Nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, belum berorientasi bisnis. Kalaupun ada hasil tangkapan yang bisa dijual di pasar, itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan. Berbeda dengan nelayan modern yang selalu ingin mengejar untung dengan daya tangkap over fishing, seperti kaum migran yang menempati wilayah perkotaan di Timika.
Oleh Pietsau Amafnini
Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Suku Kamoro dan Amungme. Sebuah cerita lanjutan tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka, Tanah Papua. Ya, sebuah tempat yang memiliki nama besar untuk dunia pertambangan emas di dunia yakni Timika dimana ada Freeport Indonesia berlabel Amerika Serikat.
Kita tidak bisa menyangkal jika Tanah Papua sangat kaya akan sumberdaya alam. Saya selalu menyebut pulau besar ini sebagai ‘benua kecil’ yang ada di muka bumi. Kekayaan alamnya yang melimpah baik di darat, sungai maupun laut sungguh sangat luar biasa. Hal ini tentu berpengaruh juga pada orang-orang asli di tanah ini dalam berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka sejak dahulu kala. Orang asli Papua dalam hal ini masih sangat bergantung pada hasil hutan, sungai dan laut di sekitarnya. Sebagai komunitas adat di kampung Tipuka, orang-orang Kamoro yang mendiami dataran rendah di Mimika ini mengharapkan sumberdaya alam yang tersedia sebagai sumber penghidupan harian hidup mereka.
Meskipun PT Freeport Indonesia berada di wilayah Mimika, namun toh mereka bukanlah bagian dari pengerukan tambang emas dan tembaga itu. Mereka pun bukanlah penerima manfaat utama dari perusahaan raksasa itu. Justru yang terjadi adalah mereka menjadi korban dari keberadaan perusahaan emas ini. Sedangkan Amerika dan Indonesia sibuk rebutan hasil tambang. Dulu Amerika yang kuasai kepemilikan saham, sekarang Indonesia yang kuasai saham 51% Freeport.
Setidaknya dari sekitar 150 KK yang ada di kampung Tipuka, sebagian besar adalah petani, peramu hasil hutan, pemburu hewan liar dan nelayan tradisional. Mereka tidak bisa hidup tanpa busur-panah, kapak, perahu, sagu dan sungai. Orang-orang Kamoro di kampung Tipuka sangat bergantung pada potensi alam di wilayah adat mereka. Namun demikian, sebagian kecil bekerja sebagai tenaga buruh lepas pada perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah payung Freeport. Sedih memang, tapi apalah boleh buat. Sungai sebagai sumber kehidupan mereka pun akhirnya dirusak oleh keberadaan Freeport, karena aliran pasir tailing. Entahlah kepada siapa mereka harus mengadu, sedangkan banyak ahli datang dan pergi menyaksikan kondisi alam yang sudah rusak sejak awal pengerukan tambang emas dan tembaga di Grasberg.
Sebagian besar orang Kamoro di Tipuka adalah nelayan tradisonal. Secara umum kegiatan mata pencaharian sebagai nelayan masih bersifat tradisional. Nelayan tradisional adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, sederhana, tanpa modal usaha, kalaupun ada, tentu sangat kecil nilainya. Ya, nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri, belum berorientasi bisnis. Kalaupun ada hasil tangkapan yang bisa dijual di pasar, itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan.
Berbeda dengan nelayan modern yang mampu merespon perubahan dan lebih kenyal dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi over fishing. Belum lagi orientasi nelayan modern yang selalu ingin mengejar untung, seperti kaum migran yang menempati wilayah perkotaan di Timika.
Sedangkan orang-orang asli, tentu keterbatasan teknologi yang dimiliki, disamping ruang gerak nelayan tradisional yang umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan muara sungai, bahkan di sekitaran tepi pantai. Intinya, sekali melaut mereka mencari secukupnya untuk kebutuhan satu hari. Begitulah kehidupan ekonomi masyarakat adat di kampung Tipuka.
Perahu bagi masyarakat Tipuka sangat berarti dan merupakan tulang punggung untuk mengarungi kehidupan sehari-hari. Sejak turun temurun orang Kamoro sudah membuat perahu dari pohon yang cukup besar, dan pembuatannya dilakukan secara tradisional dengan peralatan seadanya. Perahu bagi masyarakat Suku Kamoro dimanfaatkan sebagai sarana transportasi untuk sebuah perjalanan, baik untuk mencari hasil laut, maupun untuk mengangkut berbagai kebutuhan dari sebuah kampung ke kampung lainnya. Bentuk perahu yang khas bagi orang Kamoro adalah bentuk runcing di depan dan belakang, dengan panjang paling pendek sekitar 2 meter, ada pula yang panjangnya mencapai 5 meter. Mereka menyebut perahu dengan sebutan ‘Ku’ (perahu). Perahu ini dibuat dan diukir pula symbol-imbol tertentu dan makna yang sangat mendalam. Biasanya perahu digunakan tidak hanya untuk mencari nafkah di sungai atau laut, tetapi digunakan juga dalam upacara-upacara adat maupun jenis kepentingan lain.
Saya tidak melihat ada alat tangkap modern yang mereka gunakan. Tidak ada pukat trawl atau jaring raksasa di sana. Karena tidak mungkin pukat trawl dimuat di perahu dayung. Belum lagi yang sering terlihat mengemudi perahu dayung di sungai itu adalah kaum perempuan. Mama-mama Kamoro di kampung Tipuka biasanya mencari ikan dengan menggunakan alat sederhana untuk menangkap kepiting. Mereka sebut ‘gaegae’ dan ‘imii’ sejenis jala. Imii terbuat dari kulit batang ganemo (melinjo) yang dikeringkan dan dianyam menjadi jala. Pinggirnya dibingkai dengan rotan yang dibuat melingkar. Bahan baku jala tradisional ini pun sekarang sudah semakin sulit ditemukan, karena faktor hutan alam yang sudah tidak utuh lagi seperti dahulu kala. Tentu sekarang alat tangkap tradisional seperti itu juga sudah sulit ditemukan karena bahan baku untuk membuatnya kurang. Akhirnya tidak ada pilihan lain, mereka harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil jualan kepiting dan ikan supaya bisa membeli alat tangkap modern seperti jaring nelon dan pukat nelon. Rata-rata setiap keluarga memiliki alat-alat itu untuk bisa bertahan hidup. “kalau tidak ada jaring dan perahu, berarti makan sagu kosong tanpa ikan”, demikian ungkap mereka.
Suatu sore di hari jumat di tahun 2015, seorang bapak sibuk mempersiapkan peralatan untuk mencari di hari sabtu. Dia mengajak saya untuk merapihkan jaring tradisional yang disebut imii di serambi rumah. Dia pun bercerita bahwa imii yang dipegangnya ini bukan hanya sebuah alat tangkap, tapi lebih dari itu. Saya pun penasaran. Matanya tampak berkaca-kaca. “Kehidupan keluarga saya tergantung pada alat ini, hanya ini yang kami miliki. Grasberg bukan kami punya, Freeport juga bukan kami punya, bahkan pemerintah juga bukan kami punya”, ungkapnya. Saya pun terhanyut jauh memikirkan kata demi kata yang diungkapkan. Hmmm…., berat.
Peralatan tangkap sudah disiapkan. Sabtu pagi kami pun berdayung menuju muara sungai sambil bercerita tentang kondisi sungai yang semakin dangkal dan sempit. Konon katanya dulu kapal-kapal bisa masuk, tetapi sekarang tidak bisa lagi. Pasir tailing Freeport sudah mengubah semuanya. Saya ditanya tentang korek api, apakah ada? Tentu, seorang perokok pasti selalu bawa korek api. Saya pun diperkenalkan sejumlah alat penting yang selalu harus dipersiapkan dalam proses mencari nafkah di sungai maupun laut. Perlengkapan penting adalah Ku dan poo (perahu dan dayung), Imii (jaring), Maiti (nelon mancing), Etae (keranjang/noken ikan), Apoko (kalawai/semacam tombak), Pokari dan para (kampak dan parang). Kebutuhan lainnya adalah Uta (korek api) serta Kapaki dan amata ( rokok dan sagu).
Berdayung jauh ke muara dekat bibir pantai sekitar 1 jam dari kampung. “Di sini masih banyak ikan dan kepiting, di tempat lain ada, tapi itu orang lain punya tempat mencari. Kita tidak bisa mencari di orang lain punya tempat, nanti jadi masalah”. Saya mencoba untuk memahaminya dalam konteks budaya orang Kamoro di kampung Tipuka. Mereka saling menghargai dan saling menghormati. Setiap keluarga mempunyai lokasi tempat mencarinya, dan itu sudah diakui sebagai warisan leluhur mereka. Saya pun membayangkan kalau seandainya saat ini posisi kami berada di tempat mencarinya orang lain, berarti tidak tahu anak panah akan melayang dari arah mana. Tetapi saya pun tenggelam dalam lamunan jauh, mengapa orang asing Amerika dan Indonesia termasuk para migran terprogram maupun migrant spontan di Timika mengacaukan kebiasaan atau budaya orang-orang Kamoro? Ngeri, rasanya mau gila.
Kami harus membuat pondok kecil beratapkan daun sagu untuk bisa berteduh jika hujan. Beruntunglah hari ini cuaca baik, panas. Tapi siapa yang bisa mengehentikan kehendak alam jika tiba-tiba cuaca berubah jadi hujan? Merry (bukan nama sebenarnya) adalah anak gadis semata wayang bapak Adolof (bukan nama sebenarnya) bersama mama Yohana (bukan nama sebenarnya). Merry tidak sempat melanjutkan niatnya untuk sekolah tinggi. Baginya tamat SMA sudah cukup. Dia tidak mau jauh dari kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia. Selain itu memang kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkinkan untuk menopang dirinya di perguruan tinggi.
Cita-citanya untuk menjadi seorang guru agar bisa kembali mengajar anak-anak Tipuka pun kandas. Sekarang jadi harapan kedua orang tuanya. Setidaknya Merry bisa mendayung perahu, menemani bapak dan mamanya mencari ikan dan kepiting, bahkan menokok sagu untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kadang-kadang Merry membawa hasil tangkapan kepiting untuk dipasarkan di pasar Timika untuk membawa pulang beras, garam, sabun dan kebutuhan lain. Sambil cerita, pondok pun selesai. Alat-alat tangkap dan semua persediaan yang kami bawa masih berada di perahu. “kaka, ada korek api dengan rokok ka? Minta 1 batang rokok”, tanya Merry. “Iya”, kataku sambil membuka tas untuk mengambil rokok dengan korek api. “Ehhh, siapa yang mau merokok, sedangkan bapak tidak merokok, apakah kamu yang merokok Merry?” tanyaku. “Bukan kaka, untuk bapak bikin ritual adat sedikit supaya kita bisa mulai pasang jaring, biasanya kami bilang ereka oto”, jelas Merry. “Ohhh, maaf. Semacam persembahan untuk leluhur atau alam?”, tanyaku. “Yoooo, ko su tau baru tanya lagi, dasaaarrr…..!!”,kata Merry. Bapak menerima rokok dan korek api dari tangan Merry. Selanjutnya dia menghadap posisi matahari. Saya mengamati proses itu. Beberapa kata terucap dari bibir bapak, lalu terlihat membakar rokok itu lalu meletakannya di tanah. Mama dan Merry pun tampak hening. Tentu sebuah untaian doa dan harapan bahwa leluhur mereka dan alam semesta akan menolong usaha kami di hari Sabtu ini. Kami tidak akan pulang kosong. Saya juga yakin dengan ritual sederhana yang baru saja selesai.
Selanjutnya Merry dan mamanya mencari kepiting. Sedangkan saya bersama ayahnya memasang jaring nelon untuk mengurung ikan. Setelah memasang jaring, kami kembali ke pondok. Kami memasang api untuk memanaskan air untuk kopi dan membakar sagu dan pisang yang kami bawa dari rumah. Ya, saya menganggap kegiatan hari ini hanya sekedar ingin tahu bagaimana proses mencari nafkahnya sebuah keluarga nelayan tradisional di kampung Tipuka. Tetapi bagi Merry dan kedua orang tuanya, inilah kehidupan mereka. Merry dan mamanya mencari jauh entah berapa ratus meter jarak dari posisi kami. Sambil menunggu mereka dan juga menunggu saatnya tiba untuk periksa jaring, kami ngopi dulu.
“Anak pegang noken di perahu saja. Nanti bapak yang cek jarring”, kata Bapak Merry. Saya juga mau ikut turun ke air, tapi bapak bilang tidak boleh. Hmmm ternyata baru sekitar 1 jam, tapi noken hampir penuh dengan ikan. Jaring dibiarkan tetap di posisinya, kami membawa ikan ke pondok dan membuat para-para di perapian untuk meletakan ikan sementara waktu agar tidak membusuk, dan juga menghindari sowa-sowa yang bisa saja mencuri ikan-ikan hasil tangkapan. Sementara itu Merry dan mamanya juga sudah kembali membawa banyak kepiting. Sambil menunggu mereka membersihkan kepiting dan mengikat kaki-kaki kepiting itu, saya memanaskan air lagi untuk ngopi sekaligus makan siang.
Sekitar pkl. 15:00, Merry dan bapaknya memeriksa jaring dan sekaligus mengemas jarring ke dalam perahu karena kami sudah harus dayung kembali ke rumah. “Weiii lumayan hasil mencari hari ini. Luar biasa, ternyata ritual tadi tidak sia-sia, leluhur dan alam mengasihi kita”, kataku. Merry dan bapaknya mendayung sambil menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Kamoro, sedangkan saya mendengar cerita dari mama tentang kisah horor Grasberg bagi orang Kamoro di dataran rendah dan orang Amungme di dataran tinggi. “Korban tidak sedikit dari dulu sampai sekarang”, kisahnya.
Sekitar pkl. 17:00 sore itu, kami pun tiba di rumah keluarga Merry di kampung Tipuka. Atas usulan saya, kepiting-kepiting disiapkan untuk dibawa ke pasar Timika. Karena saya ingin mengikuti prosesnya sampai ke pasar, walaupun saya tidak akan ikut ke pasar. Minggu pagi, Merry membawa kepiting-kepiting itu ke pasar, dan habis terjual. Hasilnya, dia membawa pulang 1 karung beras 10 kg, 1 botol minyak goreng, 2 bungkus garam, 1 kg gula pasir, 1 bungkus kopi, 1 kotak teh celup, dan 1 bungkus rinso sedang. Ohhh terikut pula 1 bungkus rokok Djisamsoe kretek untuk saya. Sisanya, ongkos transportasi. Merry pun tutup cerita bahwa harga barang sembako di Timika mahal, “harga selalu naik, tidak pernah turun”.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua