan desa. Lembaga ini diproyeksikan untuk turut membantu pemerintah desa dalam meningkatkan pendapatan asli desa untuk kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.

Akan tetapi disisi lain BUMDes juga mendapat tanggungjawab untuk melaksanakan tujuan sosialnya yaitu melaksanakan aspek pemberdayaan kepada masyarakat desa. Tujuan sosial ini lebih cenderung untuk menjaga agar nantinya BUMDes tidak semata-mata hanya mengejar nilai profit, tetapi juga mampu memberikan dampak secara nyata yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Selain itu harus disadari bahwa, BUMDes hadir di wilayah pedesaan yang memiliki ikatan sosial budaya yang kuat, dimana masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai adat. Hal itu pula yang mengharuskan BUMDes menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa. Artinya, apa yang masih tak mungkin dilakukan karena tak menjadi kebutuhan mereka, jangan dipaksakan. Misalnya yang dibutuhkan adalah pengembangan sector pertanian daripada pengelolaan warung makan atau kios sembako karena kekhawatiran manajement, maka sebaiknya mengutamakan sector pertanian.

BUMDes sebagai kelembagaan ekonomi, memiliki dua tujuan besar yaitu mengejar profit untuk peningkatan pendapatan asli desa dan melakukan pemberdayaan kepada masyarakat. Kedua tujuan tersebut kemudian menjadi acuan utama dalam mengelola BUMDes. Akan tetapi menjadi sulit ketika dalam prakteknya kedua tujuan utama dibenturkan. Hal ini dikarenakan kedua tujuan tersebut bertolak belakang. BUMDes tidak bisa disamakan dengan logika pengelolaan layaknya bumn yang memang mengejar profit sebesar-besarnya, ataupun dengan konsep pengelolaan layaknya LSM yang mengutamakan fungsi pemberdayaan kepada masyarakat daripada mengejar profitnya. Artinya, menggabungkan dua tujuan besar ini bukanlah hal yang mudah, dan memang masih menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah desa untuk merumuskan konsep pengelolaan BUMDes yang ideal.

Salah satu solusi yang dapat dilaksanakan adalah dengan merumuskan anak usaha BUMDes yang menyentuh aspek pemberdayaan di dalamnya. Sebagai contoh, anak usaha BUMDes yang mengelola pasar desa. BUMDes selain memungut retribusi terhadap pedagang di pasar desa, juga dapat memberikan pelatihan manajemen usaha yang baik, atau menerapkan SOP yang jelas dalam kegiatan jual beli di pasar desa. Sehingga secara tidak langsung, selain mendapatkan keuntungan dalam memungut retribusi di pasar desa, masyarakat juga mendapat tambahan wawasan mengenai cara mengelola dagangannya dengan baik serta pemahaman mengenai transaksi dagang di pasar. Hal ini bisa menjadi contoh sederhana bagaimana menggabungkan dua tujuan besar BUMDes dilaksanakan dalam satu kegiatan.

Solusi lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah dengan melibatkan langsung atau merekrut warga desa sebagai karyawan dalam anak usaha BUMDes. Nantinya ketika mereka sudah direkrut kemudian dilakukan peningkatan kemampuan khususnya dalam dunia kerja. Sehingga diharapakan nantinya anak usaha BUMDes akan berjalan dan mendapat profit. Tetapi di sisi lainnya, warga desa yang terlibat langsung dalam usaha tersebut bertambah wawasan dan kemampuannya dalam dunia kerja. Strategi ini juga menjamin bahwa masyarakat di desa diberi ruang bagi pemerintah desa untuk dapat terlibat langsung dalam mengelola BUMDes sesuai peran dan fungsi yang diberikan.

Memang bukan hal yang mudah dalam mengelola BUMDes. Apalagi dengan tanggungjawab yang cukup besar. Akan tetapi tidak perlu jadi pesimis. Harus selalu optimis untuk perubahan. Kenapa orang lain bisa dan kita tidak bisa. Untuk itulah, maka diperlukan kreatifitas dan keberanian dalam mengelola BUMDes sehingga kelak menjadi lembaga yang memberi manfaat yang nyata bagi masyarakat di desa. Salah satu yang menghambat berkembangnya BUMDes sebagai unit usaha milik desa adalah karena sebagian kepala desa beranggapan bahwa BUMDes harus menjalankan fugsinya sebagai Mesin Uang. Akibatnya, banyak BUMDes menjalankan usaha yang justru mematikan usaha warga dan sebagian lagi segera mati karena tak mampu menjalankannya. Padahal dana terlanjur mengucur sebagai modalnya. Prinsip BUMDes sebagai Mesin Uang boleh menjadi semangat pengelolaan usaha, tetapi tidak dimaksudkan untuk BUMDes dapat mematikan usaha dan kreatifitas individu setiap anggota masyarakat di desa. Justru sebaliknya BUMDes harus membantu memberikan dukungan agar semakin berkembangnya usaha-usaha pribadi masyarakat itu.

Salah satu yang membuat pemahaman mengenai fungsi BUMDes menciut menjadi ‘mesin uang’ adalah karena selama ini wacana yang berhembus mengenai BUMDes yang hebat adalah BUMDes yang mampu membukukan miliaran rupiah setahun dari usaha yang dijalankannya. Fakta ini bahkan terpapar dengan gamblang pada setiap award mengenai ‘BUMDes-BUMDes Terbaik baik di tingkat nasional maupun regional. Award ini sebenarnya perlu dilihat sebagai upaya memotivasi usaha-usaha kreatif rakyat memalui peran BUMDes antar Desa di seluruh Indonesia. Sederhananya, “kenapa dorang bisa dan kitorang tidak bisa?”.

Beberapa BUMDes memang memiliki penghasilan yang mencengangkan, terutama di daerah Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Bagi masyarakat desa di Tanah Papua, mungkin hal ini masih menjadi proses belajar ke depan. Di luar Papua, memang ada desa-desa yang sudah maju sebelumnya. Mereka malah sudah mempunyai asset obyek wisata berbasis desa sehingga mengundang ribuan orang datang berwisata ke sana. Obyek wisata itu bahkan sebenarnya memang sudah ramai sejak sebelum wacana BUMDes membahana di nusantara pada pasca penetapan UU Desa No.6/2014. Sehingga sebenarnya bukanlah sebuah prestasi, tapi tak perlu kitorang heran karena itu;ah kesepakatan masyarakat desa untuk dijadikan bagian dari usaha BUMDes, makanya begitu dikelola BUMDes, lalu menciptakan angka penghasilan yang luar biasa. Mengapa? Karena modalnya sudah didukung dengan Alokasi Dana Desa, dan tentu didukung penuh juga dengan APBD Kabupaten dan Provinsi. Bahkan ada pula BUMDes yang dianggap sukses luar biasa tetapi ternyata infrastruktur yang dijalankan BUMDes untuk menghasilkan uang adalah infrastruktur yang lahir karena bantuan pemerintah pada jauh hari sebelum BUMDes mengelolanya. Fenomena ini terjadi pada beberapa BUMDes yag dinilai gemilang karena berhasil mengelola layanan dan usaha tertentu misalnya penyediaan air minum kemasan, usaha air gallon, usaha pulsa listrik dan pulsa telkomsel. Tidak hanya itu, tapi pada beberapa BUMDes yang kelola Pabrik Minyak Atsiri dan juga Budidaya Tanaman Penghasil Minyak Atsiri seperti Sereh Wangi, Akar Wangi, Nilam dan lain sebagainya.

Fenomena ini menciptakan beberapa akibat yakni sebagian besar kepala desa menganggap BUMDes yang hebat hanya diukur dari jumlah pendapatan rupiah yang dibukukan setiap tahun. Akhirnya, mereka terus mencari cara agar bisa menciptakan BUMDes yang bisa menghasilkan yang sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya, mendirikan unit usaha yang sebenarnya sudah dijalankan sebagian warganya. Soalnya, merumuskan jenis bisnis yang baru sama sekali tidak mudah bagi seorang kepala desa dan perangkatnya. Artinya apa? Jangankan merumuskan konsep usaha baru, yang kalaupun toh bisa dilakukan, tetapi belum tentu berhasil. Akhirnya, ada banyak cerita BUMDes yang penuh semangat mendirikan unit usaha lalu dalam hitungan bulan kemudian mandeg tak jelas nasibnya.

Akibat kedua adalah sebagian desa menjadi ciut nyali mengejar ‘ketertinggalannya’. Mereka merasa tidak memiliki potensi alam yang hebat sebagaimana BUMDes yang dianggap hebat dan tak punya pula potensi yang hebat untuk diolah menjadi BUMDes yang hebat. Pendeknya, mereka merasa tak akan bakal besar dan hebat dengan kondisi desanya. Belum lagi menghadapi resiko hukum jika salah kelola dana desa. Soalnya, tak sedikit pula kepala desa yang kini mendekam di penjara karena diputus salah dalam mengelola dana desa. Tetapi tidaklah berarti bahwa nyali kita menjadi pudar untuk mewujudkan perubahan desa dengan menumbuhkan usaha-usaha kreatif yang produktif dengan semangat pengelolaan BUMDes. Karena itulah semangat UU Desa itu sendiri, bahwa kemandirian ekonomi desa adalah mutlak diperlukan, sehingga diatur secara tegas dalam UU ini. Mengapa demikian? Supaya masyarakat desa dan pemerintah desa tidak hanya berharap sepenuhnya pada Alokasi Dana Desa dari APBN sebagai satu-satunya modal Pendapatan Asli Desa. Itu artinya, kita masih tetap bersikap pasif pada pembangunan dan berprinsip “NRIMO”, asal jadi dan yang penting ada.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

JARAE-MANAWARI: Hakim Menolak Gugatan, Tapi Kami Tetap Berjuang……(10)


Majelis Hakim telah memutuskan, Menolak Gugatan Yerisiam. Tapi perjuangan tak pernah akan berakhir. Kami Tetap Berjuang. Kekompakan kita harus terus terjaga, dan juga kita bantu kepada saudara-saudara lain di belahan negeri Papua lainya, dalam melawan kebijakan corporate lewat investasi-investasi yang merampas hak-hak kita di negeri ini, Tanah Papua.

Oleh Pietsau Amafnini

Hari itu, Selasa 5 April 2016. Orang-orang Yerisiam Gua bersama para sahabat peduli korban kebijakan investasi perkebunan sawit pun tampak memadati ruang sidang PTUN Jayapura. Ini sidang yang ke-20, merupakan sidang terakhir atas gugatan terhadap IUP Sawit Nabire Baru yang telah mengklaim 17,000 hektar Tanah Yerisiam tanpa persetujuan masyarakat adat pemilik hak ulayat. Artinya sudah 19 kali sidang telah dilewati sejak Oktober 2015 yang lalu. Mereka tampak tenang sambil mengira-ngira terhadap hasil sidang kesimpulan dan pengambilan keputusan majelis Hakim.

Semua seakan tenggelam dalam suasana hening mendengar butir-butir kesimpulan hakim setelah mendengar keterangan dari baik penggugat maupun para pihak tergugat disertai alat-alat bukti masing-masing pihak. Dan akhirnya sampai pada kesimpulan dan keputusan Hakim PTUN Jayapura atas gugatan masyarakat adat Yerisiam Gua terhadap IUP Nabire Baru, bahwa Majelis Hakim menolak Gugatan Yerisiam tersebut. Kalah. Rasa kecewa pun tampak memadat pada roman wajah orang-orang Yerisiam itu. Tapi tak satu pun dari pihak tergugat terlihat senyum. Yang jelas ini tidak seperti bermain sepak bola, dimana ada pihak yang kalah dan ada yang menang telak; atau seperti arena tinju dimana ada yang menang KO dan atau ada lawan yang kalah tipis dalam angka hasil penilaian dewan juri. Tapi memang serupa dengan sebuah permainan di mana antara dua kubu telah menempuh 19 kali pertarungan hingga mencapai tahap final pada tahap ke-20. Sialnya, tak satupun merayakan kemenangannya, dan pihak lainnya pun tak menyesali kekalahannya. Karena sang pemenang adalah “WAKTU” dan sang “wasit” telah mengambil keputusan bahwa “selesai”. Sabuk juara sang petarung pun tetap menjadi miliknya hingga 35 tahun ke depan.

Achhhh sedih, karena proses hukum yang berlangsung sejak Oktober 2015 itu ternyata sangat melelahkan. Nabire dan Jayapura, bukan tempat yang berdekatan. Mahalnya ongkos transportasi, konsumsi dan lain sebagainya tentu meninggalkan kesan tersendiri. Belum lagi tenaga dan pikiran hingga pergumulan dalam menahan perasaan hingga rasa haus dan lapar selama menjalani masa perjuangan menuntut keadilan atas negeri warisan para leluhur “Jarae dan Manawari”.

Apakah ini berarti masyarakat adat Yerisiam selaku pihak penggugat itu kalah? Tidak…!!! Kalah atau menang sebenarnya sama saja dalam proses hukum jenis ini, toh tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang diuntungkan. Karena 17,000 hektar itu pun tetap bertanam sawit dan tanah pun tak kembali ke tangan orang Yerisiam, bahkan hutan pun tak kembali ke kondisi semulanya. Seandainya “menang” pun, IUP-HGU Sawit yang telah dikuasakan negara kepada hak PT. Nabire Baru itu belum tentu dicabut, bahkan pohon-pohon sawit itu pun tak mungkin tercabut pula. Hutan sawit itu pun tak mungkin kembali ke wajah alam semulanya. Bahkan Kali Sima pun tak mungkin berhenti meluap membawa banjir ke dalam Kampung Sima.

Namun demikian, sebuah pembelajaran dari proses panjang ini adalah sebuah pengalaman menarik dan sangat baru bagi seluruh masyarakat adat korban investasi skala besar di Tanah Papua. Bahwa Orang Yerisiam Gua telah menunjukkan jalan guna mencari keadilan di negeri ini dengan menempuh jalur hukum, fasilitas yang disediakan oleh sistem negara untuk menangani, menengahi dan menyelesaikan konflik. Dalam hal ini, maka Orang Yerisiam sesungguhnya “Tidak Kalah” dalam proses peradilan ini, walaupun gugatan mereka terhadap Pemerintah Provinsi Papua dan Perusahaan sawit Nabire Baru “ditolak” oleh Majelis Hakim pada sidang yang ke-20 itu. Keberhasilan Suku Besar Yerisiam adalah berani mencari keadilan melalui jalur hukum dan berani menggugat perusahaan kelapa sawit di Tanah Papua. Proses hukum itu pun berjalan hingga pada akhirnya sampai pada Keputusan Hakim. Ini hebat, Suku Besar Yerisiam Gua hebat. Mereka telah berjuang sampai akhir. Walaupun bukan satu-satunya jalan, apalagi menjadi jalan terakhir untuk mendapatkan kembali “Jarae dan Manawari”. Masih ada banyak jalan dan cara, tetapi tentu membutuhkan waktu, tenaga dan strategi baru. Melalui telepon celulernya, Robertino Hanebora pun mengakhiri ceritanya dengan bernada tegas, “Kami masih akan terus berjuang, ini bukan jalan yang terakhir bagi kami”.

Sebuah catatan curahan hati (Curhat) pun dilayangkan oleh Robertino Hanebora, Sekretaris Suku Besar Yerisiam Gua melalui media sosial (facebook) kepada seluruh sahabat jaringan dan teman-teman senasib-seperjuangan. Beribu maaf dan beribu terimakasih disampaikan kepada semua sahabat jaringan yang telah turut menaruh perhatian pada perjuangan Suku Besar Yerisiam Gua.

“KAMI TETAP BERJUANG”. Izinkanlah saya mengutip sebuah nasehat dari buku catatan renungannya Pdt.IS.Kijne di Windesi/Wasior, Teluk Wondama pada 13 Januari 1926: “Saya sendiri tak mengerti dengan misteri negeri ini (Papua), panggkur sagu kalian, jaga ikan kalian, jaga gunung-gunung kalian dan jaga negeri kalian. Karena suatu saat misteri negeri ini akan menjadi berkat bagi generasi-generasi kalian. Perbanyaklah berdoa…kerena dengan doa kalian tidak jatuh dalam cobaan dan godaan”.

Selanjutnya, sekalipun langit terbelah, hujan peluru dan berjuta rintangan, kami akan terus berjuang mempertahankan “Tanah Kelahiran Kami Yerisiam Gua”. Majelis Hakim PTUN Jayapura telah menyimpulkan dan memutuskan pada hari ini selasa,5/04/2016  bahwa menolak gugatan kami terhadap SK Gubernur Papua (Barnabas Suebu) No. 142, tentang IUP (Ijin Usaha Perkebunan) PT.Nabire. Tapi kami tidak merasa telah dikalahkan oleh perusahaan itu bersama pemerintah sebagai pemberi izin. Kami sudah melewati 19 kali sidang, dan akhirnya gugatan kami ditolak pada sidang ke-20. Sebanyak 20 kali sidang memang melelahkan, tapi semangat kami tidak pernah akan padam. Karena semangat itu telah berkobar sejak Oktober 2015 hingga April 2016, sekarang. Tak pernah akan redup. Kami akan tetap berjuang hingga pada akhirnya mendapatkan kembali hak kami atas Tanah Yerisiam. “Jarae dan Manawari” harus kembali ke tangan hak kami.

Banyak suka maupun duka yang kami hadapi. Tapi juga banyak pelajaran berharga yang kami dapat di dalam proses ini, salah satunya adalah “Menuntut Hak Menggunakan Aturan Yang Berlaku,Tanpa Menggunakan Otot Atau Kekerasan”. Secara akal sehat, dan asumsi orang yang anti untuk melawan sistim, akan berpikir bahwa hal yang kami lakukan untuk melawan investasi skala besar ini, tak mungkin akan berhasil dan percuma. Namun…, saya belajar banyak skali dari orang-orang yang ada di samping saya, salah satunya seorang cendikiawan Papua yang saya anggap seperti sudara kandung saya sendiri, Jhon NR Gobai. Dia mengatakan bahwa “Adik…bicara barang benar, bicara akan negeri ini, jangan pernah menyerah…kita lawan, Tuhan dan Negeri ini akan menyertai kita. Banyak orang yang akan berpikir dan membantu kita”.

Saya atas nama pribadi dan Pimpinan Kolektif Suku Besar Yerisiam Gua, mengucapkan banyak trimakasih kepada Koalisi Peduli Korban Sawit Nabire (KPK-SN), KPKC GKI di Tanah Papua, Keluarga Besar Yayasan Pusaka di Jakarta, JASOIL Tanah Papua di Manokwari, Keluarga Besar Forum Indepanden Mahasiswa (FIM), Universitas Cenderawasih (Dr.Yusak Reba), Abang Wenan Watory, Keluarga Besar Yerisiam Gua di Nabire, Keluarga Besar Hegure/Yaur di Nabire, Teman-Teman Jurnalis, Para Aktivis Penggiat Lingkungan, Media-Media Online, Media Cetak, Media Elektronik, dan semua pihak yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, yang membantu kami dari ujung Kepala Burung Sorong sampai Samarai dan juga mereka yang di luar Papua tapi juga Luar Negeri, baik dukungan moril dan materil. Dari pribadi dan Kolektif, saya menyampaikan beribu terimaksih, karena semua melihat persoalan Yerisiam bukan dari perspektif orang Yerisiam saja, tapi menjadi ancaman bagi satu negeri ini (Papua). Terimakasih, karena terus mendampingi kami hingga saat ini dan juga turut berpikir akan persoalan kami selama ini dan lebih khusus selama sidang berlangsung, Semoga Tuhan dan Leluhur Negeri ini memberkati kalian semua.

Ketika Tuhan dan Tulang-Belulang Lelulur Negeri ini berkehendak dan Hakim Independen…maka Perjuangan kita di PTUN akan berhasil/menang…Perjuangan ini adalah bagian dari bentuk melawan sistem yang ingin mengacaukan, merampas dan membunuh kita lewat Investasi yang ada di Tanah Papua, lebih khusus Yerisiam. Sekali Lagi Tuhan Memberkati Perjuangan Kita Semua. Terakhir apabila ada yang salah, dan kurang berkenan kepada semua. Kami menyampaikan permohonan maaf. Perjuangan kekompakan kita terus kita jaga, dan juga kita bantu kepada saudara-saudara lain di belahan negeri Papua lainya, dalam melawan kebijakan corporate lewat investasi-investasi yang merampas hak-hak kita di negeri ini (Papua).…Amin…!!!

“Tuan Pietsau Amafnini, HP saya Lowbatt. Saya harus charge dulu. Kalau esok, waktu masih mengizinkan kita, perjuangan akan tetap berlanjut. Banyak jalan menuju Roma. Catatlah semua perjalanan perjuangan Yerisiam, agar kelak menjadi bahan cerita bersejarah bagi generasi penerus Orang Yerisiam”, kata Tino sebelum telepon celulernya padam.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

SINKRONISASI PINCANG: PROVINSI PAPUA BARAT TIDAK DILIBATKAN?


Mengintip Draf RUU Otsus Plus Papua (Bagian 3)

 

Penulis memang membaca draf yang diusulkan tim asistensi dari Papua Barat dengan rinci. Contoh, pada pasal 157 ayat (1) draf dari Papua Barat berbunyi, “Kebijakan transmigrasi di Tanah Papua dilaksanakan setelah orang asli Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa.” Kemudian, pada pasal 159 ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia yang terjadi di tanah Papua  sebelum Undang-undang ini diundangkan, dan dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Tanah Papua, Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk tanah Papua” dan ayat selanjutnya mengatakan, pemerintah diwajibkan membentuknya paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Ini jauh berbeda dengan usulan versi Papua, yang tak banyak mengakomodir bagaimana proteksi terhadap OAP dan penghormatan terhadap HAM.  Pujian terhadap draf dari Papua Barat disampaikan juga oleh Sidney Jones, Direktur Istitute for Policy Analysis of Conflic (IPAC), dalam report tahunan IPAC yang diterbitkan pada 25 November 2013, di Jakarta.

Oleh: Oktovianus Pogau*

Pada awal November 2013, Gubernur Papua secara resmi mengundang Gubernur Papua Barat untuk membicarakan draf RUU Pemerintahan Papua yang telah disusun oleh tim asistensi dari Papua. Tujuannya adalah agar Gubernur Papua Barat melihat langsung draf RUU Otsus Plus di Jayapura, dan dapat memberikan persetujuan terhadap draf tersebut, untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden SBY di Jakarta. 

Tidak serta merta menyetujui draf tersebut, Ataruri minta waktu agar dapat mempelajari isi draf tersebut, dan mendiskusikannya dengan stakeholder di Papua Barat. Sesampainya di Manokwari, ia membentuk tim asistensi baru, dan menunjuk Sekertaris Daerah Papua Barat, Isak Halatu sebagai ketua tim asistensi.

Agus Sumule, Staf Ahli Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu ditunjuk sebagai kordinator tim kerja, dengan melibatkan Yan Christian Warinussy Direktur Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, beberapa staf di LP3BH, serta beberapa anggota MRP Papua Barat. 

Tim asistensi dari Papua Barat diberikan waktu seminggu oleh tim asistensi dari Papua. Pada 16 November 2013, tim asisten dari Papua Barat menyerahkan hasilnya kepada pemerintah provinsi Papua. Hasilnya, harus diakui, bahwa draf RUU Pemerintahan Papua versi Papua Barat jauh lebih berkualitas, dan lebih baik dari pada yang dihasilkan tim dari Papua.

Papua Barat Usulkan Perubahan Nama

Penulis memang membaca draf yang diusulkan tim asistensi dari Papua Barat dengan rinci. Contoh, pada pasal 157 ayat (1) draf dari Papua Barat berbunyi, “Kebijakan transmigrasi di Tanah Papua dilaksanakan setelah orang asli Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa.”

Kemudian, pada pasal 159 ayat (1) berbunyi, “Dalam rangka menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia yang terjadi di tanah Papua  sebelum Undang-undang ini diundangkan, dan dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Tanah Papua, Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk tanah Papua” dan ayat selanjutnya mengatakan, pemerintah diwajibkan membentuknya paling lambat dua tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Ini jauh berbeda dengan usulan versi Papua, yang tak banyak mengakomodir bagaimana proteksi terhadap OAP dan penghormatan terhadap HAM.  Pujian terhadap draf dari Papua Barat disampaikan juga oleh Sidney Jones, Direktur Istitute for Policy Analysis of Conflic (IPAC), dalam report tahunan IPAC yang diterbitkan pada 25 November 2013, di Jakarta.

“Hasilnya kelihatan dikerjakan secara terburu-buru, namun dalam hal pengaturan pertanian, kesehatan, pendidikan, kredit dan koperasi, pertambangan, kependudukan, hak asasi manusia dan banyak lagi, menunjukkan bahwa draf tersebut jauh lebih baik dari versi awalnya,” ujar Jones.

Jones mencontohkan, pada bagian pendidikan di draf Jayapura terdiri dari satu pasal dengan beberapa pengaturan umum mengenai hak masyarakat Papua untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, sedangkan draf Papua Barat menetapkan sebuah target untuk mengakhiri buta huruf dalam waktu lima tahun sejak UU diterapkan, menggratiskan pendidikan dan menerapkan wajib belajar hingga sekolah menengah pertama, hingga memberi perhatian khusus mengenai cara menanggulangi kekurangan guru yang memenuhi syarat, terutama untuk daerah terpencil. Dan yang paling  baik dari draf versi Papua Barat adalah dilakukan pergantian nama “RUU Pemerintahan Papua” menjadi “RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua”, yang kini dipakai sebagai draf final, atau draf akhir dari perjalanan panjang tersebut. 

Artinya, Papua Barat memberikan andil besar dalam pergantian nama, yang juga menjelaskan bahwa UU tersebut tidak hanya untuk Provinsi Papua, namun juga untuk Papua Barat, dan jika sewaktu-waktu ada provinsi baru yang dilahirkan, tentu bisa segera diakomodir. 

Kepala Biro Pemerintahan Setda Provinsi Papua, Sendius Wonda membenarkan adanya pergantian nama setelah tim asistensi dari Papua membaca draf yang diusulkan Papua Barat. “Jadi memang soal nama itu menjadi pembahasan sendiri. Kalau Rancangan UU Otsus Papua itu secara psikologis hanya berlaku bagi Papua sehingga tim dalam pembahasan merumuskan dengan nama ‘Rancangan UU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua’. Itu sudah mewakili seluruh Tanah Papua, baik Papua Barat maupun akan lahir daerah Provinsi baru sehingga dalam pemberlakuan provinsi baru kedepan maka mereka akan langsung menyesuaikan dengan UU itu,” kata Wonda kepada wartawan di Jayapura.

Sejak Awal Gubernur PB Tidak Dilibatkan?

Gubernur Papua Barat Abraham Octovianus Ataruri, dan tim asistensi merasa memang tidak dilibatkan sejak awal, padahal RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua juga membicarakan nasib dan masa depan 780.000 penduduk yang berada di 1 Kota, dan 12 Kabupaten di Provinsi Papua Barat.  Hal ini, bisa terlihat jelas, sebab usai draf versi Papua Barat diterima tim asistensi Papua, tak jelas kelanjutan ceritanya hingga dua bulan lamanya – saat dilangsungkan sidang paripurna pada 20 Januari 2014. 

Agus Sumule,  selaku kordinator tim kerja asistensi dari Papua Barat menyatakan tak pernah ada kabar dari tim asistensi Papua; minimal dikabarkan waktu dan tempat untuk sama-sama mensinkronkan kedua draf sebelum disidangkan oleh DPRP di Jayapura, Papua. Sinkroniasi kenapa cukup penting dan mendesak, sebab draf final yang dihasilkan tim asistensi dari Papua, maupun draf final yang dihasilkan tim asistensi dari Papua Barat jauh berbeda. Mulai berbeda dalam hal isi, penjelasan, termasuk makna-makna yang terkandung dalam tiap-tiap pasal. Misalnya, dari jumlah BAB dan pasal saja jauh berbeda; draf versi Papua hanya memuat XLVII BAB, dan 145 pasal; sedangkan draf versi Papua Barat jauh lebih banyak, yakni memuat XXXXIV BAB, dan 205 Pasal; artinya, draf versi Papua Barat jauh lebih rinci disertai penjelasan yang cukup detil yang harus dibicarakan bersama-sama.

Setelah rinci membaca kedua draf tersebut, saya sendiri bisa simpulkan draf versi Papua lebih banyak membahas tentang kewenangan dan kekuasaan Gubernur atau eksekutif; dalam arti, orientasinya lebih kepada kewenangan dan kekuasaan eksekutif; sedangkan draf versi Papua Barat lebih banyak membahas bentuk-bentuk proteksi terhadap keberlanjutan hidup orang asli Papua, juga bentuk-bentuk penghormatan dan perlindangan terhadap HAM. Contoh, dalam draf versi Papua lebih banyak membahas kewenangan Gubernur dibidang kehutanan (pasal 54), perdagangan dan investasi (pasal 73), pertambangan dan energi (pasal 75), pengelolaan sumber daya alam (pasal 84), termasuk perekonomiaan (pasal 50), yang semuanya harus mendapat ijin tertulis dari Gubernur sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan, dalam bidang-bidang ini, versi tim asistensi Papua Barat tak banyak merubahnya, artinya menganggapnya sebagai hal yang bukan urgent dalam rekonstruksi, dan membiarkan seperti yang termaktub dalam UU yang lama, yakni, UU No. 21/2001.

Sidang Paripurna Yang Cacat  

Tanpa diduga-duga, pada 20 Januari 2014, berlangsung sidang paripurna di DPRP; salah satu agendanya adalah membahas “RUU Pemerintahan Otsus di Tanah Papua” yang diusulkan pemerintah Papua. Tampak hadir juga Asisten I Pemprov Papua Barat Drs Haji Musa Kamudi, mewakil Papua Barat. Beberapa anggota DPRP menolak pembahasan RUU Otsusplus dalam siding. “Pembahasan dan pengesahan RUU PP sangat tidak tepat karena disatukan dengan sidang paripurna APBD, kami belum melakukan pemeriksaan rinci pasal demi pasal, harusnya pembahasan draft RUU PP dipisahkan dari sidang paripurna khusus atau paripurna istimewa,” kata Yan Mendenas kepada media ini. 

Di Manokwari, terjadi perdebatan cukup serius. Sebabnya, belum pernah ada agenda “duduk bersama”  sinkronisasi draf versi Papua dan Papua Barat oleh kedua tim asistensi.  Pemprov Papua Barat juga belum pernah mengabarkan kelanjutan draf tersebut kepada tim asistensi yang terdiri pribadi-pribadi yang bergabung dan bekerja secara profesional. Salah satu sumber yang cukup dekat dengan Gubernur Papua Barat mengatakan, asisten I Pemprov Papua Barat yang dikirim ke Jayapura bukan untuk menandatangani nota kesepahaman, apalagi menyetujui draf RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua.

Dikatakan, ia hanya dikirim untuk mendengarkan dan melihat berlangsungnya sidang paripurna, dan untuk selanjutnya dilaporkan kepada Gubernur Papua Barat di Manokwari agar dapat mengambil sikap. “Jika agendanya adalah menandatangani nota kesepahaman terkait RUU Pemerintah Otsus di tanah Papua, Gubernur Papua Barat tak sepakat dan menolaknya dengan tegas,” kata sumber ini. Alasan penolakan, pertama, karena belum pernah dilakukan sinkronisasi draf versi Papua maupun Papua  Barat oleh dua tim asistensi yang selama ini bekerja; kedua, merasa sejak awal tidak dilibatkan oleh Gubernur Papua dalam membicarakan sebuah UU yang akan menentukan nasib dan masa depan penduduk Papua Barat; dan ketiga, pembobotan yang dilakukan tim asistensi dari Papua Barat tak diakomodir dalam draf keduabelas yang sedang disidangkan. “Bapak Sekertaris Daerah sempat marah ke Asisten I yang ikut menandatangani Nota Kesepahaman terkait Otsus Plus di Jayapuara. Karena memang dari awal tidak ada perintah dari bapak Gubernur untuk menandatangani, apalagi menyetujui draf tersebut karena belum lihat hasilnya,” kata sumber ini,  kepada media ini Kamis, (20/2) kemarin.

Yan Christian Warinussy, salah satu tim asistensi dari Papua Barat mengatakan, usai dilangsungkan sidang paripurna di Jayapura, Gubernur Papua Barat secara resmi telah mengirimkan surat tertulis perihal penolakan nota kesepahaman draf Otsus plus kepada Gubernur Papua di Jayapura. “Sekda Papua Barat juga telah mengumumkan sikap ini kepada media massa di Papua Barat. Surat penolakan di tandatangani langsung oleh Gubernur dan Sekda Papua Barat. Kami juga telah diberitahukan langsung perihal surat penolakan ini saat bersama-sama dengan Sekda di Jakarta pada 12 Februari 2014,” ujar Warinussy.   

Warinussy mengatakan, wajar Gubernur Papua Barat bersikap demkian, sebab hingga awal tahun 2014,  belum pernah dilakukan kordinasi antara Gubernur dengan kepala-kepala daerah di Papua Barat terkait rekonstruksi Otsus yang sedang berjalan, karena memang tak ada informasi yang jelas dari pihak Papua. “Belum pernah ada agenda Gubernur yang mengundang Bupati dan Walikota di Papua Barat untuk membahas rekonstruksi UU No. 21/2001, padahal sosialisasi kepada mereka paling penting dan urgen,  karena toh jika benar-benar disetujui, maka tentu akan diterapkan juga di Kabupaten/Kota tempat mereka memimpin,” ujar Warinussy. Jika dicermati secara objektif, dalam hal ini yang dirugikan tentu Gubernur Papua Barat, beserta para “anak buahnya”? Jadi, wajar saja sikap dan respon pihak Papua Barat demikian – tak begitu bersimpati terhadap rencana Presiden SBY dan Gubernur Papua.

Menghadap “Big Bos” di Jakarta

Tak peduli dengan surat penolakan dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, Gubernur Papua dan tim asistensi dari Papua terus tancap gas. Yakni, menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta untuk segera menyetujui draf “rekonstruksi” UU No. 21/2001 yang telah diberi nama “RUU Pemerintahan Otonomi Khusus di tanah Papua”.  

Pada tanggal 9 Januari 2014, pertemuaan dengan sang “big bos” dilangsungkan di Istana Cikeas, Bogor. SBY didampingi oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) juga beberapa menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.  Rombongan dari Papua adalah Gubernur dan Sekertaris Daerah Provinsi Papua, tim asistensi dari Papua, Ketua DPR Papua, Ketua MRP Papua, dan para Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sedangkan rombongan dari Papua Barat hanya Gubernur dan Sekertaris Daerah, yang didampingi beberapa anggota MRP Papua Barat yang telah membelot ke pihak Papua. 

Dikatakan oleh sebuah sumber yang hadir dalam pertemuaan tersebut, Presiden SBY tak menyatakan setuju atau menolak draf yang diusulkan tim dari Papua dan Papua Barat. Yang disampaikan hanya pentingnya memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Papua dan Papua Barat seperti yang diamanatkan dalam UU No. 21/2001. Dan yang membuat Presiden SBY, maupun Mendagri kaget adalah, tak ada tanda tangan persetujuan yang diberikan Gubernur dan Sekertaris Daerah Papua Barat dalam “RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua” yang diserahkan kepada Presiden SBY saat di Istana Cikeas.

Agus Sumule, salah satu tim asistensi dari Papua Barat juga membenarkan jika tak ada tanda tangan Gubernur Papua Barat dalam draf ketigabelas yang diserahkan kepada Presiden SBY. Alasannya, karena surat tertulis yang pernah dikirimkan Gubernur Papua Barat kepada Gubernur Papua di Jayapura  sebelum menghadap presiden SBY di Jakarta tidak dibalas pihak Papua. Melihat sikap Gubernur Papua Barat, sempat membuat Gubernur Papua emoh. Informasi soal “pertentangan” diantara kedua Gubernur, juga diantara kedua tim asistensi ditutup rapat-rapat oleh pihak-pihak yang mengetahui informasi ini secara detail.  

Selain menjaga citra “Otsus Plus-plus” yang di paksakan ke Jakarta tanpa partisipasi publik, juga akan menghambat perjalanannya jika dipublikasikan kepada kalangan umum. Wajar, dan bisa dimaklumi Gubernur Papua Barat bersikap demikian. Lihat saja, saat dilangsungkan pertemuaan di Istana Cikeas, Bogor, tak ada Bupati/Walikota asal Papua Barat yang hadiri. Bukan tak mau menghadirinya – siapa yang tak senang bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia – tapi tak pernah dikabarkan kepada mereka. 

Perang Bintang; Demokrat dan Gerindra

Pertanyaan paling penting yang harus dijawab oleh Gubernur Papua Lukas Enembe adalah kenapa tidak sejak awal melibatkan Gubernur Papua Barat Bram Octovianus Ataruri usai dilangsungkannya pertemuaan dengan Presiden SBY di Jakarta, pada 29 April 2013?  Hal ini penting, karena tentu akan mempengaruhi kinerja kedua tim asistensi di kemudian hari – seperti yang terjadi saat ini, walaupun sudah disepakati pada draf keempatbelas, namun ada beberapa hal yang tidak saling bersepakat dan tetap dibiarkan – juga agar Gubernur Papua Barat dapat mengkordinasikan dengan Bupati/Walikota se-Papua Barat yang ada.

Bukan informasi rahasia, jika Gubernur Papua adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Demokrati Provinsi Papua, sedangkan Gubernur Papua Barat adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Partai Gerindra Provinsi Papua Barat.  Apa kaitannya, di Papua, banyak anggota DPRP dari Partai Gerindra yang sering mengkritisi, juga memprotes kinerja Gubernur Papua, termasuk kebijakan sepihak dari pemerintah provinsi untuk melahirkan RUU Otsus Plus. Yan Mendenas, Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Papua paling lantang “menolak” konsep RUU Otsus Plus.

Selain alasan sering mendapat “ancaman” dari Partai Gerindra, juga bisa jadi karena gengsi partai. Bila anda lihat hasil poling Lembaga-Lembaga Survey di Jakarta, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto selalu berada di urutan kedua setelah Jokowi, sedangkan Partai Demokrat sendiri di kenal sebagai partai paling korup. 

Analisa saya, di Papua Gubernur Enembe, maupun Presiden SBY melalui Partai Demokrat ingin berbuat sesuatu yang lebih baik, yakni melahirkan “RUU Otsus Plus”, agar mendapat tempat dan hati di kalangan rakyat Papua. Saya kira ini sesuatu yang tak elegan ditengah berbagai penolakan terhadap Otsus Plus itu sendiri.

Dominasi partai demokrat memang semakin terlihat saat Gubernur Papua dilantik. Dalam penyusunan RUU Otsus Plus, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal yang merupakan Ketua DPD Parta Golkar Provinsi Papua juga tak banyak dilibatkan. Bahkan, tim asistensi dari Papua yang disebut dengan tim 40 hampir sebagian besar berasal dari Partai Demokrat, juga anggota DPRP yang terlibat dalam pembentukan RUU Otsus Plus, semuanya berasal dari Partai Demokrat.

Pertanyaannya, bagaimana mau menjadi “penyelamat” ditengah hujan kritik? Sesuatu yang mustahil bukan? Yang harus diingat adalah, suatu kebijakan yang dihasikan tanpa partisipasi publik, akan terus menerus ditentang oleh rakyat Papua, sampai kapanpun!

Usai diterima Presiden SBY, bagaimana kelanjutannya? Termasuk pertentangan “hebat” yang berlangsung di Kantor Kementeriaan Dalam Negeri (Kemendagri) antara tim dari Papua dan Papua Barat? Juga bagaimana hingga menjadi draf keempatbelas, yakni, draf paling terakhir saat ini yang telah ditandatangani oleh kedua Gubernur di tanah Papua? *Oktovianus Pogau adalah wartawan, mengasuh situs berita dan informasi Suara Papua (http://www.suarapapua.com); tinggal di Kabupaten Intan Jaya, Papua.  

OTSUS PLUS: MULAI DARI GONTA-GANTI NAMA, HINGGA COPY PASTE


Mengintip Isi Draf RUU Otsus Plus Papua (Bagian 2)

Bagian kedua, akan dibahas dinamika yang berkembang saat penyusunan draf RUU Otsus Plus, termasuk beberapa kali terjadi perubahan nama – draf Keempatbelas, yakni draf paling terakhir disebut dengan nama draf RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua. 

Oleh: Oktovianus Pogau*

Kepada media massa di Jakarta dan Papua, Gubernur Papua Lukas Enembe menggembar-gemborkan hasil pertemuaan dengan Presiden SBY, pada 29 April 2013, terkait konsep Otonomi Khusus Plus, yang menurutnya akan dipersembahkan untuk kemuliaan orang Papua (dignity of Papuan people). Yang lantas menjadi pertanyaan adalah, Otsus Plus yang dimaksud Gubernur Papua atas usul Presiden SBY ini apakah melakukan evaluasi menyeluruh seperti yang diamanatkan dalam UU No. 21/2001, pasal 77? Atau, melakukan rekonstruksi ulang – merombak seluruh isi dan makna – sesuai kemauaan Presiden SBY dan Gubernur Papua? Atau justru mengganti nama, dan bentuk UU No. 21/2001 dengan model UU yang baru?

Dalam perkembangannya, yang dilakukan oleh Gubernur Papua bersama tim asistensi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dan Universitas Cenderwasih – termasuk belakangan dilibatkan juga Gubernur Provinsi Papua Barat Bram Octovianus Ataruri dan tim asistensi Pemprov Papua Barat – adalah mengganti UU No. 21/2001 menjadi UU yang baru, dengan model yang baru pula.

Nama saja sudah mengalami perubahan, apalagi bentuk dan isi. Dalam UU No 21/2001 hanya ada XXIV BAB, dan 79 pasal, sedangkan pada RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua draf keempatbelas, yakni ada LI BAB, 369 pasal; Meningkat cukup drastis bukan? Pasal-pasal bertambah hampir tiga kali lipat.

Ganti Nama, Hingga Copy Paste

Gubernur Papua awalnya terlihat “malu-malu kucing” untuk mengatakan jika dalam pembahasan dan diskusi yang dilakukan dirinya bersama tim asistensi, juga dengan Velix Wanggai, Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan, adalah akan mengganti nama UU No. 21/2001 menjadi Undang-Undang Pemerintahan Papua (UU Pemerintahan Papua). Namun, semakin jelas ketika pada 29 Mei 2013, Felix Wanggai mengatakan secara terbuka bahwa UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus akan berubah nama menjadi UU Pemerintahan Papua.

“Kami akan ganti nama UU No. 21/2001 menjadi UU Pemerintahan Papua. Ini untuk kerangka pembangunan, dimana kalau disebutkan Otsus hanya beberapa point-point yang dikelola, tetapi UU Pemerintahan Papua ini (Otsus Plus) adalah UU otonomi komprehensif yang didalamnya mengatur semua aspek didalam pembangunan, urusan kewenangan, dan urusan pusat dalam daerah, dan juga mengatur kewenangan-kewenangan yang selama ini dikelola oleh para menteri.” kata Wanggai kepada wartawan di Kantor Gubernur Papua, saat berlangsung Rakerdasus), yang dihadiri oleh kepala daerah di 29 Kabupaten/Kota yang ada di seluruh provinsi Papua.

Dengan konsep UU Pemerintahan Papua, tim asistensi dari Uncen yang dipimpin Dekan FH Uncen Martinus Salosa, bersama tim Asisten dari Pemprov yang dipimpin Kepala BAPPEDA Papua, Dr. Muhammad Mussad bekerja siang dan malam untuk menyusunnya menjadi sebuah draf, agar cepat disampaikan kepada Gubernur Papua.

Di pertengahaan Juli 2013, public dikejutkan dengan bocornya “Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang tentang Pemerintahan Papua” yang diduga kuat telah melakukan jiplak atau copy paste terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Bagaimana tidak terkejut, pada  naskah “Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang Undang tentang Pemerintahan Papua” ditemukan antara lain, pada halaman 99  butir 5 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang berbunyi “Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Aceh diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Kalimatnya sama persis  dengan UU Pemerintahan Provinsi Aceh Pasal 203 Ayat (1).  

Kemudian, pada halaman 89, butir 1, pasal tentang Komunikasi dan Informatika disebutkan “Pemerintahan Papua mempunyai kewenangan menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran berdasarkan nilai Islam.” Terkait pasal ini, mendapat respon keras dari Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Kota Jayapura.

“AJI Kota Jayapura berkesimpulan bahwa pasal tersebut selain hanyalah plagiasi dari UU Pemerintahan Aceh, juga sangat bertentangan dengan realitas lokal di Papua yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Dan lebih dari itu, pasal tersebut jelas merupakan upaya membatasi kebebasan/kemerdekaan pers di Tanah Papua,” ujar Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor, di Jayapura, pertengahaan Juli 2013.

Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua juga meminta kepada pemerintah dan MRP mencermati ulang dengan seksama usulan perubahan atas UU No. 21/2001 yang sedang digagas pemerintah, sebab tak ada partisipasi publik. “Pembahasannya harus melibatkan tenaga-tenaga akademisi yang jelas, dan yang mengenal budaya orang Papua, juga melibatkan seluruh komponen masyarakat di Tanah Papua,” tegas SE Foker LSM Papua, Lien Maloali.

Kemudian, karena merasa paling bertanggung jawab  dan bersalah atas “bocornya” dokumen tersebut, Felix Wanggai buru-buru melakukan klarifikasi kepada media massa di Papua – informasi yang berkembang draf tersebut berasal dari Jakarta, dan disusun oleh Felix Wanggai sendiri. “Bukan copy paste, tapi kita belajar dari daerah–daerah lain tentang capaian mereka, jadi kita adopsi yang baik dan sesuai dengan kondisi di Papua, apakah itu dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, bahkan Daerah Khusus Ibukota, kalaupun ada beberapa penggalan kalimat yang masih dicantumkan dalam draft yang beredar, itu sebagai bahan perbandingan, sekiranya hal tersebut perlu di atur juga di Papua, bisa mencontoh dari Aceh,” katanya kepada media ini, akhir Oktober 2013, membantah isu copy paste yang sudah cukup luas berkembang di Papua.

Tanpa partisipasi publik, dikerjakan atas usulan Presiden SBY bukan usulan rakyat Papua seperti yang diamanatkan dalam pasal 77 UU No. 21/2001, dokumen copy paste yang bocor,  tentu legitimasi dan kepercayaan public terhadap RUU Pemerintahan Papua sudah tidak ada lagi.

Tak mau ambil pusing, tim asistensi dari Uncen semakin giat bekerja, selain karena disokong dana yang cukup besar dari Pemerintah Provinsi Papua, juga karena diberikan batas waktu (deadline) oleh Gubernur Papua, yakni, diserahkan pada awal Agustus 2013, agar pada 17 Agustus 2013, Presiden SBY bisa secara resmi mengumumkan kebijakan Otsus Plus untuk Papua yang menjadi “kado” untuk rakyat Papua. 

Namun, menurut Gubernur, yang ditargetkan oleh dirinya meleset, sebab tim asistensi Pemprov maupun Uncen tidak bekerja secara maksimal. “Setelah draf selesai disusun oleh tim asistensi ternyata tidak sesuai dengan keinginan negara kita. Seharusnya tanggal 17 Agustus lalu sudah di bawa. Namun karena ada keterlambatan, sehingga saya lakukan pergantian,” ujar Gubernur. 

Tim asistensi dari Uncen yang dipimpin langsung oleh Rektor Uncen, Prof. Dr. Karel Sesa, baru menyerahkan draf mereka pada 10 Oktober 2013, kepada Gubernur Papua. “Terima kasih karena Uncen diberikan kepercayaan oleh Gubernur untuk mengerjakan ini. Terima kasih juga untuk tim asistensi Uncen yang telah bekerja siang dan malam untuk rampungkan ini. Saya harapkan ini betul-betul dikerjakan dengan baik, sehingga diharapkan hasil dari konsep ini melalui pak gubernur akan diteruskan kepada Preside,” ujar Sesa, sebelum menyerahkan kepada Gubernur Papua.

Usai Gubernur menerima draf dari pihak Uncen, tidak ingin bekerja lambat, maka segera dibentuk tim asistensi baru – yang bertugas untuk mensinkronisasikan draf dari Uncen dan Pemerintah Provinsi – untuk selanjutnya diserahkan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP).  Tidak butuh waktu lama untuk menyandingkan kedua draf tersebut, sebab pada 21 Oktober 2013, draf final hasil penggabungan dari tim asistensi Uncen maupun Pemrov telah diserahkan kepada MRP untuk selanjutnya di pelajari.

“Kita sudah sampaikan hasil konsultasi RUU Pemerintahan Papua secara resmi kepada MRP, dan MRP membutuhkan waktu beberapa hari untuk melihat draft RUU Pemerintahan Papua sebelum nantinya diserahkan selanjutnya ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP),” kata Kepala Bappeda Papua, Muhammad Musa’ad kepada wartawan, di Jayapura, akhir Oktober 2013.

Tak butuh waktu lama bagi MRP membaca draf yang diserahkan pemerintah Provinsi; sebab empat hari kemudian, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan bahwa MRP telah membaca dengan detil RUU Pemerintahan Papua, dan telah menyetujuinya, dengan mengatakan bahwa telah diboboti bagian-bagian yang kurang, tapi tidak menjelaskan apa pembobotan yang dimaksud.

Menjawab pro kontra RUU Pemerintahan Papua, Ketua MRP mengatakan, “Saya pikir kita tidak perlu pro dan kontra di Papua, kita harus bersatu dan berani katakan bahwa Otsus Plus harus jalan,” ujar Murib.   Apakah sang ketua MRP lupa dengan evaluasi otsus versi Orang Asli Papua yang dilakukan pada 24-27 Juli 2013, dengan rekomendasi pertama, membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat yang netral; dan kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi ini.

Di tingkat Papua, RUU Pemerintahan Papua sudah beres. MRP telah menyetujui, untuk selanjutnya di paripurnakan di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) pada akhir tahun. Tapi nampaknya ada yang masih kurang, yakni, keterlibatan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Lantas kenapa Asisten I Pemprov Papua Barat ikut menandatangani? Apa respon tim asistensi dari Papua Barat yang sama sekali tidak dilibatkan? Dan bagaimana kelanjutan “konflik” antar tim dari Papua dan Papua Barat? Termasuk, keenganan Gubernur Papua Barat menandatangani draf tersebut walau akan diserahkan kepada Presiden SBY di Istana Bogor?*Oktovianus Pogau adalah wartawan, mengasuh situs berita dan informasi Suara Papua (http://www.suarapapua.com); tinggal di Kabupaten Intan Jaya, Papua.  

OTSUS PLUS, IDE SIAPA DAN UNTUK SIAPA?


Mengintip Isi Draf RUU Otsus Plus Papua (Bagian I)

RUU OTSUS Plus Lahir Atas Usul Presiden SBY dan Gubernur Papua, Bukan Rakyat Papua. “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP danDPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (pasal 77, UU No. 21/2001)

Oleh : Oktovianus Pogau* 

Dalam artikel ini, saya akan menuliskan catatan panjang tentang Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di tanah Papua (selanjutnya disebut RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua), juga mengintip draf keempat belas – acuan saya adalah draf final hasil singkronisasi tim Asistensi dari Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat – RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua pasal demi pasal. Tentu, yang akan saya angkat dalam catatan ini adalah pasal-pasal yang dianggap krusial, dan dapat menimbulkan konflik dan perdebatan panjang dikemudian hari.

Pada tulisan bagian pertama, lebih dulu saya akan mengulas cikal bakal “dilahirkannya” RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua, yang diusulkan oleh Jakarta melalui Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Pemerintah Provinsi Papua melalui Gubernur Papua Lukas Enembe, tanpa adanya usulan kongkrit dari rakyat Papua Barat melalui Majalis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), seperti yang diamanatkan dalam pasal 77, UU No. 21/2001.   

Lukas Enembe dan Klemen Tinal, secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Dr. Gamawan Fauzi, pada tanggal 09 April 2013, untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubenur Provinsi Papua periode 2013-2018. Agak berbeda dari biasanya, karena ini kali pertama di Indonesia ada pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur di luar Lapangan Terbuka, yakni di Stadion Mandala, Jayapura, Papua.

Tiga minggu usai dilantik, tepatnya pada 29 April 2013, Gubernur Papua Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, beserta Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda, dan Ketua MRP Timotius Murib, melakukan pertemuaan tertutup dengan Presiden SBY di Istana Presiden, Jakarta, pada pukul 14.00 Wib. 

Presiden SBY sendiri  didampingi oleh Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Menteri Kordinator Perekonomian (Menkoperekonomian), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dan Menteri Sekertaris Negara (Mensekneg).

Dalam pertemuaan tersebut, Presiden SBY berbicara tentang konsep Otonomi Khusus Plus kepada Gubernur Papua dan rombongan; juga memberikan kewenangan yang lebih luas kepada rakyat Papua agar mengembangkan diri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik. Maksud SBY adalah, kira-kira Otsus plus merupakan kado untuk rakyat Papua di akhir massa jabatannya sebagai presiden.  

Karena itu, pertemuaan 29 April 2013 merupakan cikal bakal, asal muasal atau ide awal untuk direkonstruksinya UU No. 21/2001, yang telah di implementasikan di tanah Papua hampir 13 tahun lamanya. Tampak jelas, ide ini diusulkan langsung oleh Presiden SBY bersama sejumlah menteri kepada rombongan dari Provinsi Papua, sembari mengabaikan amanat Pasal 77 UU No. 21/2001.

Menurut Gubernur Papua Lukas Enembe, arahan dan penegasan yang disampaikan Presiden SBY adalah perluasan Otsus, yang disebut sebagai Otsus Plus, dan diharapkan dalam tiga bulan ke depan draf Otsus Plus selesai, karena tujuannya ialah menjawab berbagai persoalan Papua yang harus tuntas diselesaikan sebelum Presiden SBY mengakhiri masa jabatannya.  

“Pemerintah pusat lewat Presiden SBY bakal memberikan Otonomi Khusus Plus (Otsus Plus) bagi Provinsi Papua. Otsus plus ini diberikan untuk menjawab berbagai persoalan di Papua yang tak kunjung selesai. Ini penghargaan yang luar biasa bagi kami, karena kami dapat arahan dari Presiden SBY untuk membangun dan menata Papua yang lebih baik lagi,” tegas Gubernur Provinsi Papua, di Istana Negara, usai pertemuaan dengan Presiden SBY. “Ini kemauan baik yang luas biasa dari Presiden SBY. Kita berharap dari sisa masa jabatan Presiden SBY, persoalan-persoalan di Papua bisa tuntas,” kata Enembe.

Tampaknya, presiden SBY beserta para menteri yang hadir di pertemuaan 29 April 2013, juga Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua, serta Wakil Ketua I DPRP dan Ketua MRP tak paham dengan amanat yang ada di dalam pasal 77 dan 78, bahwa usulan perubahan atas UU No. 21/2001 hanya dapat lahir dari keinginan luhur rakyat Papua, yang kemudian diteruskan ke MRP sebagai representative adat, agama, dan perempuan; dan selanjutnya disampaikan ke DPRP, dan untuk selanjutnya disampikan ke Gubernur, dan selanjutnya diteruskan ke Presiden dan DPR RI. Atau pura-pura tidak tahu?

Universitas Cenderawasih Jadi Soko Guru Utama  

 

Usai kembali dari Jakarta ke Jayapura, Gubernur Papua Lukas Enembe langsung bekerja super cepat. Pertama-tama adalah menggandeng lembaga akademisi atau perguruan tinggi di Jayapura, Papua, yakni, Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk menjadi soko guru utama dalam melakukan rekonstruksi terhadap isi amanat UU No. 21/2001.

Pada 13 Mei 2013, atau dua minggu setelah pertemuaan presiden SBY dengan rombongan dari Papua, Gubernur Papua Lukas Enembe di dampingi “gank” dari Dok II (sebutan untuk Kantor Gubernur Papua di Jayapura), yakni, Sekertaris Daerah (Sekda), Kepala Badan Keuangan, Asisten I Bidang Pemerintahan, dan Kepala Biro Tata Pemerintahan melakukan pertemuaan tertutup dengan tim dari Fakultas Hukum (FH) Uncen, yang diketuai oleh Dekan FH Uncen, Martinus Salosa, di ruang Kantor Gubernur Papua, di Dok II Jayapura.

Agenda pertemuaan adalah, Gubernur Papua menyampaikan tentang rencana penyiapan draf Revisi UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua menjadi Otonomi Khusus Plus, seperti yang disampaikan oleh Presiden kepada Gubernur, pada 29 April 2013 di Jakarta; dan akan dibentuknya tim asistensi, yakni dari Uncen dan Pemerintah Provinsi.

Disampaikan juga dua hal penting yang berkenan dengan Otsus Plus, yaitu, pertama, revisi UU 21/2001 seperti model Pemerintahan Aceh, termasuk pasal 4 tentang Kewenangan Daerah yang diperluas, termasuk moneter dan fiscal; dan kedua, bahwa dalam Otsus plus, termasuk penataan birokrasi dan kelembagaan atau pemerintahan, politik, hukum dan HAM. Martinus Salosa selaku Dekan FH Uncen menyanggupi tawaran Gubernur, dan berjanji akan menyampaikan kepada rektor Uncen yang baru, Prof. Dr. Karel Sesa, dan berjanji akan membentuk tim asistensi untuk bekerja. 

Langkah kedua, Gubernur Papua menata birokrasi pemerintahan di tingkat Provinsi, agar dan dapat mendukung langkah rekonstruksi Otsus menjadi Otsus plus sesuai arahan Presiden SBY. Pada 27 Mei 2013, Gubernur melantik 10 pejabat eselon II, salah satu diantaranya adalah Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Papua, Dr. Muhammad Musaad, yang  akan bertidak sebagai ketua tim Asistensi Otsus Plus dari Pemerintah Provinsi Papua.

Kepada tim dari FH Uncen, juga kepada pejabat-pejabat di tingkat Provinsi yang berkaitan langsung dengan pengerjaan dan pembahasan Otsus Plus, Gubernur berjanji akan mendukung sepenuhnya kerja-kerja tim asistensi, termasuk dalam hal pendanaan hingga tahap akhir penyusunan. Mulai saat itu, tim asistensi dari Uncen maupun Provinsi tancap gas mengerjakannya.  

Sosialisasi Kepada Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota

Selanjutnya, Gubernur Papua juga melakukan sosialisasi terbuka kepada Kepala-Kepala Daerah Tingkat Kabupaten/Kota yang ada di seluruh tanah Papua. Tepatnya, 29 Mei 2013, bertempat di Kantor Gubernur Provinsi Papua, digelar Rapat Kerja Daerah Khusus (Rakerdasus) antar Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, beserta sejumlah pejabat di Dok II, yang dihadiri juga oleh 28 Bupati/Wakil Bupati, serta I Walikota/Wakil Walikota yang berasal dari seluruh Papua.

Dalam arahannya, Gubernur Papua mengatakan, Rakerdasus dilakukan untuk mengevaluasi implementasi Otonomi Khusus dan melakukan rekonstruksi terhadap Undang UU No. 21/2001, serta melaksanakan pembangunan dalam berbagai bidang secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan,  serta menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang ada di Provinsi Papua secara menyeluruh dan komphrensif.

Dalam kesempatan tersebut, Lukas Enembe juga menjelaskan enam langkah strategis untuk mewujudkan visi Papua Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera, yakni, pertama, adalah soal kebijakan komunikasi yang baik antara lembaga Pemerintah Papua, DPRP, MRP, Bupati dan Walikota se-Papua, juga dengan tokoh-tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat guna mengatasi berbagai persoalan mendasar di Papua; kedua, kebijakan pembenahan perencanaan daerah; ketiga, kebijakan penguatan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik; keempat, kebijakan pembagaian dana Otsus 80 % untuk Kabupaten/Kota dan 20% untuk Provinsi; kelima, kebijakan pembangunan kampung yang mana respek dirubah menjadi Prospek; serta keenam, adalah kebijakan sosial politik untuk mengubah konflik menuju kehidupan politik yang aman dan damai secara berkelanjutan.

Sebagian besar Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota yang hadir dalam Rakerdasus tersebut mendukung penuh rencana Gubernur Enembe untuk melakukan rekonstruksi ulang UU No. 21/2001, apalagi ada point yang mengatakan Kabupaten/Kota akan mendapatkan 80% dana Otsus Plus.

Mendapatkan dukungan dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, perwakilan DPRP, dan MRP, tapi apakah mendapat dukungan dari rakyat Papua, yang dalam amanat Otsus menjadi subjek dari pada UU Otsus? Yang juga diposisikan sebagai pihak pertama dan paling utama yang dapat memberikan usulan, saran, dan masukan agar UU No. 21/2001 dievaluasi atau direkonstruksi ulang?

Penolakan Keras Dari Rakyat Papua

Gubernur Papua boleh saja berbangga diri karena mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Papua, Lembaga Akademisi, Kepala Daerah di Kabupaten/Kota seluruh Papua, perwakilan DPRP (mayoritas anggota Partai Demokrat), dan sejumlah kecil anggota MRP, namun harus di ingat, rakyat Papua menolak secara tegas Otsus plus tersebu!

Pihak yang pertama kali menolak rancangan Otsus plus adalah rakyat Papua yang tergabung dalam Solidaritas Hukum, HAM dan Demokrasi Rakyat Papua (SDHRP). “Kami menolak tegas Otonomi Plus yang dicanangkan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe. Harus disadari bahwa Otonomi Khusus lahir karena keinginan Rakyat Papua dalam pemenuhan hak-haknya,” ujar Ketua SDHRP, Osama Usman Yogobi, kepada wartawan di Jayapura, Papua, pada 8 Juni 2013. Osama bersama beberapa pemimpin organisasi massa di Jayapura juga menyatakan, akan tetap melakukan aksi demonstrasi damai untuk menolak Otsus Plus dan meminta pertanggung jawaban Negara atas pelanggaran HAM di tanah Papua.

Penolakan yang paling representative muncul saat dilangsungkannya evaluasi Otsus versi orang asli Papua (OAP) di Hotel Sahid Papua, pada 24-27 Juli 2013, yang dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan mengundang  wakil-wakil orang asli Papua dari tujuh wilayah adat di tanah Papua, yakni, wakil adat wilayah Mamta/Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha/Ha Anim, La Pago, dan Mee Pago.

Ada dua rekomendasi utama yang dihasilkan pada akhir pertemuan, yakni, pertama, membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat yang netral pula; dan kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi ini.

Hasil evaluasi Otsus versi Orang asli Papua ini selain sangat representative, juga karena dihadiri oleh seluruh anggota MRP, anggota DPRP, tokoh-tokoh adat, agama, pemuda, dan tokoh-tokoh gereja di seluruh tanah Papua; juga dihadiri oleh beberapa akademisi, dan perwakilan mahasiswa di seluruh perguruaan tinggi di Jayapuara, Papua. 

Yusak Reba, salah satu Dosen Universitas Cenderawasih Papua, juga menolak ide atau aspirasi dilahirkannya Otsus Plus, sebab ia tidak lahir dan tuntutan dan aspirasi rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001. “Perubahan tersebut harusnya datang melalui aspirasi masyarakat Papua, bukan berasal dari kehendak Jakarta,” tegas Reba, saat diwawancarai oleh wartawan. Ditambahkan, kebijakan untuk menata kembali Otsus haruslah melalui prosedur yang  diamanatkan sesuai dengan pasal 77 dan 78 Undang-undang Otsus 21 tahun 2001, dan harus diserahkan ke orang Papua, bukan Jakarta yang menentukan, lalu mengundang Gubernur, DPRP dan MRP untuk sekedar mewakili orang Papua.

Pernyataan penolakan Otsus Plus yang lebih keras dan radikal datang dari Ketua Umum Persektuan Gereja-Gereja Baptsi (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yoman. “Otsus Plus tak perlu dan tak penting diterapkan, karena tak akan pernah menyelesaikan masalah di Papua. Bahkan MRP sebagai lembaga  kultur  masyarakat  Papua menyatakan menolak Otsus Plus. Hal ini sebagaimana rekomendasi dan konsultasi publik antara  MRP dan  rakyat  Papua  di Hotel Sahid Papua, Jayapura  25-27 Juli 2013 lalu.”

“Sebagai pemimpin Gereja di Papua, saya melihat realitas kegelisaan, penderitaan umat Tuhan di Tanah Papua ini, maka saya katakan Otsus Plus tak perlu diterapkan. Barangkali Otsus Minus bukan Otsus Plus,” tegas Yoman, ketika diminta tanggapannya oleh salah satu media lokal di Jayapura, Papua, awal Agustus 2013 lalu. Dikatakan, pihaknya  mengusulkan hanya ada dua solusi yang relevan dan tepat. Pertama, dialog damai dan setara antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua tanpa syarat dimediasi pihak ketiga di tempat  netral. Kedua,  pemerintah Indonesia mengakui Papua sebagai negara merdeka dan berdaulat sejak 1 Desember  1961 yang pernah dibubarkan oleh Presiden pertama RI  Ir. Soekarno.

Pernyataan penolakan juga datang dari rakyat Papua Barat yang tergabung dalam Gerakan Pemuda, Mahasiswa dan Rakyat (GEMPAR). “Gubernur tidak boleh menyepelekan tuntutan rakyat Papua yang disampaikan oleh MRP, yakni Otonomi Khusus telah gagal total, dan dilakukan referendum,” ujar Kordinator Umum GEMPAR, Yason Ngelia.

Dikatakan, evaluasi menyeluruh Otonomi Khusus adalah langkah paling utama yang akan menentukan langkah pembangunan selanjutnya, karena itu partisipasi dan dukungan rakyat sangat penting. “Namun sekarang yang kita lihat adalah rakyat tidak memberikan dukungan, namun gagasan untuk Otsus Plus datang dari Jakarta, yakni melalui Presiden SBY. Ini ada apa? Gubernur harus mendengar suara masyarakat akar rumput,” tegas Yason, yang ditahan tiga bulan penjara karena memobilisasi masa untuk melakukan demonstrasi penolakan Otsus plus di Kantor Gubernur Papua.

Draf Keempatbelas; Singkronisasi versi Papua dan Papua Barat

Walaupun mendapat penolakan keras dan kritik dari berbagai pihak di tanah Papua – bahkan beberapa mahasiswa Uncen harus terus berurusan dengan aparat kepolisian, hingga ada yang ditahan di penjara – pembahasannya tak pernah sedikitpun mengalami kemunduran. Gubernur Papua Lukas Enembe, bersama tim asistensi dari Pemerintah Provinsi Papua, dan tim eksternal seperti dari Kampus Uncen, MRP dan DPRP terus tancap gas sembari mengabaikan tuntutan rakyat Papua; Tim dari Provinsi Papua Barat relative bekerja dengan sedikit tenang, karena praktis tak ada penolakan dari rakyat atau mahasiswa di Papua Barat. Atau, ini mungkin karena pengerjaannya draf yang dikerjakan secara “tersembunyi” atau tidak diketahui oleh public di Manokwari. Apalagi, deadline waktu yang diberikan kepada tim Asistensi dari Provinsi Papua Barat hanya seminggu. Tentu, ini waktu yang sangat-sangat singkat bukan!

Hingga saat ini, telah dihasilkan draf keempatbelas, yakni draf final atau hasil singkronisasi antara draf versi tim Provinsi Papua Barat dan Papua. Kesepakatan draf tersebut – walaupun ada beberapa point yang tidak saling bersepakat – telah ditanda tangani oleh Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe yang diwakili oleh salah satu pejabat tinggi Dok II, dan Gubernur Provinsi Papua Barat, yang diwakili oleh Sekertaris Daerah Ishak Halatu. Penandatanganan dilakukan di Lumire Hotel Senen, Jakarta, Pusat, Sabtu 15 Februari 2013, sekitar pukul 19.30 Wib, dan rencananya draf akhir ini akan dipaparkan di Kementerian Dalam Negeri, kemudian diteruskan ke DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.

Rakyat di Papua sekarang  sedang “dipaksakan” untuk menerima sesuatu yang tidak mereka usulkan? Akan dipaksaan mentaati “aturan” yang tidak pernah mereka mau, dan sepakati secara kolektif. Memang, sungguh ironis pejabat kita di tanah Papua ini; yang menabrak aturan untuk mendengar “bisikan” Jakarta yang belum tentu membawa rakyat Papua ke arah yang lebih baik.

Pada tulisan bagian kedua, saya akan membahas tahapan pergantian nama, awalnya mulai dari nama “Otonomi Khusus Plus”, kemudian “Undang-Undang Pemerintahan Papua”, hingga yang paling terakhir sekarang adalah “Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua”, juga secara detil membahas pasal-pasal awal draf RUU Pemerintahan Otsus di tanah Papua yang dianggap sedikit krusial, dan dapat menibulkan perdebatan panjang di kemudian harinya.  *Oktovianus Pogau adalah wartawan, mengasuh situs berita dan informasi Suara Papua (http://www.suarapapua.com); tinggal di Kabupaten Intan Jaya, Papua.   

INISIATIF FPIC DAN HAK MASYARAKAT ATAS TANAH DAN HUTAN


Bagi komunitas adat di ‘Kota Pala’ ini, tanah dan hutan serta laut itu ibarat ‘seorang mama’. Sayangnya dalam proses pembangunan, komunitas adat pun diperhadapkan dengan berbagai kekuatan, terutama kekuatan negara dalam bentuk peraturan-perundangan yang cenderung merugikan hak-hak masyarakat adat serta kekuatan modal (bisnis) yang sudah tentu lebih mengejar keuntungannya daripada memberikan perhatian yang adil bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat.

Oleh Pietsau Amafnini

Salah satu LSM lokal di Fakfak yang giat mendampingi masyarakat adat di ‘Kota Pala’ ini adalah GEMAPALA (Gerakan Masyarakat Papua Lestari) mengandung makna ‘gema’ (suara) masyarakat adat di Kota Pala Fakfak untuk mandiri dalam pengelolaan sumberdaya alam yang setidaknya dapat menunjang kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Gemapala berdiri tahun 2005. Berikut ini adalah catatan dari perbincangan dalam sebuah perjalanan bersama Djemris Nikolas Imunuplatia, direktur Gemapala dan juga kelompok dampingannya di Kokas, Fakfak.

Orang Mbaham Matta di Kampung Baru masih memiliki kawasan hutan yang luas. Walaupun sejak zaman ORBA mereka sudah mengenal intervensi luar terkait pengelolaan hutan, misalnya HPH dan mitra-mitra bisnis kayu lainnya yang masuk ke Fakfak dengan memanfaatkan peluang keberadaan Kopermas yang menjamur di Tanah Papua pasca reformasi. Namun, di Kampung Baru, HPH belum pernah masuk dan mengklaim wilayah hutan di sini. Pada zaman Kopermas, pernah ada perusahaan yang bekerjasama dengan masyarakat mengambil kayu, tetapi sudah berhenti sejak OHL. Yang menjadi ancaman saat ini adalah pemekaran wilayah kabupaten Kokas, dimana akan sangat berpengaruh pada tata ruang. Sementara di kawasan ini merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas. Karena posisi hutan produksi terbatasa, maka menjadi peluang bagi masyarakat adat untuk boleh mengelola hutannya secara mandiri.

Hal ini berbeda dengan kampung Mambunibuni dan kampung Pikpik yang merupakan batas areal dan berada dalam kawasan hutan HPH (Hanurata dan Arfak Indra). Sedangkan di Kampung Baru terletak di pinggir pantai, ada mangrove, hutan pala dan hewan buruan. Hanya sedikit areal dusun sagu, yang menjadi tempat bergantungnya komunitas adat di Kampung Baru.

Pemetaan wilayah adat sangat penting, berdasarkan ideologi FPIC sebagai strategi untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak mereka atas tanah, hutan dan asset alam lainnya. Kelompok mama-mama di KSP Syanggi menjadi penggerak untuk meyakinkan kaum laki-laki guna membicarakan pentingnya perlindungan hak-hak atas hutan, termasuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Hutan Desa menjadi pilihan strategis bagi mereka di Kampung Baru. Ancaman yang sudah ada adalah

Proses persiapan masyarakat adat ke arah pemanfaatan hutan melalui sistem hutan desa, ada workshop pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat dengan menghadirkan semua stakeholders kehutanan; pelatihan tentang pelestarian hutan dengan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan tanaman pala dan juga pengelolaan kebun sesuai tradisi mereka di kampung. Pemberian pemahaman tentang konsep/model hutan desa yang difasilitasi oleh KAMUKI Community Foundation sejak tahun 2010. Sebagai tanggapan masyarakat, ide hutan desa disambut positif dan sedang berjalan. Hutan desa merupakan bagian dari peranserta masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Namun demikian, masih dalam proses-proses sosial untuk mendorong kepentingan pengelolaan hutan desa yang kiranya sangat cocok untuk mendorong pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan.

Masyarakat adat Mbaham-Matta Fakfak sangat sadar akan hak-haknya atas tanah, hutan dan lain sebagainya sebagai warisan leluhur mereka. Hal ini sangat kuat dalam keyakinan dan praktek hidup harian mereka sendiri. Ketua I Dewan Adat Mbaham-Matta, Simon Bruno Hindom mengatakan bahwa bagi komunitas adat di ‘Kota Pala’ ini, tanah dan hutan serta laut itu ibarat ‘seorang mama’. Sayangnya dalam proses pembangunan, komunitas adat pun diperhadapkan dengan berbagai kekuatan, terutama kekuatan negara dalam bentuk peraturan-perundangan yang cenderung merugikan hak-hak masyarakat adat serta kekuatan modal (bisnis) yang sudah tentu lebih mengejar keuntungannya daripada memberikan perhatian yang adil bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat. Namun diharapkan setelah mendapatkan pengetahuan baru tentang prinsip-prinsip FPIC (free, prior, informed, consent) melalui musyawarah adat Mbaham-Matta pada 18 -20 juni 2012 yang lalu, masyarakat adat sudah bisa mengetahui bagaimana memperjuangkan hak-haknya secara demokratis, tentu musyawarah menjadi salah satu bentuk kekuatan perjuangan itu. “Kami masyarakat adat bisa mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan. Kami bisa jamin itu, bahkan tanpa konsep hutan desa, hutan rakyat, dan istilah lainnya, kami bisa lakukan itu sendiri, karena memang dari dulu zaman moyang, kami sudah hidup dari pemanfaatan hasil hutan.” Demikian ungkap pace Simon Bruno Hindom. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua