COP26: Catatan Akhir Dari Glasgow


Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Oleh Pietsau Amafnini

Sebuah proses dari Konferensi Perubahan Iklim Dunia sudah selesai pada 12 Novemver 2021. Glasgow adalah sebuah kota di Skotlandia, Inggris Raya telah menjadi saksi atas pelaksanaan COP26 yang dihadiri 197 negara anggota UNFCCC. Para pimpinan negara sedunia mungkin pulang dengan bangga bahwa masing-masing mereka telah mempresentasikan ambisinya untuk menanggulangi perubahan iklim. Ya, mereka pun tentu bahagia karena bisa bertemu dan berkomunikasi satu sama lain diantara mereka yang mendapat kepercayaan rakyat di negaranya sebagai pemimpin.

Namun tentu tidak demikian bagi gerakan masyarakat sipil dari kalangan CSO dan komunitas masyarakat adat. Bagi mereka, hasil COP26 masih jauh dari harapan. Perubahan iklim dan terutama dampak dari pemanasan global ini sudah seharusnya membutuhkan aksi-aksi nyata, bukan lagi komitmen politik ekonomi perdagangan karbon. Salah satu yang menjadi harapan CSO adalah komitmen tegas dari para pemimpin dunia di COP26 bahwa sudah saatnya berhenti menggunakan energy dari batu bara, dan berhenti mengeksploitasi sumberdaya alam, termasuk perusakan hutan alam.

Akhirnya komitmen Glasgow masih “janji tinggal janji” untuk dibicarakan lagi pada COP berikutnya yang disepakati akan dilaksanakan COP27 di Mesir pada tahun 2022 mendatang. Dinamika politik jauh lebih dominan daripada komitmen nyata untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan. Memang suhu bumi semakin meningkat, bahkan dampak perubahan iklim itu sudah nyata terjadi hampir di seluruh dunia. Kekeringan, kebanjiran, kelongsoran tanah hingga naiknya permukaan air laut adalah dampak dari perubahan iklim itu. Namun keputusan Glasgow ternyata masih berupa janji-janji yang tidak mengikat.

Terlepas dari semua itu, sejumlah hal penting walaupun masih dianggap sebagai ‘kesepakatan lemah’ menjadi rumusan utama sebagai hasil COP26 di Glasgow. Sedikitnya ada 12 point yang menurut saya penting sebagai acuan untuk dibicarakan lagi pada COP27 di Mesir. Sebanyak 197 negara di Glasgow, Skotlandia telah mengadopsi dokumen yang dikenal sebagai Pakta Iklim Glasgow atau Glasgow Climate Pact. Pakta ini meminta 197 negara untuk melaporkan peningkatan ambisi iklim mereka pada COP27 di Mesir. Meski mengecewakan karena tidak ada hal yang memuaskan dari Glasgow, namun UNFCCC mengklaim bahwa Glasgow Pact justru memperkuat kesepakatan global untuk mempercepat aksi iklim dalam dekade ini.

Ke-12 point ‘kesepakatan lemah’ tersebut adalah: 1) Glasgow Leaders Declaration on Forest and Land Use dimana 141 negara (per tanggal 12 November 2021) yang mewakili sekitar 90,94% hutan dunia telah berjanji untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi pada tahun 2030; 2) Secara spesifik para pemimpin dunia berjanji untuk memfasilitasi kebijakan perdagangan dan pembangunan secara internasional maupun domestik yang mendorong pembangunan berkelanjutan, produksi dan konsumsi komoditas berkelanjutan demi keuntungan bersama negara, dan yang tidak mendorong deforestasi dan degradasi lahan; 3) Ada juga janji untuk mengurangi emisi metana, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, di mana lebih dari 100 negara sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ini pada tahun 2030; 4) Sementara itu, lebih dari 40 negara – termasuk pengguna batu bara utama seperti Polandia, Vietnam dan Chili – sepakat untuk beralih dari batu bara, salah satu penghasil emisi CO2 terbesar walau dengan tenggat waktu yang berbeda-beda; 5) Dari sektor swasta, hampir 500 perusahaan jasa keuangan global setuju untuk “menyelaraskan” dana $130 triliun – sekitar 40 persen dari aset keuangan dunia – agar penggunaannya sejalan dengan tujuan yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris, termasuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius; 6) Juga, yang mengejutkan bagi banyak orang, Amerika Serikat dan China berjanji untuk meningkatkan kerja sama iklim dalam 10 tahun ke depan. Mereka memgeluarkan deklarasi bersama dan setuju untuk beraksi mengurangi emisi termasuk emisi metana, melakukan transisi ke energi bersih dan dekarbonisasi. Mereka juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk menjaga target 1.5°C sesuai Persetujuan Paris bisa tercapai; 7) Terkait transportasi hijau, lebih dari 100 pemangku kepentingan, termasuk negara, kota, negara bagian, dan perusahaan besar menandatangani Deklarasi Glasgow dimana mereka akan mengakhiri penjualan kendaraan dengan pembakaran internal pada tahun 2035 di pasar utama, dan pada tahun 2040 di seluruh dunia. Setidaknya 13 negara juga berkomitmen untuk mengakhiri penjualan kendaraan berat berbahan bakar fosil pada tahun 2040; 8) Komitmen yang ‘lebih kecil’ namun sama-sama menginspirasi datang dari 11 negara yang menciptakan Beyond Oil and Gas Alliance (BOGA). Irlandia, Prancis, Denmark, dan Costa Rica, serta beberapa pemerintah daerah, meluncurkan aliansi pertama untuk menetapkan batas akhir (deadline) kegiatan eksplorasi dan ekstraksi minyak dan gas nasional; 9) Terkait adaptasi perubahan iklim, para pihak membentuk program kerja adaptasi global, yang akan mengidentifikasi kebutuhan dan solusi kolektif untuk krisis iklim yang telah merugikan banyak negara. Caranya adalah dengan memperkuat “The Santiago Network” guna mengatasi dan mengelola klausul kerugian dan kerusakan atau loss and damage; 10) Masalah pendanaan dibahas secara ekstensif sepanjang COP26 dan telah tercipta konsensus perlunya untuk terus meningkatkan dukungan pada negara-negara berkembang. Seruan untuk setidaknya menggandakan pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim disambut baik oleh para pihak. Komitmen dana mitigasi perubahan iklim meningkat dari USD 129 juta di COP24 di Katowice, Polandia menjadi USD 356 juta di COP26. Walau target pendanaan belum tercapai, COP26 juga menegaskan kembali kewajiban negara maju untuk memenuhi janji mereka memberikan bantuan USD 100 miliar setiap tahun ke negara berkembang; 11) Terkait mitigasi, COP26 mengidentifikasi dengan jelas kesenjangan pengurangan emisi GRK yang belum tercapai dan meminta para pihak bersama-sama bekerja mengurangi kesenjangan itu sehingga bisa membatasi kenaikan suhu rata-rata hingga 1.5°C. Para pihak juga didorong untuk memperkuat aksi pengurangan emisi mereka dan menyelaraskan janji NDC mereka dengan Persetujuan Paris; dan 12) Terakhir, secara teknis, COP26 berhasil menyepakati “Paris Rulebook” yang menjadi dasar pelaksanaan Persetujuan Paris. Di dalamnya tercakup norma-norma mendasar terkait Article 6 atau Pasal 6 tentang pasar karbon, yang akan membuat Perjanjian Paris beroperasi penuh. Article 6 memberikan kepastian dan prediktabilitas – baik pendekatan pasar maupun non-pasar – dalam mendukung aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Negosiasi terkait Kerangka Transparansi yang Disempurnakan atau “Enhanced Transparency Framework” juga telah diselesaikan, sehingga negara bisa memiliki panduan untuk memperhitungkan dan melaporkan target dan emisi.

Pada prinsipnya COP26 telah berhasil mempertahankan target 1,5 derajat celcius sebagai komitmen bersama para pihak di dunia untuk menjaga keberlangsungan hidup di bumi ini. Namun target tersebut bisa saja tidak akan tercapai jika tidak semua negara menepati janjinya. Semestinya komitmen dapat dilanjutkan dengan aksi nyata dan cepat untuk mencapai target. Tetapi jika hanya sebatas bicara-bicara di tingkat COP, maka Pakta Iklim Glasgow toh hanya akan menjadi dokumen catatan ambisiusme penyelamatan iklim seperti sejumlah COP sebelumnya.

Selebihnya, saya kira sebagai manusia, tentu perlu menyadari bahwa kita adalah bagian dari alam yang sama di planet bumi ini. Kita semua dituntut untuk memperlakukan lingkungan alam di sekitar kita secara adil dan bijaksana. Sebab bencana alam selalu akan datang kapan saja. Kesadaran itu perlu ada dan masing-masing kita dapat melakukan tindakan nyata untuk mencegah sekaligus menyelamatkan diri dari setiap jenis bencana yang timbul sebagai akibat dari perubahan iklim.

Nah bagaimana dengan komitmen dan kesiapan Indonesia sendiri untuk melaksanakan apa yang menjadi komitmennya untuk iklim? Pada tulisan-tulisan sebelumnya, saya sudah mengulas tentang apa yang bisa diharapkan dari Indonesia dalam hal upaya mitigasi dan adaptasi iklim sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC). Yang jelas sehebat apapun ambisi pemerintah Indonesia untuk menunjukkan diri pada dunia internasional terkait sikap dan peran aktifnya terhadap iklim, tak mungkin mencapai ambisi itu tanpa anggaran (uang). Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menyatakan bahwa pemerintah membutuhkan biaya sebesar Rp. 3.461,31 Triliun untuk mitigasi perubahan iklim periode 2020 – 2030.

Kebutuhan pendanaan ini semakin meningkat sebab Roadmap NDC Mitigasi Indonesia pada 2020 estimasinya mencapai Rp.3.799,63 triliun pada 2020-2030. Perinciannya, Rp.3,500 triliun dibutuhkan sektor energi dan transportasi. Diantaranya untuk menjalankan program renewable energy dan pensiunkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Sedangkan sisanya Rp.181,40 Triliun untuk limbah, Rp.93,28 Triliun untuk kehutanan, dan Rp.4,04 triliun untuk pertanian. Ya tentu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Sementara pemerintah sendiri hanya bisa menyiapkan 27 persen dari total kebutuhan anggaran itu, sehingga sisanya diharapkan dukungan dari sector swasta dan dukungan negara-negara maju sesuai Paris Accord.

Salah satu langkah perhatian dari sector swasta dari negara maju untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan NDC adalah Chief Executive Officer (CEO) Forum yang sudah berkomitmen dengan Presiden Jokowi di Glasgow pada 1 November 2021. CEOs Forum Inggris ini berkomitmen untuk menginvest USD 9,29 Miliar di Indonesia. Salah satu investor dari CEOs Forum ini adalah British Petroleum (BP). Bahkan sejauh ini sudah ada USD 35 Miliar investasi yang sudah terkomitmen dan juga sedang berjalan dalam mata rantai baterai dan kendaraan listrik.

Dari sisi kebijakan, Indonesia sudah memiliki aturan berupa Peraturan Presiden (Perpres) tentang instrument nilai ekonomi karbon yang mengatur mekanisme perdagangan karbon. Dengan adanya Perpres ini, justru diharapkan mekanisme pasar karbon dapat dikelola dengan baik. Perpres No. 98 tahun 2021 yang diberlakukan sejak 29 Oktober 2021, atau 2 hari sebelum KTT G20 di Roma, Italia. Bahkan sector swasta di Indonesia pun sudah menjemput bola penyelamatan iklim dengan memanfaatkan peluang kebijakan Perpres 98 tersebut, yakni Melchor Group (PT. Melchor Tiara Pratama) dan Medco Group telah melakukan MoU pengelolaan hutan seluas 180.000 hektar di Tanah Papua. Penandatanganan MoU tersebut dilakukan oleh Rudi Poespoprodjo selaku Pimpinan Melchor Group dan Hilmi Panigoro selaku Pimpinan Medco Group. Proses MoU ini disaksikan Arifin Panigoro (pendiri Medco Group) dan Peter Gontha (pendiri Melchor Group).

Selain itu, di sektor energi, Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari pembangkit-pembangkit batubara dan menggantikannya dengan energi terbarukan. Pemerintah telah mengidentifikasi ada 5,5 GW PLTU batubara yang bisa masuk dalam proyek ini dengan kebutuhan pendanaan sebesar USD 25-30 Miliar selama 8 tahun ke depan. Indonesia akan mengalihkan pembangkit batubara dengan renewable energy pada tahun 2040, dengan catatan jika terdapat kerja sama, teknologi, nilai keekonomian yang layak, dan pendanaan internasional yang membantu transisi energi tersebut. Indonesia juga memiliki potensi pengembangan kendaraan dan baterai listrik, karena kekayaan mineral di Indonesia seperti nikel, tembaga dan bauksit/alumunium sangat potensial tersedia. Wowwww, memang Indonesia boleh. Semoga bukan hanya sekedar pemanis sesaat saja di bibir ini. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Indonesia Siap Adaptasi Perubahan Iklim


Saatnya bertindak, bukan lagi bicara-bicara. Diharapkan berbagai inisiatif tergerak oleh kesadaran bahwa dampak perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian iklim melalui upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang efektif dan efisien.

Oleh Pietsau Amafnini

Pertemuan bergengsi untuk iklim, UNFCCC-COP26 sudah selesai dilaksanakan di kota Glasgow, Inggris Raya. Ambisiusme negara-negara peserta COP26 untuk penyelamatan iklim pun sudah disampaikan di sana. Setidaknya COP26 di Galsgow kali ini dihadiri hampir 200 pemimpin negara di dunia. Mereka sudah hadir di sana untuk membahas kelanjutan dari Paris Accord tahun 2015 terkait konkritnya upaya-upaya setiap negara dalam rangka mengatasi kenaikan suhu global yang sudah mencapai 2,7 derajat celcius. Dampaknya bisa fatal jika tidak ada upaya untuk menurunkan suhu global ini hingga kenaikannya tak melebihi batas 1,5 derajat celcius. Hal ini merupakan fokus utama dalam COP26, terkait komitmen penurunan emisi karbon dari tiap negara. Agar tidak terkesan, bicara bagus tapi tidak ada tindakan nyata.

Pada COP26 setidaknya menghasilkan sejumlah kesepakatan penting, tetapi bagi saya ada empat hal yang menjadi dominan. Dari empat hal tersebut, ada tiga hal utama yang penting yakni negara-negara yang berpartisipasi berkomitmen untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik energi batubara secara bertahap; berupaya untuk menjaga suhu bumi tidak naik di atas 1,5 derajat celcius; dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam NDC tiap negara pada 2022. Untuk upaya percepatan mitigsi iklim dibutuhkan hal keempat yakni Pendanaan Iklim. Karena tanpa ketersediaan dana yang cukup, maka mitigasi dan adaptasi itu pun hanyalah sebuah rencana ambisius belaka. Nah untuk hal keempat ini sejak Paris Accord disepakati USD100 miliar untuk dana iklim yang dibebankan kepada negara-negara industry maju.

Hal menarik lainnya adalah setiap negara peserta UNFCCC, COP26 diminta untuk mengurangi emisi karbon global sebesar 45 persen pada tahun 2030 untuk mencapai emisi nol karbondioksida dengan cara menghentikan subsidi bahan bakar fosil, terutama batu bara. Transisi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan sangat diperlukan untuk menjaga suhu global. Untuk selanjutnya negara-negara yang kesulitan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dapat membeli stock carbon dari negara yang sudah berhasil mengurangi emisi karbon.

Upaya-upaya penyelamatan iklim terbuka untuk umum. Lembaga publik maupun perusahaan swasta dapat berinvestasi dalam proyek hijau di negara berkembang. Misalnya, berusaha dengan cara mengganti penggunaan batubara dengan energi terbarukan untuk menghasilkan stock carbon credit yang kemudian bisa diperdagangkan kembali di masa depan. Indonesia mempunyai potensi besar sebagai penghasil kredit karbon ini, asalkan berani menciptakan pasar karbon yang dapat membuka peluang investasi berupa proyek-proyek hijau. Ya, benar juga bahwa Indonesia mempunyai peluang yang besar juga dalam hal perdagangan karbon di dunia.

Indonesia sudah berkomitmen juga di COP26 dengan target yang ambisius untuk mencegah pemanasan global tak melebihi 1,5 derajat celcius. Namun yang terpenting adalah implementasinya perlu selaras dengan target yang dicanangkan. Tidak hanya berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim demi menjaga suhu bumi, tetapi juga berhenti menggunakan batu bara sebagai energi. Dengan membaharui NDC pada COP26 sebagai dokumen komitmen sebuah negara atas Persetujuan Paris yang disepakati dalam konferensi iklim pada 2015 untuk mengurangi emisi karbon dan membangun ketahanan iklim, maka Indonesia juga memiliki tanggung jawab terhadap iklim dunia.

Nah, dalam pelaksanaannya, apa yang perlu diperhatikan? Saya kira pemerintah perlu membuka ruang partisipasi banyak pihak di banyak sektor. COP26 menekankan kolaborasi untuk menyiapkan negara, bahkan masyarakat yang terdampak untuk melindungi ekosistem. Hal itu berarti peran multistakeholders perlu dilibatkan dalam setiap dan semua proses implementasinya. Perlu keterlibatan dari berbagai komponen, misalnya masyarakat sipil, pemerintah daerah, masyarakat adat, pengusaha swasta, dan lain sebagainya.

Hasil perundingan dari COP26 menjadi acuan yang diakui secara internasional dan mencakup ketentuan yang menjadi standar untuk menghindari perhitungan ganda. Sistem ini menciptakan mekanisme yang transparan dalam perdagangan karbon khususnya bagi voluntary market.

Secara khusus, pembaharuan terhadap Pasal 6 Paris Agreement di COP26 memberikan alat bagi negara-negara yang membutuhkan paparan terhadap komitmen hijau untuk integritas lingkungan dan membuka jalan untuk mengalirkan modal swasta ke negara-negara berkembang. Aturan pasar karbon memungkinkan negara-negara untuk memfokuskan upaya mereka pada implementasi dari target pengurangan emisi sesuai komitmen NDC.

Artikel 6 Persetujuan Paris akhirnya telah diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan diadopsinya agenda ini, maka Paris Rules Book mendekati lengkap, sehingga implementasi komitmen Para Pihak di bawah Persetujuan Paris dapat dilakukan secara utuh dan efektif. Salah satu elemen penting dalam agenda ini adalah aturan main mengenai kerjasama antar negara maupun antara pelaku usaha dengan otorisasi nasional sebagai bagian dari upaya pemenuhan komitmen NDC. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui pendekatan pasar dengan adanya transfer unit, maupun pendekatan non pasar tanpa adanya transfer unit.

Selain itu Pakta Iklim Glasgow (The Glasgow Pact) yang disebut sebagai kesepakatan iklim pertama yang secara eksplisit berencana untuk mengurangi batu bara sebagai bahan bakar fosil terburuk untuk gas rumah kaca, walaupun hal ini belum sepenuhnya diterima oleh semua negara peserta COP26. Namun demikian, Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang paling siap saat ini untuk menjalankan komitmen NDC-nya, bahwa siap meninggalkan batu bara sebagai energy fosil.

Hal di atas tentu tergerak oleh alasan mendasar bahwa berbagai dampak dan akibat perubahan iklim sudah sangat mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artinya ini sebuah kesadaran akan pentingnya penyelamatan iklim untuk keberlangsungan hidup manusia seutuhnya di dunia, tetapi terlebih bagi masyarakat Indonesia.

Adalah sebuah kemajuan Indonesia dalam rangka mengendalikan perubahan iklim, setidaknya dalam hal kebijakan negara. Pemerintah telah melakukan ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) yang di dalamnya memuat kewajiban Pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan secara nasional untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius hingga 1,5 derajat celcius dari tingkat suhu praindustrialisasi. Artinya sudah ada dasar hokum yang kuat sebagai acuan utama untuk melaksanakan dan mewujudkan komitmen bersama di tingkat internasional terhadap iklim melalui upaya-upaya di Indonesia. Sehingga bagi saya, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak melaksanakan perintah UU No. 16 tahun 2016 ini.

Selanjutnya apakah pengendalian iklim ini akan berkontribusi secara ekonomi bagi masyarakat dan negara? Mungkin saja ada keraguan yang sangat berarti. Tetapi, bahwa karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim yang akan kontribusi secara nasional. Carbon, selain mempunyai nilai ekonomi yang penting dan memiliki dimensi internasional berupa manfaat ekonomi bagi masyarakat juga sebagai refleksi prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sesuai amanat Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jadi menurut saya, nilai ekonomi karbon menjadi salah satu instrumen dalam mewujudkan kewajiban dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca melalui aksi mitigasi dan adaptasi iklim yang efisien, efektif dan berkeadilan tanpa mengurangi capaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Untuk hal ini, saya mengajak para pembaca SANCAPAPUANA agar membantu pemerintah kita mewujudkan ambisi penyelamatan iklim dunia sesuai komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia di mata dunia Internasional. Lebih dari itu, saya mengajak kita semua untuk melakukan berbagai aksi nyata untuk “Menyelamatkan hutan dan manusia di Tanah Papua” sebagai bagian dari upaya penyelamatan iklim dunia, karena “Hutan Papua adalah yang tersisa untuk Paru-paru Dunia”. Nah ini lebih penting, dan mungkin bukan hanya menjadi ambisi saya, tapi ambisi kita semua untuk Tanah Papua. Sssstttt, katanya jangan banyak brisik. Ayooo Kerja, Kerja, Kerja. Hasilnya nanti bisa dievaluasi sebelum COP27, atau dilihat pada capaian akhirnya pada 2030 dan 2050. Apakah saat itu Hutan Papua masih utuh adanya atau tidak? Tergantung kitorang sendiri juga.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Ambisiusme Penyelamatan Iklim


Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan. Bahkan untuk menghadapi dampaknya, manusia harus berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim itu sendiri selain mengobral ambisi penurunan emisi gas rumah kaca. Kekhawatiran saya, Ambisi Iklim itu hanya untuk Uang dan Investasi ber kedok Green.

Oleh Pietsau Amafnini

Setelah Paris Accord disepakati pada tahun 2015, semua negara Utara dan Selatan anggota UNFCCC telah berkomitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Paris Accord bukan sekedar sebuah kesepakatan tanpa kewajiban. Paris Accord mewajibkan semua negara maju (utara) untuk bertanggung jawab terhadap penanganan perubahan iklim dan dampaknya yang merupakan krisis berkepanjangan di negara-negara berkembang (selatan).

Indonesia merupakan salah satu dari semua negara UNFCCC yang telah menyatakan komitmennya terhadap iklim dalam dokumen INDC (Intended Nationally Determined Contribution. Untuk diketahui, setelah ratifikasi Paris Accord pada tahun 2016, negara-negara UNFCCC telah menyerahkan dokumen INDC dimana mereka menegaskan kembali komitmennya untuk masa depan iklim planet ini, berkarbon rendah dan berketahanan iklim. Target bersamanya adalah mencapai Zero Emision pada 2050.

Apakah Indonesia juga berambisi dalam dokumen INDC untuk iklim? Tentu saja, walaupun upaya penurunan emisi gas rumah kaca itu masih wacana politik green belaka. Buktinya masih banyak lahan hutan tropis yang dibuka atau ditebang untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit, mafia illegal logging masih marak, energi batu bara masih menjadi primadona, bahkan masyarakat adat masih terus kehilangan tanah adat dan segala potensi alam sebagai sumber-sumber penghidupan mereka untuk pembangunan investasi pengerukan tambang dan perkebunan skala besar. Ini artinya Indonesia juga salah satu penyumbang meningginya emisi gas rumah kaca di dunia.

Ambisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil emisi terbesar di dunia justru akan menentukan apakah peningkatan suhu rata-rata global dapat ditekan di bawah 2 derajat Celsius seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, atau di bawah 1,5 derajat Celsius seduai hasil penelitian Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) pada 2018. Nah, apakah sudah ada upaya tertentu dari pemerintah negara Indonesia untuk mencapai ambisi ini? Sudah banyak, tapi dalam wacana poltik, dalam bentuk kebijakan, dan sekarang dalam bentuk Agenda GREEN dimana semua sector pembangunan wajib bersinergi untuk mencapai ambisi itu, Zero Emission di tahun 2050, bahkan lebih cepat lebih baik, 2030.

Pada dokumen INDC-Paris Accord, Indonesia berkomitmen untuk melakukan kegiatam-kegiatan strtegis dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen hingga 41 persen dibawah scenario bussines as usual. Komitmen ini direncanakan berlangsung hingga tahun 2030. Pertanyaannya adalah apakah kita yakin bahwa Zero Emission itu akan terwujud pada 2030? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Karena menurut hemat saya, komitmen ini belumlah cukup untuk menahan lajunya tingkat pemanasan global yang dibutuhkan untuk mencegah dampaknya berupa bencana-bencana yang kemungkinan jauh lebih besar dari upaya apapun yang dilakukan saat ini dan ke depan. Mengapa demikian? Ambisi iklim itu belum selaras, searah dan setindak antara rencana penurunan emisi dengan pembangunan Indonesia yang masih cenderung eksploitatif. Bahkan, batu bara masih menjadi energi yang terandalkan di Indonesia. Harapan saya, industry ekstraktif batu bara dan penggunaan energy berbahan bakar batu bara serta penebangan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan sawit juga harus dihentikan. Saya kira ini ambisi yang benar-benar nyata dan terukur hingga 2030.

Tidak hanya Indonesia. Negara-negara makmur di Uni Eropa juga tentu mempunyai ambisinya tersendiri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi Nol persen pada 2050. Bangsa Eropa pun sadari bahwa beberapa dampak perubahan iklim sudah dan sedang dirasakan hingga saat ini dan mungkin ke depan jauh lebih parah, dan itu tidak bisa dihindari, sehingga masyarakat Eropa diminta juga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan iklim dan memitigasi dampaknya. Mengapa? Perubahan iklim dapat terjadi dalam sejarah umat manusia di bumi ini karena ulah dan perilaku manusia sendiri dalam memperlakukan sumberdaya alam atas nama pembangunan.

Uni Eropa sendiri dalam INDC bersedia untuk berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca 55 persen pada 2030. Sementara China, India, Arab Saudi dan Turky mereka bertanggung jawab atas penurunan emisi 33 persen. Namun demikian, dari 191 negara pengikut Paris Accord hanya 113 negara yang mempunyai komitmen jelas untuk iklim. Belum lagi Pemerintah Amerika Serikat yang menolak menandatangani Paris Accord itu. Tetapi posisi Amerika Serikat untuk iklim saat ini sudah diperbaiki oleh Presiden Biden yang menghadiri COP26 di Glasgow dan menyatakan dukungan ambisius negaranya untuk penurunan emisi gas rumah kaca dengan alasan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup. Negara-negara yang belum membaharui komitmen mereka pun akhirnya bersedia melakukan berbagai upaya dengan targetnya masing-masing untuk menurunkan emisi pada tahun 2030 untuk mendukung ambisi bersama pencapaian Zero Emission tahun 2050. Harapan saya untuk Uni Eropa dan Amerika Serikat adalah semoga mereka berhenti mengimpor batu bara, berhenti menggunakan batu bara sebagai energy listrik dan juga berhenti mengimpor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Ini baru namanya ambisi yang nyata dan terukur.

Tentang kesiapan Indonesia, pemerintah era Jokowi periode ke-2 ini telah menetapkan Peta Jalan (roadmap) Adaptasi Perubahan Iklim hingga 2030. Roadmap ini telah tertuang pula dalam pembaharuan dokumen INDC yang diajukan di COP26, bahkan aksi nyatanya berupa Program Kampung Iklim, Restorasi Mangrove dan Agroforestry Perhutanan Sosial. Program-program kerja ini dilakukan sebagai langkah kerja adaptasi iklim. Persoalannya siapa yang akan bekerja? Pemerintah perlu mengintegrasikan program kerja adaptasi iklim dengan pihak pemerintah daerah, sector swasta, masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat local di tingkat kampung.

Saya hanya mengkhawatirkan bahwa dalam pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim di atas, ada kemungkinan munculnya berbagai kepentingan yang akan terus membuat nasib masyarakat adat semakin tak tentu disamping sebagai bagian dari dampak perubahan iklim itu sendiri. Mengapa? Karena Ambisi Iklim itu adalah untuk Uang dan Investasi berlabel kedok Green, sedangkan perilaku Korupsi dan Kekerasan masih membudaya di Indonesia.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Semoga Ada Harapan Baru dari Glasgow


Pada bagian-bagian sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa semestinya Bali Roadmap, Kyoto Protocol dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini dalam tindakan nyata, bukan lagi bicara-bicara. Tapi kalau masih sebatas wacana, maka itu namanya ‘NATO’ (No Action, Talk Only). Semoga ada Harapan Baru dari Glasgow.

Oleh Pietsau Amafnini

UNFCCC-COP26 ternyata masih membahas tentang scenario pencegahan dan penanganan perubahan iklim dunia. Keseriusan pimpinan negara-negara industry maju masih dipertanyakan masyarakat dunia, karena tidak jelasnya pelaksanaan protocol Kyoto dan Paris Accord. Seakan-akan isu perubahan iklim masih sebatas wacana, sementara sudah melewati 25 kali COP sebagai forum tertinggi pertemuan internasional untuk membahas perubahan iklim dari sisi dampak, pencegahan, penanganan hingga pendanaannya.

Kami sudah mengulas tentang betapa pentingnya pelaksanaan COP26 dalam rangka penyelamatan iklim dunia pada bagian-bagian sebelumnya. Para pemimpin negara-negara di dunia berkumpul di sini untuk membahas tentang skenario, isu utama dan krusial tentang perubahan iklim dan harapan kepada negara anggota di dunia untuk mengambil peran masing-masing sesuai Kyoto Protocol yang menjadi aturan dan pedoman pengikat komitmen bersama untuk mengatasi dan menangani masalah perubahan iklim. Pimpinan negara Indonesia, Presiden Joko Widodo juga hadir di Glasgow untuk memaparkan kemajuan agenda dan aksi perubahan iklim di Indonesia.

Pemerintah Indonesia sudah berupaya untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celcius melalui kerja-kerja lapangan menuju netzero emisi atau nol emisi sesuai kemampuan yang ada. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, energi dan land use. Pada pelaksanaannya, Indonesia mempunyai konsep dan agenda green dimana semua sector pembangunan berbasis lintas kementerian harus sinergi dalam pelaksanaannya untuk menjawab tantangan perubahan iklim.

Dalam hubungannya dengan komitmen bersama semua negara pada saat di Glasgow, Presiden Jokowi telah menyerukan pentingnya sinkronisasi kebijakan antra negara maju dan negara berkembang terkait perubahan iklim. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengharapkan ada langkah-langkah konkret terkait pengendalian iklim, terutama dalam hal dukungan pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Jokowi menegaskan bahwa pendanaan adaptasi iklim sebesar USD 100 miliar dari negara maju harus segera dipenuhi untuk mempercepat upaya penaganan perubahan iklim.

Di COP26, Presiden Jokowi menerangkan bahwa pada beberapa tahun terakhir, Indonesia sendiri sudah menunjukkan langkah konkret dalam hal pengendalian iklim. Disebutnya bahwa setidaknya 20 tahun terakhir, laju deforestasi sudah ditekan hingga paling rendah saat ini. Tingkat kebakaran hutan pun berkurang 82 persen. Bahkan selanjutnya Indonesia akan melakukan restorasi gambut seluas 64.000 hektar lahan mangrove. Intinya Jokowi yakin bahwa Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi sebesar 29 persen pada tahun 2030, lebih cepat dari target rendah karbon jangka panjang dunia pada 2050.

Presiden Jokowi juga sempat menggelar pertemuan dengan sejumlah pimpinan perusahaan setingkat Chief Executive Officer (CEO) di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya pada tanggal 1 November 2021. Pada pertemuan ini, Jokowi secara khusus menekankan pada investasi di bidang ekonomi hijau sesuai Peraturan Presiden (Perpres) yang baru selesai ditandatanganinya sesaat sebelum berangkat ke Roma untuk menghadiri KTT G-20 dan juga ke Glasgow untuk menghadiri KTT COP26. Dalam Prepres tersebut sebagai instrument nilai ekonomi karbon yang akan mengatur mekanisme carbon trading di Indonesia ke depan.

Komitmen Indonesia adalah selain mengurangi emisi gas rumah kaca, juga meningkatkan pendanaan pembangunan. Sehingga pasar karbon harus dikelola dengan prinsip berkeadilan dan transparan. Sebab, kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia mencakup transisi menuju green economy yang efektif. Hal lain yang merupakan upaya penurunan emisi itu juga adalah perubahan pada sector energi, dimana Indonesia membuka peluang investasi untuk melakukan early retirement dari penggunaan batubara sebagai sumber energi akan tergantikan dengan energi terbarukan. Sesuai dengan komitmennya, Indonesia akan mengalihkan energi batubara dengan renewable energy pada tahun 2040. Namun hal ini hanya bisa berjalan jika ada kerjasama dan dukungan dari semua pihak internasional dalam hal teknologi dan pendanaan. Pada pasca CEO’s Forum Meeting di Glasgow ini, Jokowi pun memperoleh komitmen investasi sebesar USD 9,29 miliar sebagai nilai tambah untuk investasi USD 35 miliar yang sudah dan sedang berjalan dalam mata rantai energi terbarukan, yakni baterai dan kendaraan listrik di Indonesia.

Dengan melihat ulaan di atas, apa yang ada di benak kita? Terlepas dari sikap pro maupun kontra, saya ingin mengatakan bahwa pada zaman ini, dunia internasional sangat memperhitungkan Indonesia dari posisinya yang strategis di Asia-Pasifik. Indonesia merupakan negara berkepulauan yang luas dengan 17.000 pulau dan bangsa besar dengan 270 juta jiwa dari 250 ribu suku bangsa. Di sisi lain, Forum CEO melihat Indonesia sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi. Ya, mungkin juga ini salah satu dukungan terhadap posisi Indonesia saat ini yang menjadi pemimpin G20 untuk mempersiapkan KTT G20 pada Oktober 2022. Namun demikian, Indonesia telah menjadi destinasi yang sangat atraktif bagi investasi asing dan akan terus menarik investor dari seluruh dunia untuk membuka usaha-usaha berbasis dan berorientasi green economy di Indonesia.

Hmm, susah apalagi? Indonesia sudah mempunyai Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan peluang besar untuk kemajuan Indonesia dalam hal investasi produktif pada berbagai sector. Yang menarik bagi saya adalah CEOs Forum itu ternyata sejumlah perusahaan terkemuka di dunia yang bergerak di berbagai macam industry bidang renewable energy, sustainable commodities, infrastructure dan financial, diantaranya: British Petroleum (BP) Jardine Martheson, Mars Wrigley UK, Standard Chartered, HSBC dan Shire Oak. Ya, British Petroleum (BP) Inggris sudah di Indonesia, yakni di Teluk Bintuni, Papua Barat. Jadi wajarlah kalau BP ingin membantu Indonesia untuk mencapai ambisinya dalam upaya penurunan imisi, yang konon katanya lebih cepat lebih baik sebelum 2050. Penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sector kehutanan, land use dan sector energi.

Selebihnya, terlepas dari Indonesia sebagai negara yang dianggap penting oleh dunia internasional G20 dan COP26, ternyata menarik pula bagi Perusahaan-perusahaan besar CEOs Forum yang telah berani menaruh kepercayaan kepada Indonesia dengan nilai USD 9,29 miliar sebagai dana investasi berbasis GREEN. Hmmm, kalau sudah begini, apa yang mau dibilang lagi? Jokowi memang hebat. Pace dia tra kosong. Pergi membawa konsep, pulang bawa komitmen – berupa uang. Urusan tagih janji-komitmen negara maju-selesai di tangan CEOs Forum.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

COP26: Perubahan Iklim Menuntut Perubahan Perilaku Manusia?


Pasti setiap daerah atau wilayah mempunyai pengalamannya tersendiri. Ada yang mungkin mengalami bencana banjir bandang, tetapi ada juga yang mengalami kekeringan; ada yang mengalami curah hujan lebih tinggi dari biasanya, tetapi ada yang mengalami kebakaran hutan karena kekeringan. Bencana banjir mungkin hal biasa di Indonesia. Tapi baik kebanjiran maupun kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, karena toh negara-negara di benua Australia, Amerika dan Eropa pun mengalami dampak perubahan iklim yang sama di bumi yang sama pula.

Oleh Pietsau Amafnini

Perubahan iklim sudah menjadi masalah penyebab krisis multidimensi di dunia. Namun apa sebenarnya penyebab perubahan iklim itu sendiri? Perubahan iklim adalah perubahan pola dan intensitas unsure iklim dalam periode waktu yang sangat lama. Bentuk perubahan berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca atau perubahan persebaran kejadian cuaca. Penyebab utamanya adalah pemanasan global.

Tentu kita pun bertanya apa penyebab pemanasan global itu sendiri? Kita bisa membayangkan kesejukan udara di suatu lokasi permukiman yang berada di lembah maupun gunung yang masih utuh hutann alamnya? Kesejukan itu terjadi karena masih banyak pepohonan di sekitarnya, bahkan lingkungan alam di sekitarnya belum terbuka luas untuk suatu alasan pembangunan yang merusak hutan.

Percepatan pemanasan global merupakan akibat dari meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer bumi yang mengubah peran dari efek GRK yakni lapisan ozzon yang berfungsi melindungi bumi dari panas matahari. Berikutnya apa yang menjadi penyebabnya? Salah satunya adalah aktivitas manusia juga dapat mengubah iklim bumi dan saat ini mendorong perubahan iklim melalui pemanasan global itu. Contohnya, aktifitas penebangan atau pembukaan hutan alam untuk lahan perkebunan sawit, pengerukan lahan untuk pertambangan batu bara, emas, nikel, tembaga dan lain sebagainya yang merupakan industry ekstraktif. Hal lain juga adalah sumbangan asap dari cerobong pabrik industry-industri besar hingga knalpot kendaraan.

Perubahan iklim akan berdampak pada meningkatnya tinggi permukaan air laut karena gunung-gunung es yang berada di daerah kutub utara dan selatan planet bumi mencair sebagai efek dari pemanasan global. Bahkan bencana alam seperti tanah longsor, kekeringan, banjir bandang hingga mengakibatkan gagal panen pada sector pertanian juga merupakan bagian dari dampak buruk dari perubahan iklim itu. Tidak hanya itu, selain cuaca yang tidak menentu, bisa saja terjadi pergeseran rentang geografis pada bumi, hilangnya pulau-pulai kecil dari bumi, dan kerusakan ekosistem yang sangat mengerikan. Kita bisa membayangkan bagaimana di wilayah kita ada air terjun, tetapi suatu waktu air terjun itu mengalami kekeringan. Bahkan suatu ketika negara-negara kepualauan dan pulau-pulau kecil di Asia Pasifik bisa saja hilang ditelan air lautan samudera yang cenderung naik. Singkatnya, perubahan iklim akan membawa dampak di lautan, daratan dan lapisan udara. Hal ini tentu akan dirasakan oleh baik manusia, hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme.

Mengapa pemanasan global itu terjadi? Mungkin kita sudah mengenal yang namanya efek rumah kaca yang merupakan istilah untuk menggambarkan bumi memiliki caranya sendiri untuk menerima dan melepaskan gas-gas di atmosfir seperti karbondioksida. Penyebab tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir adalah hasil dari perbuatan manusia sendiri. Jadi sebenarnya manusia sendirilah yang menjadi pelaku utama penyebab perubahan iklim yang sudah, sedang dan akan terus menghantui kehidupan di planet bumi ini.

Beberapa ulah manusia yang menjadi penyebab perubahan iklim itu diantaranya: penebangan dan pembakaran hutan dalam skala luas untuk kebutuhan permukiman, perkotaan dan perkebunan atau pertanian skala besar. Padahal pohon sangatlah berguna untuk iklim karena dapat mengubah gas karbon dioksida menjadi oksigen yang bermanfaat untuk kehidupan di bumi. Namun manusia yang oleh karena kebutuhan dan keserakahannya dapat mengubah hutan alam seketika menjadi gundul untuk dijadikan tempat bercocok tanam, termasuk lahan perkebunan sawit yang marak di Indonesia saat ini. Tidak hanya itu, penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara yang berlebihan pun merusak kualitas udara dan juga dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.

Selain itu tentu pencemaran laut dan industry pertanian skala besar juga dapat menyumbang masalahnya tersendiri pada perubahan iklim. Singkatnya, biasa kerusakan hutan alam itu disebut dengan satu kata kunci “deforestation”. Cerita sederhananya, kerusakan hutan berskala luas dapat menyumbang emisi gas rumah kaca, bumi pun semakin panas. Tapi pertambangan batu bara dan jenis investasi industry ekstraktif serupa juga tentu menyumbang banyak sekali emisi gas rumah kaca. Untuk itulah sudah berkali-kali dalam setiap pertemuan internasional, PBB selalu mengingatkan negara-negara di Asia agar menghentikan kegiatan-kegiatan penambangan dan eksport/import batu bara.

Tambang batu baru merupakan sumberdaya yang banyak digunakan di negara-negara Asia. Selain potensi batu bara memang tinggi di Asia, tetapi penggunaannya sebagai sumber energi juga sangat tinggi. Maklumlah, negara-negara di Asia masih merupakan negara-negara berkembang yang masih mengejar status kemajuan pada sector ekonomi. Akibat dari perkembangan ekonomi yang semakin tinggi dapat memicu pula permintaan batu bara sebagai sumber energi industry jadi melambung tinggi, dan pada akhirnya berdampak buruk pada lingkungan. Sebuat saja di negara Vietnam, sepertiga energinya berasal dari tenaga batu bara. Vietnam bahkan sudah membangun sejumlah pabrik baru yang bakal menggunakan energi bartu bara dan siap beroperasi pada 2050 mendatang.

Sementara Thailand memiliki investasi besar pada bahan bakar fosil. Wilayah pesisir di Asia Tenggara telah mengalami banjir besar dan tingginya air laut akibat perubahan iklim. Sebuah penelitian baru menunjukkan bagwa setidaknya 300 juta orang di seluruh dunia hidup di tempat-tempat yang berpotensi berisiko terendam banjir pada tahun 2050. Hasil ini jauh lebih buruk dibandingkan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Bahkan Jurnal Nature Communication mengabarkan bahwa gelombang badai dan topan akan semakin kuat menghajar Asia ke depan. Hmmm apakah kita perlu menghentikan subsidi untuk bahan bakar fosil? Apakah kita juga perlu menghentikan pembangkit listrik baru berbasis batu bara di masa depan. Ohhh tidak, ini bukan masalah sederhana bagi kita, karena menjadi isu yang sangat sensitive di Asia, di mana sejumlah pembangkit listrik baru berbasis batu bara sedang direncanakan di negara-negara Asia sebagai negara berkembang yang ingin berlomba menuju negara maju dan makmur. Mungkin salah satunya, Indonesia selain Vietnam.

Sebuah laporan dari Climate Central, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di AS mengatakan 190 juta orang akan tinggal di daerah-daerah yang diproyeksikan berada di bawah garis air pasang pada tahun 2100. Laporan ini menyebut enam negara di Asia yakni Cina, Bangladesh, India, Vietnam, Indonesia, dan Thailand terdapat 237 juta orang hidup hari ini akan menghadapi ancaman banjir tahunan pada 2050. Climate Central menjabarkan enam negara dan jumlah penduduk yang berisiko kena banjir pada masa mendatang sebagai berikut. Cina (93 juta orang); Bangladesh (42 juta orang); India (36 juta orang); Vietnam (31 juta orang); Indonesia (23 juta orang); Thailand (12 juta orang). Hmmm kalau sudah seperti ini, apa yang kita pikirkan: meningkatkan emisi atau menurunkan emisi? Melakukan upaya pencegahan atau menunggu saatnya tiba dengan memperkuat barisan Satuan Tanggap Darurat Bencana? Jika bisnis batu bara dan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi tidak dapat dihentikan, maka setidaknya hutan alam, hutan mangrove, lahan gambut jangan sampai dirusaki lagi untuk alasan apapun. Lebih dari itu, hentikan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit, dan pembalakan kayu secara liar dan illegal di Indonesia. Saya lebih suka itu.

Nah, dari ulasan di atas dapatlah kita memahami dampak dari perubahan iklim itu sendiri, bahwa terjadinya: 1) peningkatan suhu bumi; 2) perubahan curah hujan; 3) suhu air laut menjadi panas dan naiknya permukaan air laut; 4) pergeseran musim. Bagi saya keempat jenis dampak ini penting diketahui, karena sangat berhubungan dengan kehidupan manusia. Setidaknya beberapa tahun terakhir banyak bencana terjadi hampir merata di seluruh dunia. Banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan gambut, petani gagal panen, hasil tangkap ikan nelayan menurun, bahkan baik manusia, hewan dan tumbuhan diserang virus penyakit yang mematikan. ohhh, jangan-jangan pandemic virus Corona atau Covid-19 yang saat ini menghantui umat manusia seantero planet bumi adalah bagian dari efek perubahan iklim yang sangat ekstrim? Bisa saja, karena perubahan iklim pun nampak berupa mewabahnya jenis penyakit yang luar biasa pada manusia, hewan dan tumbuhan.

Pada bagian akhir ini saya tidak ingin capek-capek mencari atau menulis tentang fakta-fakta apa saja yang sudah dan sedang terjadi di lingkungan sekitar kita, di lokasi tempat tinggal kita, atau mungkin di kampung halaman kita, bahkan negara kita dan juga negara-negara tetangga kita. Pasti setiap daerah atau wilayah mempunyai pengalamannya tersendiri. Ada yang mungkin mengalami bencana banjir bandang, tetapi ada juga yang mengalami kekeringan; ada yang mengalami curah hujan lebih tinggi dari biasanya, tetapi ada yang mengalami kebakaran hutan karena kekeringan. Bencana banjir maupun kekeringan tidak hanya terjadi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara, karena toh negara-negara di benua Australia, Amerika dan Eropa pun mengalami dampak perubahan iklim yang sama di bumi yang sama pula. Namun demikian, keadilan iklim tidaklah berarti banjir dan kemarau dibagi rata. Semestinya Protokol Kyoto dan Paris Accord menjadi harapan bersama untuk sebuah Keadilan Iklim dan Penghidupan Berkelanjutan di bumi ini. Selebihnya terkait semua rencana ambisius dari COP yang satu ke COP yang lainnya untuk menyelamatkan iklim bumi dari bahaya pemanasan global, saya hanya ingin bilang “biarkan alam memperbaiki dirinya sendiri, daripada manusia banyak rencana tanpa tindakan nyata”. Akhir kata, semoga ada solusi dan tindakan nyata dari COP26 di Kota Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

RUMAH KITA: OSS itu Barang Apa?………(2)


Sebuah pesan lewat SMS pun tiba di HP saya, dari seorang pembaca setia SANCAPAPUANA. “Selamat malam bro, OSS itu barang apa?”. “Ohhh, tunggu saja di serial berikut, terimakasih”, balasku. Sekarang saya bilang, barang ada ini. Silahkan membaca.

Oleh Pietsau Amafnini

OSS itu singkatan dari “One Single Submission”, sebuah sistem layanan pemerintah untuk memudahkan masyarakat yang ingin mengurus surat perizinan berusaha. Ya, tepatnya perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik. OSS adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. Kelembagaan OSS itu terintegrasi secara institusional di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Sistem OSS digunakan dalam pengurusan izin berusaha oleh pelaku usaha dengan karakteristik sebagai berikut: Berbentuk badan usaha maupun perorangan; Usaha mikro, kecil, menengah maupun besar; Usaha perorangan/badan usaha baik yang baru maupun yang sudah berdiri sebelum operasionalisasi OSS. Usaha dengan modal yang seluruhnya berasal dari dalam negeri, maupun terdapat komposisi modal asing. Artinya, barang OSS ini untuk memudahkan masyarakat dalam hal pengurusan surat izin usaha; dan barang ini diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018, sebagai upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan berusaha dan menciptakan model pelayanan perizinan terintegrasi yang cepat dan murah, serta memberi kepastian.

Secara singkat, saya hanya menguraikan bahwa OSS itu bermanfaat untuk: 1)mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha baik prasyarat untuk melakukan usaha (izin terkait lokasi, lingkungan, dan bangunan), izin usaha, maupun izin operasional untuk kegiatan operasional usaha di tingkat pusat ataupun daerah dengan mekanisme pemenuhan komitmen persyaratan izin; 2) memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time; 3) memfasilitasi pelaku usaha dalam melakukan pelaporan dan pemecahan masalah perizinan dalam satu tempat; 4) memfasilitasi pelaku usaha untuk menyimpan data perizinan dalam satu identitas berusaha (NIB).

Nah untuk dapat mengakses OSS, ada beberapa prasyarat, seperti: 1) memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan menginputnya dalam proses pembuatan user-ID. Khusus untuk pelaku usaha berbentuk badan usaha, NIK yang dibutuhkan adalah NIK Penanggung Jawab Badan Usaha; 2) Pelaku usaha badan usaha berbentuk PT, badan usaha yang didirikan oleh yayasan, koperasi, CV, firma, dan persekutuan perdata menyelesaikan proses pengesahan badan usaha di Kementerian Hukum dan HAM melalui AHU Online, sebelum mengakses OSS; 3) pelaku usaha badan usaha berbentuk PERUM (Perusahaan Umum), PERUMDA (Perusahaan Umum Daerah), badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, badan layanan umum atau lembaga penyiaran menyiapkan dasar hukum pembentukan badan usaha.

Terkait hal tekhnisnya, semestinya saya tidak perlu menjelaskannya di sini. Tetapi apalah boleh buat, biar anda tahu sebelum saya mengatakan, silahkan tanya langsung kepada pegawai kantor DPMPTSP di Provinsi maupun di Kabupaten anda. Semua akan dijelaskan di situ. Sayangnya, perjalanan anda akan memakan biaya yang tidak sedikit, hanya untuk memperoleh informasi dari kantor OSS itu. Sehingga untuk memudahkan anda, saya akan melanjutkan uraian ini. Biar hemat anggaran, bagi pembaca SANCAPAPUANA.

Prosedurnya sederhana, tapi semoga tidak dirumitkan. Hehee dirumitkan oleh siapa? Ada dehhh, bisa saja signal jaringan internet. Kalau soal “pemulusan”, saya kira OSS itu Anti Pungli dan Anti Korupsi. Justru OSS itu ada untuk mencegah adanya Pungli dan Korupsi dalam proses perizinan.

Untuk menggunakan sistem OSS, anda hanya butuh: 1) membuat user-ID; 2) Log-in ke sistem OSS dengan menggunakan user-ID; 3) mengisi data untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB); 4) Untuk usaha baru, perlu melakukan proses untuk memperoleh izin dasar, izin usaha dan/atau izin komersial atau operasional, berikut dengan komitmennya. Untuk usaha yang telah berdiri: melanjutkan proses untuk memperoleh izin berusaha (izin usaha dan/atau komersial) baru yang belum dimiliki, memperpanjang izin berusaha yang sudah ada, mengembangkan usaha, mengubah dan/memperbarui data perusahaan.

Singkat ceritanya, OSS itu sistem perizinan berbasis elektronik untuk memudahkan masyarakat yang memiliki usaha. Nah untuk tekhnis pembuatan dan aktivasi account OSS, bagi Badan Usaha cukup melakukan pendaftaran di sistem OSS dengan memasukan NIK Penanggung Jawab Badan Usaha atau Direktur Utama dan beberapa informasi lainnya pada Form Registrasi yang tersedia. Sistem OSS akan mengirimkan 2 (dua) email ke Badan Usaha untuk registrasi dan verifikasi akun OSS. Email verifikasi berisi user-ID dan password sementara yang bisa digunakan untuk log-in sistem OSS. Hal yang sama juga berlaku untuk memudahkan pelaku usaha Perorangan.

Selanjutnya, pelaku usaha mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan dokumen pendaftaran lainnya. NIB adalah identitas pelaku usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran. NIB wajib dimiliki pelaku usaha yang ingin mengurus perizinan berusaha melalui OSS, baik usaha baru maupun usaha yang sudah berdiri sebelum operasionalisasi OSS. NIB ini sekaligus dapat berlaku sebagai: 1) Tanda Daftar Perusahaan (TDP); 2) Angka Pengenal Impor (API), jika pelaku usaha akan melakukan kegiatan impor; 3) Akses Kepabeanan, jika pelaku usaha akan melakukan kegiatan ekspor dan/atau impor.

Sedangkan dokumen Pendaftaran Lainnya yang diperoleh saat pendaftaran NIB itu, diantaranya: 1) NPWP Badan atau Perorangan, jika pelaku usaha belum memiliki; 2) Surat Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA); 3) Bukti Pendaftaran Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan; 4) Notifikasi kelayakan untuk memperoleh fasilitas fiskal dan/atau tidak; 5) Izin Usaha, misalnya untuk Izin Usaha di sektor Perdagangan (Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)).

Nah, apakah sampai di sini barang OSS yang gelap sudah jadi terang? Ohh ya, satu hal yang hampir terlupakan. Adapun langkah-langkah untuk memperoleh NIB, yakni: 1)Log-in pada sistem OSS; 2) Mengisi data-data yang diperlukan, seperti: data perusahaan, pemegang saham, kepemilikan modal, nilai investasi dan rencana penggunaan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja asing. Jika pelaku usaha menggunakan tenaga kerja asing, maka pelaku usaha menyetujui pernyataan penunjukan tenaga kerja pendamping serta akan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan atau dengan output surat pernyataan; 3) Mengisi informasi bidang usaha yang sesuai dengan 5 digit Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), selain informasi KBLI 2 digit yang telah tersedia dari AHU. Pelaku usaha juga harus memasukan informasi uraian bidang usaha; 4) Memberikan tanda checklist sebagai bukti persetujuan pernyataan mengenai kebenaran dan keabsahan data yang dimasukkan (disclaimer); 5) Mendapatkan NIB dan dokumen pendaftaran lainnya.

OSS yang pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018, merupakan upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan berusaha dan menciptakan model pelayanan perizinan terintegrasi yang cepat dan murah, serta memberi kepastian kepada pelaku usaha. Ya, yang dulu bisa berbulan-bulan menunggu prosesnya dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, sekarang bisa saja semua beres dalam waktu kurang dari satu jam, tanpa biaya pula. Hehee tapi paket pulsa data internetnya tanggung sendiri. Nah barang ini sebenarnya sudah digagas tahun 2017, saya ingat betul dalam sebuah pertemuan di Jakarta, barang ini sudah di singgung, tapi saat itu saya juga masih buta. Bahkan sampai saat diluncurkan secara resmi oleh pemerintah pusat pada 2018 juga, saya masih belum percaya. “Apakah bisa? Soalnya ego sektoral pemerintah kita di Indonesia juga sekuat kayu merbau”. Acara peresmian dan peluncuran OSS di Jakarta pada 2018 ini dihadiri oleh sejumlah Kementerian dan Lembaga Negara. Bayangkan saja, siapa-siapa yang hadir di situ? Hadir dalam peresmian sistem OSS ini antara lain Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo; Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso; Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo; Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil; Menteri Pariwisata Arief Yahya; Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur; Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong; Kepala Staf Presiden Moeldoko; serta perwakilan menteri dan kepala lembaga lainnya. Hmmmm, artinya apa yang saya mau bilang? OSS bukan barang mainan. Memudahkan Masyarakat Pelaku Usaha, dan Serius untuk Pencegahan Korupsi Perizinan!!!***Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Nasib Masa Dulu dan Masa Depan Orang Tipuka…..(2)


Saya mau bilang bahwa kawasan yang ditempati Suku Kamoro di kampung Tipuka itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Kamoro dan Amungme. Mari lanjutkan cerita. Sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka. Seperti yang telah saya gambarkan di serial sebelumnya bahwa Tipuka adalah salah satu kampung berada di kabupaten Mimika, provinsi Papua. Tipuka terletak di dataran rendah, persis bagian muara sungai di mana aliran pasir tailing dari hulu kali Ajkwa pun kandas di situ sejak 50 tahun lalu. Bisa dibayangkan, dari beberapa sungai akhirnya bermuara di Tipuka?

Hmmmm, belum lagi ceritanya Freeport mampu memproduksi tailing sebanyak 200ribu ton per hari. Coba tindis kalkulator sudah, 200.000 x 1000 (karena 1 ton = 1000 kg) dikalikan 366 hari trus dikalikan lagi dengan 50 tahun? Su dapat de pu hasil ka? Mama yooo, setumpukan itu? Ya itu tambang dia pu limbah yang dong bilang tai-ling.

Ohhh ya, selain kampung Tipuka, mungkin senasib juga orang Kamoro dan orang Amungme di kampung lainnya yang menempati dataran rendah hingga dataran tinggi di kawasan kekuasaan Freeport itu. Kampung lain yang berada di dataran rendah itu adalah kampung Ayuka, Koprapoka, Nayaro dan Nawaripi. Sedangkan kampung yang berada di dataran tinggi atau bagian hulu itu adalah kampung Banti, Arwanop dan Tsinga. Artinya ada 8 (delapan) kampung yang berada di sekitar kawasan kekuasaan PT Freeport Indonesia. Tetapi apabila karena dampak dari UU Desa No. 6/2014 dan ternyata jumlah kampung melebihi angka yang saya sebutkan, mohon maklum. Karena saya berkunjung terakhir di tahun 2015, dan tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 6 tahun terakhir. Semoga saja mereka tidak tergiur dengan semangat pemekaran kampung baru pasca pelaksanaan undang-undang desa.

Oh ya, saya tidak ingin kita terjebak dalam perdebatan angka perubahan, karena toh dari politik angka itu ternyata ekonomi masyarakat se-Tanah Papua masih menempati urutan tertinggi posisi berada di bawah garis kemiskinan. Belum tergantikan pula posisi itu di Indonesia, bahkan provinsi NTT dan Maluku masih lebih rendah posisinya ‘kan? Lho, koq bisa ya? Katanya Papua punya Freeport dan banyak emasnya pula? Belum lagi hasil alam lainnya di sector kehutanan, perkebunan dan kelautan? Aneh juga ya. Salahnya di mana ya. Ohhh Tuhan tolong. Achhh lupakan itu dulu, capek deh.

Mendingan kita cerita barang lain sudah. Seperti apa sih kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat di kampung Tipuka? Ya, namanya juga orang hidup di wilayah pantai, di muara sungai. Surganya adalah sungai dan laut. Surganya juga adalah dusun sagu dan hutan mangrove. Selebihnya jangan pernah bertanya, apakah orang-orang Tipuka semuanya bekerja di PT Freeport? Ya, wajarlah bertanya itu. Karena perusahaan raksasa ini berada di tempat mereka.

Namun yang saya tahu, orang Kamoro di kampung Tipuka itu juga turunan leluhur pencari ikan dan peramu hutan sesuai kebiasaan warisan leluhurnya, layaknya kehidupan orang pantai pada umumnya. Nelayan tradisional tepatnya menyebut matapencaharian orang-orang sekampung Tipuka. Sebagai nelayan tradisional dan peramu hasil hutan, tentu mati dan hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Dusun sagu, jangan ditanya lagi. Apalagi sungainya, kalau orang-orang tua cerita, katanya dulu masih zaman Belanda itu kapal-kapal bisa masuk sampai di bagian hilirnya. Wiiihhh, berarti dalam juga. Yooo, namanya juga muara, apalagi dataran rendah itu berarti rawa-rawa ganas punya yang dorang bilang lahan gambut.

Soal hasil apa yang diharapkan dari sungai dan laut di muara itu, saya mau bilang bahwa kawasan itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”. Saya membayangkan kira-kira kepiting itu besarnya bagaimana eee. Tapi itu hanya ada di saat sungai itu masih dalam, dan belum tertimbun oleh aliran pasir tailing dari pusat produksi emas dan tembaga oleh Freeport di bagian hulu.

Ya, Freeport lagi dan lagi-lagi Freeport selama 50 tahun lalu di tangan pemegang saham tertinggi, Amerika Serikat. Lain ceritanya klo 50 tahun ke depan di tangan Indonesia sebagai pemegang saham 51%, siapa tahu kondisi alam yang dirusak Amerika itu dikembalikan Indonesia ke wajah semulanya. Bisa, Tapi. Ya, optimis saja kawan. Barang apa jadi, karena memang saat ini sampai masa depan, kitorang wajib berpikir positif. Sekalipun “keperawanan” itu tak mungkin kembali lagi setelah dirusak secara paksa. Sayang achhh, trus masa depan orang Tipuka? Itu lagi. Ko jawab sendiri sudah, karena sa juga hati hancur kawan.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Kampung Orang Kamoro Di Muara Tailing Freeport Indonesia…..(1)


Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah.

Oleh Pietsau Amafnini

Kali ini saya mengajak pembaca untuk mengarahkan hati dan pikiran kepada sebuah wilayah kecil di Tanah Papua dengan sebutan TIPUKA.Tipuka adalah sebuah kampung kecil dengan jumlah penduduk sekitar 175 KK di Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Mayoritas suku di sini adalah Suku Kamoro. Kampung Tipuka terletak persis di muara sungai dimana tailling Freeport dilepas di situ. Semakin ke atas ada kampung Ayuka, Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Aroanop, Banti, dan Tsinga. Ketujuh kampung ini berada di sekitar kawasan pertambangan milik PT Freeport Indonesia yang telah lama mengeruk sumberdaya tambang emas dan tembaga wilayah ini, dan akibatnya sungai-sungai pun tertimbun oleh pembuangan pasir tailing itu.

Kalau kita bicara tentang Freeport Indonesia di Timika, selain berbicara tentang kemewahan produksi dengan hasilnya yang menggiurkan, tentu kita bicara tentang konflik pengelolaan sumberdaya alam hingga masalah pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan terhadap lingkungan hidup. Namun, adakah yang bisa membatasi perusahaan emas raksasa dari Amerika Serikat di Tanah Papua ini? Achhh cukup sudah, jangan kitong bicara masalah terus. Katanya kita harus positive thinking di zaman now.

Sebelumnya tentu kita hitung-hitungan soal keuntungan dan kerugian negara hingga kerugian masyarakat adat setempat. Tetapi setelah 50 tahun kemudian, tepatnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia konon katanya “berhasil” merebut saham 51% dari Freeport, sehingga normalnya Amerika Serikat (Freeport) hanya dapat 49%. Sementara banyak pihak di antara kita juga akan terus bertanya, siapa yang akan makan uang dari saham 51% itu? Bahkan dari namanya saja sudah bukan Freeport America, tapi Freeport Indonesia. Achhh, masih banyak hal lagi. Tetapi saya tidak mau membahas barang itu lagi, nanti saya tambah pikiran karena toh saya juga tidak dapat apa-apa juga mo. Karena saya bukan siapa-siapa, hanya orang biasa yang peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan hidup di Tanah Papua, terutama Orang Tipuka di muara sungai tailing itu.

Hmmm, namun yang perlu anda ketahui di sini adalah apa yang sekiranya menarik bagi saya untuk dibahas di sini, yakni persoalan lingkungan hidup. Ya, maksud saya terkait AMDAL dari perusahaan ini. Apakah sudah atau belum dibaharui? Bagaimana dengan pasir tailingnya? Emas dan tembaga itu telah dibawa pergi, tetapi pasirnya ditinggalkan dan dibiarkan mengalir melalui sungai-sungai yang berhulu di Grasberg dan berhilir melintasi tujuh kampung yang berada di sana hingga bermuara di wilayah kampung Tipuka. Anda bayangkan jikalau sungai yang semulanya adalah “aliran air” tetapi setelah 50 tahun kemudian justru yang ada itu “aliran pasir”. Beeehhhh, janganlah kau bilang barang ini tipu-tipu ka? Ini memang mbenar-benar kenyataan di kampung Tipuka. Bayangkan saja dalam sehari Freeport menghasilkan tailing 200ribu ton. Waoww, seandainya masyarakat adat Kamoro di Tipuka bisa eksport tailing ini? Klo tra percaya, silahkan datang sendiri ke kampung Tipuka yang dulu terkenal karena kepiting (keraka). Amole, amole sobatku, selanjutnya kita akan lihat kembali dinamika-dinamika yang terjadi sebelum tahun 2021. Ya bisa tarik sampe de pu akar-akar ka ini.

Mungkin saja ada banyak hal yang masih teka-teki di sana, dan semakin samar-samar untuk diingat. Yoooo, mbegitu sudah. Tapi saya kira biar kitong sedikit tarik waktu ke belakang untuk melihat bagaimana kondisi kehidupan masyarakat adat setempat dan juga ketergantungan mereka kepada sumberdaya alam yang mereka miliki, terutama sungai dan hutan alam sekitarnya sebagai sumber penghidupan bagi mereka. Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah. Biar ko liat dengan ko pu mata sendiri, bagaimana sungai air itu bisa disulap Freeport dalam 50 tahun jadi sungai pasir. “weii tipu ka apa eee”.

Trus mungkin masyarakat dong su ada gedung gedung pencakar langit dari hasil Freeport ka? Sssttt tailing tralaku itu? Hahaa ini Tipuka di Timika sobat, bukan di Turky. Dekat saja to? Jang ko bilang sa tipu ko lagi eee. Sedangkan masyarakat dong mo mencari ikan di sungai saja harus ada semacam upacara ritual sedikit dengan mengucap kata “oto erkata” untuk memanggil ikan, bukan mengejar ikan. Sebelumnya mereka perlu meminta izin dan restu dari leluhur dengan memberikan sesajian berupa gulungan tembakau atau sebatang rokok sambil berucap, prapeka enaro kapaki makakeman e airu ta” artinya tete’ ini ambil rokok tolong kasih kami ikan untuk anak-cucu. Selanjutnya, “prapoka kau katna ikutu maha imaku ereka maka kemanu arie” artinya nene’ lindungi kami dalam perjalanan dan bawa ikan masuk ke jaring. Sadaaapppp. Itulah syarat yang harus dilakukan seorang pencari ikan (nelayan tradisional) yang disebut dengan Mikuku dalam bahasa Suku Kamoro di kampung Tipuka. Bukan ko cari dengan ko pu cara-cara tak karuan adat. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua

KAYU ILEGAL DI MUSIM CORONA


Lagi-lagi temuan kayu ilegal terjadi di musim Corona. Saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Oleh Pietsau Amafnini

Sejak WHO menetapkan keadaan darurat internasional karena serangan pandemic corona, termasuk masyarakat di Indonesia semuanya terdiam di rumah untuk bertahan hidup dan aman dari virus penyakit yang belum ada obat anti-virusnya di dunia. Pasalnya Virus Corona telah menelan banyak korban nyawa yang diduga sudah terjadi sejak bulan November 2019. Betapa tak kaget dan takutnya semua orang di dunia karena jahatnya Corona. Tanggal 14 Februari 2020 WHO merilis jika jumlah kasus terkonfirmasi virus tersebut mencapai 64,452 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1,384 jiwa yang tersebar di berbagai negara di belahan bumi ini. Angka tertinggi saat itu justru berada di Italia. Virus yang katanya bermula di Kota Wuhan, China ini ternyata menyebar begitu cepat.

Pemerintah China pun menuruti himbauan WHO untuk melakukan policy lockdown dengan mengkarantina 16 kota di China, terutama Kota Wuhan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalisir penyebaran virus Corona. Lockdown tentu menjadi pilihan tersulit, karena akan berdampak besar pada terpuruknya sector ekonomi. Namun, tidak ada pilihan lain, saat itu.

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang berpotensi besar akan terdampak baik pada penyebaran virus Corona, dan tentu juga pada lemahnya ekonomi China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai dampak dari virus Corona bersumber dari tiga sektor utama yakni sektor pariwisata, sektor investasi dan sektor perdagangan. Sementara baik Indonesia maupun negara-bangsa lain pun sepertinya tidak siap menghadapi masalah pandemic Corona beserta dampaknya pada kesehatan dan ekonomi. Pada akhirnya suka atau tidak suka, lockdown jadi pilihan walaupun tidak seutuhnya. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari Rumah” sebagai pilihan untuk “keselamatan”. Seluruh aktivitas rakyat dan pemerintah pun lumpuh, walaupun akan berdampak pada kesulitan akses pangan. Syukurlah dengan fasilitas teknologi informasi yang  walau masih terbatas, namun sejumlah kebutuhan dapat dilakukan secara online.

Sedihnya, Corona bukanlah halangan bagi cukong kayu. Para mafia kayu illegal terus melancarkan aktivitasnya dengan alasan bahwa arena hutan adalah medan bebas virus corona. Hal ini juga merupakan pilihan tepat bagi mereka karena memang aktivitas di perkotaan dibatasi, maka lancarlah aktivitas pencurian kayu dari hutan alam. Ohh tidak. Apakah saya karang cerita ini? Maybe yes, maybe no.

Adalah sebuah fakta telah terjadi di Sorong, Papua Barat. Tanggal 24 Maret 2020 adalah hari dimana Tim Gakkum-KLHK menyita 263 batang kayu olahan tanpa dokumen di Kabupaten Sorong. Kayu illegal yang diangkut 3 unit truck itu dicurigai akan dikirim ke pemeiliknya yakni CV. Anugerah Rimba Papua (ARP) yang berkedudukan di Distrik Aimas. Sayangnya para sopir truck yang menjadi sasaran interogasi karena beraktivitas di musim corona. Sedangkan sang pemilik yang menunggu kayu illegal itu justru tak tersentuh, walaupun sederet pasal dari UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah menjadi alasan dugaan dan hukumannya.

Anehnya kejadian ini terjadi pada saat musim corona, walaupun perilaku pembalakan liar dan pencurian kayu ini sudah berlangsung lama. Ya, seakan-akan tak pernah akan berakhir. Kayu merbau Papua memang ibarat primadona yang selalu diburu oleh para mafia kayu. Mereka tak peduli dengan kerusakan hutan dan dampaknya berupa banjir dan lain sebagainya. Ya, sedangkan keselamatan diri terhadap Corona saja mereka tidak peduli, apalagi keselamatan lingkungan alam?

Benar-benar Corona bukan halangan bagi mereka. Tanggal 13 Juli 2020 Tim Gakkum-KLHK kembali mengamankan 8 unit truck bermuatan kayu olahan jenis merbau di Aimas, kabupaten Sorong, Papua Barat. Kayu-kayu yang diduga berasal dari distrik Moswaren itu tidak dilengkapi dokumen angkutan kayu yang sah. Setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, maka Tim Operasi kemudian melakukan pemantauan dan pengawasan hingga akhirnya menghentikan iringan 8 unit truck itu bermuatan kayu itu dari arah jalan Klamono menuju sawmill di sekitar wilayah Kabupaten Sorong, dan selanjutnya digiring untuk diamankan ke gudang penyimpanan barang bukti yang berlokasi di Jalan Petrochina, Kelurahan Warmon Klalin, Aimas, Kabupaten Sorong.

Lagi-lagi peristiwa ini terjadi di masa musim Corona, saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Semoga Gakkum-KLHK tiada goyahnya memproses pelakunya sesuai hokum yang berlaku. Sebab kerjanya sang pemburu kayu illegal tentu merugikan masyarakat adat pemilik kayu itu dengan segala tipu dayanya hingga dibelinya dengan harga murah. Belum lagi kerugian negara yang diakibatkan oleh cara kerjanya mafia kayu illegal.

Pada akhirnya, hati ini hanya bisa berharap pada lingkungan alam untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan yang ada, dan bila Alam Tanah Papua mendengarkan jeritan hati para penghuni Tanah Moi, maka biarlah mereka terhukum seadilnya setimpal air mata para korban banjir di antara Kali Klamono dan Kali Remu.***