FPIC dan Strategi Negosiasi Bagi Masyarakat Adat


Anda mengalami kesulitan untuk bernegosiasi? Berikut ini adalah Sebuah Panduan Penguatan Kapasitas Masyarakat Adat melalui pendampingan dan pendidikan penyadaran kritis sebagai metode perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya dan perlindungan hak -hak dasarnya atas tanah dan hutan sesuai hukum yang berlaku di ranah internasional, nasional maupun lokal.

Oleh Pietsau Amafnini

Prinsip-prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent)

FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) merupakan prinsip-prinsip keadilan terkait hak-hak masyarakat adat dalam pembangunan  dimana  mereka  sebagai  komunitas  adat  perlu  dihormati  dan  dihargai  untuk  menyatakan sikapnya secara bebas tanpa tekanan dalam menghadapi pembangunan sektor apapun. Setiap kata dari singkatan FPIC dapat dimaknai sebagaimana kami uraikan di bawah ini.

Free (bebas): kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan membuat keputusan, tanpa dipengaruhi pihak lain, tanpa kekerasan, pemaksaan, intimidasi, rekayasa, manipulasi dan sogokan.

Prior (didahulukan): Hak masyarakat untuk berunding dan mengambil keputusan terhadap proyek yang akan memanfaatkan tanah, sebelum pemerintah dan project developer melaksanakan rencana mereka. Masyarakat diberikan kesempatan dan ‘waktu’ untuk    melakukan konsultasi, mencari informasi dan mencapai kesepakatan.

Informed (diinformasikan): hak masyarakat untuk mendapatkan dan mengakses informasi yang lengkap membaca dan mempelajari, serta menilai informasi. Misalnya: Informasi rencana disain proyek (tujuan, hasil, tahapan, cakupan, prosedur, aktifitas, persiapan, dampak kinerja perusahaan dan sebagainya).

Consent (persetujuan), hak masyarakat adat untuk membuat keputusan dan melakukan perundingan dengan pihak-pihak berkepentingan secara tulus dan menghormati prosedur masyarakat adat setempat. Prosesnya terbuka, adil dan partisipatif, dapat dipertanggungjawabkan, tidak diskriminatif, tidak pro pada kepentingan pemimpin tertentu, melainkan kepentingan masyarakat. Prosesnya bertahap dan berulang-ulang, dapat dianulir kembali persetujuan jika ada pelanggaran.

Prinsip FPIC sesuai kesepakatan negara-negara di tingkat PBB menjamin bahwa: Masyarakat adat mempunyai hak untuk membuat keputusan/persetujuan (consent) yang dilakukan secara bebas (free), tanpa paksaan dan berdasarkan informasi (informed) yang lengkap sejak awal (prior) sebelum proyek pembangunan berlangsung dan memanfaatkan sumberdaya alam dan tanah di wilayah mereka. Maknanya, masyarakat adat mempunyai hak untuk mengatakan “YA”- menerima atau “Tidak” dan – menolak terhadap rencana proyek yang akan berlangsung di wilayah adat mereka. FPIC merupakan alat negosiasi yang adil untuk menyelesaikan bahkan mencegah konflik sejak awal. Masyarakat yang kritis, tidak mengandalkan “KAYU PALANG”, tetapi NEGOSIASI yang Adil.

FPIC DAN PENTINGNYA REFORMASI TENURIAL KEHUTANAN

Mungkin saja banyak masalah yang sudah, sedang dan akan terus dihadapi oleh komunitas masyarakat adat sebagai efek dari kebijakan politik yang tidak berpihak pada rakyat, juga efek dari kebijakan pembangunan nasional maupun daerah. Tetapi dalam tulisan ini, kami membatasi diri hanya dan hanya pada masalah terkait Tenurial Kehutanan. Adakah alasannya? Kami hanya bisa bilang, ini masalah sepanjang masa, yang seakan tak ‘kan berkesudahan di negeri ini. Untuk itulah perlu direformasi. Ada begitu banyak istilah pula, tetapi saya mengajak anda untuk menggunakan istilah Reformasi Tenurial Kehutanan. Cukup itu dulu, karena FPIC bisa menyentuh masalah apa saja baik di darat, di laut, maupun di hutan dan udara. Walaupun ada yang bilang, masalah di laut jangan dibawa ke darat. Tapi FPIC adalah satu kunci untuk semua pintu yang bermasalah. Yang sudah rusak, marilah kita betulkan; dan yang masih baik mari kita benahi menuju sempurna dengan FPIC, FPIC dan FPIC.

Mengapa Perlu melakukan Reformasi Tenurial Kehutanan di Indonesia?

  1. Beban  persoalan   tenurial   yang   membelenggu   kehutanan   Indonesia   perlu  diakhiri,   karena ketidakpastian dan ketimpangan penguasaan kawasan hutan menghambat pencapaian efektifitas dan keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan dan pemberian izin yang tidak terkoordinasi, penafian pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal memicu adanya konflik-konflik tenurial di kawasan hutan.
  2. Kita perlu  arah  perubahan kebijakan penguasaan kawasan hutan  untuk  mencapai kepastian dan keadilan tenurial. Kepastian tenurial terwujud dengan sistem hukum dan kebijakan yang jelas untuk memberikan hak yang kuat dan terlindungi bagi seluruh pengguna hutan. Keadilan tenurial memastikan  meluasnya  akses  kelompok  masyarakat,  terutama  yang  berada  pada  lapis  das ar kemiskinan, pada kawasan hutan, tidak tereksklusi dalam proses pengambilan kebijakan dan memperoleh manfaat yang nyata dari aksesnya.
  3. Reformasi tenurial hutan adalah mandat hukum, dimulai dari UUD’45, Tap MPR No.IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam, UU No.5/1960 tentang Agraria dan UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Bagaimana melakukan Reformasi Tenurial? Melalui perbaikan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan:

  1. Merumuskan kembali pengertian definisi tentang kawasan hutan, hutan negara dan hutan adat yang tepat.
  2. Mendorong perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan, melalui revisi peraturan-perundangan yang terkait,  partisipatif,  tata  batas  hak  dan  alokasi  hutan  untuk  rakyat sampai perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa.
  3. Membangun sistem pemetaan yang akuntabel, terbuka dan terintegrasi melalui sistem partisipatif yang didukung dengan dasar hukum yang kuat.
  4. Menyelesaikan tumpang  tindih  perizinan  di  kawasan  hutan  dan  melakukan  penegakan  hukum terhadap  pemberian izin-izin  yang  menyimpang dari  fungsi  kawasan hutan  melalui  kajian-kajian sosial dan kajian tata kelola fungsi lahan sektoral kehutanan, perkebunan, pertambangan, dll.
  5. Menyelesaikan status   hukum   desa-desa  dalam   kawasan  hutan   melalui   pemetaan  partisipatif, pemetaan sosial dan kepastian hukum bagi masyarakat adat yang tetap berada di dalam kawasan hutan dan kepastian tenurial bagi mereka sesuai sejarah/silsilahnya sebagai pengakuan atas hak – haknya atas tanah dan hutan.
  6. Menetapkan hak pengelolaan sebagai alas hak yang sah bagi Kemenhut untuk menguasai kawasan hutan negara (lihat psl.2 ayat 4 UUPA dan PP. No.24/2007 tentang pendaftaran tanah dan membatasi kewenangannya bahwa hanya boleh mengelola kawasan hutan negara.

Bagaimana melakukan penyelesaian konflik kehutanan dalam rangka Reformasi Tenurial kehutanan?

  1. Membangun strategi terpadu untuk penyelesaian konflik tenurial kehutanan
  2. Mempercepat proses penyelesaian konflik dan mencegah terjadinya konflik baru.
  3. Pelembagaan penyelesaian konflik dengan memperkuat lembaga yang sudah ada dan sedang berjalan dengan fungsinya untuk mengidentifikasi konflik, menjalankan mediasi atau memfasilitasi perundingan dalam rangka penyelesaian konflik.

Apa yang seharusnya dilakukan terkait hak masyarakat adat/lokal dalam rangka reformasi tenurial? Perluasan wilayah kelola rakyat (masyarakat adat/lokal) dan peningkatan kesejahteraannya:

  1. Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, melalui:
  • Identifikasi/inventarisasi dan pemetaan wilayah adat berdasarkan marga/suku.
  • Pemetaan sosial masyarakat adat (kampung, distrik, kabupaten, provinsi)
  • Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan segala yang terkandung di dalam suatu kawasan tertentu oleh negara sebagai milik marga/suku.
  • Penguatan ekonomi dan sosial masyarakat adat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
  • Pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat suatu marga//suku (komunitas) melalui peraturan-perundangan (UU, PP, Perda).
  • Pembentukan UU untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
  1. Percepatan dan perluasan wilayah kelola masyarakat lokal di sekitar hutan dengan skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat melalui kebijakan dan fasilitasi kegiatan masyarakat adat.
  1. Pemberdayaan masyarakat di kawasan konservasi melalui HKm-Konservasi atau pengelolaan jasa lingkungan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat adat.
  2. Pemberdayaan masyarakat melalui sistem/skema kemitraan dengan: Regulasi yang adil; Kembangkan afirmatif action;  Lembaga  arbitrase  sebagai  pihak  ketiga  penyelesaian  sengketa;  Kelembagaan monitoring dan evaluasi.
  1. Peningkatan kesejahteraan  masyarakat,  melalui  akses  masyarakat  pada  modal,  pasar,  produksi, pendampingan sosial–ekonomi, dukungan pembangunan infrastruktur, akses informasi, kemampuan/keahlian dan keberlanjutan produksi hasil hutan.

FPIC  dan Pemetaan Wilayah Adat Sebagai Alat Penyelesaian Sengketa

  1. Pemetaan wilayah komunitas adat (marga/suku) telah lama dikenal dengan istilah pemetaan partisipatif yang sudah secara luas diterapkan di wilayah masyarakat adat di Indonesia sejak awal 1990-an. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses-proses pemetaan partisipatif:
  2. Masyarakat adat  suku/marga  perlu  membuat  kesepakatan  mengenai  wilayah/kawasan  dengan mengacu pada batas-batas adat sesuai silsilah/history kepemilikannya.
  3. Perlu dilakukan identifikasi batas-batas wilayah  melalui  study/kajian sosial  untuk  mengenal  dan memahami aspek historis kepemilikan lahan/kawasan.
  4. Kesadaran kritis akan pentingnya suatu peta hak ulayat perlu dibangun di pihak masyarakat.
  5. Memastikan bahwa peta-peta tersebut dibuat dengan kesadaran dan kesepakatan penuh dan dengan pengawasan dari anggota masyarakat adat yang terlibat dalam prosesnya.
  6. Memastikan bahwa masyarakat adat memahami tujuan-tujuan pembuatan peta partisipatif.
  7. Melibatkan anggota masyarakat adat  setempat  pada  semua  tahapan  pemetaan  dari  memutuskan informasi   apa   yang   relevan,   mengumpulkan   informasi   di   lapangan,   sampai   mencatat   dan menunjukkan informasi dalam peta-peta dasar.
  8. Sedapat mungkin mencatat pemanfaatan lahan dan batas-batasnya, memasukkan nama-nama lokasi (sesuai  bahasa  lokal)  kategori  pemanfaatan  lahan  dan  istilah-istilah  untuk  jenis-jenis  tanaman, semuanya sesuai penamaan oleh masyarakat adat ke dalam peta-peta tersebut.
  9. Memastikan bahwa semua generasi terlibat dalam setiap prosesnya, orang-orang tua (laki-laki dan perempuan), seringkali yang  paling  mengetahui wilayah-wilayah sejarah,  nilai-nilai budaya,  serta sejarah kepemilikan wilayah adat tersebut.
  10. Melibatkan laki-laki  dan  perempuan  dalam  proses  pemetaan  karena  mereka  sering  cenderung memanfaatkan  lahan  dan  sumberdaya  hutan  secara  berbeda-beda,  keduanya  benar  dan  perlu perlindungan.
  11. Pada daerah yang didiami oleh dua (2) atau lebih kelompok marga/suku yang berbeda, perlu melibatkan semua kelompok  suku/marga  yang  berbeda  dan  berbatasan  tersebut  dalam  proses pemetaan. Semuanya punya hak yang sama untuk terlibat, karena mereka yang tahu batas -batas dan harus disepakati lagi. Hal ini untuk menegaskan hak, hanya satu kelompok yang cenderung mengarah pada konflik dan memperlemah pengakuan semua kelompok tersebut.
  12. Melibatkan komunitas marga/suku tetangga dalam pemetaan batas-batas yang berada pada masing- masing wilayah mereka. Jika batas-batas tersebut di kemudian hari disengketakan oleh suku/komunitas tetangga, maka klaim hak atas wilayah tersebut menjadi lemah bagi semua kelompok suku tersebut.
  13. Pastikan bahwa      peta-peta  diperiksa  dengan  teliti  oleh  anggota  masyarakat,  direvisi  jika  perlu, sebelum digunakan dalam negosiasi-negosiasi dengan pihak ketiga (lihat tujuan peta). Jika itu untuk kepentingan perlindungan hak adat, maka sebaiknya tidak untuk diperjual-belikan.
  14. Jika hukum nasional memungkinkan, tetapkan hak kepemilikan intelektual atas peta dan database yang terekam sebagai kepemilikan masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.
  15. Buat aturan untuk melindungi pemanfaatan informasi, sehingga informasi tidak disalahtafsirkan atau diselewengkan untuk kepentingan orang lain.
  16. Membuat kesepakatan bersama dalam  menunjuk  siapa  yang  diberikan kuasa  kepercaya an  untuk menyimpan  peta  dan  informasi  yang  sudah  jadi  sebagai  asetmilik  bersama  untuk  menghindari penyalahgunaan wewenang terhadap kepemilikan peta dan fungsinya.
  17. Sebagai tindakan pencegahan dan penyelesaian masalah yang melibatkan masyarakat adat sebagai komunitas dengan pihak lain misalnya perusahaan dan pemerintah, maka yang perlu dilakukan adalah menjalankan prinsip-prinsip  FPIC;   Musyawarah adat/kampung; pemetaan hak adat; menulis/membuat aturan  kampung/desa;  pertemuan  kampung;  membuat  rencana  pembangunan kampung/desa; pertemuan antara kampung, antar marga, antar suku hingga pertemuan pihak -pihak terkait yang berkepentingan (komunitas adat, perusahaan, pemerintah) dengan difasilitasi oleh pihak penengah/arbitrase yang disepakati bersama oleh semua pihak bersengketa.

FPIC: Antara Hak Masyarakat Adat dan Kewajiban Pengembang Investasi

Sesuai dengan prinsip-prinsip FPIC bahwa masyarakat adat berhak memperoleh informasi yang lengkap sejak awal dan mengetujui atau menolak secara bebas tanpa tekanan, maka tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang harus dibuat sebagai kewajiban oleh perusahaan pengembang proyek (investor) dan karenanya perlu diketahui oleh komunitas masyarakat adat setempat sebagai hak sesuai FPIC adalah:

  1. SCOPING: perusahaan  harus  periksa  siapa  saja  kelompok  masyarakat  di  dalam  kawasan/lokasi sasaran proyek.
  2. Lembaga apa saja yang mempunyai peran penting dalam pengurusan kampung dan komunitas adat setempat.
  3. Konservasi/perlindungan terhadap potensi nilai konservasi tinggi misalnya tempat-tempat pemali dan hewan endemik yang terancam hilang dan punah; dan karenanya pemetaan/tata ruang kawasan menjadi sangat penting untuk ditunjukkan dan diketahui oleh masyarakat. Pemetaan tata ruang untuk dampak sosial dan lingkungan perlu mencakup: peta wilayah adat, luasan kawasan adat, kepemilikan marga/suku/komunitas, terutama memperhitungkan alokasi kawasan untuk menjamin keberlangsungan hidup komunitas adat.
  4. Masyarakat  dan   perusahaan   sama-sama   menyediakan   informasi   yang   lengkap,   tentang:   a) kemungkinan adanya tumpang tindih hak atas lahan/kawasan (misalnya: perusahaan/tambang, kayu; pemerintah/CA, HL; komunitas adat/tempat pemali, hutan sagu, kebun). b) masyarakat adat harus menunjukkan bahwa komunitas mereka adalah pemegang hak  atas tanah dan kawasan hutan. c) perusahaan harus  menyediakan informasi  lengkap  mengenai  DAMPAK  (positif,  negatif),  manfaat, resiko, keuangan, perizinan, mitra kerjanya dengan siapa saja.
  5. Masyarakat adat  harus  bangun  komitmen  untuk  tegas  dengan  FPIC  dimana  mengedepankan Musyawarah Adat/Kampung.
  6. Masyarakat adat harus membentuk TIM BERUNDING yang beranggotakan Laki-laki dan perempuan, tokoh adat, pemerintah desa).  Tim berunding ini harus bekerja sesuai masa waktu usia kontrak perusahaan, misalnya kalau perusahaan tersebut kontrak kerjanya 30 tahun, maka masa kerja tim berunding ini harus berusia 30 tahun pula. Tim Berunding ini dapat memainkan perannya untuk bertanya: Apa manfaatnya untuk masyarakat; bagaimana pembagian keuntungan; apa bentuk penyaluran dari perusahaan dan pemerintah; bagaimana menghadapi dampak; cara mendapatkan hak atas keuntungan; bagaimana kalau perusahan tiba-tiba bangkrut, dll. Semua hasil dari proses pertemuan antara Tim Berunding dengan pihak perusahaan maupun pemerintah wajib disampaikan dalam forum pertemuan/musyawarah adat/kampung.
  7. Tim Berunding tidak boleh membuat agenda dan permintaan-permintaan sendiri di luar ketentuan yang disetujui bersama dalam musyawarah adat/kampung. Untuk itu dalam menghadapi perusahaan (ketika harus bernegosiasi secara adil) maka komunitas dalam musyawarah itu harus membuat Target TUNTUTAN Tertinggi, dan ketika ditanggapi dengan melemah, Tim Berunding tidak dapat mengambil keputusan sendiri  dalam  proses  negosiasi  itu,  tetapi dimusyawarahkan kembali  dengan  anggota komunitas. Tim harus menyiapkan diri secara fisik dan mental. Tim Berunding selalu harus melaporkan kembali setiap hasil perundingan kepada warga/anggota komunitas dalam musyawarah. Setiap hasil tahapan bisa saja berakibat fatal/macet, maka KEMBALI ke TUNTUTAN AWAL dimana Musyawarah menentukan TARGET TERTINGGI. Kesepakatan Akhir antara Tim Berunding dengan perusahaan setelah menempuh proses sesuai prinsip FPIC merupakan SOLUSI dan karenanya Kesepakatan tersebut MENGIKAT kedua belah pihak. Biasanya ketika belum ada solusi, maka muncu l ancaman, intimidasi yang menyebabkan masyarakat menjadi pecah-belah, pro – kontra. Kesepakatan pun biasanya berupa UANG dan Pembangunan Fisik. Jangan menerima kompensasi berupa “iming – iming/janji-janji” kesejahteraan berjangka panjang.
  8. Masyarakat adat  harus  menyiapkan  rencana  kalau  terjadi  kesepakatan:  bentuknya  jelas,  apakah berupa    koperasi    atau    berupa uang tunai dan langsung    dibagi    sesuai    dengan    jumlah jiwa/keluarga/marga, dll.
  9. Terkait KESEPAKATAN,  maka   Masyarakat  Adat  JANGAN  TANDA  TANGANI:  Kwitansi  Kosong; dokumen yang tidak lengkap atau dokumen yang merujuk pada LAMPIRAN yang tidak ditunjukkan; dokumen  yang  masih  ada  titik-titik  (………….)  atau  ruang  kosong  yang  tersembunyi……;  dokumen contoh; hati-hati terhadap politik pecah-belah dengan isu-isu hasutan pro/kontra dan iming-iming uang  dan  lain  sebagainya  yang  dapat  memperlemah posisi  masyarakat adat.  Untuk  itulah,  maka perjanjian dan dokumen perjanjian/kesepakatan penting dibaca, diteliti, dipertimbangkan dan ditandatangani NOTARIS sebagai pejabat negara yang berwenang dalam Hukum Perikatan.
  10. Penegasan isi perjanjian/kesepakatan oleh NOTARIS dan diketahui Pemerintah Daerah.
  11. Mengawasi Pelaksanaan isi Kesepakatan FPIC. Bila ada hal yang menyimpang dari kesepakatan, maka komunitas adat melalui musyawarah melakukan komplain.

Semoga Lembaran Panduan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat adat dan semua aktivis pendamping komunitas masyarakat adat, khususnya para aktivis JASOIL yang selalu bekerja tanpa pamrih penuh pengabdian untuk KEADILAN di Tanah Papua. ****Koordinator JASOIL Tanah Papua

RUMAH TUA MISTERIUS


Tiba di rumah tua itu, dalam hati Ellen, ia bergumam “mengapa tidak dari dulu kita berada di tempat ini?” Ohhh indah sekali. Sementara Edward justru berusaha memahami lingkungan di sekitar rumah tersebut. “Mengapa ada burung merpati dan burung wallet yang bersarang di rumah ini?”, Edward bertanya dalam hati. Edward merasa tak nyaman dengan kondisi ini. “Apakah sebelumnya memang ada penghuni, atau  tidak?”. Kepalanya Edward terasa pening.

Oleh  Jenina Gracelia Amafnini

Di sebuah kota kecil, hiduplah satu keluarga yang serba berkecukupan. Keluarga itu Edward dan saudarinya yang bernama Ellen. Mereka hidup bersama kedua orang tuanya yakni ayah dan ibunya yang cukup dikenal warga kota itu sebagai pengusaha sukses.

Masa kecilnya Edward dan Ellen terbentuk di kota ini, walaupun  kondisi umum di kota itu tidak tergolong kota yang nyaman. Namun karena mereka lahir dan besar di kota tersebut, maka mereka tetap merasa nyaman-nyaman saja. Apalagi ayah mereka yang sangat disanjung oleh penduduk kota tersebut karena perusahaannya mempekerjakan banyak orang dari kota itu.

Edward dan Ellen sebenarnya sudah menyatu dengan kehidupan kota ini, tetapi suatu ketika usaha keluarga mereka bangkrut, sehingga mereka memutuskan untuk pindah ke suatu desa terpencil. Edward dan Ellen tidak menyetujui keputusan ayah dan ibunya. Tetapi apalah daya anak-anak itu di hadapan kedua orang tua? Mereka terpaksa menuruti saja keputusan kedua orang tua, karena tidak ada pilihan lain. Untuk mencapai desa terpencil itu mereka harus menghabiskan waktu perjalanan 6 jam ke desa tersebut. Setelah 6 jam berlalu mereka tiba di desa dimana sang ayah sudah membeli sebuah rumah tua tanpa mereka ketahui sebelumnya. Bahkan ibunya sendiri terkejut jika rumah di tempat baru tersebut sudah menjadi milik mereka.

Rumah tua itu terdiri dari tiga lantai dengan luas tanah 10 hektar. Lokasi ini sebelumnya merupakan lahan pertanian pada zaman penjajahan yang hampir menelan waktu 150 tahun. Namun dari fisik konstruksi bangunannya, ternyata sangat kuat dan kokoh. Hampir tidak kelihatan ada bagian lain yang rusak. Keindahan alam di halaman rumah adalah aneka jenis bunga taman dengan warna-warni yang tentu menarik perhatian tersendiri. Ellen dan ibunya adalah sosok penyuka bunga. Waktu mereka masih tinggal di kota, ibunya menghabiskan banyak dana untuk mengoleksi bunga. Sekarang justru bunga-bunga itu sudah tersedia di taman yang begitu luas. Dalam hati Ellen, ia bergumam “mengapa tidak dari dulu kita berada di tempat ini?”

Sementara Edward justru berusaha memahami lingkungan di selitar rumah tersebut. “Mengapa ada burung merpati dan burung wallet yang bersarang di rumah ini?”, Edward bertanya dalam hati.

Edward merasa tak nyaman dengan kondisi ini. “Apakah sebelumnya memang ada penghuni, atau  tidak?”. Kepalanya Edward terasa pening.Lokasi yang begitu luas membuat mereka jauh dari penduduk lain di desa itu. Sangat sunyi. Hanya beberapa ekor burung merpati yang meramaikan halaman, karena mereka bersarang di lantai dua. Sedangkan di lantai tiga, ada sarang burung wallet.

Meski demikian,  Edward dan Ellen sangat senang dengan suasana umum dan pemandangan di rumah baru ini. Karena mereka menghabiskan masa kecil di rumah yang sangat mewah di kota, tetapi halamannya hanya pas untuk parkiran mobil. Dibanding lokasi baru sekarang, justru halamannya luas sekali dengan taman bunga yang indah.

Hari pertama itu merupakan hari yang sangat melelahkan. Ayah dan ibu sibuk mengatur barang-barang bawaan mereka. Sedangkan Edward dan Ellen masing-masing menyiapkan kamarnya. Edward memilih lantai tiga. Sedangkan Ellen memilih lantai dua. Ayah dan ibu memilih lantai satu. Edward dan Ellen memilih lantai dua dan tiga karena dari lantai atas bisa menikmati keindahan bunga-bunga di taman pada pagi hari.

Ibu telah menyiapkan makan malam di ruang makan lantai satu. Tepat jam 8 malam, semuanya bertemu di ruang makan. Awalnya ibu menyiapkan 4 kursi di meja makan, tetapi pada saat semuanya berkumpul, ibunya heran karena ada kursi kelima tanpa orang. Ibu pun berkata kepada mereka: “tadi ibu telah menyiapkan 4 kursi untuk kita berempat, tetapi mengapa sekarang ada 5 kursi?”. Ibu terdiam sambil kebingungan.“Mungkin saja ibu lupa karena kelelahan”, sahut ayah kepada ibu. Edward merasa badannya merinding karena sesuatu berjalan melewati belakangnya. Tetapi ia hanya terdiam. “Achhh mungkin hanya perasaan saja”, katanya dalam hati.

Pada saat mereka sedang asyik makan, terdengar bunyi piring dari arah dapur. Sang ibu berpikir mungkin saja kucing atau tikus. Ellen dan juga Edward seakan-akan kompak menoleh ke arah pintu lorong menuju dapur. Edward menarik napasnya dalam-dalam sebelum meneguk air dari gelas di genggamannya.

Wajah Edward tampak pucat, berkeringat halus. Melihat kondisi kakaknya seperti itu, Ellen mencoba mengalihkan perhatian Edward dengan menjatuhklan sendok makannya ke lantai persis di dekat kaki kursi yang diduduki Edward. Ellen menunduk untuk mengambil sendoknya yang jatuh. Astaga, apa yang dilihat Ellen di kursi kelima? Ada kaki orang dewasa. Tetapi ia berusaha tenang hingga memperbaiki posisi duduknya kembali di kursi. Ellen tidak ingin menceritakan itu, karena takut ayahnya tidak akan percaya apa yang dilihatnya. Dia focus pada makanan di piringnya. Sang ayah baru saja memasukkan nasi satu sendok ke dalam mulutnya, tetapi nasi di piringnya sudah habis.Entah siapa yang menghabiskannya. Tetapi sang ibu tetap berpikir positif, “mungkin aku terlalu lelah sampai-sampai aku tak bisa berkonsentrasi dengan baik”, kata sang ibu dalam hati.

Setelah makan malam bersama, masing-masing kembali ke kamarnya. Pada saat membuka pintu kamar, Ellen sangat terkejut dia melihat seorang wanita berambut panjang berwarna coklat dan wajah yang sangat pucat serta ada luka di lehernya karena terpotong oleh benda tajam sedang duduk di tempat tidur sambil menatapnya. Ellen berteriak histeris “aaa…ayah…ibu……”, ayah dan ibunya segera berlari menuju kamarnya Ellen tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan.

Ellen mencoba menceritakan apa yang ia lihat pada ayah dan ibunya, tetapi mereka tidak yakin, sehingga mereka membujuknya untuk tidur. “Tidurlah Ellen kamu mungkin sangat lelah, karena itu kamu berhalusinasi”, ucap sang ibu kepada Ellen.”Iya, kamu pasti sangat lelah anakku”, kata sang ayah.

Sementara itu ada suara-suara aneh di lantai tiga.Edward yang berada di kamarnya berpikir bahwa itu adalah ayahnya yang sedang memperbaiki kunci jendela yang terlepas. Ia pun keluar dan berjalan ke arah suara tersebut tetapi tidak ada orang di sana. Hanya seutas tali yang tergantung di jendela. Ia masih mengamati tali itu dengan heran, karena sebelum masuk ke kamarnya, ia sudah memastikan jika jendela itu sudah terkunci dan tidak ada tali di situ. Edward masih memandang di sekilingnya. Ia mulai merasakan adanya keanehan di rumah ini.

Tak lama kemudian ada suara laki-laki yang menyerupai suara ayahnya menyuruhnya memegang ujung tali itu.Begitu diraihnya ujung tali tersebut, kedua tangan dan kakinya terlilit oleh tali itu. Iapun berteriak histeris meminta tolong ayahnya,”ayah…ayah…ibu…ibu…tolong aku”. Ayah dan ibunya pun bergegas berlari kelantai tiga. Tetapi disana mereka tidak menemukan apa-apa selain tubuh Edward yang tergeletak di lantai sambil berguling-guling dan terus berteriak “ayah…ibu…tolong bukakan tali ini…ayah…ibu…”. Edward terus berteriak histeris, meskipun ayah sudah memeluknya erat-erat.

Edward pun cepat tersadar dan menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya. Tetapi ayah dan ibunya tidak percaya kepadanya. Mereka malah membujuknya agar tidur di kamarnya. “Edward mungkin saja kamu berhalusinasi sama seperti Ellen karena sangat kelelahan” ,ujar sang ibu kepadanya. “Memangnya apa yang terjadi pada Ellen ibu?” Tanya Edward kepada ibunya.

Ibu lalu menceritakan kejadian yang Ellen alami kepada Edward. “Sudah-sudahlah, tidak ada apa-apa. Edward kembalilah ke kamarmu. Kamu pasti sangat lelah, tidurlah nak. Ayah dan ibu juga akan turun  ke lantai satu”, kata sang ayah dengan tegas kepada Edward dan ibu. “Baik ayah”, jawab Edward kepada sang ayah. Setelah Edward kembali ke kamarnya, ayah dan ibunya pun turun kembali kelantai satu. Di sana mereka kembali mengingat kejadian aneh di meja makan hingga menghubung-hubungkan dengan apa yang terjadi di kamar Ellen dan di lantai tiga.

Sekitar jam 3 malam dini hari, Ellen berteriak dari kamarnya. Ayah dan ibunya terkejut dan bergegas berlari ke kamar Ellen di lantai dua. Sesampainya mereka di lantai dua, pintu kamar Ellen terkunci. Nampaknya Ellen sedang melawan sesuatu, “Ellen…Ellen…buka pintunya cepat…Ellen…Ellen…..” ayah dan ibunya terus memanggil Ellen tetapi ia tidak meyahut, kecuali bunyi “ brak…brak…brak…”dari dalam kamarnya. Ayahnya terpaksa mendobrak pintu kamar Ellen dengan sangat keras “brakk…”, pintu pun terbuka tetapi nyawa Ellen tak tertolong yang tergeletak di bawa lantai dengan penuh darah yang mengalir dari tubuhnya akibat beberapa tusukan pada tubuhnya.

Edward yang mendengar suara tangisan ibunya dari kamarnya Ellen di lantai dua langsung berlari menuruni tangga ke arah kamar adiknya. “Ibu…..ayah….emangnya Ellen kenapa?”, teriak Edward sebelum sampai di pintu kamar. Ibunya terus berteriak sambil menangis histeris. Edward yang sudah tiba di depan pintu kamar Ellen pun langsung berlutut memeluk tubuh adiknya yang sudah tak bernyawa dan penuh dengan lumuran darah. Tubuh Ellen berada di pangkuan ibunya. Sedangkan ayah mencoba memastikan apakah ada jendela kamar yang terbuka? “Apakah ada seseorang yang masuk melalui jendela kamar?” Tanya ayah dalam hati sambil meloncat ke arah jendela.

Ternyata jendela dalam keadaan terkunci. Tidak ada tanda-tanda kerusakan pada jendela itu. “Lho, siapa pelakunya dan di mana dia bersembunyi?”, ayahnya heran karena tadi pintu kamar pun dalam keadaan terkunci sehingga terpaksa didobrak dengan keras olehnya. Mereka pun akhirnya berusaha menenangkan diri untuk memakamkan Ellen di belakang rumah tua itu pada esok harinya.

Tiga hari setelah kematian Ellen, datanglah seorang tetangga mereka yang tinggal berjarak 1 km dari lokasirumah mereka. Ia tidak mencurigakan. Dia hanya ingin berkenalan dengan penghuni rumah tua tersebut.“Sudah lama sekali tidak ada orang yang menghuni rumah ini”, kata si tetangga.“ Iya… kami baru saja pindah kesini beberapa hari yang lalu”, jawab sang ayah kepada tetangga itu. Lalu ayah dan ibu berserta Edward, menceritakan tentang musibah yang mereka alami sejak hari pertama. “Aku turut berduka atas kematian putri kalian” ,ucap si tetangga itu. Kemudian tetangga itu pun akhirnya bercerita bahwa dirumah tua ini pernah terjadi pembunuhan berantai. Dia menyarankan mereka untuk bertemu dengan paranormal /dukun untuk membantu mengusir semua gangguan dari rumah tua itu. Mereka pun menggikuti saran tetangga itu dan pergi ke rumah paranormal itu.

Di rumah paranormal seorang kakek bersedia menolong mereka dengan syarat Edward harus menjadi korban tumbal. Ayah dan ibunya tidak setuju dengan syarat yang diberikan oleh paranormal itu. Mereka kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, ternyata kakek paranormal itu sudah duduk diruang tamu dengan memegang sebuah tongkat yang ada kapaknya. Ayah dan ibu pun terkejut dan bertanya pada kakek itu, “bagaimana kakek bisa masuk sedangkan semua pintu dan jendela terkunci rapat? ”.  Kakek itu pun menjawab “sejak 40 tahun yang lalu rumah ini milik saya.Dibelakang rumah ini ada empat kuburan orang-orang yang merupakan pemilik rumah ini. Sekarang saya akan menambah kuburan baru haa…haa…haa…”.

Kemudian kakek itupun berubah menjadi sosok wanita yang dilihat Ellen pada kejadian malam pertama, sesaat sebelum tewas. Wanita itu memegang kapak dan mengayunkannya ke arah mereka bertiga. Sang ayah mati terkena ayunan kapak pada bagian pinggangnya sehingga badannya terpisah menjadi dua. Sang ibu yang mencoba merampas kapak itu akhirnya mati juga terkena kapak pada lehernya. Edward yang coba melarikan diri akhirnya mati terkena lemparan kapak yang menancap pada kepalanya dan mati di halaman rumah.

Sang pembunuh itupun meninggalkan rumah tua itu tanpa jejak apapun dan seluruh anggota keluarga itu pun mati dengan tragis dalam peristiwa yang misterius pula. Seorang tetangga baru saja mengetahui bahwa keluarga tersebut mati setelah tiga hari kemudian. Dia pun menjelaskan pada polisi bahwa semuanya mati secara misterius seperti kejadian pembunuhan berantai 40 tahun yang lalu.***