TIPUKA: Tiada Aktivitas Tanpa Ritual………(4)


“Hai kamu sowa-sowa, udang, keraka, ikan penuhilah segala sungai dan tempat dengan ikan; kamu cicak, kamu sowa-sowa, kamu biawak, kamu ikan, kamu karaka datanglah dan penuhi sungai-sungai.”

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole. Masyarakat adat selalu memperlakukan alam sebagai sumber penghidupannya dengan sopan dan bijak. Ritual sebelum dan sesudah mencari ikan adalah bagian dari kearifan budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kamoro di kampung Tipuka. Mereka tidak sembarangan. Setiap hendak meramu, berburu dan mencari ikan juga selalu didahului dengan ritual khusus. Menghormati alam sesuai ajaran dan warisan budaya leluhur. Hutan, sungai dan laut adalah tempat mencari nafkah sehingga perlu dijaga dan dihormati agar selalu tersedia apa yang dibutuhkan oleh manusia. Mengambil hasil pun tidak melebihi kapasitas kebutuhan.

Orang Kamoro di kampung Tipuka masih berpegang teguh pada kebiasaan leluhur mereka. Sebagai nelayan tradisional, mereka selalu memperhatikan pentingnya ritual sebelum melakukan aktifitasnya di sungai maupun laut. Ritual ini disebut ereka-oto. Seorang nelayan tradisional di Tipuka tidak akan melewatkan itu. Wajib. Bila mencari untuk tujuan hajatan atau acara-acara besar, berarti dibutuhkan keterlibatan banyak orang dan juga seorang tua adat yang khusus untuk melakukan ritual ini. Tokoh ini disebut Mikuku. Di rumah atau di sungai, seorang Mikuku akan melaksanakan ritual tersebut. Sedangkan jika seseorang yang hendak mencari ikan untuk kebutuhannya sendiri dapat melakukan ritualnya sendiri.

Sebelum melakukan ritual tersebut, terlebih dahulu disiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan seperti daun mangi-mangi atau tali rotan, alat tangkap, sirih pinang, rokok atau tembakau. Jika semua sudah disiapkan, Mikuku akan memulai upacara ritualnya dengan berteriak: “Hai kamu sowa-sowa, udang, keraka, ikan penuhilah segala sungai dan tempat dengan ikan; kamu cicak, kamu sowa-sowa, kamu biawak, kamu ikan, kamu karaka datanglah dan penuhi sungai-sungai.” Mikuku menyebut nama semua sungai dan tempat yang biasa digunakan untuk mencari ikan dan memerintahkan agar ikan-ikan berkumpul di sana dalam jumlah besar. Sesudah itu Mikuku pun berkata lagi kepada matahari dengan memperlihatkan alat-alat tangkap yang akan digunakan sambil memohon cuaca yang baik dan hasil tangkapan yang melimpah.

Setelah itu para nelayan tradisional itu sudah boleh menyiapkan peralatan melaut kemudian pergi mencari ikan. Syarat lainnya adalah mereka tidak boleh pamitan kepada anak, istri dan seluruh penghuni rumah. Karena jika pamit mereka percaya bahwa sesuatu akan menimpa mereka pada saat mencari ikan bahkan sampai tidak akan pulang kembali ke rumah.

Sesampainya di laut atau tempat yang menjadi sasaran untuk menjaring, mereka mengambil bahan sesajian berupa adonan yang telah disiapkan. Sesajian tersebut dibuat dari sagu mentah dicampur dengan daun mangi-mangi dan ditumbuk lalu diaduk sampai hancur di dalam wadah kemudian ditambah air dan diaduk-aduk lagi sampai merekat. Adonan tersebut dihambur di tempat sekitar tempat untuk memasang jaring. Sambil mengucapkan “oto erkata” sebagai cara memanggil atau mengundang ikan. Cara ini dilakukan untuk mengundang ikan supaya mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Ada pun cara lain untuk perorangan yakni menyiapkan tembakau atau rokok yang akan dibuang sebagai persembahan di tempat menjaring dengan mengatakan “prapeka enaro kapaki makakeman e airu ta” artinya tete, ini ada rokok tolong kasih kami ikan untuk anak-anak”. Cara ini dilakukan masyarakat dengan anggapan bahwa pemilik wilayah laut dan sungai akan senang dan memberikan imbalan hasil tangkapan yang cukup banyak.

Agar tidak terhambat dengan cuaca seperti angin dan hujan, mereka pun mempunyai cara tersendiri untuk menjauhkan hujan atau tepatnya meminta cuaca yang baik dari alam yang disebut “innulia”. Seseorang akan melakukan innulia untuk mengusir atau menjauhkan hujan dari tempat mereka mencari ikan ke bagian lain.

Sebagai masyarakat yang masih mempercayai peran roh nenek moyang mereka dalam kehidupan sehari-hari, mereka juga tidak lupa menyertakan campur tangan leluhur untuk keselamatan dalam perjalanan mencari ikan maupun urusan penangkapan ikan supaya mendapatkan hasil yang banyak. Mereka akan selalu berucap, “prapoka kau katna ikutu maha imaku ereka maka kemanu arie” yang mengandung arti: tete’ nene’ lindungi kami dalam perjalanan dan bawa ikan masuk ke jaring kami.

Sebagai nelayan tradisional tentu  hanya berbekal pengetahuan dan peralatan tradisional yang sederhana. Metode yang digunakan untuk menangkap ikan yang terdiri dari tangkap tangan dalam hal ini menangkap kepiting, siput, dan jenis lain di hutan mangrove, tombak, jaring, kalawai, rawai mancing dan jebakan ikan.

Masyarakat Tipuka pada umumnya mencari ikan pada malam hari yang gelap karena mereka percaya bahwa saat itu banyak hasil tangkapan ikan. Waktu yang tepat untuk menangkap ikan dalam jumlah besar untuk hajatan besar biasanya bulan September dan Oktober. Mereka sebut kedua bulan ini sebagai bulan musim ikan. Ketika mencari ikan pada musim ikan, mereka akan berada di laut sepanjang malam hari hingga jelang siang hari baru pulang membawa hasil. Ketika tiba saatnya untuk pulang, ada lagi semacam ritual yang perlu dilakukan. Sederhananya menyampaikan termakasih dengan mempersembahkan rokok atau tembakau kepada tempat atau alam dimana mereka menangkap ikan.

Bagi saya, makna dari kisah ini adalah jangan tamak dan rakus apalagi ceroboh dalam mencari nafkah di hutan, sungai dan laut. Sebelum mengambil sesuatu dari alam, perlu minta izin dan berterimakasih bila sudah mendapatkan apa yang dicari. Janganlah mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan, karena masih ada hari esok dan juga saudara lain yang juga membutuhkannya.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

Tinggalkan komentar