REKOMENDASI KLASAMAN


Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek perusakan hutan karena alasan pembangunan sektoral terutama pengelolaan kehutanan dan perkebunan sawit tentu sudah berdampak langsung pada perubahan iklim. Salah satu penyumbang perubahan iklim itu adalah deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk lahan perkebunan sawit skala luas dan juga pengelolaan hasil hutan yang didominasi oleh aktivitas pembalakan liar. Praktek illegal logging juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan?

Emma Raw Malaseme, direktur Papua Forest Watch (PFW) menerangkan bahwa pihaknya menggelar berbagai macam rangkaian acara Pendidikan Lingkungan Hidup diantaranya: pelatihan pemantauan dan advokasi kejahatan kehutanan, focus group discussion, kuliah umum di kampus-kampus, hingga kampanye di ruang terbuka di Sorong pada tanggal 11 – 14 Desember 2019 dengan harapan bahwa masyarakat sipil dan pemerintah daerah sadar dan termotivasi untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Pihaknya mengkhawatirkan semakin hilangnya hutan alam di wilayah adat Orang Moi di kabupaten Sorong.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Selain itu, Papua Forest Watch sendiri juga menemukan beberapa aktivitas yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu sudah dilaporkan kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari Kondisi sebagaimana tergambarkan di atas, maka Papua Forest Watch bersama Peserta Kegiatan Pelatihan Pemantauan dan Advokasi Kejahatan Kehutanan di Klasaman tanggal 11 – 14 Desember 2019 bersama Perwakilan Kelembagaan Masyarakat Sipil Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup di Papua Barat merumuskan Point – Point Rekomendasi sebagaimana tersebut di bawah ini:

  1. Pemerintah melalui dinas kehutanan bekerjasama dengan stakeholder lainnya melakukan evaluasi implementasi peraturan yang terkait dengan kehutanan
  2. Pemerintah melalui dinas kehutanan Papua Barat perlu melakukan Evaluasi kinerja HPH terkait perencanaan dan laporan produksi kayu bulat
  3. Pemerintah melalui Dinas Kehutanan Papua Barat Perlu melakukan evaluasi jumlah produksi kayu bulat dengan jumlah dan kapasitas industry pengolahan kayu untuk memastikan telah sesuai dengan Pergub Papua Barat No 2 Tahun 2008
  4. Aparat kemanan baik Gakkum KLHK dan Kepolisian menggali keterlibatan pengusaha-pengusaha Surabaya dan China yang menjadi pemodal atas tindak kejahatan ilegal loging
  5. Aparat keamanan baik Gakkum, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menindak lanjuti kasus ilegal loging hingga sampai pada market internasional dan tidak hanya mengkambing hitamkan masyarakat adat Papua
  6. Tindak kejahatan ilegal loging tidak bisa dilakukan oleh orang perorangan sehingga Gakkum KLHK, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menggali lebih dalam keterlibatan perusahaan pengolah kayu dengan menggunakan UU 18 Tahun 2013 terkait keterlibatan korporasi atas kejahatan ilegal loging.
  7. Memberikan Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat adat untuk dapat mengelolan kayu yang bersumber dari wilayah adat.
  8. Dinas Kehutanan wajib mereview ijin pemanfatan dan tata kelolan kehutanan (Hasil hutan kayu) di Papua Barat.
  9. Dalam hal pemantauan oleh masyarakat Pemantau Independen Kehutanan di Kabupaten Sorong, maka PFW membutuhkan informasi dan data RPBBI serta data prasyarat izin, data prasyarat produksi hingga data hasil produksi dari setiap perusahaan pemegang izin di wilayah kabupaten Sorong dan wilayah Provinsi Papua Barat untuk menjadi acuan pemantauan terhadap Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sesuai mekanisme SVLK.
  10. Review Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat Tahun 2018/2019:
  • Tanggal 7 Desember 2018; pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya
  • Tanggal 11 Februai 2019; Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat
  • Tanggal 19 Juni 2019; empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi
  • Tanggal 4 Juli 2019; Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong
  • Tanggal 1 November 2019; 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong
  1. Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPM/PTSP) dapat memberikan informasi terkait Daftar Izin Perusahaan Pengelola Hasil Hutan Kayu IUPHHK-HA, IPK, dan Izin Perusahaan Industri Kayu Primer IUI-PHHK dan Izin Industri Perusahaan Pengelolaan Kayu Lanjutan di Kabupaten Sorong dan di Provinsi Papua Barat. Karena sebagai Pemantau Independen Kehutanan, kami masih mengalami kesulitan untuk mengakses jumlah Izin Terdaftar, Nama dan Alamat Perusahaan, Jenis dan Kapasitas Produksi dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari Prasyarat SVLK dan PHPL di tingkat daerah.
  2. GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi Illegal Logging Papua Forest Wach :
  • Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati, PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.
  • Tgl 3 November 2019; Papua Forest Watch Melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri
  • Tanggal 4 November 2019; Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong. Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

Demikian Catatan dan Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019. Selain perwakilan komunitas masyarakat adat dan komunitas-komunitas pemantau independen kehutanan, perwakilan kelembagaan pemantau independen dari kalangan LSM yang ikut menandatangani Rekomendasi Klasaman ini adalah Papua Forest Watch, JASOIL Tanah Papua, SekNas JPIK, dan Greenpeace Indonesia kantor Papua Barat*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

SVLK: Sebuah Cara Peranserta Masyarakat Dalam Penyelamatan Hutan


Pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Oleh Pietsau Amafnini

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hokum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. DalamUndang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang samadan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Selanjutnya diatur secara rinci dan tegas dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan  Produksi  Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak; Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Nomor: P.5/VI-BPPHH/2014, Tanggal: 14 Juli 2014 Tentang: Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

Ketegasan mengenai Tatakelola Kehutanan dan Pengawasannya juga semakin diperketat dengan adanya Permen KLHK p.30/2016 tentang Pelaksanaan SVLK dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari; Perdirjen p.14/2016 tentang Standard Pedoman Penilaian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Namun, kenyataannya masih terjadi penemuan kasus illegal logging dan illegal trading di Indonesia, termasuk di wilayah kabupaten Sorong, Papua Barat. Hak ini menurut hemat kami, sebagai masyarakat sipil Pemantau Independen Kehutanan, kelemahannya ada pada sistem pengawasan yang belum atau tidak sepenuhnya melibatkan peranserta masyarakat sebagai pioneer utama pengawasan itu sendiri sesuai mandate UU Kehutanan dan Aturan Terkait SVLK dan PHPL.

Praktek pembalakan liar juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan? Pasalnya sudah banyak kasus yang ditemukan dan tindak tegas juga oleh GAKKUM/KLHK tetapi kenyataan bahwa usaha kayu illegal itu pun masih marak di Kabupaten Sorong. Karena itu pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Emma Raw Malaseme mengharapkan kinerja extra dari GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi dan Monitoring kegiatan Illegal Logging oleh Papua Forest Watch (PFW). Emma, direktur Papua Forest menerangkan bahwa pihaknya meminta agar GAKKUM dapat melakukan review terhadap kemungkinan adanya Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat, terutama di wilayah Sorong Raya.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Tidak hanya itu, Gunawan, Juru Kampanye Papua Forest Watch juga menjelaskan bahwa pihak penegak hokum kehutanan seperti GAKKUM semestinya tanggap terhadap laporan masyarakat. “Kami menemukan beberapa kasus yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu kami sudah laporkan juga kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang”. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan  di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

“Kami di Papua Forest Watch juga menjalankan mandate UU Kehutanan dan juga Permen-KLHK tentang SVLK dimana mengatur tentang peranserta masyarakat dalam pengawasan hutan, apalagi dalam aturan SVLK yang jelas-jelas mengakomodir masyarakat sebagai Pemantau Independen. Kami juga bermitra dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Nasional dan juga JASOIL Tanah Papua di tingkat daerah, yang mana peran masyarakat sipil ini sangat membantu dan mendukung Pengelolaan Hutan Produksi lestari. Aturan sudah menjamin semua itu, bahkan SVLK kami yakin dibuat untuk menjamin bisnis yang adil dimana bila dilaksanakan dengan baik, maka kepatuhan itu ada dan perilaku illegal logging dan peredaran kayu illegal bisa diberantas, atau setidaknya berkurang. Sayangnya, defacto apa yang kita temukan sebagai masalah di lapangan ternyata masih sulit juga ditanggapi oleh GAKKUM sebagai penegak hokum khusus untuk kasus illegal logging atau kasus lingkungan hidup. Kalau seperti ini, maka aktivitas illegal itu akan terus terjadi dan berakibat pada hancurnya hutan, tetapi juga negara dan masyarakat adat dirugikan oleh cukong-cukong kayu illegal”, ungkap Gunawan dengan nada kesal usai acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup bagi masyarakat umum di Klasaman, Sorong pada 13/12/2019. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

PAPUA FOREST WATCH: Paru-paru Dunia Itu Sudah Bocor Besar Di Sorong


HUTAN TERSISA 8,7 juta hektar di Papua Barat semestinya sudah harus terlindung untuk masa depan anak cucu dan juga untuk menjamin kesejukan bumi sebagai paru-paru dunia. Sayangnya, paru-paru itu sudah bocor besar di Kabupaten Sorong.

Oleh Pietsau Amafnini

Slogan kampanye yang sudah lama enak dalam ingatan kita adalah “Hutan Papua sebagai Paru-paru Dunia”. Siapa yang tidak bangga jika julukan ini kita di Tanah Papua menyandangnya sebagai harapan masyarakat dunia untuk keselamatan dan keseimbangan iklim di bumi ini. Hingga pada akhirnya matematika perhitungan stock carbon dari hutan alam Papua juga menjadi buah bibir dari kaum ilmuwan sampe masyarakat luas tentang soal carbon trade dan kompensasinya, hingga mekanisme penyaluran manfaat ekonomi dari pemanfaatan stock carbon sebagai sebuah komoditi jualan daerah. Bahkan sebuah kelembagaan donasi asing sempat membuat komitmen bersama Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri saat itu bahwa siap membeli (membayar) stock carbon Papua Barat dengan hitungan US Dollar.

Para ahli lingkungan dan kehutanan juga mulai menghitung stock carbon berdasarkan tegakan pohon hingga luasan kawasan hutan dan kemudian dengan kemampuan design grafisnya, begitu mudah menunjukkan dalam bacaan sederhana berupa peta tematik Stock Carbon di Papua dan Papua Barat. Selanjutnya isu REDD plus pun berhasil menggiring Carbon Trade hingga ikut terangkat pula slogan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi, dan kemudian disusul Kabupaten Tambrauw yang sebagian besar wilayahnya adalah Kawasan Hutan Konservasi. Namun, kenyataan menjadi lain.

Semua akhirnya masih perlu diperjuangkan, termasuk meninjau kembali semua kebijakan terkait Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kebijakan terkait pengmbangan investasi skala besar maupun kecil, hingga kebijakan RTRWP Papua Barat dan RTRWK setiap Kabupaten di provinsi ini. Tak semudah apa yang dibayangkan dalam angan-angan memperoleh kompensasi atas stock carbon dari hutan alam di Tanah Papua, terutama di Papua Barat seperti ‘gula-gula’ kepedulian dunia internasional yang sempat mengenakkan gendang telinga.

“Tidak perlu merusak hutan, tidak perlu menebang pohon. Bila hutan dijaga, atau pohon dijaga, maka akan mendapatkan uang kompensasi dari masyarakat internasional di negara-negara industry yang kaya-raya. Hmmm….katanya begitu. Selanjutnya, semua sebenarnya tergantung pada komitmen dan kemauan kita untuk mewujudkan impian itu. Jangan cuman slogan politik semata untuk mengenakkan telinga masyarakat dunia.

Sejauh mana upaya kita untuk menjalankan komitmen kita agar tetap menjaga hutan tersisa di dunia ini supaya tetap utuh dan lestari? Masyarakat internasional siapa yang akan membayar kompensasi itu? Sedangkan mekanismenya saat itu sudah banyak didiskusikan hingga akhirnya dirumuskan melalui terbentuknya Badan Pengelola REDD (BP-REDD) pada rezim Presiden Susilo Bambang Yughoyono (SBY). Dalam rangka menunjang carbon trade berbagai upaya juga dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil dan masyarakat adat. Bahkan kebijakan pemerintah SBY saat itu adalah “1 Miliar Pohon”. Ternyata semua berhasil saja di aksi-aksi penanaman seremonial di halaman-halaman kantor pemerintah pada saat memperingati Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup.

Hal yang lebih parah lagi adalah akhir-akhir masa jabatan SBY hingga masa periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terdapat begitu banyak izin baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi para pengembang investasi pada sector perkebunan sawit, sector kehutanan dan sector pertambangan ekstraktif. Belum lagi aktivitas perusahan hutan alam untuk perkebunan sawit yang melakukan land clearing di lahan-lahan HGU baru. Ditambah lagi aktivitas illegal logging yang semakin marak dilakukan oleh para pemilik modal besar dengan mendayagunakan masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menebang dan merusak hutan adatnya sendiri melalui kemudahan izin IPK dan IPHHK.

Akibatnya, “Paru-paru dunia” itu pun bocor di mana-mana, bahkan berimbas pula pada perubahan iklim yang semakin extrim yang kita nikmati saat ini. Hmmm…. Carbon belum laku di pasaran, sementara sudah panen hasil dari pemanasan global itu. Kebocoran itu saat ini menurut direktur LSM- Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme justru berada di wilayah Kabupaten Sorong.

“Luas hutan di Provinsi Papua Barat dari hari ke hari terus mengalami penyusutan sebagian besar karena alih fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan, pembangunan infrastruktur, pemukiman, kompleks pemerintahan maupun peruntukkan lainnya. Kegiatan penebangan hutan pun terus dilancarkan oleh para pemburu kayu merbau baik yang legal maupun yang illegal”, tegas Gunawan, coordinator Advokasi dan Kampanye Papua Forest Watch di Sorong, pada event Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Sorong Kota (13/12/19).

Semenetara itu kekhawatiran terhadap kerusakan hutan pun justru datang dari seorang pemimpin utama di Papua Barat. Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan menyatakan keperihatinannya bahwa saat ini luas hutan yang masih terjaga kelestariannya di Papua Barat hanya tersisa 8,7 juta hektar dari sebelumnya mencapai hampir sepuluh juta hektar di awal pemekaran provinsi. Berkaitan dengan itu, Gubernur Mandacan mengajak semua pihak menjaga kawasan hutan yang masih tersisa itu agar tetap lestari. Sebab hutan selain menjadi paru-paru dunia juga menyimpan sumber daya alam yang bermanfaat untuk keberlanjutan hidup manusia.

Pada sebuah kesempatan di kabupaten Teluk Wondama, Gubernur Provinsi Papua Barat, Dominggus Mandacan menghimbau masyarakat Se-Papua Barat agar menjaga kelestarian hutan yang tersisa di setiap daerah kabupaten. “……. saya menghimbau kita semua, mari kita manfaatkan hutan secara baik dan bijaksana serta menjaga kelestariannya agar manfaatnya berkelanjutan dan tetap lestari. Kawasan hutan yang sudah kritis kita tanam kembali dan kita pelihara sehingga dapat meningkatkan kualitas hutan dan fungsinya sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi,“ pesan Dominggus, sebagaimana dilansir media online Kabartimur.com (sumber: https://kabartimur.com/2019/11/15/luas-hutan-tersisa-87-juta-gubernur-ingatkan-komitmen-pembangunan-berkelanjutan-di-papua-barat/)

Sedangkan menurut Charles Tawaru, Koordinator Greenpeace Papua di Sorong, ia justru mengharapkan semua masyarakat sipil berperanserta dalam memantau pengelolaan hutan terutama oleh perusahaan-perusahaan Non-HPH karena merekalah penyebab semakin tingginya deforestasi hutan di Papua Barat. “Ini bukan saja tugasnya pemerintah, tetapi juga tugasnya kita semua aktivis lingkungan. Dengan melihat kondisi kerusakan hutan yang semakin parah di atas tanah ini (Papua), maka masyarakat sipil termasuk komunitas masyarakat adat yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan hutan semestinya dimotivasi untuk ikut ambil peransertanya dalam pengawasan pengelolaan hutan produksi lestari. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum saja tidak cukup”, ungkap Charles.

Hal ini menurut Tawaru, dimaksudkan supaya memastikan bahwa pengusahaan hasil hutan kayu itu memang penting, tetapi tidak boleh dengan cara-cara illegal dan kecenderungan perusahan hutan. Karena kita semua mengharapkan agar hutan-hutan potensial yang masih tersisa di Tanah Papua, terutama di Kabupaten Sorong diharapkan untuk tetap dijaga dan dijamin keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan anak-cucu dan masa depan planet bumi. “….. bukankah Hutan Papua dijuluki sebagai Paru-paru Dunia, dan saya kira Papua Forest Watch adalah salah satu organisasi lingkungan hidup di kabupaten Sorong yang mempunyai tanggung jawab itu….”. Demikian kata Charles Tawaru pada saat tampil sebagai pembawa materi dalam Dialog Masyarakat dalam acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup yang digelar Papua Forest Watch di kampung Noken Klasaman, Sorong (13/12/19). *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

BIARKAN HUTAN PAPUA YANG TERSISA TETAP UTUH UNTUK MASA DEPAN BUMI


“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang canggih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula di kabupaten Sorong. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula

Oleh Pietsau Amafnini

Pada event kampanye dan pendidikan lingkungan hidup yang digelar oleh Papua Forest Watch di Kampung Noken, Kota Sorong, pesan penting dari cuplikan keseluruhan prose situ adalah pernyataan masyarakat peserta kegiatan: “Kami menyadari bahwa pengelolaan sumberdaya hutan dan pengaturannya adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara Negara, termasuk memberikan kuasa pengelolaan dengan menerbitkan izin pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pihak pengembang investasi baik swasta dalam negeri maupun swasta asing, dan juga masyarakat local sendiri. Namun kami merasa bahwa pengawasan tatakelola kehutanan masih sangat jauh dari yang diharapkan untuk menjamin hutan itu tetap lestari sebagai salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam sector kehutanan dan lingkungan hidup”.

“Kurangnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam hal pembinaan pelaksanaan Pengelolaan  Hutan Produksi Lestari (PHPL) berakibat pada semakin luasnya tingkat kerusakan hutan dan juga maraknya perilaku illegal logging di Kabupaten Sorong”. Demikian kata direktur Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme pada Kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman Sorong, tanggal 13 Desember 2019.

Direktur Papua Forest Watch (PFW), Emma Raw Malaseme juga menerangkan bahwa Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Dengan luasan kawasan hutan alam seperti ini justru cukup besar juga menyumbang oksigen dari emisi karbion dari hutan alam itu untuk masyarakat dunia dan juga menjaga suhu planet bumi. Namun, luasan kawasan hutan ini juga menjadi daya tarik tersendiri pada dunia investasi. Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persentase terluas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam. Sekarang ini, di kabupaten Sorong kawasan hutan alam itu sudah menipis, mungkin saja hutan lindung juga sudah mulai dirambah oleh kegiatan illegal logging. Sementara kawasan hutan produksi, rata-rata kerusakan hutan itu sudah merata pula. Karena aktifitas pembalakan baik yang legal maupun yang illegal terus dilancarkan. Hal ini juga terjadi karena kayu jenis merbau masih menjadi primadonna komoditi unggulan hasil hutan kayu di Papua Barat.

Terkait pengelolaan hutan di Tanah Papua, Emma menceritakan bahwa Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) pernah merilis bahwa di Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT. Sedangkan di Provinsi Papua Barat terdapat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Mengutip RTRWP Papua Barat 2008-2029, Emma menjelaskan bahwa dari untuk fungsi kawasan hutan di Papua Barat, Hutan Konservasi (HK) 1.721.768, Hutan Lindung 1.66.590 hektar, Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar, Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar, dan  Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar.

Isak Chlumbless, Koordinator Risset Papua Forest Watch juga menyatakan bahwa dari analisis fakta lapangan terkait kawasan APL, peruntukannya lebih banyak untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Di kabupaten Sorong ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang memiliki izin HGU dan sudah beroperasi. APL memberikan peluang kepada munculnya izin-izin HGU perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya dari lokasi HGU, banyak kayu merbau bisa tumbang dan hilang dari lokasi itu dan ditemukan sudah dalam bentuk kayu eksport. Ada yang legal karena punya IPK dan Perjanjian Suplay Bahan Baku industry kayu dengan pihak perusahaan industry kayu. Tetapi, ada juga yang tidak mempunyai surat izin. Kebanyakan menggunakan modus Kayu Olahan Masyarakat sendiri.

Staff Advokasi dan Kampanye PFW, Jefry Duwit juga menjelaskan bahwa fakta pengelolaan hutan produksi lestari itu, terbukti sarat dengan perilaku Kejahatan Kehutanan, dimana terdapat sejumlah kasus illegal logging dan illegal trading yang semakin mengkhawatirkan di Papua Barat, termasuk di wilayah kabupaten Sorong. Kejahatan Kehutanan masih dan semakin marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim GAKKUM- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan di Pelabuhan Surabaya dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal yang diketahui berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua. Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang canggih dan terorganisir melibatkan banyak pihak, termasuk oknum-oknum yang diduga merupakan apparatus Negara baik sipil, militer maupun polisi.

Jefry menegaskan bahwa semua peraturan perundangan terkait pengelolaan kehutanan dan pengawasannya yang ada saat ini memang semakin memperketat dan menjamin tatakelola kehutanan yang baik. Namun, walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan dan taat aturan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH), akan tetapi “mafia kayu illegal” pun semakin menemukan modus-modus operandi yang baru dalam menjalankan usahanya.

“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang cangih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula”, kata Jefry.

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di kabupaten Sorong menurut Emma Malaseme, direktur PFW masih sangat tidak mendukung slogan kampanye besar dari Pemerintah Papua Barat tentang Provinsi Konservasi. Karena pengawasan dan pembinaan bahkan penanganan masalah lingkungan hidup terkait tindakan kejahatan kehutanan masih sangat lemah. Hutan semakin rusak karena kegiatan pembalakan liar. Papua Forest Watch dalam monitoring dan investigasinya sepanjang tahun 2018-2019 justru menemukan banyak fakta kegiatan illegal logging. Sayangnya penindakan sesuai prosedur hokum selalu saja masyarakat kecil yang hanya bekerja di situ karena dia mencari makan. Sementara cukong-cukong besar yang menjadi mafia sesungguhnya itu justru tidak diproses. Tidak mungkin tanpa izin, atau pemerintah tidak tahu kalau ada orang masuk tebang kayu dan memobilisasi kayu secara terang-terangan menggunakan kendaraan besar  membawa kayu lewat jalan umum atau mengeksportnya ke luar dari pulau Papua.

Aktivitas illegal logging yang semakin marak di kabupaten Sorong ini justru menambah semakin berkurangnya hutan alam. Kalau Hutan Papua dikampanyekan sebagai “Paru-paru dunia”, maka kebocoran paru-paru itu ada di Sorong, saat ini. Menurut saya, hutan-hutan alam yang tersisa saat ini, entah sebagai kawasan Hutan Lindung atau hutan adat, semestinya biar tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pengawasan ketat dan penindakan yang tegas kepada cukong-cukong pelaku pembalakan dan perdagangan kayu illegal. Kalau tidak ada langkah-langkah strategis untuk pemberantasan secara tuntas terhadap mafia kejahatan kehutanan di Sorong, maka cepat atau lambat hutan alam yang tersisa di kabupaten Sorong juga akan habis. Demikian catatan penting dari Emma Malaseme, direktur PFW dalam rangkaian kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Kota Sorong. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua