TIPUKA: Tiada Aktivitas Tanpa Ritual………(4)


“Hai kamu sowa-sowa, udang, keraka, ikan penuhilah segala sungai dan tempat dengan ikan; kamu cicak, kamu sowa-sowa, kamu biawak, kamu ikan, kamu karaka datanglah dan penuhi sungai-sungai.”

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole. Masyarakat adat selalu memperlakukan alam sebagai sumber penghidupannya dengan sopan dan bijak. Ritual sebelum dan sesudah mencari ikan adalah bagian dari kearifan budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kamoro di kampung Tipuka. Mereka tidak sembarangan. Setiap hendak meramu, berburu dan mencari ikan juga selalu didahului dengan ritual khusus. Menghormati alam sesuai ajaran dan warisan budaya leluhur. Hutan, sungai dan laut adalah tempat mencari nafkah sehingga perlu dijaga dan dihormati agar selalu tersedia apa yang dibutuhkan oleh manusia. Mengambil hasil pun tidak melebihi kapasitas kebutuhan.

Orang Kamoro di kampung Tipuka masih berpegang teguh pada kebiasaan leluhur mereka. Sebagai nelayan tradisional, mereka selalu memperhatikan pentingnya ritual sebelum melakukan aktifitasnya di sungai maupun laut. Ritual ini disebut ereka-oto. Seorang nelayan tradisional di Tipuka tidak akan melewatkan itu. Wajib. Bila mencari untuk tujuan hajatan atau acara-acara besar, berarti dibutuhkan keterlibatan banyak orang dan juga seorang tua adat yang khusus untuk melakukan ritual ini. Tokoh ini disebut Mikuku. Di rumah atau di sungai, seorang Mikuku akan melaksanakan ritual tersebut. Sedangkan jika seseorang yang hendak mencari ikan untuk kebutuhannya sendiri dapat melakukan ritualnya sendiri.

Sebelum melakukan ritual tersebut, terlebih dahulu disiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan seperti daun mangi-mangi atau tali rotan, alat tangkap, sirih pinang, rokok atau tembakau. Jika semua sudah disiapkan, Mikuku akan memulai upacara ritualnya dengan berteriak: “Hai kamu sowa-sowa, udang, keraka, ikan penuhilah segala sungai dan tempat dengan ikan; kamu cicak, kamu sowa-sowa, kamu biawak, kamu ikan, kamu karaka datanglah dan penuhi sungai-sungai.” Mikuku menyebut nama semua sungai dan tempat yang biasa digunakan untuk mencari ikan dan memerintahkan agar ikan-ikan berkumpul di sana dalam jumlah besar. Sesudah itu Mikuku pun berkata lagi kepada matahari dengan memperlihatkan alat-alat tangkap yang akan digunakan sambil memohon cuaca yang baik dan hasil tangkapan yang melimpah.

Setelah itu para nelayan tradisional itu sudah boleh menyiapkan peralatan melaut kemudian pergi mencari ikan. Syarat lainnya adalah mereka tidak boleh pamitan kepada anak, istri dan seluruh penghuni rumah. Karena jika pamit mereka percaya bahwa sesuatu akan menimpa mereka pada saat mencari ikan bahkan sampai tidak akan pulang kembali ke rumah.

Sesampainya di laut atau tempat yang menjadi sasaran untuk menjaring, mereka mengambil bahan sesajian berupa adonan yang telah disiapkan. Sesajian tersebut dibuat dari sagu mentah dicampur dengan daun mangi-mangi dan ditumbuk lalu diaduk sampai hancur di dalam wadah kemudian ditambah air dan diaduk-aduk lagi sampai merekat. Adonan tersebut dihambur di tempat sekitar tempat untuk memasang jaring. Sambil mengucapkan “oto erkata” sebagai cara memanggil atau mengundang ikan. Cara ini dilakukan untuk mengundang ikan supaya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Ada pun cara lain untuk perorangan yakni menyiapkan tembakau atau rokok yang akan dibuang sebagai persembahan di tempat menjaring dengan mengatakan “prapeka enaro kapaki makakeman e airu ta” artinya tete, ini ada rokok tolong kasih kami ikan untuk anak-anak”. Cara ini dilakukan masyarakat dengan anggapan bahwa pemilik wilayah laut dan sungai akan senang dan memberikan imbalan hasil tangkapan yang cukup banyak.

Agar tidak terhambat dengan cuaca seperti angin dan hujan, mereka pun mempunyai cara tersendiri untuk menjauhkan hujan atau tepatnya meminta cuaca yang baik dari alam yang disebut “innulia”. Seseorang akan melakukan innulia untuk mengusir atau menjauhkan hujan dari tempat mereka mencari ikan ke bagian lain.

Sebagai masyarakat yang masih mempercayai peran roh nenek moyang mereka dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga tidak lupa menyertakan campur tangan leluhur untuk keselamatan dalam perjalanan mencari ikan maupun urusan penangkapan ikan supaya mendapatkan hasil yang banyak. Mereka akan selalu berucap, “prapoka kau katna ikutu maha imaku ereka maka kemanu arie” yang mengandung arti: tete’ nene’ lindungi kami dalam perjalanan dan bawa ikan masuk ke jaring kami.

Sebagai nelayan tradisional tentu  hanya berbekal pengetahuan dan peralatan tradisional yang sederhana. Metode yang digunakan untuk menangkap ikan yang terdiri dari tangkap tangan dalam hal ini menangkap kepiting, siput, dan jenis lain di hutan mangrove, tombak, jaring, kalawai, rawai mancing dan jebakan ikan.

Masyarakat Tipuka pada umumnya mencari ikan pada malam hari yang gelap karena mereka percaya bahwa saat itu banyak hasil tangkapan ikan. Waktu yang tepat untuk menangkap ikan dalam jumlah besar untuk hajatan besar biasanya bulan September dan Oktober. Mereka sebut kedua bulan ini sebagai bulan musim ikan. Ketika mencari ikan pada musim ikan, mereka akan berada di laut sepanjang malam hari hingga jelang siang hari baru pulang membawa hasil. Ketika tiba saatnya untuk pulang, ada lagi semacam ritual yang perlu dilakukan. Sederhananya menyampaikan termakasih dengan mempersembahkan rokok atau tembakau kepada tempat atau alam dimana mereka menangkap ikan.

Bagi saya, makna dari kisah ini adalah jangan tamak dan rakus apalagi ceroboh dalam mencari nafkah di hutan, sungai dan laut. Sebelum mengambil sesuatu dari alam, perlu minta izin dan berterimakasih bila sudah mendapatkan apa yang dicari. Janganlah mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan, karena masih ada hari esok dan juga saudara lain yang juga membutuhkannya.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Orang Kamoro dan Kehidupannya……..(3)


Nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, belum berorientasi bisnis. Kalaupun ada hasil tangkapan yang bisa dijual di pasar, itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan. Berbeda dengan nelayan modern yang selalu ingin mengejar untung dengan daya tangkap over fishing, seperti kaum migran yang menempati wilayah perkotaan di Timika.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Suku Kamoro dan Amungme. Sebuah cerita lanjutan tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka, Tanah Papua. Ya, sebuah tempat yang memiliki nama besar untuk dunia pertambangan emas di dunia yakni Timika dimana ada Freeport Indonesia berlabel Amerika Serikat.

Kita tidak bisa menyangkal jika Tanah Papua sangat kaya akan sumberdaya alam. Saya selalu menyebut pulau besar ini sebagai ‘benua kecil’ yang ada di muka bumi. Kekayaan alamnya yang melimpah baik di darat, sungai maupun laut sungguh sangat luar biasa. Hal ini tentu berpengaruh juga pada orang-orang asli di tanah ini dalam berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka sejak dahulu kala. Orang asli Papua dalam hal ini masih sangat bergantung pada hasil hutan, sungai dan laut di sekitarnya. Sebagai komunitas adat di kampung Tipuka, orang-orang Kamoro yang mendiami dataran rendah di Mimika ini mengharapkan sumberdaya alam yang tersedia sebagai sumber penghidupan harian hidup mereka.

Meskipun PT Freeport Indonesia berada di wilayah Mimika, namun toh mereka bukanlah bagian dari pengerukan tambang emas dan tembaga itu. Mereka pun bukanlah penerima manfaat utama dari perusahaan raksasa itu. Justru yang terjadi adalah mereka menjadi korban dari keberadaan perusahaan emas ini. Sedangkan Amerika dan Indonesia sibuk rebutan hasil tambang. Dulu Amerika yang kuasai kepemilikan saham, sekarang Indonesia yang kuasai saham 51% Freeport.

Setidaknya dari sekitar 150 KK yang ada di kampung Tipuka, sebagian besar adalah petani, peramu hasil hutan, pemburu hewan liar dan nelayan tradisional. Mereka tidak bisa hidup tanpa busur-panah, kapak, perahu, sagu dan sungai. Orang-orang Kamoro di kampung Tipuka sangat bergantung pada potensi alam di wilayah adat mereka. Namun demikian, sebagian kecil bekerja sebagai tenaga buruh lepas pada perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah payung Freeport. Sedih memang, tapi apalah boleh buat. Sungai sebagai sumber kehidupan mereka pun akhirnya dirusak oleh keberadaan Freeport, karena aliran pasir tailing. Entahlah kepada siapa mereka harus mengadu, sedangkan banyak ahli datang dan pergi menyaksikan kondisi alam yang sudah rusak sejak awal pengerukan tambang emas dan tembaga di Grasberg.

Sebagian besar orang Kamoro di Tipuka adalah nelayan tradisonal. Secara umum kegiatan mata pencaharian sebagai nelayan masih bersifat tradisional. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, sederhana, tanpa modal usaha, kalaupun ada, tentu sangat kecil nilainya. Ya, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, belum berorientasi bisnis. Kalaupun ada hasil tangkapan yang bisa dijual di pasar, itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan.

Berbeda dengan nelayan modern yang mampu merespon perubahan dan lebih kenyal dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi over fishing. Belum lagi orientasi nelayan modern yang selalu ingin mengejar untung, seperti kaum migran yang menempati wilayah perkotaan di Timika.

Sedangkan orang-orang asli, tentu keterbatasan teknologi yang dimiliki, disamping ruang gerak nelayan tradisional yang umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan muara sungai, bahkan di sekitaran tepi pantai. Intinya, sekali melaut mereka mencari secukupnya untuk kebutuhan satu hari. Begitulah kehidupan ekonomi masyarakat adat di kampung Tipuka.

Perahu bagi masyarakat Tipuka sangat berarti dan merupakan tulang punggung untuk mengarungi kehidupan sehari-hari. Sejak turun temurun orang Kamoro sudah membuat perahu dari pohon yang cukup besar, dan pembuatannya dilakukan secara tradisional dengan peralatan seadanya. Perahu bagi masyarakat Suku Kamoro dimanfaatkan sebagai sarana transportasi untuk sebuah perjalanan, baik untuk mencari hasil laut, maupun untuk mengangkut berbagai kebutuhan dari sebuah kampung ke kampung lainnya. Bentuk perahu yang khas bagi orang Kamoro adalah bentuk runcing di depan dan belakang, dengan panjang paling pendek sekitar 2 meter, ada pula yang panjangnya mencapai 5 meter. Mereka menyebut perahu dengan sebutan ‘Ku’ (perahu). Perahu ini dibuat dan diukir pula symbol-imbol tertentu dan makna yang sangat mendalam. Biasanya perahu digunakan tidak hanya untuk mencari nafkah di sungai atau laut, tetapi digunakan juga dalam upacara-upacara adat maupun jenis kepentingan lain.

Saya tidak melihat ada alat tangkap modern yang mereka gunakan. Tidak ada pukat trawl atau jaring raksasa di sana. Karena tidak mungkin pukat trawl dimuat di perahu dayung. Belum lagi yang sering terlihat mengemudi perahu dayung di sungai itu adalah kaum perempuan. Mama-mama Kamoro di kampung Tipuka biasanya mencari ikan dengan menggunakan alat sederhana untuk menangkap kepiting. Mereka sebut ‘gaegae’ dan ‘imii’ sejenis jala. Imii terbuat dari kulit batang ganemo (melinjo) yang dikeringkan dan dianyam menjadi jala. Pinggirnya dibingkai dengan rotan yang dibuat melingkar. Bahan baku jala tradisional ini pun sekarang sudah semakin sulit ditemukan, karena faktor hutan alam yang sudah tidak utuh lagi seperti dahulu kala. Tentu sekarang alat tangkap tradisional seperti itu juga sudah sulit ditemukan karena bahan baku untuk membuatnya kurang. Akhirnya tidak ada pilihan lain, mereka harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil jualan kepiting dan ikan supaya bisa membeli alat tangkap modern seperti jaring nelon dan pukat nelon. Rata-rata setiap keluarga memiliki alat-alat itu untuk bisa bertahan hidup. “kalau tidak ada jaring dan perahu, berarti makan sagu kosong tanpa ikan”, demikian ungkap mereka.

Suatu sore di hari jumat di tahun 2015, seorang bapak sibuk mempersiapkan peralatan untuk mencari di hari sabtu. Dia mengajak saya untuk merapihkan jaring tradisional yang disebut imii di serambi rumah. Dia pun bercerita bahwa imii yang dipegangnya ini bukan hanya sebuah alat tangkap, tapi lebih dari itu. Saya pun penasaran. Matanya tampak berkaca-kaca. “Kehidupan keluarga saya tergantung pada alat ini, hanya ini yang kami miliki. Grasberg bukan kami punya, Freeport juga bukan kami punya, bahkan pemerintah juga bukan kami punya”, ungkapnya. Saya pun terhanyut jauh memikirkan kata demi kata yang diungkapkan. Hmmm…., berat.

Peralatan tangkap sudah disiapkan. Sabtu pagi kami pun berdayung menuju muara sungai sambil bercerita tentang kondisi sungai yang semakin dangkal dan sempit. Konon katanya dulu kapal-kapal bisa masuk, tetapi sekarang tidak bisa lagi. Pasir tailing Freeport sudah mengubah semuanya. Saya ditanya tentang korek api, apakah ada? Tentu, seorang perokok pasti selalu bawa korek api. Saya pun diperkenalkan sejumlah alat penting yang selalu harus dipersiapkan dalam proses mencari nafkah di sungai maupun laut. Perlengkapan penting adalah Ku dan poo (perahu dan dayung), Imii (jaring), Maiti (nelon mancing), Etae (keranjang/noken ikan), Apoko (kalawai/semacam tombak), Pokari dan para (kampak dan parang). Kebutuhan lainnya adalah Uta (korek api) serta Kapaki dan amata ( rokok dan sagu).

Berdayung jauh ke muara dekat bibir pantai sekitar 1 jam dari kampung. “Di sini masih banyak ikan dan kepiting, di tempat lain ada, tapi itu orang lain punya tempat mencari. Kita tidak bisa mencari di orang lain punya tempat, nanti jadi masalah”. Saya mencoba untuk memahaminya dalam konteks budaya orang Kamoro di kampung Tipuka. Mereka saling menghargai dan saling menghormati. Setiap keluarga mempunyai lokasi tempat mencarinya, dan itu sudah diakui sebagai warisan leluhur mereka. Saya pun membayangkan kalau seandainya saat ini posisi kami berada di tempat mencarinya orang lain, berarti tidak tahu anak panah akan melayang dari arah mana. Tetapi saya pun tenggelam dalam lamunan jauh, mengapa orang asing Amerika dan Indonesia termasuk para migran terprogram maupun migrant spontan di Timika mengacaukan kebiasaan atau budaya orang-orang Kamoro? Ngeri, rasanya mau gila.

Kami harus membuat pondok kecil beratapkan daun sagu untuk bisa berteduh jika hujan. Beruntunglah hari ini cuaca baik, panas. Tapi siapa yang bisa mengehentikan kehendak alam jika tiba-tiba cuaca berubah jadi hujan? Merry (bukan nama sebenarnya) adalah anak gadis semata wayang bapak Adolof (bukan nama sebenarnya) bersama mama Yohana (bukan nama sebenarnya). Merry tidak sempat melanjutkan niatnya untuk sekolah tinggi. Baginya tamat SMA sudah cukup. Dia tidak mau jauh dari kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia. Selain itu memang kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkinkan untuk menopang dirinya di perguruan tinggi.

Cita-citanya untuk menjadi seorang guru agar bisa kembali mengajar anak-anak Tipuka pun kandas. Sekarang jadi harapan kedua orang tuanya. Setidaknya Merry bisa mendayung perahu, menemani bapak dan mamanya mencari ikan dan kepiting, bahkan menokok sagu untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kadang-kadang Merry membawa hasil tangkapan kepiting untuk dipasarkan di pasar Timika untuk membawa pulang beras, garam, sabun dan kebutuhan lain. Sambil cerita, pondok pun selesai. Alat-alat tangkap dan semua persediaan yang kami bawa masih berada di perahu. “kaka, ada korek api dengan rokok ka? Minta 1 batang rokok”, tanya Merry. “Iya”, kataku sambil membuka tas untuk mengambil rokok dengan korek api. “Ehhh, siapa yang mau merokok, sedangkan bapak tidak merokok, apakah kamu yang merokok Merry?” tanyaku. “Bukan kaka, untuk bapak bikin ritual adat sedikit supaya kita bisa mulai pasang jaring, biasanya kami bilang ereka oto”, jelas Merry. “Ohhh, maaf. Semacam persembahan untuk leluhur atau alam?”, tanyaku. “Yoooo, ko su tau baru tanya lagi, dasaaarrr…..!!”,kata Merry. Bapak menerima rokok dan korek api dari tangan Merry. Selanjutnya dia menghadap posisi matahari. Saya mengamati proses itu. Beberapa kata terucap dari bibir bapak, lalu terlihat membakar rokok itu lalu meletakannya di tanah. Mama dan Merry pun tampak hening. Tentu sebuah untaian doa dan harapan bahwa leluhur mereka dan alam semesta akan menolong usaha kami di hari Sabtu ini. Kami tidak akan pulang kosong. Saya juga yakin dengan ritual sederhana yang baru saja selesai.

Selanjutnya Merry dan mamanya mencari kepiting. Sedangkan saya bersama ayahnya memasang jaring nelon untuk mengurung ikan. Setelah memasang jaring, kami kembali ke pondok. Kami memasang api untuk memanaskan air untuk kopi dan membakar sagu dan pisang yang kami bawa dari rumah. Ya, saya menganggap kegiatan hari ini hanya sekedar ingin tahu bagaimana proses mencari nafkahnya sebuah keluarga nelayan tradisional di kampung Tipuka. Tetapi bagi Merry dan kedua orang tuanya, inilah kehidupan mereka. Merry dan mamanya mencari jauh entah berapa ratus meter jarak dari posisi kami. Sambil menunggu mereka dan juga menunggu saatnya tiba untuk periksa jaring, kami ngopi dulu.

“Anak pegang noken di perahu saja. Nanti bapak yang cek jarring”, kata Bapak Merry. Saya juga mau ikut turun ke air, tapi bapak bilang tidak boleh. Hmmm ternyata baru sekitar 1 jam, tapi noken hampir penuh dengan ikan. Jaring dibiarkan tetap di posisinya, kami membawa ikan ke pondok dan membuat para-para di perapian untuk meletakan ikan sementara waktu agar tidak membusuk, dan juga menghindari sowa-sowa yang bisa saja mencuri ikan-ikan hasil tangkapan. Sementara itu Merry dan mamanya juga sudah kembali membawa banyak kepiting. Sambil menunggu mereka membersihkan kepiting dan mengikat kaki-kaki kepiting itu, saya memanaskan air lagi untuk ngopi sekaligus makan siang.

Sekitar pkl. 15:00, Merry dan bapaknya memeriksa jaring dan sekaligus mengemas jarring ke dalam perahu karena kami sudah harus dayung kembali ke rumah. “Weiii lumayan hasil mencari hari ini. Luar biasa, ternyata ritual tadi tidak sia-sia, leluhur dan alam mengasihi kita”, kataku. Merry dan bapaknya mendayung sambil menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Kamoro, sedangkan saya mendengar cerita dari mama tentang kisah horor Grasberg bagi orang Kamoro di dataran rendah dan orang Amungme di dataran tinggi. “Korban tidak sedikit dari dulu sampai sekarang”, kisahnya.

Sekitar pkl. 17:00 sore itu, kami pun tiba di rumah keluarga Merry di kampung Tipuka. Atas usulan saya, kepiting-kepiting disiapkan untuk dibawa ke pasar Timika. Karena saya ingin mengikuti prosesnya sampai ke pasar, walaupun saya tidak akan ikut ke pasar. Minggu pagi, Merry membawa kepiting-kepiting itu ke pasar, dan habis terjual. Hasilnya, dia membawa pulang 1 karung beras 10 kg, 1 botol minyak goreng, 2 bungkus garam, 1 kg gula pasir, 1 bungkus kopi, 1 kotak teh celup, dan 1 bungkus rinso sedang. Ohhh terikut pula 1 bungkus rokok Djisamsoe kretek untuk saya. Sisanya, ongkos transportasi. Merry pun tutup cerita bahwa harga barang sembako di Timika mahal, “harga selalu naik, tidak pernah turun”.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Catatan Akhir Dari Glasgow


Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Oleh Pietsau Amafnini

Sebuah proses dari Konferensi Perubahan Iklim Dunia sudah selesai pada 12 Novemver 2021. Glasgow adalah sebuah kota di Skotlandia, Inggris Raya telah menjadi saksi atas pelaksanaan COP26 yang dihadiri 197 negara anggota UNFCCC. Para pimpinan negara sedunia mungkin pulang dengan bangga bahwa masing-masing mereka telah mempresentasikan ambisinya untuk menanggulangi perubahan iklim. Ya, mereka pun tentu bahagia karena bisa bertemu dan berkomunikasi satu sama lain diantara mereka yang mendapat kepercayaan rakyat di negaranya sebagai pemimpin.

Namun tentu tidak demikian bagi gerakan masyarakat sipil dari kalangan CSO dan komunitas masyarakat adat. Bagi mereka, hasil COP26 masih jauh dari harapan. Perubahan iklim dan terutama dampak dari pemanasan global ini sudah seharusnya membutuhkan aksi-aksi nyata, bukan lagi komitmen politik ekonomi perdagangan karbon. Salah satu yang menjadi harapan CSO adalah komitmen tegas dari para pemimpin dunia di COP26 bahwa sudah saatnya berhenti menggunakan energy dari batu bara, dan berhenti mengeksploitasi sumberdaya alam, termasuk perusakan hutan alam.

Akhirnya komitmen Glasgow masih “janji tinggal janji” untuk dibicarakan lagi pada COP berikutnya yang disepakati akan dilaksanakan COP27 di Mesir pada tahun 2022 mendatang. Dinamika politik jauh lebih dominan daripada komitmen nyata untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Memang suhu bumi semakin meningkat, bahkan dampak perubahan iklim itu sudah nyata terjadi hampir di seluruh dunia. Kekeringan, kebanjiran, kelongsoran tanah hingga naiknya permukaan air laut adalah dampak dari perubahan iklim itu. Namun keputusan Glasgow ternyata masih berupa janji-janji yang tidak mengikat.

Terlepas dari semua itu, sejumlah hal penting walaupun masih dianggap sebagai ‘kesepakatan lemah’ menjadi rumusan utama sebagai hasil COP26 di Glasgow. Sedikitnya ada 12 point yang menurut saya penting sebagai acuan untuk dibicarakan lagi pada COP27 di Mesir. Sebanyak 197 negara di Glasgow, Skotlandia telah mengadopsi dokumen yang dikenal sebagai Pakta Iklim Glasgow atau Glasgow Climate Pact. Pakta ini meminta 197 negara untuk melaporkan peningkatan ambisi iklim mereka pada COP27 di Mesir. Meski mengecewakan karena tidak ada hal yang memuaskan dari Glasgow, namun UNFCCC mengklaim bahwa Glasgow Pact justru memperkuat kesepakatan global untuk mempercepat aksi iklim dalam dekade ini.

Ke-12 point ‘kesepakatan lemah’ tersebut adalah: 1) Glasgow Leaders Declaration on Forest and Land Use dimana 141 negara (per tanggal 12 November 2021) yang mewakili sekitar 90,94% hutan dunia telah berjanji untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi pada tahun 2030; 2) Secara spesifik para pemimpin dunia berjanji untuk memfasilitasi kebijakan perdagangan dan pembangunan secara internasional maupun domestik yang mendorong pembangunan berkelanjutan, produksi dan konsumsi komoditas berkelanjutan demi keuntungan bersama negara, dan yang tidak mendorong deforestasi dan degradasi lahan; 3) Ada juga janji untuk mengurangi emisi metana, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, di mana lebih dari 100 negara sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ini pada tahun 2030; 4) Sementara itu, lebih dari 40 negara – termasuk pengguna batu bara utama seperti Polandia, Vietnam dan Chili – sepakat untuk beralih dari batu bara, salah satu penghasil emisi CO2 terbesar walau dengan tenggat waktu yang berbeda-beda; 5) Dari sektor swasta, hampir 500 perusahaan jasa keuangan global setuju untuk “menyelaraskan” dana $130 triliun – sekitar 40 persen dari aset keuangan dunia – agar penggunaannya sejalan dengan tujuan yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, termasuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius; 6) Juga, yang mengejutkan bagi banyak orang, Amerika Serikat dan China berjanji untuk meningkatkan kerja sama iklim dalam 10 tahun ke depan. Mereka memgeluarkan deklarasi bersama dan setuju untuk beraksi mengurangi emisi termasuk emisi metana, melakukan transisi ke energi bersih dan dekarbonisasi. Mereka juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk menjaga target 1.5°C sesuai Persetujuan Paris bisa tercapai; 7) Terkait transportasi hijau, lebih dari 100 pemangku kepentingan, termasuk negara, kota, negara bagian, dan perusahaan besar menandatangani Deklarasi Glasgow dimana mereka akan mengakhiri penjualan kendaraan dengan pembakaran internal pada tahun 2035 di pasar utama, dan pada tahun 2040 di seluruh dunia. Setidaknya 13 negara juga berkomitmen untuk mengakhiri penjualan kendaraan berat berbahan bakar fosil pada tahun 2040; 8) Komitmen yang ‘lebih kecil’ namun sama-sama menginspirasi datang dari 11 negara yang menciptakan Beyond Oil and Gas Alliance (BOGA). Irlandia, Prancis, Denmark, dan Costa Rica, serta beberapa pemerintah daerah, meluncurkan aliansi pertama untuk menetapkan batas akhir (deadline) kegiatan eksplorasi dan ekstraksi minyak dan gas nasional; 9) Terkait adaptasi perubahan iklim, para pihak membentuk program kerja adaptasi global, yang akan mengidentifikasi kebutuhan dan solusi kolektif untuk krisis iklim yang telah merugikan banyak negara. Caranya adalah dengan memperkuat “The Santiago Network” guna mengatasi dan mengelola klausul kerugian dan kerusakan atau loss and damage; 10) Masalah pendanaan dibahas secara ekstensif sepanjang COP26 dan telah tercipta konsensus perlunya untuk terus meningkatkan dukungan pada negara-negara berkembang. Seruan untuk setidaknya menggandakan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim disambut baik oleh para pihak. Komitmen dana mitigasi perubahan iklim meningkat dari USD 129 juta di COP24 di Katowice, Polandia menjadi USD 356 juta di COP26. Walau target pendanaan belum tercapai, COP26 juga menegaskan kembali kewajiban negara maju untuk memenuhi janji mereka memberikan bantuan USD 100 miliar setiap tahun ke negara berkembang; 11) Terkait mitigasi, COP26 mengidentifikasi dengan jelas kesenjangan pengurangan emisi GRK yang belum tercapai dan meminta para pihak bersama-sama bekerja mengurangi kesenjangan itu sehingga bisa membatasi kenaikan suhu rata-rata hingga 1.5°C. Para pihak juga didorong untuk memperkuat aksi pengurangan emisi mereka dan menyelaraskan janji NDC mereka dengan Persetujuan Paris; dan 12) Terakhir, secara teknis, COP26 berhasil menyepakati “Paris Rulebook” yang menjadi dasar pelaksanaan Persetujuan Paris. Di dalamnya tercakup norma-norma mendasar terkait Article 6 atau Pasal 6 tentang pasar karbon, yang akan membuat Perjanjian Paris beroperasi penuh. Article 6 memberikan kepastian dan prediktabilitas – baik pendekatan pasar maupun non-pasar – dalam mendukung aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Negosiasi terkait Kerangka Transparansi yang Disempurnakan atau “Enhanced Transparency Framework” juga telah diselesaikan, sehingga negara bisa memiliki panduan untuk memperhitungkan dan melaporkan target dan emisi.

Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Selebihnya, saya kira sebagai manusia, tentu perlu menyadari bahwa kita adalah bagian dari alam yang sama di planet bumi ini. Kita semua dituntut untuk memperlakukan lingkungan alam di sekitar kita secara adil dan bijaksana. Sebab bencana alam selalu akan datang kapan saja. Kesadaran itu perlu ada dan masing-masing kita dapat melakukan tindakan nyata untuk mencegah sekaligus menyelamatkan diri dari setiap jenis bencana yang timbul sebagai akibat dari perubahan iklim.

Nah bagaimana dengan komitmen dan kesiapan Indonesia sendiri untuk melaksanakan apa yang menjadi komitmennya untuk iklim? Pada tulisan-tulisan sebelumnya, saya sudah mengulas tentang apa yang bisa diharapkan dari Indonesia dalam hal upaya mitigasi dan adaptasi iklim sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC). Yang jelas sehebat apapun ambisi pemerintah Indonesia untuk menunjukkan diri pada dunia internasional terkait sikap dan peran aktifnya terhadap iklim, tak mungkin mencapai ambisi itu tanpa anggaran (uang). Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menyatakan bahwa pemerintah membutuhkan biaya sebesar Rp. 3.461,31 Triliun untuk mitigasi perubahan iklim periode 2020 – 2030.

Kebutuhan pendanaan ini semakin meningkat sebab Roadmap NDC Mitigasi Indonesia pada 2020 estimasinya mencapai Rp.3.799,63 triliun pada 2020-2030. Perinciannya, Rp.3,500 triliun dibutuhkan sektor energi dan transportasi. Diantaranya untuk menjalankan program renewable energy dan pensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Sedangkan sisanya Rp.181,40 Triliun untuk limbah, Rp.93,28 Triliun untuk kehutanan, dan Rp.4,04 triliun untuk pertanian. Ya tentu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sementara pemerintah sendiri hanya bisa menyiapkan 27 persen dari total kebutuhan anggaran itu, sehingga sisanya diharapkan dukungan dari sector swasta dan dukungan negara-negara maju sesuai Paris Accord.

Salah satu langkah perhatian dari sector swasta dari negara maju untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan NDC adalah Chief Executive Officer (CEO) Forum yang sudah berkomitmen dengan Presiden Jokowi di Glasgow pada 1 November 2021. CEOs Forum Inggris ini berkomitmen untuk menginvest USD 9,29 Miliar di Indonesia. Salah satu investor dari CEOs Forum ini adalah British Petroleum (BP). Bahkan sejauh ini sudah ada USD 35 Miliar investasi yang sudah terkomitmen dan juga sedang berjalan dalam mata rantai baterai dan kendaraan listrik.

Dari sisi kebijakan, Indonesia sudah memiliki aturan berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang instrument nilai ekonomi karbon yang mengatur mekanisme perdagangan karbon. Dengan adanya Perpres ini, justru diharapkan mekanisme pasar karbon dapat dikelola dengan baik. Perpres No. 98 tahun 2021 yang diberlakukan sejak 29 Oktober 2021, atau 2 hari sebelum KTT G20 di Roma, Italia. Bahkan sector swasta di Indonesia pun sudah menjemput bola penyelamatan iklim dengan memanfaatkan peluang kebijakan Perpres 98 tersebut, yakni Melchor Group (PT. Melchor Tiara Pratama) dan Medco Group telah melakukan MoU pengelolaan hutan seluas 180.000 hektar di Tanah Papua. Penandatanganan MoU tersebut dilakukan oleh Rudi Poespoprodjo selaku Pimpinan Melchor Group dan Hilmi Panigoro selaku Pimpinan Medco Group. Proses MoU ini disaksikan Arifin Panigoro (pendiri Medco Group) dan Peter Gontha (pendiri Melchor Group).

Selain itu, di sektor energi, Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari pembangkit-pembangkit batubara dan menggantikannya dengan energi terbarukan. Pemerintah telah mengidentifikasi ada 5,5 GW PLTU batubara yang bisa masuk dalam proyek ini dengan kebutuhan pendanaan sebesar USD 25-30 Miliar selama 8 tahun ke depan. Indonesia akan mengalihkan pembangkit batubara dengan renewable energy pada tahun 2040, dengan catatan jika terdapat kerja sama, teknologi, nilai keekonomian yang layak, dan pendanaan internasional yang membantu transisi energi tersebut. Indonesia juga memiliki potensi pengembangan kendaraan dan baterai listrik, karena kekayaan mineral di Indonesia seperti nikel, tembaga dan bauksit/alumunium sangat potensial tersedia. Wowwww, memang Indonesia boleh. Semoga bukan hanya sekedar pemanis sesaat saja di bibir ini. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua