Anda mengalami kesulitan untuk bernegosiasi? Berikut ini adalah Sebuah Panduan Penguatan Kapasitas Masyarakat Adat melalui pendampingan dan pendidikan penyadaran kritis sebagai metode perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya dan perlindungan hak -hak dasarnya atas tanah dan hutan sesuai hukum yang berlaku di ranah internasional, nasional maupun lokal.
Oleh Pietsau Amafnini
Prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent)
FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) merupakan prinsip-prinsip keadilan terkait hak-hak masyarakat adat dalam pembangunan dimana mereka sebagai komunitas adat perlu dihormati dan dihargai untuk menyatakan sikapnya secara bebas tanpa tekanan dalam menghadapi pembangunan sektor apapun. Setiap kata dari singkatan FPIC dapat dimaknai sebagaimana kami uraikan di bawah ini.
Free (bebas): kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan membuat keputusan, tanpa dipengaruhi pihak lain, tanpa kekerasan, pemaksaan, intimidasi, rekayasa, manipulasi dan sogokan.
Prior (didahulukan): Hak masyarakat untuk berunding dan mengambil keputusan terhadap proyek yang akan memanfaatkan tanah, sebelum pemerintah dan project developer melaksanakan rencana mereka. Masyarakat diberikan kesempatan dan ‘waktu’ untuk melakukan konsultasi, mencari informasi dan mencapai kesepakatan.
Informed (diinformasikan): hak masyarakat untuk mendapatkan dan mengakses informasi yang lengkap membaca dan mempelajari, serta menilai informasi. Misalnya: Informasi rencana disain proyek (tujuan, hasil, tahapan, cakupan, prosedur, aktifitas, persiapan, dampak kinerja perusahaan dan sebagainya).
Consent (persetujuan), hak masyarakat adat untuk membuat keputusan dan melakukan perundingan dengan pihak-pihak berkepentingan secara tulus dan menghormati prosedur masyarakat adat setempat. Prosesnya terbuka, adil dan partisipatif, dapat dipertanggungjawabkan, tidak diskriminatif, tidak pro pada kepentingan pemimpin tertentu, melainkan kepentingan masyarakat. Prosesnya bertahap dan berulang-ulang, dapat dianulir kembali persetujuan jika ada pelanggaran.
Prinsip FPIC sesuai kesepakatan negara-negara di tingkat PBB menjamin bahwa: Masyarakat adat mempunyai hak untuk membuat keputusan/persetujuan (consent) yang dilakukan secara bebas (free), tanpa paksaan dan berdasarkan informasi (informed) yang lengkap sejak awal (prior) sebelum proyek pembangunan berlangsung dan memanfaatkan sumberdaya alam dan tanah di wilayah mereka. Maknanya, masyarakat adat mempunyai hak untuk mengatakan “YA”- menerima atau “Tidak” dan – menolak terhadap rencana proyek yang akan berlangsung di wilayah adat mereka. FPIC merupakan alat negosiasi yang adil untuk menyelesaikan bahkan mencegah konflik sejak awal. Masyarakat yang kritis, tidak mengandalkan “KAYU PALANG”, tetapi NEGOSIASI yang Adil.
FPIC DAN PENTINGNYA REFORMASI TENURIAL KEHUTANAN
Mungkin saja banyak masalah yang sudah, sedang dan akan terus dihadapi oleh komunitas masyarakat adat sebagai efek dari kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat, juga efek dari kebijakan pembangunan nasional maupun daerah. Tetapi dalam tulisan ini, kami membatasi diri hanya dan hanya pada masalah terkait Tenurial Kehutanan. Adakah alasannya? Kami hanya bisa bilang, ini masalah sepanjang masa, yang seakan tak ‘kan berkesudahan di negeri ini. Untuk itulah perlu direformasi. Ada begitu banyak istilah pula, tetapi saya mengajak anda untuk menggunakan istilah Reformasi Tenurial Kehutanan. Cukup itu dulu, karena FPIC bisa menyentuh masalah apa saja baik di darat, di laut, maupun di hutan dan udara. Walaupun ada yang bilang, masalah di laut jangan dibawa ke darat. Tapi FPIC adalah satu kunci untuk semua pintu yang bermasalah. Yang sudah rusak, marilah kita betulkan; dan yang masih baik mari kita benahi menuju sempurna dengan FPIC, FPIC dan FPIC.
Mengapa Perlu melakukan Reformasi Tenurial Kehutanan di Indonesia?
- Beban persoalan tenurial yang membelenggu kehutanan Indonesia perlu diakhiri, karena ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan menghambat pencapaian efektifitas dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan pemberian izin yang tidak terkoordinasi, penafian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal memicu adanya konflik-konflik tenurial di kawasan hutan.
- Kita perlu arah perubahan kebijakan penguasaan kawasan hutan untuk mencapai kepastian dan keadilan tenurial. Kepastian tenurial terwujud dengan sistem hukum dan kebijakan yang jelas untuk memberikan hak yang kuat dan terlindungi bagi seluruh pengguna hutan. Keadilan tenurial memastikan meluasnya akses kelompok masyarakat, terutama yang berada pada lapis das ar kemiskinan, pada kawasan hutan, tidak tereksklusi dalam proses pengambilan kebijakan dan memperoleh manfaat yang nyata dari aksesnya.
- Reformasi tenurial hutan adalah mandat hukum, dimulai dari UUD’45, Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam, UU No.5/1960 tentang Agraria dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Bagaimana melakukan Reformasi Tenurial? Melalui perbaikan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan:
- Merumuskan kembali pengertian definisi tentang kawasan hutan, hutan negara dan hutan adat yang tepat.
- Mendorong perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan, melalui revisi peraturan-perundangan yang terkait, partisipatif, tata batas hak dan alokasi hutan untuk rakyat sampai perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa.
- Membangun sistem pemetaan yang akuntabel, terbuka dan terintegrasi melalui sistem partisipatif yang didukung dengan dasar hukum yang kuat.
- Menyelesaikan tumpang tindih perizinan di kawasan hutan dan melakukan penegakan hukum terhadap pemberian izin-izin yang menyimpang dari fungsi kawasan hutan melalui kajian-kajian sosial dan kajian tata kelola fungsi lahan sektoral kehutanan, perkebunan, pertambangan, dll.
- Menyelesaikan status hukum desa-desa dalam kawasan hutan melalui pemetaan partisipatif, pemetaan sosial dan kepastian hukum bagi masyarakat adat yang tetap berada di dalam kawasan hutan dan kepastian tenurial bagi mereka sesuai sejarah/silsilahnya sebagai pengakuan atas hak – haknya atas tanah dan hutan.
- Menetapkan hak pengelolaan sebagai alas hak yang sah bagi Kemenhut untuk menguasai kawasan hutan negara (lihat psl.2 ayat 4 UUPA dan PP. No.24/2007 tentang pendaftaran tanah dan membatasi kewenangannya bahwa hanya boleh mengelola kawasan hutan negara.
Bagaimana melakukan penyelesaian konflik kehutanan dalam rangka Reformasi Tenurial kehutanan?
- Membangun strategi terpadu untuk penyelesaian konflik tenurial kehutanan
- Mempercepat proses penyelesaian konflik dan mencegah terjadinya konflik baru.
- Pelembagaan penyelesaian konflik dengan memperkuat lembaga yang sudah ada dan sedang berjalan dengan fungsinya untuk mengidentifikasi konflik, menjalankan mediasi atau memfasilitasi perundingan dalam rangka penyelesaian konflik.
Apa yang seharusnya dilakukan terkait hak masyarakat adat/lokal dalam rangka reformasi tenurial? Perluasan wilayah kelola rakyat (masyarakat adat/lokal) dan peningkatan kesejahteraannya:
- Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, melalui:
- Identifikasi/inventarisasi dan pemetaan wilayah adat berdasarkan marga/suku.
- Pemetaan sosial masyarakat adat (kampung, distrik, kabupaten, provinsi)
- Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan segala yang terkandung di dalam suatu kawasan tertentu oleh negara sebagai milik marga/suku.
- Penguatan ekonomi dan sosial masyarakat adat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
- Pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat suatu marga//suku (komunitas) melalui peraturan-perundangan (UU, PP, Perda).
- Pembentukan UU untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
- Percepatan dan perluasan wilayah kelola masyarakat lokal di sekitar hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat melalui kebijakan dan fasilitasi kegiatan masyarakat adat.
- Pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi melalui HKm-Konservasi atau pengelolaan jasa lingkungan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat adat.
- Pemberdayaan masyarakat melalui sistem/skema kemitraan dengan: Regulasi yang adil; Kembangkan afirmatif action; Lembaga arbitrase sebagai pihak ketiga penyelesaian sengketa; Kelembagaan monitoring dan evaluasi.
- Peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui akses masyarakat pada modal, pasar, produksi, pendampingan sosial–ekonomi, dukungan pembangunan infrastruktur, akses informasi, kemampuan/keahlian dan keberlanjutan produksi hasil hutan.
FPIC dan Pemetaan Wilayah Adat Sebagai Alat Penyelesaian Sengketa
- Pemetaan wilayah komunitas adat (marga/suku) telah lama dikenal dengan istilah pemetaan partisipatif yang sudah secara luas diterapkan di wilayah masyarakat adat di Indonesia sejak awal 1990-an. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses-proses pemetaan partisipatif:
- Masyarakat adat suku/marga perlu membuat kesepakatan mengenai wilayah/kawasan dengan mengacu pada batas-batas adat sesuai silsilah/history kepemilikannya.
- Perlu dilakukan identifikasi batas-batas wilayah melalui study/kajian sosial untuk mengenal dan memahami aspek historis kepemilikan lahan/kawasan.
- Kesadaran kritis akan pentingnya suatu peta hak ulayat perlu dibangun di pihak masyarakat.
- Memastikan bahwa peta-peta tersebut dibuat dengan kesadaran dan kesepakatan penuh dan dengan pengawasan dari anggota masyarakat adat yang terlibat dalam prosesnya.
- Memastikan bahwa masyarakat adat memahami tujuan-tujuan pembuatan peta partisipatif.
- Melibatkan anggota masyarakat adat setempat pada semua tahapan pemetaan dari memutuskan informasi apa yang relevan, mengumpulkan informasi di lapangan, sampai mencatat dan menunjukkan informasi dalam peta-peta dasar.
- Sedapat mungkin mencatat pemanfaatan lahan dan batas-batasnya, memasukkan nama-nama lokasi (sesuai bahasa lokal) kategori pemanfaatan lahan dan istilah-istilah untuk jenis-jenis tanaman, semuanya sesuai penamaan oleh masyarakat adat ke dalam peta-peta tersebut.
- Memastikan bahwa semua generasi terlibat dalam setiap prosesnya, orang-orang tua (laki-laki dan perempuan), seringkali yang paling mengetahui wilayah-wilayah sejarah, nilai-nilai budaya, serta sejarah kepemilikan wilayah adat tersebut.
- Melibatkan laki-laki dan perempuan dalam proses pemetaan karena mereka sering cenderung memanfaatkan lahan dan sumberdaya hutan secara berbeda-beda, keduanya benar dan perlu perlindungan.
- Pada daerah yang didiami oleh dua (2) atau lebih kelompok marga/suku yang berbeda, perlu melibatkan semua kelompok suku/marga yang berbeda dan berbatasan tersebut dalam proses pemetaan. Semuanya punya hak yang sama untuk terlibat, karena mereka yang tahu batas -batas dan harus disepakati lagi. Hal ini untuk menegaskan hak, hanya satu kelompok yang cenderung mengarah pada konflik dan memperlemah pengakuan semua kelompok tersebut.
- Melibatkan komunitas marga/suku tetangga dalam pemetaan batas-batas yang berada pada masing- masing wilayah mereka. Jika batas-batas tersebut di kemudian hari disengketakan oleh suku/komunitas tetangga, maka klaim hak atas wilayah tersebut menjadi lemah bagi semua kelompok suku tersebut.
- Pastikan bahwa peta-peta diperiksa dengan teliti oleh anggota masyarakat, direvisi jika perlu, sebelum digunakan dalam negosiasi-negosiasi dengan pihak ketiga (lihat tujuan peta). Jika itu untuk kepentingan perlindungan hak adat, maka sebaiknya tidak untuk diperjual-belikan.
- Jika hukum nasional memungkinkan, tetapkan hak kepemilikan intelektual atas peta dan database yang terekam sebagai kepemilikan masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.
- Buat aturan untuk melindungi pemanfaatan informasi, sehingga informasi tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan untuk kepentingan orang lain.
- Membuat kesepakatan bersama dalam menunjuk siapa yang diberikan kuasa kepercaya an untuk menyimpan peta dan informasi yang sudah jadi sebagai asetmilik bersama untuk menghindari penyalahgunaan wewenang terhadap kepemilikan peta dan fungsinya.
- Sebagai tindakan pencegahan dan penyelesaian masalah yang melibatkan masyarakat adat sebagai komunitas dengan pihak lain misalnya perusahaan dan pemerintah, maka yang perlu dilakukan adalah menjalankan prinsip-prinsip FPIC; Musyawarah adat/kampung; pemetaan hak adat; menulis/membuat aturan kampung/desa; pertemuan kampung; membuat rencana pembangunan kampung/desa; pertemuan antara kampung, antar marga, antar suku hingga pertemuan pihak -pihak terkait yang berkepentingan (komunitas adat, perusahaan, pemerintah) dengan difasilitasi oleh pihak penengah/arbitrase yang disepakati bersama oleh semua pihak bersengketa.
FPIC: Antara Hak Masyarakat Adat dan Kewajiban Pengembang Investasi
Sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC bahwa masyarakat adat berhak memperoleh informasi yang lengkap sejak awal dan mengetujui atau menolak secara bebas tanpa tekanan, maka tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang harus dibuat sebagai kewajiban oleh perusahaan pengembang proyek (investor) dan karenanya perlu diketahui oleh komunitas masyarakat adat setempat sebagai hak sesuai FPIC adalah:
- SCOPING: perusahaan harus periksa siapa saja kelompok masyarakat di dalam kawasan/lokasi sasaran proyek.
- Lembaga apa saja yang mempunyai peran penting dalam pengurusan kampung dan komunitas adat setempat.
- Konservasi/perlindungan terhadap potensi nilai konservasi tinggi misalnya tempat-tempat pemali dan hewan endemik yang terancam hilang dan punah; dan karenanya pemetaan/tata ruang kawasan menjadi sangat penting untuk ditunjukkan dan diketahui oleh masyarakat. Pemetaan tata ruang untuk dampak sosial dan lingkungan perlu mencakup: peta wilayah adat, luasan kawasan adat, kepemilikan marga/suku/komunitas, terutama memperhitungkan alokasi kawasan untuk menjamin keberlangsungan hidup komunitas adat.
- Masyarakat dan perusahaan sama-sama menyediakan informasi yang lengkap, tentang: a) kemungkinan adanya tumpang tindih hak atas lahan/kawasan (misalnya: perusahaan/tambang, kayu; pemerintah/CA, HL; komunitas adat/tempat pemali, hutan sagu, kebun). b) masyarakat adat harus menunjukkan bahwa komunitas mereka adalah pemegang hak atas tanah dan kawasan hutan. c) perusahaan harus menyediakan informasi lengkap mengenai DAMPAK (positif, negatif), manfaat, resiko, keuangan, perizinan, mitra kerjanya dengan siapa saja.
- Masyarakat adat harus bangun komitmen untuk tegas dengan FPIC dimana mengedepankan Musyawarah Adat/Kampung.
- Masyarakat adat harus membentuk TIM BERUNDING yang beranggotakan Laki-laki dan perempuan, tokoh adat, pemerintah desa). Tim berunding ini harus bekerja sesuai masa waktu usia kontrak perusahaan, misalnya kalau perusahaan tersebut kontrak kerjanya 30 tahun, maka masa kerja tim berunding ini harus berusia 30 tahun pula. Tim Berunding ini dapat memainkan perannya untuk bertanya: Apa manfaatnya untuk masyarakat; bagaimana pembagian keuntungan; apa bentuk penyaluran dari perusahaan dan pemerintah; bagaimana menghadapi dampak; cara mendapatkan hak atas keuntungan; bagaimana kalau perusahan tiba-tiba bangkrut, dll. Semua hasil dari proses pertemuan antara Tim Berunding dengan pihak perusahaan maupun pemerintah wajib disampaikan dalam forum pertemuan/musyawarah adat/kampung.
- Tim Berunding tidak boleh membuat agenda dan permintaan-permintaan sendiri di luar ketentuan yang disetujui bersama dalam musyawarah adat/kampung. Untuk itu dalam menghadapi perusahaan (ketika harus bernegosiasi secara adil) maka komunitas dalam musyawarah itu harus membuat Target TUNTUTAN Tertinggi, dan ketika ditanggapi dengan melemah, Tim Berunding tidak dapat mengambil keputusan sendiri dalam proses negosiasi itu, tetapi dimusyawarahkan kembali dengan anggota komunitas. Tim harus menyiapkan diri secara fisik dan mental. Tim Berunding selalu harus melaporkan kembali setiap hasil perundingan kepada warga/anggota komunitas dalam musyawarah. Setiap hasil tahapan bisa saja berakibat fatal/macet, maka KEMBALI ke TUNTUTAN AWAL dimana Musyawarah menentukan TARGET TERTINGGI. Kesepakatan Akhir antara Tim Berunding dengan perusahaan setelah menempuh proses sesuai prinsip FPIC merupakan SOLUSI dan karenanya Kesepakatan tersebut MENGIKAT kedua belah pihak. Biasanya ketika belum ada solusi, maka muncu l ancaman, intimidasi yang menyebabkan masyarakat menjadi pecah-belah, pro – kontra. Kesepakatan pun biasanya berupa UANG dan Pembangunan Fisik. Jangan menerima kompensasi berupa “iming – iming/janji-janji” kesejahteraan berjangka panjang.
- Masyarakat adat harus menyiapkan rencana kalau terjadi kesepakatan: bentuknya jelas, apakah berupa koperasi atau berupa uang tunai dan langsung dibagi sesuai dengan jumlah jiwa/keluarga/marga, dll.
- Terkait KESEPAKATAN, maka Masyarakat Adat JANGAN TANDA TANGANI: Kwitansi Kosong; dokumen yang tidak lengkap atau dokumen yang merujuk pada LAMPIRAN yang tidak ditunjukkan; dokumen yang masih ada titik-titik (………….) atau ruang kosong yang tersembunyi……; dokumen contoh; hati-hati terhadap politik pecah-belah dengan isu-isu hasutan pro/kontra dan iming-iming uang dan lain sebagainya yang dapat memperlemah posisi masyarakat adat. Untuk itulah, maka perjanjian dan dokumen perjanjian/kesepakatan penting dibaca, diteliti, dipertimbangkan dan ditandatangani NOTARIS sebagai pejabat negara yang berwenang dalam Hukum Perikatan.
- Penegasan isi perjanjian/kesepakatan oleh NOTARIS dan diketahui Pemerintah Daerah.
- Mengawasi Pelaksanaan isi Kesepakatan FPIC. Bila ada hal yang menyimpang dari kesepakatan, maka komunitas adat melalui musyawarah melakukan komplain.
Semoga Lembaran Panduan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat adat dan semua aktivis pendamping komunitas masyarakat adat, khususnya para aktivis JASOIL yang selalu bekerja tanpa pamrih penuh pengabdian untuk KEADILAN di Tanah Papua. ****Koordinator JASOIL Tanah Papua