COP26: Indonesia Siap Adaptasi Perubahan Iklim


Saatnya bertindak, bukan lagi bicara-bicara. Diharapkan berbagai inisiatif tergerak oleh kesadaran bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian iklim melalui upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang efektif dan efisien.

Oleh Pietsau Amafnini

Pertemuan bergengsi untuk iklim, UNFCCC-COP26 sudah selesai dilaksanakan di kota Glasgow, Inggris Raya. Ambisiusme negara-negara peserta COP26 untuk penyelamatan iklim pun sudah disampaikan di sana. Setidaknya COP26 di Galsgow kali ini dihadiri hampir 200 pemimpin negara di dunia. Mereka sudah hadir di sana untuk membahas kelanjutan dari Paris Accord tahun 2015 terkait konkritnya upaya-upaya setiap negara dalam rangka mengatasi kenaikan suhu global yang sudah mencapai 2,7 derajat celcius. Dampaknya bisa fatal jika tidak ada upaya untuk menurunkan suhu global ini hingga kenaikannya tak melebihi batas 1,5 derajat celcius. Hal ini merupakan fokus utama dalam COP26, terkait komitmen penurunan emisi karbon dari tiap negara. Agar tidak terkesan, bicara bagus tapi tidak ada tindakan nyata.

Pada COP26 setidaknya menghasilkan sejumlah kesepakatan penting, tetapi bagi saya ada empat hal yang menjadi dominan. Dari empat hal tersebut, ada tiga hal utama yang penting yakni negara-negara yang berpartisipasi berkomitmen untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik energi batubara secara bertahap; berupaya untuk menjaga suhu bumi tidak naik di atas 1,5 derajat celcius; dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam NDC tiap negara pada 2022. Untuk upaya percepatan mitigsi iklim dibutuhkan hal keempat yakni Pendanaan Iklim. Karena tanpa ketersediaan dana yang cukup, maka mitigasi dan adaptasi itu pun hanyalah sebuah rencana ambisius belaka. Nah untuk hal keempat ini sejak Paris Accord disepakati USD100 miliar untuk dana iklim yang dibebankan kepada negara-negara industry maju.

Hal menarik lainnya adalah setiap negara peserta UNFCCC, COP26 diminta untuk mengurangi emisi karbon global sebesar 45 persen pada tahun 2030 untuk mencapai emisi nol karbondioksida dengan cara menghentikan subsidi bahan bakar fosil, terutama batu bara. Transisi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan sangat diperlukan untuk menjaga suhu global. Untuk selanjutnya negara-negara yang kesulitan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dapat membeli stock carbon dari negara yang sudah berhasil mengurangi emisi karbon.

Upaya-upaya penyelamatan iklim terbuka untuk umum. Lembaga publik maupun perusahaan swasta dapat berinvestasi dalam proyek hijau di negara berkembang. Misalnya, berusaha dengan cara mengganti penggunaan batubara dengan energi terbarukan untuk menghasilkan stock carbon credit yang kemudian bisa diperdagangkan kembali di masa depan. Indonesia mempunyai potensi besar sebagai penghasil kredit karbon ini, asalkan berani menciptakan pasar karbon yang dapat membuka peluang investasi berupa proyek-proyek hijau. Ya, benar juga bahwa Indonesia mempunyai peluang yang besar juga dalam hal perdagangan karbon di dunia.

Indonesia sudah berkomitmen juga di COP26 dengan target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Namun yang terpenting adalah implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Tidak hanya berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim demi menjaga suhu bumi, tetapi juga berhenti menggunakan batu bara sebagai energi. Dengan membaharui NDC pada COP26 sebagai dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim, maka Indonesia juga memiliki tanggung jawab terhadap iklim dunia.

Nah, dalam pelaksanaannya, apa yang perlu diperhatikan? Saya kira pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. COP26 menekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara, bahkan masyarakat yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Hal itu berarti peran multistakeholders perlu dilibatkan dalam setiap dan semua proses implementasinya. Perlu keterlibatan dari berbagai komponen, misalnya masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, pengusaha swasta, dan lain sebagainya.

Hasil perundingan dari COP26 menjadi acuan yang diakui secara internasional dan mencakup ketentuan yang menjadi standar untuk menghindari perhitungan ganda. Sistem ini menciptakan mekanisme yang transparan dalam perdagangan karbon khususnya bagi voluntary market.

Secara khusus, pembaharuan terhadap Pasal 6 Paris Agreement di COP26 memberikan alat bagi negara-negara yang membutuhkan paparan terhadap komitmen hijau untuk integritas lingkungan dan membuka jalan untuk mengalirkan modal swasta ke negara-negara berkembang. Aturan pasar karbon memungkinkan negara-negara untuk memfokuskan upaya mereka pada implementasi dari target pengurangan emisi sesuai komitmen NDC.

Artikel 6 Persetujuan Paris akhirnya telah diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rules Book mendekati lengkap, sehingga implementasi komitmen Para Pihak di bawah Persetujuan Paris dapat dilakukan secara utuh dan efektif. Salah satu elemen penting dalam agenda ini adalah aturan main mengenai kerjasama antar negara maupun antara pelaku usaha dengan otorisasi nasional sebagai bagian dari upaya pemenuhan komitmen NDC. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui pendekatan pasar dengan adanya transfer unit, maupun pendekatan non pasar tanpa adanya transfer unit.

Selain itu Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara sebagai bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca, walaupun hal ini belum sepenuhnya diterima oleh semua negara peserta COP26. Namun demikian, Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang paling siap saat ini untuk menjalankan komitmen NDC-nya, bahwa siap meninggalkan batu bara sebagai energy fosil.

Hal di atas tentu tergerak oleh alasan mendasar bahwa berbagai dampak dan akibat perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artinya ini sebuah kesadaran akan pentingnya penyelamatan iklim untuk keberlangsungan hidup manusia seutuhnya di dunia, tetapi terlebih bagi masyarakat Indonesia.

Adalah sebuah kemajuan Indonesia dalam rangka mengendalikan perubahan iklim, setidaknya dalam hal kebijakan negara. Pemerintah telah melakukan ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) yang di dalamnya memuat kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius hingga 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu praindustrialisasi. Artinya sudah ada dasar hokum yang kuat sebagai acuan utama untuk melaksanakan dan mewujudkan komitmen bersama di tingkat internasional terhadap iklim melalui upaya-upaya di Indonesia. Sehingga bagi saya, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak melaksanakan perintah UU No. 16 tahun 2016 ini.

Selanjutnya apakah pengendalian iklim ini akan berkontribusi secara ekonomi bagi masyarakat dan negara? Mungkin saja ada keraguan yang sangat berarti. Tetapi, bahwa karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim yang akan kontribusi secara nasional. Carbon, selain mempunyai nilai ekonomi yang penting dan memiliki dimensi internasional berupa manfaat ekonomi bagi masyarakat juga sebagai refleksi prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sesuai amanat Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi menurut saya, nilai ekonomi karbon menjadi salah satu instrumen dalam mewujudkan kewajiban dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca melalui aksi mitigasi dan adaptasi iklim yang efisien, efektif dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Untuk hal ini, saya mengajak para pembaca SANCAPAPUANA agar membantu pemerintah kita mewujudkan ambisi penyelamatan iklim dunia sesuai komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia di mata dunia Internasional. Lebih dari itu, saya mengajak kita semua untuk melakukan berbagai aksi nyata untuk “Menyelamatkan hutan dan manusia di Tanah Papua” sebagai bagian dari upaya penyelamatan iklim dunia, karena “Hutan Papua adalah yang tersisa untuk Paru-paru Dunia”. Nah ini lebih penting, dan mungkin bukan hanya menjadi ambisi saya, tapi ambisi kita semua untuk Tanah Papua. Sssstttt, katanya jangan banyak brisik. Ayooo Kerja, Kerja, Kerja. Hasilnya nanti bisa dievaluasi sebelum COP27, atau dilihat pada capaian akhirnya pada 2030 dan 2050. Apakah saat itu Hutan Papua masih utuh adanya atau tidak? Tergantung kitorang sendiri juga.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

Tinggalkan komentar