TIPUKA: Orang Kamoro Hidup Tertekan Di Tanah Leluhur Sendiri…….(5)


Sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu.

Oleh Pietsau Amafnini

Tidak ada harapan yang lebih dari hidup saat ini. Bagi masyarakat adat, yang terpenting adalah mereka bisa hidup nyaman di wilayah adat mereka. Masyarakat adat dapat memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarganya dengan memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya. Tetapi seperlunya. Bila memungkinkan, mereka akan menjual sebagian dari hasil usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya termasuk pendidikan anak-anak mereka. Namun yang utama adalah mereka mencari untuk makan. Hutan, sungai dan laut adalah ibarat “ibu kandung” bagi mereka. Sehingga sulit untuk menjauhkan pola hidup mereka dari potensi alam yang ada di wilayah adat mereka.

Berbeda dengan masyarakat ekonomi modern yang cenderung tamak dan rakus. Apapun yang diinginkan, dikuras sampai habis. Mereka mengejar banyak hasil untuk sebuah tujuan, kaya raya. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat pedagang, tetapi juga pada masyarakat peramu modern seperti peramu modern, nelayan modern, pemburu modern hingga para mafia kayu merbau yang selalu disebut mafia illegal logging. Bahkan pada dunia modern ini, perilaku kerakusan ini nampak pada penyerobotan tanah-tanah adat dalam skala sangat luas untuk kepentingan investasi perkebunan sawit dan pertambangan. Mungkin salah satu contoh nyata yang telah lama dihadapi masyarakat adat Suku Kamoro di kampung Tipuka adalah kehadiran PT Freeport Indonesia.

Masyarakat ekonomi modern di Tanah Papua tidak terlepas dari keberadaan kaum migran yang sejak awal pasca integrasi paksa Papua ke dalam wilayah Indonesia “didudukkan sebagai wajah Indonesia” melalui program transmigrasi nasional. Adapun kaum migrant spontan yang datang sebagai “perantau” secara individual untuk mencari hidup di Tanah Papua setelah terbentuknya komunitas-komunitas urban di pusat kota provinsi maupun kabupaten. Lambat laun, kota-kota kecamatan hingga kampung-kampung pun tidak luput dari incaran kaum migran. Salah satu penyebab melonjaknya kaum migran di Tanah Papua adalah “menjamurnya investasi sektoral” yang telah membagi-bagi Tanah Papua seperti “kue”. Nah mengapa begitu banyak orang dengan perilaku tamak menjamur pula di Tanah Papua? Ya, mencari hidup lebih baik dengan memanfaatkan peluang “ekonomi modern” yang secara terstruktur dikerahkan oleh negara sebagai strategi “pendudukan” di Tanah Papua. Sementara masyarakat adat yang masih berharap sepenuhnya pada kekayaan sumberdaya alamnya sebagai sumber penghidupan justru semakin tak pasti nasibnya. Mereka terus tersingkir, bahkan tergeser dari tanah leluhur mereka sendiri.

Memang, tak dipungkiri jika ekonomi modern tidak dapat terlepas dari akses pasar, dunia dagang. Hal ini tentu berbeda dengan masyarakat adat Papua yang sebenarnya masih dalam tahap penyesuaian diri dalam hal kebudayaannya. Mereka seakan-akan dibingungkan dengan berbagai macam wajah masyarakat urban Indonesia dalam bentuk “pasar dan toko”. Di sisi lain mereka dipaksa secara terstruktur untuk meninggalkan tradisi hidup sebagai peramu hasil hutan dan nelayan tradisional melalui penyerobotan tanah-tanah adat warisan leluhur mereka atas nama pembangunan untuk permukiman, perkotaan dan lahan investasi.

Dalam hal akses pasar, hal ini yang perlu didorong dan difasilitasi agar masyarakan terbiasa dengan dunia ekonomi modern dimana pasar memegang peranan penting. Orang-orang berbudaya pedagang seperti Bugis, Makassar dan Jawa di Tanah Papua justru lebih banyak menguasai dunia dagang di pasar-pasar kota. Kita bisa lihat dari tampak fisik sosial kehidupan di sana. Kondisi ini memang terbentuk oleh sistem ekonomi modern itu sendiri. Sistem itu pun tercipta dari kebiasaan masyarakat ekonomi modern yang memposisikan diri secara terstruktur dalam hal alur perdaganga. Produsen – Distribusi – Konsumen. Distribusi dalam konteks ini dimaknai sebagai suatu sistem kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Dalam prosesnya, distribusi diidentikkan dengan pemasaran. Pemasaran sendiri juga bisa dalam arti bekerja sama dengan pasar atau mencari manfaat dengan cara kerjasama dengan pasar. Sebab, memang hubungan kerjasama dalam dunia dagang akan dapat berlangsung selama jika keduanya merasa dapat diuntungkan. Oleh sebab itu diperlukan komunikasi dua arah yang efektif, sehingga kemungkinan merugikan satu sama lain dapat diantisipasi. Hal ini lambat laun berkembang menjadi suatu budaya dalam kehidupan sosial dimana “ada barang, ada uang; ada uang, ada barang”.

Nah dengan melihat kondisi di atas, adakah sesuatu yang menarik? Tentu, uang dan uang atau modal yang selalu menjadi tolak-ukurnya. Masyarakat ekonomi modern yang dalam hal ini kaum migran atau urban kota akan memulai usahanya dengan modal yang cukup, bukan sekedar nekat. Tidak hanya di dunia dagang di pasar-pasar kota, toh banyak investor perkebunan sawit dan juga perusahaan kayu juga mendapatkan banyak kemudahan soal modal usaha dari negara dan perbankan. Mereka tahu dari mana harus mendapatkan modal usaha, misalnya akses modal pinjaman dari bank, atau bahkan modal dari negara. Hal ini tentu tidak berlaku untuk seorang petani tradisional dan nelayan tradisional, apalagi peramu hasil hutan dan pemburu hewan liar. Justru mereka hidup tertekan bahkan terasing di tanah leluhur sendiri.

Masyarakat nelayan tradisional di kampung Tipuka bernasib tak beruntung dalam hal dunia usaha-ekonomi modern. Kurangnya modal usaha, membuat mereka selalu kalah bersaing dengan para nelayan migran yang melakukan penangkapan menggunakan kapal dan peralatan modern, hingga penggunaan pukat trawll. Pola penangkapan ikan secara tradisional dengan peralatan seadanya, terkadang membuat nelayan suku Kamoro merugi, bahkan memang mereka mencari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini. Selain itu, teknik pengawetan ikan yang belum memadai sehingga belum sampai di pasar atau di tangan konsumen, ikan sudah busuk di tangan sendiri dalam perjalanan menuju pasar. Belum lagi jarak antara kampung Tipuka yang jauh dari pasar kota Timika menjadi salah satu faktor pendukung membusuknya ikan hasil tangkapan masyarakat ekonomi tradisional tersebut.

Melihat kondisi seperti di atas, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas salah satu faktor penyebab kesenjangan sosial dalam kehidupan Orang Tipuka di tengah kemajuan masyarakat urban kota Timika? Sebuah sumber menyebut bahwa pada tahun 2006, ada kepedulian dari PT Freeport Indonesia melalui program Social Local Development (SLD) bekerjasama dengan Keuskupan Timika untuk memberdayakan nelayan tradisional suku Kamoro yang menetap di sekitar daerah endapan tailing. Kerjasama ini dilakukan dalam bentuk pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan, penyediaan bahan bakar minyak, sembako, balok es batu yang dikelola oleh Koperasi Maria Bintang Laut Kamoro.

Program SLD ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat nelayan tradisional suku Kamoro lambat-laun mulai merubah kebiasaan dari budaya meramu, mengelola hasil laut dan sungai untuk keperluan konsumtif, menuju usaha ekonomi produktif – menuju masyarakat ekonomi modern. Benar, dan luar biasa tujuannya. Namun pada saat yang sama, masyarakat adat suku Kamoro juga sudah memulai kehidupan baru dalam mengelola hasil laut dan sungai dengan cara, alat dan tujuan baru. Bila sebelumnya mereka bermodalkan perahu dayung di sungai dengan jala dan nelon seadanya untuk sekedar mencari untuk makan sendiri, maka sekarang dan ke depan mencari dengan perahu motor tempel untuk mendistribusikan hasil tangkapannya ke pasar atau masyarakat konsumen di kota Timika. Mereka harus berusaha untuk bersaing dengan masyarakat migran yang memang sudah terbiasa dengan sistem kerja ekonomi modern.

Hmmm, apa yang dilakukan Freeport dengan program SLD di atas memang patut dihargai sesbagai sebuah upaya positif untuk memajukan orang Tipuka menjadi masyarakat ekonomi maju. Namun sangatlah disayangkan bila program ini terlaksana hanya sebagai cara menutupi ketamakan dan kerakusan Freeport Indonesia sendiri yang telah mengeruk hasil alam berupa emas dan tembaga di wilayah adat orang Kamoro dan Amungme. Toh akibat penambangan Freeport di Grasberg ini telah menyebabkan sungai-sungai disekitarnya tertimbun pasir tailing. Sungai-sungai menjadi dangkal, bahkan kering. Orang Kamoro di kampung Tipuka sendiri sudah kesulitan dalam mencari ikan di sungai karena tailing. Bahkan masyarakat Tipuka sendiri menyatakan “sekarang ikan cepat busuk karena racun dari tailing”.

Sebuah pemandangan indah, semakin terbuka dan meluas di sepanjang tepi sungai hingga muara-muara sungai. Pasir tailing. Luapan tailing dan sedimentasi yang terus menerus terjadi selama limapuluhan tahun sudah tentu memutuskan mata rantai makanan mereka, bahkan turut menghancurkan budaya mereka pula. Apakah Freeport dan Pemerintah Indonesia bermaksud menciptakan ketergantungan baru bagi orang Kamoro di kampung Tipuka terhadap kehadiran dan bantuan program SLD dari perusahaan yang bekerjasama dengan Gereja Katolik saat ini? Bagaimana jika suatu waktu program ini terhenti dengan alasan tertentu? Ataukah program SLD ini adalah bagian dari “penenang hati yang terluka” akibat kehancuran ruang sumber penghidupan mereka yakni sungai-sungai yang tertimbun dan tercemar limbah tailing dari tambang Freeport Indonesia? Atau memang ini bagian dari scenario “pendudukan” dimana Negara dan Investor “menguasai, merampas dan menghancurkan” apa yag menjadi hak masyarakat adat Suku Kamoro termasuk kebudayaannya?

Saya melihat dan merasakan sendiri bahwa dalam kenyataannya, kegiatan ekonomi rumah tangga bagi keluarga orang Kamoro di kampung Tipuka justru dalam kondisi “tidak baik-baik saja”. Sehingga sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu. Toh sejarah hidup mereka membuktikan bahwa Suku Kamoro bukan Orang Penambang, tapi peramu dan nelayan tradisional. Namun kini, rantai kehidupan itu sudah nyaris terputus karena Limbah Tailling dari perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia bahkan dunia. Semoga mereka tidak pernah akan merasa “terasing di negeri sendiri” karena tekanan kebijakan negara, kerakusan investor hingga ketamakan masyarakat ekonomi modern. Semoga suatu saat nanti, generasi penerus Suku Kamoro di kampung Tipuka dapat berucap bahwa benar “mereka tertolong, bukan tertipu”. Nimaome – Amole. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

RUMAH KITA: OSS itu Barang Apa?………(2)


Sebuah pesan lewat SMS pun tiba di HP saya, dari seorang pembaca setia SANCAPAPUANA. “Selamat malam bro, OSS itu barang apa?”. “Ohhh, tunggu saja di serial berikut, terimakasih”, balasku. Sekarang saya bilang, barang ada ini. Silahkan membaca.

Oleh Pietsau Amafnini

OSS itu singkatan dari “One Single Submission”, sebuah sistem layanan pemerintah untuk memudahkan masyarakat yang ingin mengurus surat perizinan berusaha. Ya, tepatnya perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik. OSS adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. Kelembagaan OSS itu terintegrasi secara institusional di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Sistem OSS digunakan dalam pengurusan izin berusaha oleh pelaku usaha dengan karakteristik sebagai berikut: Berbentuk badan usaha maupun perorangan; Usaha mikro, kecil, menengah maupun besar; Usaha perorangan/badan usaha baik yang baru maupun yang sudah berdiri sebelum operasionalisasi OSS. Usaha dengan modal yang seluruhnya berasal dari dalam negeri, maupun terdapat komposisi modal asing. Artinya, barang OSS ini untuk memudahkan masyarakat dalam hal pengurusan surat izin usaha; dan barang ini diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018, sebagai upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan berusaha dan menciptakan model pelayanan perizinan terintegrasi yang cepat dan murah, serta memberi kepastian.

Secara singkat, saya hanya menguraikan bahwa OSS itu bermanfaat untuk: 1)mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha baik prasyarat untuk melakukan usaha (izin terkait lokasi, lingkungan, dan bangunan), izin usaha, maupun izin operasional untuk kegiatan operasional usaha di tingkat pusat ataupun daerah dengan mekanisme pemenuhan komitmen persyaratan izin; 2) memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time; 3) memfasilitasi pelaku usaha dalam melakukan pelaporan dan pemecahan masalah perizinan dalam satu tempat; 4) memfasilitasi pelaku usaha untuk menyimpan data perizinan dalam satu identitas berusaha (NIB).

Nah untuk dapat mengakses OSS, ada beberapa prasyarat, seperti: 1) memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan menginputnya dalam proses pembuatan user-ID. Khusus untuk pelaku usaha berbentuk badan usaha, NIK yang dibutuhkan adalah NIK Penanggung Jawab Badan Usaha; 2) Pelaku usaha badan usaha berbentuk PT, badan usaha yang didirikan oleh yayasan, koperasi, CV, firma, dan persekutuan perdata menyelesaikan proses pengesahan badan usaha di Kementerian Hukum dan HAM melalui AHU Online, sebelum mengakses OSS; 3) pelaku usaha badan usaha berbentuk PERUM (Perusahaan Umum), PERUMDA (Perusahaan Umum Daerah), badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, badan layanan umum atau lembaga penyiaran menyiapkan dasar hukum pembentukan badan usaha.

Terkait hal tekhnisnya, semestinya saya tidak perlu menjelaskannya di sini. Tetapi apalah boleh buat, biar anda tahu sebelum saya mengatakan, silahkan tanya langsung kepada pegawai kantor DPMPTSP di Provinsi maupun di Kabupaten anda. Semua akan dijelaskan di situ. Sayangnya, perjalanan anda akan memakan biaya yang tidak sedikit, hanya untuk memperoleh informasi dari kantor OSS itu. Sehingga untuk memudahkan anda, saya akan melanjutkan uraian ini. Biar hemat anggaran, bagi pembaca SANCAPAPUANA.

Prosedurnya sederhana, tapi semoga tidak dirumitkan. Hehee dirumitkan oleh siapa? Ada dehhh, bisa saja signal jaringan internet. Kalau soal “pemulusan”, saya kira OSS itu Anti Pungli dan Anti Korupsi. Justru OSS itu ada untuk mencegah adanya Pungli dan Korupsi dalam proses perizinan.

Untuk menggunakan sistem OSS, anda hanya butuh: 1) membuat user-ID; 2) Log-in ke sistem OSS dengan menggunakan user-ID; 3) mengisi data untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB); 4) Untuk usaha baru, perlu melakukan proses untuk memperoleh izin dasar, izin usaha dan/atau izin komersial atau operasional, berikut dengan komitmennya. Untuk usaha yang telah berdiri: melanjutkan proses untuk memperoleh izin berusaha (izin usaha dan/atau komersial) baru yang belum dimiliki, memperpanjang izin berusaha yang sudah ada, mengembangkan usaha, mengubah dan/memperbarui data perusahaan.

Singkat ceritanya, OSS itu sistem perizinan berbasis elektronik untuk memudahkan masyarakat yang memiliki usaha. Nah untuk tekhnis pembuatan dan aktivasi account OSS, bagi Badan Usaha cukup melakukan pendaftaran di sistem OSS dengan memasukan NIK Penanggung Jawab Badan Usaha atau Direktur Utama dan beberapa informasi lainnya pada Form Registrasi yang tersedia. Sistem OSS akan mengirimkan 2 (dua) email ke Badan Usaha untuk registrasi dan verifikasi akun OSS. Email verifikasi berisi user-ID dan password sementara yang bisa digunakan untuk log-in sistem OSS. Hal yang sama juga berlaku untuk memudahkan pelaku usaha Perorangan.

Selanjutnya, pelaku usaha mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan dokumen pendaftaran lainnya. NIB adalah identitas pelaku usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran. NIB wajib dimiliki pelaku usaha yang ingin mengurus perizinan berusaha melalui OSS, baik usaha baru maupun usaha yang sudah berdiri sebelum operasionalisasi OSS. NIB ini sekaligus dapat berlaku sebagai: 1) Tanda Daftar Perusahaan (TDP); 2) Angka Pengenal Impor (API), jika pelaku usaha akan melakukan kegiatan impor; 3) Akses Kepabeanan, jika pelaku usaha akan melakukan kegiatan ekspor dan/atau impor.

Sedangkan dokumen Pendaftaran Lainnya yang diperoleh saat pendaftaran NIB itu, diantaranya: 1) NPWP Badan atau Perorangan, jika pelaku usaha belum memiliki; 2) Surat Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA); 3) Bukti Pendaftaran Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan; 4) Notifikasi kelayakan untuk memperoleh fasilitas fiskal dan/atau tidak; 5) Izin Usaha, misalnya untuk Izin Usaha di sektor Perdagangan (Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)).

Nah, apakah sampai di sini barang OSS yang gelap sudah jadi terang? Ohh ya, satu hal yang hampir terlupakan. Adapun langkah-langkah untuk memperoleh NIB, yakni: 1)Log-in pada sistem OSS; 2) Mengisi data-data yang diperlukan, seperti: data perusahaan, pemegang saham, kepemilikan modal, nilai investasi dan rencana penggunaan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja asing. Jika pelaku usaha menggunakan tenaga kerja asing, maka pelaku usaha menyetujui pernyataan penunjukan tenaga kerja pendamping serta akan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan atau dengan output surat pernyataan; 3) Mengisi informasi bidang usaha yang sesuai dengan 5 digit Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), selain informasi KBLI 2 digit yang telah tersedia dari AHU. Pelaku usaha juga harus memasukan informasi uraian bidang usaha; 4) Memberikan tanda checklist sebagai bukti persetujuan pernyataan mengenai kebenaran dan keabsahan data yang dimasukkan (disclaimer); 5) Mendapatkan NIB dan dokumen pendaftaran lainnya.

OSS yang pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018, merupakan upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan berusaha dan menciptakan model pelayanan perizinan terintegrasi yang cepat dan murah, serta memberi kepastian kepada pelaku usaha. Ya, yang dulu bisa berbulan-bulan menunggu prosesnya dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, sekarang bisa saja semua beres dalam waktu kurang dari satu jam, tanpa biaya pula. Hehee tapi paket pulsa data internetnya tanggung sendiri. Nah barang ini sebenarnya sudah digagas tahun 2017, saya ingat betul dalam sebuah pertemuan di Jakarta, barang ini sudah di singgung, tapi saat itu saya juga masih buta. Bahkan sampai saat diluncurkan secara resmi oleh pemerintah pusat pada 2018 juga, saya masih belum percaya. “Apakah bisa? Soalnya ego sektoral pemerintah kita di Indonesia juga sekuat kayu merbau”. Acara peresmian dan peluncuran OSS di Jakarta pada 2018 ini dihadiri oleh sejumlah Kementerian dan Lembaga Negara. Bayangkan saja, siapa-siapa yang hadir di situ? Hadir dalam peresmian sistem OSS ini antara lain Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo; Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso; Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo; Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil; Menteri Pariwisata Arief Yahya; Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur; Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong; Kepala Staf Presiden Moeldoko; serta perwakilan menteri dan kepala lembaga lainnya. Hmmmm, artinya apa yang saya mau bilang? OSS bukan barang mainan. Memudahkan Masyarakat Pelaku Usaha, dan Serius untuk Pencegahan Korupsi Perizinan!!!***Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Kampung Orang Kamoro Di Muara Tailing Freeport Indonesia…..(1)


Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah.

Oleh Pietsau Amafnini

Kali ini saya mengajak pembaca untuk mengarahkan hati dan pikiran kepada sebuah wilayah kecil di Tanah Papua dengan sebutan TIPUKA.Tipuka adalah sebuah kampung kecil dengan jumlah penduduk sekitar 175 KK di Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Mayoritas suku di sini adalah Suku Kamoro. Kampung Tipuka terletak persis di muara sungai dimana tailling Freeport dilepas di situ. Semakin ke atas ada kampung Ayuka, Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Aroanop, Banti, dan Tsinga. Ketujuh kampung ini berada di sekitar kawasan pertambangan milik PT Freeport Indonesia yang telah lama mengeruk sumberdaya tambang emas dan tembaga wilayah ini, dan akibatnya sungai-sungai pun tertimbun oleh pembuangan pasir tailing itu.

Kalau kita bicara tentang Freeport Indonesia di Timika, selain berbicara tentang kemewahan produksi dengan hasilnya yang menggiurkan, tentu kita bicara tentang konflik pengelolaan sumberdaya alam hingga masalah pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan terhadap lingkungan hidup. Namun, adakah yang bisa membatasi perusahaan emas raksasa dari Amerika Serikat di Tanah Papua ini? Achhh cukup sudah, jangan kitong bicara masalah terus. Katanya kita harus positive thinking di zaman now.

Sebelumnya tentu kita hitung-hitungan soal keuntungan dan kerugian negara hingga kerugian masyarakat adat setempat. Tetapi setelah 50 tahun kemudian, tepatnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia konon katanya “berhasil” merebut saham 51% dari Freeport, sehingga normalnya Amerika Serikat (Freeport) hanya dapat 49%. Sementara banyak pihak di antara kita juga akan terus bertanya, siapa yang akan makan uang dari saham 51% itu? Bahkan dari namanya saja sudah bukan Freeport America, tapi Freeport Indonesia. Achhh, masih banyak hal lagi. Tetapi saya tidak mau membahas barang itu lagi, nanti saya tambah pikiran karena toh saya juga tidak dapat apa-apa juga mo. Karena saya bukan siapa-siapa, hanya orang biasa yang peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan hidup di Tanah Papua, terutama Orang Tipuka di muara sungai tailing itu.

Hmmm, namun yang perlu anda ketahui di sini adalah apa yang sekiranya menarik bagi saya untuk dibahas di sini, yakni persoalan lingkungan hidup. Ya, maksud saya terkait AMDAL dari perusahaan ini. Apakah sudah atau belum dibaharui? Bagaimana dengan pasir tailingnya? Emas dan tembaga itu telah dibawa pergi, tetapi pasirnya ditinggalkan dan dibiarkan mengalir melalui sungai-sungai yang berhulu di Grasberg dan berhilir melintasi tujuh kampung yang berada di sana hingga bermuara di wilayah kampung Tipuka. Anda bayangkan jikalau sungai yang semulanya adalah “aliran air” tetapi setelah 50 tahun kemudian justru yang ada itu “aliran pasir”. Beeehhhh, janganlah kau bilang barang ini tipu-tipu ka? Ini memang mbenar-benar kenyataan di kampung Tipuka. Bayangkan saja dalam sehari Freeport menghasilkan tailing 200ribu ton. Waoww, seandainya masyarakat adat Kamoro di Tipuka bisa eksport tailing ini? Klo tra percaya, silahkan datang sendiri ke kampung Tipuka yang dulu terkenal karena kepiting (keraka). Amole, amole sobatku, selanjutnya kita akan lihat kembali dinamika-dinamika yang terjadi sebelum tahun 2021. Ya bisa tarik sampe de pu akar-akar ka ini.

Mungkin saja ada banyak hal yang masih teka-teki di sana, dan semakin samar-samar untuk diingat. Yoooo, mbegitu sudah. Tapi saya kira biar kitong sedikit tarik waktu ke belakang untuk melihat bagaimana kondisi kehidupan masyarakat adat setempat dan juga ketergantungan mereka kepada sumberdaya alam yang mereka miliki, terutama sungai dan hutan alam sekitarnya sebagai sumber penghidupan bagi mereka. Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah. Biar ko liat dengan ko pu mata sendiri, bagaimana sungai air itu bisa disulap Freeport dalam 50 tahun jadi sungai pasir. “weii tipu ka apa eee”.

Trus mungkin masyarakat dong su ada gedung gedung pencakar langit dari hasil Freeport ka? Sssttt tailing tralaku itu? Hahaa ini Tipuka di Timika sobat, bukan di Turky. Dekat saja to? Jang ko bilang sa tipu ko lagi eee. Sedangkan masyarakat dong mo mencari ikan di sungai saja harus ada semacam upacara ritual sedikit dengan mengucap kata “oto erkata” untuk memanggil ikan, bukan mengejar ikan. Sebelumnya mereka perlu meminta izin dan restu dari leluhur dengan memberikan sesajian berupa gulungan tembakau atau sebatang rokok sambil berucap, prapeka enaro kapaki makakeman e airu ta” artinya tete’ ini ambil rokok tolong kasih kami ikan untuk anak-cucu. Selanjutnya, “prapoka kau katna ikutu maha imaku ereka maka kemanu arie” artinya nene’ lindungi kami dalam perjalanan dan bawa ikan masuk ke jaring. Sadaaapppp. Itulah syarat yang harus dilakukan seorang pencari ikan (nelayan tradisional) yang disebut dengan Mikuku dalam bahasa Suku Kamoro di kampung Tipuka. Bukan ko cari dengan ko pu cara-cara tak karuan adat. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua

KAYU ILEGAL DI MUSIM CORONA


Lagi-lagi temuan kayu ilegal terjadi di musim Corona. Saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Oleh Pietsau Amafnini

Sejak WHO menetapkan keadaan darurat internasional karena serangan pandemic corona, termasuk masyarakat di Indonesia semuanya terdiam di rumah untuk bertahan hidup dan aman dari virus penyakit yang belum ada obat anti-virusnya di dunia. Pasalnya Virus Corona telah menelan banyak korban nyawa yang diduga sudah terjadi sejak bulan November 2019. Betapa tak kaget dan takutnya semua orang di dunia karena jahatnya Corona. Tanggal 14 Februari 2020 WHO merilis jika jumlah kasus terkonfirmasi virus tersebut mencapai 64,452 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1,384 jiwa yang tersebar di berbagai negara di belahan bumi ini. Angka tertinggi saat itu justru berada di Italia. Virus yang katanya bermula di Kota Wuhan, China ini ternyata menyebar begitu cepat.

Pemerintah China pun menuruti himbauan WHO untuk melakukan policy lockdown dengan mengkarantina 16 kota di China, terutama Kota Wuhan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalisir penyebaran virus Corona. Lockdown tentu menjadi pilihan tersulit, karena akan berdampak besar pada terpuruknya sector ekonomi. Namun, tidak ada pilihan lain, saat itu.

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang berpotensi besar akan terdampak baik pada penyebaran virus Corona, dan tentu juga pada lemahnya ekonomi China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai dampak dari virus Corona bersumber dari tiga sektor utama yakni sektor pariwisata, sektor investasi dan sektor perdagangan. Sementara baik Indonesia maupun negara-bangsa lain pun sepertinya tidak siap menghadapi masalah pandemic Corona beserta dampaknya pada kesehatan dan ekonomi. Pada akhirnya suka atau tidak suka, lockdown jadi pilihan walaupun tidak seutuhnya. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari Rumah” sebagai pilihan untuk “keselamatan”. Seluruh aktivitas rakyat dan pemerintah pun lumpuh, walaupun akan berdampak pada kesulitan akses pangan. Syukurlah dengan fasilitas teknologi informasi yang  walau masih terbatas, namun sejumlah kebutuhan dapat dilakukan secara online.

Sedihnya, Corona bukanlah halangan bagi cukong kayu. Para mafia kayu illegal terus melancarkan aktivitasnya dengan alasan bahwa arena hutan adalah medan bebas virus corona. Hal ini juga merupakan pilihan tepat bagi mereka karena memang aktivitas di perkotaan dibatasi, maka lancarlah aktivitas pencurian kayu dari hutan alam. Ohh tidak. Apakah saya karang cerita ini? Maybe yes, maybe no.

Adalah sebuah fakta telah terjadi di Sorong, Papua Barat. Tanggal 24 Maret 2020 adalah hari dimana Tim Gakkum-KLHK menyita 263 batang kayu olahan tanpa dokumen di Kabupaten Sorong. Kayu illegal yang diangkut 3 unit truck itu dicurigai akan dikirim ke pemeiliknya yakni CV. Anugerah Rimba Papua (ARP) yang berkedudukan di Distrik Aimas. Sayangnya para sopir truck yang menjadi sasaran interogasi karena beraktivitas di musim corona. Sedangkan sang pemilik yang menunggu kayu illegal itu justru tak tersentuh, walaupun sederet pasal dari UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah menjadi alasan dugaan dan hukumannya.

Anehnya kejadian ini terjadi pada saat musim corona, walaupun perilaku pembalakan liar dan pencurian kayu ini sudah berlangsung lama. Ya, seakan-akan tak pernah akan berakhir. Kayu merbau Papua memang ibarat primadona yang selalu diburu oleh para mafia kayu. Mereka tak peduli dengan kerusakan hutan dan dampaknya berupa banjir dan lain sebagainya. Ya, sedangkan keselamatan diri terhadap Corona saja mereka tidak peduli, apalagi keselamatan lingkungan alam?

Benar-benar Corona bukan halangan bagi mereka. Tanggal 13 Juli 2020 Tim Gakkum-KLHK kembali mengamankan 8 unit truck bermuatan kayu olahan jenis merbau di Aimas, kabupaten Sorong, Papua Barat. Kayu-kayu yang diduga berasal dari distrik Moswaren itu tidak dilengkapi dokumen angkutan kayu yang sah. Setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, maka Tim Operasi kemudian melakukan pemantauan dan pengawasan hingga akhirnya menghentikan iringan 8 unit truck itu bermuatan kayu itu dari arah jalan Klamono menuju sawmill di sekitar wilayah Kabupaten Sorong, dan selanjutnya digiring untuk diamankan ke gudang penyimpanan barang bukti yang berlokasi di Jalan Petrochina, Kelurahan Warmon Klalin, Aimas, Kabupaten Sorong.

Lagi-lagi peristiwa ini terjadi di masa musim Corona, saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Semoga Gakkum-KLHK tiada goyahnya memproses pelakunya sesuai hokum yang berlaku. Sebab kerjanya sang pemburu kayu illegal tentu merugikan masyarakat adat pemilik kayu itu dengan segala tipu dayanya hingga dibelinya dengan harga murah. Belum lagi kerugian negara yang diakibatkan oleh cara kerjanya mafia kayu illegal.

Pada akhirnya, hati ini hanya bisa berharap pada lingkungan alam untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan yang ada, dan bila Alam Tanah Papua mendengarkan jeritan hati para penghuni Tanah Moi, maka biarlah mereka terhukum seadilnya setimpal air mata para korban banjir di antara Kali Klamono dan Kali Remu.***

“MR. WONG”, SANG PEMBURU MERBAU PAPUA


Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek illegal logging masih marak di Kabupaten Sorong. Para pemburu kayu komersil masih terus melakukan pembalakan kayu baik di hutan hak masyarakat adat maupun di kawasan HGU perkebunan sawit tanpa mengantongi IPK. Sasarannya tentu kayu merbau. Sementara ketersediaan tegakkan kayu jenis merbau sudah semakin jarang. Sudah hampir tidak ditemukan lagi pohon induk di hutan. Karena Sang Pemburu itu pun masih dan semakin bebas membalak secara liar dengan berbagai modus baru, dan alasan yang masuk akal dengan memperdayai masyarakat adat.

Kegiatan pembalakan kayu di Kabupaten Sorong seakan-akan tidak mungkin lagi untuk dihentikan. Pembalakan terus dilancarkan oleh cukong-cukong kayu dengan segala tipu daya untuk meyakinkan masyarakat pemilik hutan. Tidak hanya itu, banyak kayu jenis merbau juga keluar dari HGU perkebunan sawit. Apakah mereka memiliki IPK atau tidak? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Mungkin dan sangat mungkin semua itu non-IPK. Jika non-IPK, apalagi SVLK…..? Tentu saja kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu masih terus melaju dan akan semakin gila pula, setelah ada Pergub 51/2018 yang kembali membuka peluang untuk peredaran kayu bulat menjadi bebas beredar keluar antar pulau di luar Tanah Papua sebagai product unggulan dari provinsi Papua Barat.

Achhh, Sang Pemburu kayu merbau tentu merasa legah dan bahagia luar biasa. Apa yang sebelumnya menjadi “haram”, kini kayu bulat sudah boleh bebas diperdagangkan dan diedarkan antar pulau di dalam negeri atau bahkan diekspor sebagai barang dagang unggulan. Sedih memang, tetapi apa boleh buat. Pohon merbau itu sudah ditumbangkan, juga sudah dijadikan kayu olahan berupa balak 20 cm x 20 cm. Tumpukan kayu balak pun menjadi pemandangan indah di sepanjang jalan menuju distrik Sayosa, Sayosa Timur, Maudus, dan Moi Segen. Mobil-mobil truck pun Nampak berjejer antrian memuat kayu. Karena merbau masih ditempatkan pada posisi “primadona”.

Sang pemburu itu adalah seorang China Malaysia yang dikenal sebagai cukong pembalakan kayu secara liar (illegal logging) dan sudah melalang buana di Indonesia. Dia hanya dikenal dengan sebutan Mr. Wong yang dari rekam jejagnya pernah beroperasi di daerah Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Tanah Papua sejak tahun 2000. Menteri Kehutanan, Malem Sambat Kaban, pernah menjadikan Mr. Wong sebagai salah satu dari 50 cukong pembalakan kayu liar yang masuk dalam daftar hitam target operasi hutan lestari.

“Mr. Wong” pernah menjadi tersangka dan berurusan dengan Mabes Polri pada tahun 2010. Pada Juli 2006, petugas Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Adi, Fakfak, Papua Barat, menangkap kapal MV King Glory, kapal asal Thailand dan berbendera Panama. Kapal tersebut mengangkut kayu hasil penebangan liar di daerah setempat yang hendak diangkut ke Cina dengan menggunakan dokumen pemerintah Papua New Guinea. Kapal dan muatan kayu tersebut terkait dengan bisnis ilegal Mr. Wong. Tidak ada informasi detail kasus tersebut dan diberitakan Mr. Wong  bebas dari tuntutan hukum.

Mr. Wong dikenal selalu berganti nama setelah menjadi warga negara Indonesia. Dia pun beberapa kali lolos dari jeratan hokum dan bisnisnya justeru menggurita di Papua, di bawah bendera Mega Masindo Group, beralamat kantor di Jalan Kelapa Hybrida Raya Blok PF 18 Nomor 32, Kelapa Gading, Jakarta Utara, sedangkan alamat kantor di Sorong Jl. Tidar No.1 Kota Sorong .

Perusahaan-perusahaan pengusahaan hasil hutan kayu yang diketahui dimiliki, dikelola dan dikendalikan oleh Mr. Wong, terdiri dari: (1) PT. Alas Tirta Kencana, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Timika, Provinsi Papua, seluas 87.500 ha; (2) PT. Wukirasari, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Teluk Bintuni dan Kaimana, Provinsi Papua Barat, seluas 116.320 ha; (3) PT. Arfak Indra, perusahaan kayu berlokasi di Fakfak, Provinsi Papua Barat, seluas 153.000 ha, dan (4) PT. Bagus Jaya Abadi (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.120/Menhut-II/2009, tanggal 12 Maret 2009, perusahaan industry pengolahan kayu berlokasi di Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan kapasitas produksi 60.000 meter kubik per tahun.

Selain itu, terdapat juga perusahaan PT. Masindo Mitra Papua, yang beroperasi dalam bisnis angkutan kapal laut atas nama Maspapua, yang digunakan untuk membawa kayu keluar pulau Papua dan diduga menyelundupkan kayu logging ke industry kayu di Papua dan luar Papua. Mega Masindo juga memiliki PT. Mega Nusantara Indah, perusahaan yang menangani bisnis bidang penyewaan alat berat, logging, truk dan excavator. Alat-alat tersebut digunakan dalam operasional logging perusahaan di kota Sorong.

Bisnis pengusahaan hasil hutan kayu Mr. Wong di Papua sering mendapat complain keluhan masyarakat karena permasalahan hak buruh, kelalaian kewajiban pembayaran kompensasi, manipulasi terhadap masyarakat dan laporan hasil produksi, pengabaian tanggung jawab sosial, perampasan hak masyarakat, praktik kekerasan, intimidasi, pengrusakan hutan hingga kejahatan kehutanan di areal konsesi. Kasus-kasus tersebut hingga kini, belum ada penanganan dan penegakan hokum secara jelas. Kedekatan Mr. Wong dengan pejabat nasional dan pejabat daerah ditengarai melindungi aktifitas bisnis anak perusahaan Mega Masindo Group.

Dari hasil penelusuran dan pengembangan informasi selama proses investigasi dan monitoring di lapangan, terungkap bahwa perusahaan lainnya berada di bawah kontrol Mega Masindo Group adalah PT. Papua Lestari Abadi(15.231 ha) dan PT. Sorong Agro Sawitindo (11.000 ha), keduanya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sorong, Papua Barat. Terdapat pula perusahaan pertambangan, yakni: (1) PT. Bagus Jaya Abadi(SK BupatiNomor 223 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara berlokasi di Salawati, Kab. Sorong, seluas 7.843 hektar); (2) PT. Papua Lestari Abadi (SK BupatiNomor 224 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara di Mayamuk dan Salawati, Kab. Sorong, seluas 9.707 ha); (3) PT. Mega Masindo Bara Abadi (SK Bupati Mimika Nomor 122 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (4) PT. Mega Masindo Bara Sukses(SK Bupati Mimika Nomor 123 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (5) PT. Mega Masindo Coalindo(SK Bupati Mimika Nomor 124 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (6) PT. Kalteng Bara Persada(SK Bupati Mimika Nomor 125 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (7) PT. Mega Masindo Bara Utama (SK Bupati Mimika Nomor 126 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha. Bisnis pertambangan tersebut berada dibawah bendera PT. Mega Masindo Energi.

Kejahatan Kehutanan masih marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal ini berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua.  Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang cangih dan terorganisir melibatkan banyak pihak. Walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH). Dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari Kementrian Lingungan Hidup dan Kehutanan, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang  di Indonesia. Sistem yang cangih dan ketat membuat para mavia kayu menciptkan bisnis ilegal yang cangih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus yang baru pula.

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hukum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) menyatakan bahwa di tanah Papua Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT, Provinsi Papua Barat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Dari fungsi kawasan hutan Papua Barat, Hutan Konservas (HK) 1.721.768 Hutan Lindung 1.66.590 hektar Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar sesuai dokumen RTRWP Provinsi Papua Barat tahun 2008-2029.

Papua Barat merupakan salah satu  Provinsi yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Daya tarik Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persensate luas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam.

Namun demikian, praktek mafia illegal logging dan illegal trading juga semakin marak di wilayah Papua Barat yang tentu berdampak pula pada kerusakan hutan alam dan semakin menipisnya tegakan pohon merbau di hutan alam Papua Barat. Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.***

REKOMENDASI KLASAMAN


Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek perusakan hutan karena alasan pembangunan sektoral terutama pengelolaan kehutanan dan perkebunan sawit tentu sudah berdampak langsung pada perubahan iklim. Salah satu penyumbang perubahan iklim itu adalah deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk lahan perkebunan sawit skala luas dan juga pengelolaan hasil hutan yang didominasi oleh aktivitas pembalakan liar. Praktek illegal logging juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan?

Emma Raw Malaseme, direktur Papua Forest Watch (PFW) menerangkan bahwa pihaknya menggelar berbagai macam rangkaian acara Pendidikan Lingkungan Hidup diantaranya: pelatihan pemantauan dan advokasi kejahatan kehutanan, focus group discussion, kuliah umum di kampus-kampus, hingga kampanye di ruang terbuka di Sorong pada tanggal 11 – 14 Desember 2019 dengan harapan bahwa masyarakat sipil dan pemerintah daerah sadar dan termotivasi untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Pihaknya mengkhawatirkan semakin hilangnya hutan alam di wilayah adat Orang Moi di kabupaten Sorong.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Selain itu, Papua Forest Watch sendiri juga menemukan beberapa aktivitas yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu sudah dilaporkan kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari Kondisi sebagaimana tergambarkan di atas, maka Papua Forest Watch bersama Peserta Kegiatan Pelatihan Pemantauan dan Advokasi Kejahatan Kehutanan di Klasaman tanggal 11 – 14 Desember 2019 bersama Perwakilan Kelembagaan Masyarakat Sipil Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup di Papua Barat merumuskan Point – Point Rekomendasi sebagaimana tersebut di bawah ini:

  1. Pemerintah melalui dinas kehutanan bekerjasama dengan stakeholder lainnya melakukan evaluasi implementasi peraturan yang terkait dengan kehutanan
  2. Pemerintah melalui dinas kehutanan Papua Barat perlu melakukan Evaluasi kinerja HPH terkait perencanaan dan laporan produksi kayu bulat
  3. Pemerintah melalui Dinas Kehutanan Papua Barat Perlu melakukan evaluasi jumlah produksi kayu bulat dengan jumlah dan kapasitas industry pengolahan kayu untuk memastikan telah sesuai dengan Pergub Papua Barat No 2 Tahun 2008
  4. Aparat kemanan baik Gakkum KLHK dan Kepolisian menggali keterlibatan pengusaha-pengusaha Surabaya dan China yang menjadi pemodal atas tindak kejahatan ilegal loging
  5. Aparat keamanan baik Gakkum, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menindak lanjuti kasus ilegal loging hingga sampai pada market internasional dan tidak hanya mengkambing hitamkan masyarakat adat Papua
  6. Tindak kejahatan ilegal loging tidak bisa dilakukan oleh orang perorangan sehingga Gakkum KLHK, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menggali lebih dalam keterlibatan perusahaan pengolah kayu dengan menggunakan UU 18 Tahun 2013 terkait keterlibatan korporasi atas kejahatan ilegal loging.
  7. Memberikan Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat adat untuk dapat mengelolan kayu yang bersumber dari wilayah adat.
  8. Dinas Kehutanan wajib mereview ijin pemanfatan dan tata kelolan kehutanan (Hasil hutan kayu) di Papua Barat.
  9. Dalam hal pemantauan oleh masyarakat Pemantau Independen Kehutanan di Kabupaten Sorong, maka PFW membutuhkan informasi dan data RPBBI serta data prasyarat izin, data prasyarat produksi hingga data hasil produksi dari setiap perusahaan pemegang izin di wilayah kabupaten Sorong dan wilayah Provinsi Papua Barat untuk menjadi acuan pemantauan terhadap Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sesuai mekanisme SVLK.
  10. Review Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat Tahun 2018/2019:
  • Tanggal 7 Desember 2018; pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya
  • Tanggal 11 Februai 2019; Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat
  • Tanggal 19 Juni 2019; empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi
  • Tanggal 4 Juli 2019; Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong
  • Tanggal 1 November 2019; 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong
  1. Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPM/PTSP) dapat memberikan informasi terkait Daftar Izin Perusahaan Pengelola Hasil Hutan Kayu IUPHHK-HA, IPK, dan Izin Perusahaan Industri Kayu Primer IUI-PHHK dan Izin Industri Perusahaan Pengelolaan Kayu Lanjutan di Kabupaten Sorong dan di Provinsi Papua Barat. Karena sebagai Pemantau Independen Kehutanan, kami masih mengalami kesulitan untuk mengakses jumlah Izin Terdaftar, Nama dan Alamat Perusahaan, Jenis dan Kapasitas Produksi dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari Prasyarat SVLK dan PHPL di tingkat daerah.
  2. GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi Illegal Logging Papua Forest Wach :
  • Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati, PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.
  • Tgl 3 November 2019; Papua Forest Watch Melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri
  • Tanggal 4 November 2019; Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong. Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

Demikian Catatan dan Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019. Selain perwakilan komunitas masyarakat adat dan komunitas-komunitas pemantau independen kehutanan, perwakilan kelembagaan pemantau independen dari kalangan LSM yang ikut menandatangani Rekomendasi Klasaman ini adalah Papua Forest Watch, JASOIL Tanah Papua, SekNas JPIK, dan Greenpeace Indonesia kantor Papua Barat*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

SVLK: Sebuah Cara Peranserta Masyarakat Dalam Penyelamatan Hutan


Pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Oleh Pietsau Amafnini

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hokum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. DalamUndang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang samadan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Selanjutnya diatur secara rinci dan tegas dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan  Produksi  Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak; Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Nomor: P.5/VI-BPPHH/2014, Tanggal: 14 Juli 2014 Tentang: Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

Ketegasan mengenai Tatakelola Kehutanan dan Pengawasannya juga semakin diperketat dengan adanya Permen KLHK p.30/2016 tentang Pelaksanaan SVLK dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari; Perdirjen p.14/2016 tentang Standard Pedoman Penilaian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Namun, kenyataannya masih terjadi penemuan kasus illegal logging dan illegal trading di Indonesia, termasuk di wilayah kabupaten Sorong, Papua Barat. Hak ini menurut hemat kami, sebagai masyarakat sipil Pemantau Independen Kehutanan, kelemahannya ada pada sistem pengawasan yang belum atau tidak sepenuhnya melibatkan peranserta masyarakat sebagai pioneer utama pengawasan itu sendiri sesuai mandate UU Kehutanan dan Aturan Terkait SVLK dan PHPL.

Praktek pembalakan liar juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan? Pasalnya sudah banyak kasus yang ditemukan dan tindak tegas juga oleh GAKKUM/KLHK tetapi kenyataan bahwa usaha kayu illegal itu pun masih marak di Kabupaten Sorong. Karena itu pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Emma Raw Malaseme mengharapkan kinerja extra dari GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi dan Monitoring kegiatan Illegal Logging oleh Papua Forest Watch (PFW). Emma, direktur Papua Forest menerangkan bahwa pihaknya meminta agar GAKKUM dapat melakukan review terhadap kemungkinan adanya Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat, terutama di wilayah Sorong Raya.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Tidak hanya itu, Gunawan, Juru Kampanye Papua Forest Watch juga menjelaskan bahwa pihak penegak hokum kehutanan seperti GAKKUM semestinya tanggap terhadap laporan masyarakat. “Kami menemukan beberapa kasus yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu kami sudah laporkan juga kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang”. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan  di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

“Kami di Papua Forest Watch juga menjalankan mandate UU Kehutanan dan juga Permen-KLHK tentang SVLK dimana mengatur tentang peranserta masyarakat dalam pengawasan hutan, apalagi dalam aturan SVLK yang jelas-jelas mengakomodir masyarakat sebagai Pemantau Independen. Kami juga bermitra dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Nasional dan juga JASOIL Tanah Papua di tingkat daerah, yang mana peran masyarakat sipil ini sangat membantu dan mendukung Pengelolaan Hutan Produksi lestari. Aturan sudah menjamin semua itu, bahkan SVLK kami yakin dibuat untuk menjamin bisnis yang adil dimana bila dilaksanakan dengan baik, maka kepatuhan itu ada dan perilaku illegal logging dan peredaran kayu illegal bisa diberantas, atau setidaknya berkurang. Sayangnya, defacto apa yang kita temukan sebagai masalah di lapangan ternyata masih sulit juga ditanggapi oleh GAKKUM sebagai penegak hokum khusus untuk kasus illegal logging atau kasus lingkungan hidup. Kalau seperti ini, maka aktivitas illegal itu akan terus terjadi dan berakibat pada hancurnya hutan, tetapi juga negara dan masyarakat adat dirugikan oleh cukong-cukong kayu illegal”, ungkap Gunawan dengan nada kesal usai acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup bagi masyarakat umum di Klasaman, Sorong pada 13/12/2019. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

PAPUA FOREST WATCH: Paru-paru Dunia Itu Sudah Bocor Besar Di Sorong


HUTAN TERSISA 8,7 juta hektar di Papua Barat semestinya sudah harus terlindung untuk masa depan anak cucu dan juga untuk menjamin kesejukan bumi sebagai paru-paru dunia. Sayangnya, paru-paru itu sudah bocor besar di Kabupaten Sorong.

Oleh Pietsau Amafnini

Slogan kampanye yang sudah lama enak dalam ingatan kita adalah “Hutan Papua sebagai Paru-paru Dunia”. Siapa yang tidak bangga jika julukan ini kita di Tanah Papua menyandangnya sebagai harapan masyarakat dunia untuk keselamatan dan keseimbangan iklim di bumi ini. Hingga pada akhirnya matematika perhitungan stock carbon dari hutan alam Papua juga menjadi buah bibir dari kaum ilmuwan sampe masyarakat luas tentang soal carbon trade dan kompensasinya, hingga mekanisme penyaluran manfaat ekonomi dari pemanfaatan stock carbon sebagai sebuah komoditi jualan daerah. Bahkan sebuah kelembagaan donasi asing sempat membuat komitmen bersama Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri saat itu bahwa siap membeli (membayar) stock carbon Papua Barat dengan hitungan US Dollar.

Para ahli lingkungan dan kehutanan juga mulai menghitung stock carbon berdasarkan tegakan pohon hingga luasan kawasan hutan dan kemudian dengan kemampuan design grafisnya, begitu mudah menunjukkan dalam bacaan sederhana berupa peta tematik Stock Carbon di Papua dan Papua Barat. Selanjutnya isu REDD plus pun berhasil menggiring Carbon Trade hingga ikut terangkat pula slogan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi, dan kemudian disusul Kabupaten Tambrauw yang sebagian besar wilayahnya adalah Kawasan Hutan Konservasi. Namun, kenyataan menjadi lain.

Semua akhirnya masih perlu diperjuangkan, termasuk meninjau kembali semua kebijakan terkait Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kebijakan terkait pengmbangan investasi skala besar maupun kecil, hingga kebijakan RTRWP Papua Barat dan RTRWK setiap Kabupaten di provinsi ini. Tak semudah apa yang dibayangkan dalam angan-angan memperoleh kompensasi atas stock carbon dari hutan alam di Tanah Papua, terutama di Papua Barat seperti ‘gula-gula’ kepedulian dunia internasional yang sempat mengenakkan gendang telinga.

“Tidak perlu merusak hutan, tidak perlu menebang pohon. Bila hutan dijaga, atau pohon dijaga, maka akan mendapatkan uang kompensasi dari masyarakat internasional di negara-negara industry yang kaya-raya. Hmmm….katanya begitu. Selanjutnya, semua sebenarnya tergantung pada komitmen dan kemauan kita untuk mewujudkan impian itu. Jangan cuman slogan politik semata untuk mengenakkan telinga masyarakat dunia.

Sejauh mana upaya kita untuk menjalankan komitmen kita agar tetap menjaga hutan tersisa di dunia ini supaya tetap utuh dan lestari? Masyarakat internasional siapa yang akan membayar kompensasi itu? Sedangkan mekanismenya saat itu sudah banyak didiskusikan hingga akhirnya dirumuskan melalui terbentuknya Badan Pengelola REDD (BP-REDD) pada rezim Presiden Susilo Bambang Yughoyono (SBY). Dalam rangka menunjang carbon trade berbagai upaya juga dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil dan masyarakat adat. Bahkan kebijakan pemerintah SBY saat itu adalah “1 Miliar Pohon”. Ternyata semua berhasil saja di aksi-aksi penanaman seremonial di halaman-halaman kantor pemerintah pada saat memperingati Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup.

Hal yang lebih parah lagi adalah akhir-akhir masa jabatan SBY hingga masa periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terdapat begitu banyak izin baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi para pengembang investasi pada sector perkebunan sawit, sector kehutanan dan sector pertambangan ekstraktif. Belum lagi aktivitas perusahan hutan alam untuk perkebunan sawit yang melakukan land clearing di lahan-lahan HGU baru. Ditambah lagi aktivitas illegal logging yang semakin marak dilakukan oleh para pemilik modal besar dengan mendayagunakan masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menebang dan merusak hutan adatnya sendiri melalui kemudahan izin IPK dan IPHHK.

Akibatnya, “Paru-paru dunia” itu pun bocor di mana-mana, bahkan berimbas pula pada perubahan iklim yang semakin extrim yang kita nikmati saat ini. Hmmm…. Carbon belum laku di pasaran, sementara sudah panen hasil dari pemanasan global itu. Kebocoran itu saat ini menurut direktur LSM- Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme justru berada di wilayah Kabupaten Sorong.

“Luas hutan di Provinsi Papua Barat dari hari ke hari terus mengalami penyusutan sebagian besar karena alih fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan, pembangunan infrastruktur, pemukiman, kompleks pemerintahan maupun peruntukkan lainnya. Kegiatan penebangan hutan pun terus dilancarkan oleh para pemburu kayu merbau baik yang legal maupun yang illegal”, tegas Gunawan, coordinator Advokasi dan Kampanye Papua Forest Watch di Sorong, pada event Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Sorong Kota (13/12/19).

Semenetara itu kekhawatiran terhadap kerusakan hutan pun justru datang dari seorang pemimpin utama di Papua Barat. Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan menyatakan keperihatinannya bahwa saat ini luas hutan yang masih terjaga kelestariannya di Papua Barat hanya tersisa 8,7 juta hektar dari sebelumnya mencapai hampir sepuluh juta hektar di awal pemekaran provinsi. Berkaitan dengan itu, Gubernur Mandacan mengajak semua pihak menjaga kawasan hutan yang masih tersisa itu agar tetap lestari. Sebab hutan selain menjadi paru-paru dunia juga menyimpan sumber daya alam yang bermanfaat untuk keberlanjutan hidup manusia.

Pada sebuah kesempatan di kabupaten Teluk Wondama, Gubernur Provinsi Papua Barat, Dominggus Mandacan menghimbau masyarakat Se-Papua Barat agar menjaga kelestarian hutan yang tersisa di setiap daerah kabupaten. “……. saya menghimbau kita semua, mari kita manfaatkan hutan secara baik dan bijaksana serta menjaga kelestariannya agar manfaatnya berkelanjutan dan tetap lestari. Kawasan hutan yang sudah kritis kita tanam kembali dan kita pelihara sehingga dapat meningkatkan kualitas hutan dan fungsinya sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi,“ pesan Dominggus, sebagaimana dilansir media online Kabartimur.com (sumber: https://kabartimur.com/2019/11/15/luas-hutan-tersisa-87-juta-gubernur-ingatkan-komitmen-pembangunan-berkelanjutan-di-papua-barat/)

Sedangkan menurut Charles Tawaru, Koordinator Greenpeace Papua di Sorong, ia justru mengharapkan semua masyarakat sipil berperanserta dalam memantau pengelolaan hutan terutama oleh perusahaan-perusahaan Non-HPH karena merekalah penyebab semakin tingginya deforestasi hutan di Papua Barat. “Ini bukan saja tugasnya pemerintah, tetapi juga tugasnya kita semua aktivis lingkungan. Dengan melihat kondisi kerusakan hutan yang semakin parah di atas tanah ini (Papua), maka masyarakat sipil termasuk komunitas masyarakat adat yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan hutan semestinya dimotivasi untuk ikut ambil peransertanya dalam pengawasan pengelolaan hutan produksi lestari. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum saja tidak cukup”, ungkap Charles.

Hal ini menurut Tawaru, dimaksudkan supaya memastikan bahwa pengusahaan hasil hutan kayu itu memang penting, tetapi tidak boleh dengan cara-cara illegal dan kecenderungan perusahan hutan. Karena kita semua mengharapkan agar hutan-hutan potensial yang masih tersisa di Tanah Papua, terutama di Kabupaten Sorong diharapkan untuk tetap dijaga dan dijamin keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan anak-cucu dan masa depan planet bumi. “….. bukankah Hutan Papua dijuluki sebagai Paru-paru Dunia, dan saya kira Papua Forest Watch adalah salah satu organisasi lingkungan hidup di kabupaten Sorong yang mempunyai tanggung jawab itu….”. Demikian kata Charles Tawaru pada saat tampil sebagai pembawa materi dalam Dialog Masyarakat dalam acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup yang digelar Papua Forest Watch di kampung Noken Klasaman, Sorong (13/12/19). *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

BIARKAN HUTAN PAPUA YANG TERSISA TETAP UTUH UNTUK MASA DEPAN BUMI


“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang canggih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula di kabupaten Sorong. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula

Oleh Pietsau Amafnini

Pada event kampanye dan pendidikan lingkungan hidup yang digelar oleh Papua Forest Watch di Kampung Noken, Kota Sorong, pesan penting dari cuplikan keseluruhan prose situ adalah pernyataan masyarakat peserta kegiatan: “Kami menyadari bahwa pengelolaan sumberdaya hutan dan pengaturannya adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara Negara, termasuk memberikan kuasa pengelolaan dengan menerbitkan izin pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pihak pengembang investasi baik swasta dalam negeri maupun swasta asing, dan juga masyarakat local sendiri. Namun kami merasa bahwa pengawasan tatakelola kehutanan masih sangat jauh dari yang diharapkan untuk menjamin hutan itu tetap lestari sebagai salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam sector kehutanan dan lingkungan hidup”.

“Kurangnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam hal pembinaan pelaksanaan Pengelolaan  Hutan Produksi Lestari (PHPL) berakibat pada semakin luasnya tingkat kerusakan hutan dan juga maraknya perilaku illegal logging di Kabupaten Sorong”. Demikian kata direktur Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme pada Kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman Sorong, tanggal 13 Desember 2019.

Direktur Papua Forest Watch (PFW), Emma Raw Malaseme juga menerangkan bahwa Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Dengan luasan kawasan hutan alam seperti ini justru cukup besar juga menyumbang oksigen dari emisi karbion dari hutan alam itu untuk masyarakat dunia dan juga menjaga suhu planet bumi. Namun, luasan kawasan hutan ini juga menjadi daya tarik tersendiri pada dunia investasi. Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persentase terluas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam. Sekarang ini, di kabupaten Sorong kawasan hutan alam itu sudah menipis, mungkin saja hutan lindung juga sudah mulai dirambah oleh kegiatan illegal logging. Sementara kawasan hutan produksi, rata-rata kerusakan hutan itu sudah merata pula. Karena aktifitas pembalakan baik yang legal maupun yang illegal terus dilancarkan. Hal ini juga terjadi karena kayu jenis merbau masih menjadi primadonna komoditi unggulan hasil hutan kayu di Papua Barat.

Terkait pengelolaan hutan di Tanah Papua, Emma menceritakan bahwa Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) pernah merilis bahwa di Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT. Sedangkan di Provinsi Papua Barat terdapat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Mengutip RTRWP Papua Barat 2008-2029, Emma menjelaskan bahwa dari untuk fungsi kawasan hutan di Papua Barat, Hutan Konservasi (HK) 1.721.768, Hutan Lindung 1.66.590 hektar, Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar, Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar, dan  Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar.

Isak Chlumbless, Koordinator Risset Papua Forest Watch juga menyatakan bahwa dari analisis fakta lapangan terkait kawasan APL, peruntukannya lebih banyak untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Di kabupaten Sorong ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang memiliki izin HGU dan sudah beroperasi. APL memberikan peluang kepada munculnya izin-izin HGU perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya dari lokasi HGU, banyak kayu merbau bisa tumbang dan hilang dari lokasi itu dan ditemukan sudah dalam bentuk kayu eksport. Ada yang legal karena punya IPK dan Perjanjian Suplay Bahan Baku industry kayu dengan pihak perusahaan industry kayu. Tetapi, ada juga yang tidak mempunyai surat izin. Kebanyakan menggunakan modus Kayu Olahan Masyarakat sendiri.

Staff Advokasi dan Kampanye PFW, Jefry Duwit juga menjelaskan bahwa fakta pengelolaan hutan produksi lestari itu, terbukti sarat dengan perilaku Kejahatan Kehutanan, dimana terdapat sejumlah kasus illegal logging dan illegal trading yang semakin mengkhawatirkan di Papua Barat, termasuk di wilayah kabupaten Sorong. Kejahatan Kehutanan masih dan semakin marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim GAKKUM- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan di Pelabuhan Surabaya dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal yang diketahui berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua. Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang canggih dan terorganisir melibatkan banyak pihak, termasuk oknum-oknum yang diduga merupakan apparatus Negara baik sipil, militer maupun polisi.

Jefry menegaskan bahwa semua peraturan perundangan terkait pengelolaan kehutanan dan pengawasannya yang ada saat ini memang semakin memperketat dan menjamin tatakelola kehutanan yang baik. Namun, walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan dan taat aturan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH), akan tetapi “mafia kayu illegal” pun semakin menemukan modus-modus operandi yang baru dalam menjalankan usahanya.

“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang cangih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula”, kata Jefry.

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di kabupaten Sorong menurut Emma Malaseme, direktur PFW masih sangat tidak mendukung slogan kampanye besar dari Pemerintah Papua Barat tentang Provinsi Konservasi. Karena pengawasan dan pembinaan bahkan penanganan masalah lingkungan hidup terkait tindakan kejahatan kehutanan masih sangat lemah. Hutan semakin rusak karena kegiatan pembalakan liar. Papua Forest Watch dalam monitoring dan investigasinya sepanjang tahun 2018-2019 justru menemukan banyak fakta kegiatan illegal logging. Sayangnya penindakan sesuai prosedur hokum selalu saja masyarakat kecil yang hanya bekerja di situ karena dia mencari makan. Sementara cukong-cukong besar yang menjadi mafia sesungguhnya itu justru tidak diproses. Tidak mungkin tanpa izin, atau pemerintah tidak tahu kalau ada orang masuk tebang kayu dan memobilisasi kayu secara terang-terangan menggunakan kendaraan besar  membawa kayu lewat jalan umum atau mengeksportnya ke luar dari pulau Papua.

Aktivitas illegal logging yang semakin marak di kabupaten Sorong ini justru menambah semakin berkurangnya hutan alam. Kalau Hutan Papua dikampanyekan sebagai “Paru-paru dunia”, maka kebocoran paru-paru itu ada di Sorong, saat ini. Menurut saya, hutan-hutan alam yang tersisa saat ini, entah sebagai kawasan Hutan Lindung atau hutan adat, semestinya biar tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pengawasan ketat dan penindakan yang tegas kepada cukong-cukong pelaku pembalakan dan perdagangan kayu illegal. Kalau tidak ada langkah-langkah strategis untuk pemberantasan secara tuntas terhadap mafia kejahatan kehutanan di Sorong, maka cepat atau lambat hutan alam yang tersisa di kabupaten Sorong juga akan habis. Demikian catatan penting dari Emma Malaseme, direktur PFW dalam rangkaian kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Kota Sorong. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua

FPIC dan Strategi Negosiasi Bagi Masyarakat Adat


Anda mengalami kesulitan untuk bernegosiasi? Berikut ini adalah Sebuah Panduan Penguatan Kapasitas Masyarakat Adat melalui pendampingan dan pendidikan penyadaran kritis sebagai metode perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya dan perlindungan hak -hak dasarnya atas tanah dan hutan sesuai hukum yang berlaku di ranah internasional, nasional maupun lokal.

Oleh Pietsau Amafnini

Prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent)

FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) merupakan prinsip-prinsip keadilan terkait hak-hak masyarakat adat dalam pembangunan  dimana  mereka  sebagai  komunitas  adat  perlu  dihormati  dan  dihargai  untuk  menyatakan sikapnya secara bebas tanpa tekanan dalam menghadapi pembangunan sektor apapun. Setiap kata dari singkatan FPIC dapat dimaknai sebagaimana kami uraikan di bawah ini.

Free (bebas): kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan membuat keputusan, tanpa dipengaruhi pihak lain, tanpa kekerasan, pemaksaan, intimidasi, rekayasa, manipulasi dan sogokan.

Prior (didahulukan): Hak masyarakat untuk berunding dan mengambil keputusan terhadap proyek yang akan memanfaatkan tanah, sebelum pemerintah dan project developer melaksanakan rencana mereka. Masyarakat diberikan kesempatan dan ‘waktu’ untuk    melakukan konsultasi, mencari informasi dan mencapai kesepakatan.

Informed (diinformasikan): hak masyarakat untuk mendapatkan dan mengakses informasi yang lengkap membaca dan mempelajari, serta menilai informasi. Misalnya: Informasi rencana disain proyek (tujuan, hasil, tahapan, cakupan, prosedur, aktifitas, persiapan, dampak kinerja perusahaan dan sebagainya).

Consent (persetujuan), hak masyarakat adat untuk membuat keputusan dan melakukan perundingan dengan pihak-pihak berkepentingan secara tulus dan menghormati prosedur masyarakat adat setempat. Prosesnya terbuka, adil dan partisipatif, dapat dipertanggungjawabkan, tidak diskriminatif, tidak pro pada kepentingan pemimpin tertentu, melainkan kepentingan masyarakat. Prosesnya bertahap dan berulang-ulang, dapat dianulir kembali persetujuan jika ada pelanggaran.

Prinsip FPIC sesuai kesepakatan negara-negara di tingkat PBB menjamin bahwa: Masyarakat adat mempunyai hak untuk membuat keputusan/persetujuan (consent) yang dilakukan secara bebas (free), tanpa paksaan dan berdasarkan informasi (informed) yang lengkap sejak awal (prior) sebelum proyek pembangunan berlangsung dan memanfaatkan sumberdaya alam dan tanah di wilayah mereka. Maknanya, masyarakat adat mempunyai hak untuk mengatakan “YA”- menerima atau “Tidak” dan – menolak terhadap rencana proyek yang akan berlangsung di wilayah adat mereka. FPIC merupakan alat negosiasi yang adil untuk menyelesaikan bahkan mencegah konflik sejak awal. Masyarakat yang kritis, tidak mengandalkan “KAYU PALANG”, tetapi NEGOSIASI yang Adil.

FPIC DAN PENTINGNYA REFORMASI TENURIAL KEHUTANAN

Mungkin saja banyak masalah yang sudah, sedang dan akan terus dihadapi oleh komunitas masyarakat adat sebagai efek dari kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat, juga efek dari kebijakan pembangunan nasional maupun daerah. Tetapi dalam tulisan ini, kami membatasi diri hanya dan hanya pada masalah terkait Tenurial Kehutanan. Adakah alasannya? Kami hanya bisa bilang, ini masalah sepanjang masa, yang seakan tak ‘kan berkesudahan di negeri ini. Untuk itulah perlu direformasi. Ada begitu banyak istilah pula, tetapi saya mengajak anda untuk menggunakan istilah Reformasi Tenurial Kehutanan. Cukup itu dulu, karena FPIC bisa menyentuh masalah apa saja baik di darat, di laut, maupun di hutan dan udara. Walaupun ada yang bilang, masalah di laut jangan dibawa ke darat. Tapi FPIC adalah satu kunci untuk semua pintu yang bermasalah. Yang sudah rusak, marilah kita betulkan; dan yang masih baik mari kita benahi menuju sempurna dengan FPIC, FPIC dan FPIC.

Mengapa Perlu melakukan Reformasi Tenurial Kehutanan di Indonesia?

  1. Beban  persoalan   tenurial   yang   membelenggu   kehutanan   Indonesia   perlu  diakhiri,   karena ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan menghambat pencapaian efektifitas dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan pemberian izin yang tidak terkoordinasi, penafian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal memicu adanya konflik-konflik tenurial di kawasan hutan.
  2. Kita perlu  arah  perubahan kebijakan penguasaan kawasan hutan  untuk  mencapai kepastian dan keadilan tenurial. Kepastian tenurial terwujud dengan sistem hukum dan kebijakan yang jelas untuk memberikan hak yang kuat dan terlindungi bagi seluruh pengguna hutan. Keadilan tenurial memastikan  meluasnya  akses  kelompok  masyarakat,  terutama  yang  berada  pada  lapis  das ar kemiskinan, pada kawasan hutan, tidak tereksklusi dalam proses pengambilan kebijakan dan memperoleh manfaat yang nyata dari aksesnya.
  3. Reformasi tenurial hutan adalah mandat hukum, dimulai dari UUD’45, Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam, UU No.5/1960 tentang Agraria dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Bagaimana melakukan Reformasi Tenurial? Melalui perbaikan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan:

  1. Merumuskan kembali pengertian definisi tentang kawasan hutan, hutan negara dan hutan adat yang tepat.
  2. Mendorong perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan, melalui revisi peraturan-perundangan yang terkait,  partisipatif,  tata  batas  hak  dan  alokasi  hutan  untuk  rakyat sampai perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa.
  3. Membangun sistem pemetaan yang akuntabel, terbuka dan terintegrasi melalui sistem partisipatif yang didukung dengan dasar hukum yang kuat.
  4. Menyelesaikan tumpang  tindih  perizinan  di  kawasan  hutan  dan  melakukan  penegakan  hukum terhadap  pemberian izin-izin  yang  menyimpang dari  fungsi  kawasan hutan  melalui  kajian-kajian sosial dan kajian tata kelola fungsi lahan sektoral kehutanan, perkebunan, pertambangan, dll.
  5. Menyelesaikan status   hukum   desa-desa  dalam   kawasan  hutan   melalui   pemetaan  partisipatif, pemetaan sosial dan kepastian hukum bagi masyarakat adat yang tetap berada di dalam kawasan hutan dan kepastian tenurial bagi mereka sesuai sejarah/silsilahnya sebagai pengakuan atas hak – haknya atas tanah dan hutan.
  6. Menetapkan hak pengelolaan sebagai alas hak yang sah bagi Kemenhut untuk menguasai kawasan hutan negara (lihat psl.2 ayat 4 UUPA dan PP. No.24/2007 tentang pendaftaran tanah dan membatasi kewenangannya bahwa hanya boleh mengelola kawasan hutan negara.

Bagaimana melakukan penyelesaian konflik kehutanan dalam rangka Reformasi Tenurial kehutanan?

  1. Membangun strategi terpadu untuk penyelesaian konflik tenurial kehutanan
  2. Mempercepat proses penyelesaian konflik dan mencegah terjadinya konflik baru.
  3. Pelembagaan penyelesaian konflik dengan memperkuat lembaga yang sudah ada dan sedang berjalan dengan fungsinya untuk mengidentifikasi konflik, menjalankan mediasi atau memfasilitasi perundingan dalam rangka penyelesaian konflik.

Apa yang seharusnya dilakukan terkait hak masyarakat adat/lokal dalam rangka reformasi tenurial? Perluasan wilayah kelola rakyat (masyarakat adat/lokal) dan peningkatan kesejahteraannya:

  1. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, melalui:
  • Identifikasi/inventarisasi dan pemetaan wilayah adat berdasarkan marga/suku.
  • Pemetaan sosial masyarakat adat (kampung, distrik, kabupaten, provinsi)
  • Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan segala yang terkandung di dalam suatu kawasan tertentu oleh negara sebagai milik marga/suku.
  • Penguatan ekonomi dan sosial masyarakat adat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
  • Pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat suatu marga//suku (komunitas) melalui peraturan-perundangan (UU, PP, Perda).
  • Pembentukan UU untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
  1. Percepatan dan perluasan wilayah kelola masyarakat lokal di sekitar hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat melalui kebijakan dan fasilitasi kegiatan masyarakat adat.
  1. Pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi melalui HKm-Konservasi atau pengelolaan jasa lingkungan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat adat.
  2. Pemberdayaan masyarakat melalui sistem/skema kemitraan dengan: Regulasi yang adil; Kembangkan afirmatif action;  Lembaga  arbitrase  sebagai  pihak  ketiga  penyelesaian  sengketa;  Kelembagaan monitoring dan evaluasi.
  1. Peningkatan kesejahteraan  masyarakat,  melalui  akses  masyarakat  pada  modal,  pasar,  produksi, pendampingan sosial–ekonomi, dukungan pembangunan infrastruktur, akses informasi, kemampuan/keahlian dan keberlanjutan produksi hasil hutan.

FPIC  dan Pemetaan Wilayah Adat Sebagai Alat Penyelesaian Sengketa

  1. Pemetaan wilayah komunitas adat (marga/suku) telah lama dikenal dengan istilah pemetaan partisipatif yang sudah secara luas diterapkan di wilayah masyarakat adat di Indonesia sejak awal 1990-an. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses-proses pemetaan partisipatif:
  2. Masyarakat adat  suku/marga  perlu  membuat  kesepakatan  mengenai  wilayah/kawasan  dengan mengacu pada batas-batas adat sesuai silsilah/history kepemilikannya.
  3. Perlu dilakukan identifikasi batas-batas wilayah  melalui  study/kajian sosial  untuk  mengenal  dan memahami aspek historis kepemilikan lahan/kawasan.
  4. Kesadaran kritis akan pentingnya suatu peta hak ulayat perlu dibangun di pihak masyarakat.
  5. Memastikan bahwa peta-peta tersebut dibuat dengan kesadaran dan kesepakatan penuh dan dengan pengawasan dari anggota masyarakat adat yang terlibat dalam prosesnya.
  6. Memastikan bahwa masyarakat adat memahami tujuan-tujuan pembuatan peta partisipatif.
  7. Melibatkan anggota masyarakat adat  setempat  pada  semua  tahapan  pemetaan  dari  memutuskan informasi   apa   yang   relevan,   mengumpulkan   informasi   di   lapangan,   sampai   mencatat   dan menunjukkan informasi dalam peta-peta dasar.
  8. Sedapat mungkin mencatat pemanfaatan lahan dan batas-batasnya, memasukkan nama-nama lokasi (sesuai  bahasa  lokal)  kategori  pemanfaatan  lahan  dan  istilah-istilah  untuk  jenis-jenis  tanaman, semuanya sesuai penamaan oleh masyarakat adat ke dalam peta-peta tersebut.
  9. Memastikan bahwa semua generasi terlibat dalam setiap prosesnya, orang-orang tua (laki-laki dan perempuan), seringkali yang  paling  mengetahui wilayah-wilayah sejarah,  nilai-nilai budaya,  serta sejarah kepemilikan wilayah adat tersebut.
  10. Melibatkan laki-laki  dan  perempuan  dalam  proses  pemetaan  karena  mereka  sering  cenderung memanfaatkan  lahan  dan  sumberdaya  hutan  secara  berbeda-beda,  keduanya  benar  dan  perlu perlindungan.
  11. Pada daerah yang didiami oleh dua (2) atau lebih kelompok marga/suku yang berbeda, perlu melibatkan semua kelompok  suku/marga  yang  berbeda  dan  berbatasan  tersebut  dalam  proses pemetaan. Semuanya punya hak yang sama untuk terlibat, karena mereka yang tahu batas -batas dan harus disepakati lagi. Hal ini untuk menegaskan hak, hanya satu kelompok yang cenderung mengarah pada konflik dan memperlemah pengakuan semua kelompok tersebut.
  12. Melibatkan komunitas marga/suku tetangga dalam pemetaan batas-batas yang berada pada masing- masing wilayah mereka. Jika batas-batas tersebut di kemudian hari disengketakan oleh suku/komunitas tetangga, maka klaim hak atas wilayah tersebut menjadi lemah bagi semua kelompok suku tersebut.
  13. Pastikan bahwa      peta-peta  diperiksa  dengan  teliti  oleh  anggota  masyarakat,  direvisi  jika  perlu, sebelum digunakan dalam negosiasi-negosiasi dengan pihak ketiga (lihat tujuan peta). Jika itu untuk kepentingan perlindungan hak adat, maka sebaiknya tidak untuk diperjual-belikan.
  14. Jika hukum nasional memungkinkan, tetapkan hak kepemilikan intelektual atas peta dan database yang terekam sebagai kepemilikan masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.
  15. Buat aturan untuk melindungi pemanfaatan informasi, sehingga informasi tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan untuk kepentingan orang lain.
  16. Membuat kesepakatan bersama dalam  menunjuk  siapa  yang  diberikan kuasa  kepercaya an  untuk menyimpan  peta  dan  informasi  yang  sudah  jadi  sebagai  asetmilik  bersama  untuk  menghindari penyalahgunaan wewenang terhadap kepemilikan peta dan fungsinya.
  17. Sebagai tindakan pencegahan dan penyelesaian masalah yang melibatkan masyarakat adat sebagai komunitas dengan pihak lain misalnya perusahaan dan pemerintah, maka yang perlu dilakukan adalah menjalankan prinsip-prinsip  FPIC;   Musyawarah adat/kampung; pemetaan hak adat; menulis/membuat aturan  kampung/desa;  pertemuan  kampung;  membuat  rencana  pembangunan kampung/desa; pertemuan antara kampung, antar marga, antar suku hingga pertemuan pihak -pihak terkait yang berkepentingan (komunitas adat, perusahaan, pemerintah) dengan difasilitasi oleh pihak penengah/arbitrase yang disepakati bersama oleh semua pihak bersengketa.

FPIC: Antara Hak Masyarakat Adat dan Kewajiban Pengembang Investasi

Sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC bahwa masyarakat adat berhak memperoleh informasi yang lengkap sejak awal dan mengetujui atau menolak secara bebas tanpa tekanan, maka tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang harus dibuat sebagai kewajiban oleh perusahaan pengembang proyek (investor) dan karenanya perlu diketahui oleh komunitas masyarakat adat setempat sebagai hak sesuai FPIC adalah:

  1. SCOPING: perusahaan  harus  periksa  siapa  saja  kelompok  masyarakat  di  dalam  kawasan/lokasi sasaran proyek.
  2. Lembaga apa saja yang mempunyai peran penting dalam pengurusan kampung dan komunitas adat setempat.
  3. Konservasi/perlindungan terhadap potensi nilai konservasi tinggi misalnya tempat-tempat pemali dan hewan endemik yang terancam hilang dan punah; dan karenanya pemetaan/tata ruang kawasan menjadi sangat penting untuk ditunjukkan dan diketahui oleh masyarakat. Pemetaan tata ruang untuk dampak sosial dan lingkungan perlu mencakup: peta wilayah adat, luasan kawasan adat, kepemilikan marga/suku/komunitas, terutama memperhitungkan alokasi kawasan untuk menjamin keberlangsungan hidup komunitas adat.
  4. Masyarakat  dan   perusahaan   sama-sama   menyediakan   informasi   yang   lengkap,   tentang:   a) kemungkinan adanya tumpang tindih hak atas lahan/kawasan (misalnya: perusahaan/tambang, kayu; pemerintah/CA, HL; komunitas adat/tempat pemali, hutan sagu, kebun). b) masyarakat adat harus menunjukkan bahwa komunitas mereka adalah pemegang hak  atas tanah dan kawasan hutan. c) perusahaan harus  menyediakan informasi  lengkap  mengenai  DAMPAK  (positif,  negatif),  manfaat, resiko, keuangan, perizinan, mitra kerjanya dengan siapa saja.
  5. Masyarakat adat  harus  bangun  komitmen  untuk  tegas  dengan  FPIC  dimana  mengedepankan Musyawarah Adat/Kampung.
  6. Masyarakat adat harus membentuk TIM BERUNDING yang beranggotakan Laki-laki dan perempuan, tokoh adat, pemerintah desa).  Tim berunding ini harus bekerja sesuai masa waktu usia kontrak perusahaan, misalnya kalau perusahaan tersebut kontrak kerjanya 30 tahun, maka masa kerja tim berunding ini harus berusia 30 tahun pula. Tim Berunding ini dapat memainkan perannya untuk bertanya: Apa manfaatnya untuk masyarakat; bagaimana pembagian keuntungan; apa bentuk penyaluran dari perusahaan dan pemerintah; bagaimana menghadapi dampak; cara mendapatkan hak atas keuntungan; bagaimana kalau perusahan tiba-tiba bangkrut, dll. Semua hasil dari proses pertemuan antara Tim Berunding dengan pihak perusahaan maupun pemerintah wajib disampaikan dalam forum pertemuan/musyawarah adat/kampung.
  7. Tim Berunding tidak boleh membuat agenda dan permintaan-permintaan sendiri di luar ketentuan yang disetujui bersama dalam musyawarah adat/kampung. Untuk itu dalam menghadapi perusahaan (ketika harus bernegosiasi secara adil) maka komunitas dalam musyawarah itu harus membuat Target TUNTUTAN Tertinggi, dan ketika ditanggapi dengan melemah, Tim Berunding tidak dapat mengambil keputusan sendiri  dalam  proses  negosiasi  itu,  tetapi dimusyawarahkan kembali  dengan  anggota komunitas. Tim harus menyiapkan diri secara fisik dan mental. Tim Berunding selalu harus melaporkan kembali setiap hasil perundingan kepada warga/anggota komunitas dalam musyawarah. Setiap hasil tahapan bisa saja berakibat fatal/macet, maka KEMBALI ke TUNTUTAN AWAL dimana Musyawarah menentukan TARGET TERTINGGI. Kesepakatan Akhir antara Tim Berunding dengan perusahaan setelah menempuh proses sesuai prinsip FPIC merupakan SOLUSI dan karenanya Kesepakatan tersebut MENGIKAT kedua belah pihak. Biasanya ketika belum ada solusi, maka muncu l ancaman, intimidasi yang menyebabkan masyarakat menjadi pecah-belah, pro – kontra. Kesepakatan pun biasanya berupa UANG dan Pembangunan Fisik. Jangan menerima kompensasi berupa “iming – iming/janji-janji” kesejahteraan berjangka panjang.
  8. Masyarakat adat  harus  menyiapkan  rencana  kalau  terjadi  kesepakatan:  bentuknya  jelas,  apakah berupa    koperasi    atau    berupa uang tunai dan langsung    dibagi    sesuai    dengan    jumlah jiwa/keluarga/marga, dll.
  9. Terkait KESEPAKATAN,  maka   Masyarakat  Adat  JANGAN  TANDA  TANGANI:  Kwitansi  Kosong; dokumen yang tidak lengkap atau dokumen yang merujuk pada LAMPIRAN yang tidak ditunjukkan; dokumen  yang  masih  ada  titik-titik  (………….)  atau  ruang  kosong  yang  tersembunyi……;  dokumen contoh; hati-hati terhadap politik pecah-belah dengan isu-isu hasutan pro/kontra dan iming-iming uang  dan  lain  sebagainya  yang  dapat  memperlemah posisi  masyarakat adat.  Untuk  itulah,  maka perjanjian dan dokumen perjanjian/kesepakatan penting dibaca, diteliti, dipertimbangkan dan ditandatangani NOTARIS sebagai pejabat negara yang berwenang dalam Hukum Perikatan.
  10. Penegasan isi perjanjian/kesepakatan oleh NOTARIS dan diketahui Pemerintah Daerah.
  11. Mengawasi Pelaksanaan isi Kesepakatan FPIC. Bila ada hal yang menyimpang dari kesepakatan, maka komunitas adat melalui musyawarah melakukan komplain.

Semoga Lembaran Panduan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat adat dan semua aktivis pendamping komunitas masyarakat adat, khususnya para aktivis JASOIL yang selalu bekerja tanpa pamrih penuh pengabdian untuk KEADILAN di Tanah Papua. ****Koordinator JASOIL Tanah Papua