Sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu.
Oleh Pietsau Amafnini
Tidak ada harapan yang lebih dari hidup saat ini. Bagi masyarakat adat, yang terpenting adalah mereka bisa hidup nyaman di wilayah adat mereka. Masyarakat adat dapat memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama keluarganya dengan memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya. Tetapi seperlunya. Bila memungkinkan, mereka akan menjual sebagian dari hasil usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya termasuk pendidikan anak-anak mereka. Namun yang utama adalah mereka mencari untuk makan. Hutan, sungai dan laut adalah ibarat “ibu kandung” bagi mereka. Sehingga sulit untuk menjauhkan pola hidup mereka dari potensi alam yang ada di wilayah adat mereka.
Berbeda dengan masyarakat ekonomi modern yang cenderung tamak dan rakus. Apapun yang diinginkan, dikuras sampai habis. Mereka mengejar banyak hasil untuk sebuah tujuan, kaya raya. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat pedagang, tetapi juga pada masyarakat peramu modern seperti peramu modern, nelayan modern, pemburu modern hingga para mafia kayu merbau yang selalu disebut mafia illegal logging. Bahkan pada dunia modern ini, perilaku kerakusan ini nampak pada penyerobotan tanah-tanah adat dalam skala sangat luas untuk kepentingan investasi perkebunan sawit dan pertambangan. Mungkin salah satu contoh nyata yang telah lama dihadapi masyarakat adat Suku Kamoro di kampung Tipuka adalah kehadiran PT Freeport Indonesia.
Masyarakat ekonomi modern di Tanah Papua tidak terlepas dari keberadaan kaum migran yang sejak awal pasca integrasi paksa Papua ke dalam wilayah Indonesia “didudukkan sebagai wajah Indonesia” melalui program transmigrasi nasional. Adapun kaum migrant spontan yang datang sebagai “perantau” secara individual untuk mencari hidup di Tanah Papua setelah terbentuknya komunitas-komunitas urban di pusat kota provinsi maupun kabupaten. Lambat laun, kota-kota kecamatan hingga kampung-kampung pun tidak luput dari incaran kaum migran. Salah satu penyebab melonjaknya kaum migran di Tanah Papua adalah “menjamurnya investasi sektoral” yang telah membagi-bagi Tanah Papua seperti “kue”. Nah mengapa begitu banyak orang dengan perilaku tamak menjamur pula di Tanah Papua? Ya, mencari hidup lebih baik dengan memanfaatkan peluang “ekonomi modern” yang secara terstruktur dikerahkan oleh negara sebagai strategi “pendudukan” di Tanah Papua. Sementara masyarakat adat yang masih berharap sepenuhnya pada kekayaan sumberdaya alamnya sebagai sumber penghidupan justru semakin tak pasti nasibnya. Mereka terus tersingkir, bahkan tergeser dari tanah leluhur mereka sendiri.
Memang, tak dipungkiri jika ekonomi modern tidak dapat terlepas dari akses pasar, dunia dagang. Hal ini tentu berbeda dengan masyarakat adat Papua yang sebenarnya masih dalam tahap penyesuaian diri dalam hal kebudayaannya. Mereka seakan-akan dibingungkan dengan berbagai macam wajah masyarakat urban Indonesia dalam bentuk “pasar dan toko”. Di sisi lain mereka dipaksa secara terstruktur untuk meninggalkan tradisi hidup sebagai peramu hasil hutan dan nelayan tradisional melalui penyerobotan tanah-tanah adat warisan leluhur mereka atas nama pembangunan untuk permukiman, perkotaan dan lahan investasi.
Dalam hal akses pasar, hal ini yang perlu didorong dan difasilitasi agar masyarakan terbiasa dengan dunia ekonomi modern dimana pasar memegang peranan penting. Orang-orang berbudaya pedagang seperti Bugis, Makassar dan Jawa di Tanah Papua justru lebih banyak menguasai dunia dagang di pasar-pasar kota. Kita bisa lihat dari tampak fisik sosial kehidupan di sana. Kondisi ini memang terbentuk oleh sistem ekonomi modern itu sendiri. Sistem itu pun tercipta dari kebiasaan masyarakat ekonomi modern yang memposisikan diri secara terstruktur dalam hal alur perdaganga. Produsen – Distribusi – Konsumen. Distribusi dalam konteks ini dimaknai sebagai suatu sistem kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa atau menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Dalam prosesnya, distribusi diidentikkan dengan pemasaran. Pemasaran sendiri juga bisa dalam arti bekerja sama dengan pasar atau mencari manfaat dengan cara kerjasama dengan pasar. Sebab, memang hubungan kerjasama dalam dunia dagang akan dapat berlangsung selama jika keduanya merasa dapat diuntungkan. Oleh sebab itu diperlukan komunikasi dua arah yang efektif, sehingga kemungkinan merugikan satu sama lain dapat diantisipasi. Hal ini lambat laun berkembang menjadi suatu budaya dalam kehidupan sosial dimana “ada barang, ada uang; ada uang, ada barang”.
Nah dengan melihat kondisi di atas, adakah sesuatu yang menarik? Tentu, uang dan uang atau modal yang selalu menjadi tolak-ukurnya. Masyarakat ekonomi modern yang dalam hal ini kaum migran atau urban kota akan memulai usahanya dengan modal yang cukup, bukan sekedar nekat. Tidak hanya di dunia dagang di pasar-pasar kota, toh banyak investor perkebunan sawit dan juga perusahaan kayu juga mendapatkan banyak kemudahan soal modal usaha dari negara dan perbankan. Mereka tahu dari mana harus mendapatkan modal usaha, misalnya akses modal pinjaman dari bank, atau bahkan modal dari negara. Hal ini tentu tidak berlaku untuk seorang petani tradisional dan nelayan tradisional, apalagi peramu hasil hutan dan pemburu hewan liar. Justru mereka hidup tertekan bahkan terasing di tanah leluhur sendiri.
Masyarakat nelayan tradisional di kampung Tipuka bernasib tak beruntung dalam hal dunia usaha-ekonomi modern. Kurangnya modal usaha, membuat mereka selalu kalah bersaing dengan para nelayan migran yang melakukan penangkapan menggunakan kapal dan peralatan modern, hingga penggunaan pukat trawll. Pola penangkapan ikan secara tradisional dengan peralatan seadanya, terkadang membuat nelayan suku Kamoro merugi, bahkan memang mereka mencari hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup hari ini. Selain itu, teknik pengawetan ikan yang belum memadai sehingga belum sampai di pasar atau di tangan konsumen, ikan sudah busuk di tangan sendiri dalam perjalanan menuju pasar. Belum lagi jarak antara kampung Tipuka yang jauh dari pasar kota Timika menjadi salah satu faktor pendukung membusuknya ikan hasil tangkapan masyarakat ekonomi tradisional tersebut.
Melihat kondisi seperti di atas, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab atas salah satu faktor penyebab kesenjangan sosial dalam kehidupan Orang Tipuka di tengah kemajuan masyarakat urban kota Timika? Sebuah sumber menyebut bahwa pada tahun 2006, ada kepedulian dari PT Freeport Indonesia melalui program Social Local Development (SLD) bekerjasama dengan Keuskupan Timika untuk memberdayakan nelayan tradisional suku Kamoro yang menetap di sekitar daerah endapan tailing. Kerjasama ini dilakukan dalam bentuk pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan, penyediaan bahan bakar minyak, sembako, balok es batu yang dikelola oleh Koperasi Maria Bintang Laut Kamoro.
Program SLD ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat nelayan tradisional suku Kamoro lambat-laun mulai merubah kebiasaan dari budaya meramu, mengelola hasil laut dan sungai untuk keperluan konsumtif, menuju usaha ekonomi produktif – menuju masyarakat ekonomi modern. Benar, dan luar biasa tujuannya. Namun pada saat yang sama, masyarakat adat suku Kamoro juga sudah memulai kehidupan baru dalam mengelola hasil laut dan sungai dengan cara, alat dan tujuan baru. Bila sebelumnya mereka bermodalkan perahu dayung di sungai dengan jala dan nelon seadanya untuk sekedar mencari untuk makan sendiri, maka sekarang dan ke depan mencari dengan perahu motor tempel untuk mendistribusikan hasil tangkapannya ke pasar atau masyarakat konsumen di kota Timika. Mereka harus berusaha untuk bersaing dengan masyarakat migran yang memang sudah terbiasa dengan sistem kerja ekonomi modern.
Hmmm, apa yang dilakukan Freeport dengan program SLD di atas memang patut dihargai sesbagai sebuah upaya positif untuk memajukan orang Tipuka menjadi masyarakat ekonomi maju. Namun sangatlah disayangkan bila program ini terlaksana hanya sebagai cara menutupi ketamakan dan kerakusan Freeport Indonesia sendiri yang telah mengeruk hasil alam berupa emas dan tembaga di wilayah adat orang Kamoro dan Amungme. Toh akibat penambangan Freeport di Grasberg ini telah menyebabkan sungai-sungai disekitarnya tertimbun pasir tailing. Sungai-sungai menjadi dangkal, bahkan kering. Orang Kamoro di kampung Tipuka sendiri sudah kesulitan dalam mencari ikan di sungai karena tailing. Bahkan masyarakat Tipuka sendiri menyatakan “sekarang ikan cepat busuk karena racun dari tailing”.
Sebuah pemandangan indah, semakin terbuka dan meluas di sepanjang tepi sungai hingga muara-muara sungai. Pasir tailing. Luapan tailing dan sedimentasi yang terus menerus terjadi selama limapuluhan tahun sudah tentu memutuskan mata rantai makanan mereka, bahkan turut menghancurkan budaya mereka pula. Apakah Freeport dan Pemerintah Indonesia bermaksud menciptakan ketergantungan baru bagi orang Kamoro di kampung Tipuka terhadap kehadiran dan bantuan program SLD dari perusahaan yang bekerjasama dengan Gereja Katolik saat ini? Bagaimana jika suatu waktu program ini terhenti dengan alasan tertentu? Ataukah program SLD ini adalah bagian dari “penenang hati yang terluka” akibat kehancuran ruang sumber penghidupan mereka yakni sungai-sungai yang tertimbun dan tercemar limbah tailing dari tambang Freeport Indonesia? Atau memang ini bagian dari scenario “pendudukan” dimana Negara dan Investor “menguasai, merampas dan menghancurkan” apa yag menjadi hak masyarakat adat Suku Kamoro termasuk kebudayaannya?
Saya melihat dan merasakan sendiri bahwa dalam kenyataannya, kegiatan ekonomi rumah tangga bagi keluarga orang Kamoro di kampung Tipuka justru dalam kondisi “tidak baik-baik saja”. Sehingga sebagaimana doa dan harapan mereka sebelum mencari ikan di sungai dalam ritual “oto erkata”, minimal Freeport dan Indonesia tidak akan memberikan ketergantungan baru setelah pasca pengerukan hasil tambang di Grasberg. Sebab bagi orang Kamoro, mereka tidak bisa hidup tanpa Kali, Sagu dan Perahu. Toh sejarah hidup mereka membuktikan bahwa Suku Kamoro bukan Orang Penambang, tapi peramu dan nelayan tradisional. Namun kini, rantai kehidupan itu sudah nyaris terputus karena Limbah Tailling dari perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia bahkan dunia. Semoga mereka tidak pernah akan merasa “terasing di negeri sendiri” karena tekanan kebijakan negara, kerakusan investor hingga ketamakan masyarakat ekonomi modern. Semoga suatu saat nanti, generasi penerus Suku Kamoro di kampung Tipuka dapat berucap bahwa benar “mereka tertolong, bukan tertipu”. Nimaome – Amole. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua