RUMAH KITA: OSS itu Barang Apa?………(2)


Sebuah pesan lewat SMS pun tiba di HP saya, dari seorang pembaca setia SANCAPAPUANA. “Selamat malam bro, OSS itu barang apa?”. “Ohhh, tunggu saja di serial berikut, terimakasih”, balasku. Sekarang saya bilang, barang ada ini. Silahkan membaca.

Oleh Pietsau Amafnini

OSS itu singkatan dari “One Single Submission”, sebuah sistem layanan pemerintah untuk memudahkan masyarakat yang ingin mengurus surat perizinan berusaha. Ya, tepatnya perizinan berusaha yang terintegrasi secara elektronik. OSS adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. Kelembagaan OSS itu terintegrasi secara institusional di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Sistem OSS digunakan dalam pengurusan izin berusaha oleh pelaku usaha dengan karakteristik sebagai berikut: Berbentuk badan usaha maupun perorangan; Usaha mikro, kecil, menengah maupun besar; Usaha perorangan/badan usaha baik yang baru maupun yang sudah berdiri sebelum operasionalisasi OSS. Usaha dengan modal yang seluruhnya berasal dari dalam negeri, maupun terdapat komposisi modal asing. Artinya, barang OSS ini untuk memudahkan masyarakat dalam hal pengurusan surat izin usaha; dan barang ini diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018, sebagai upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan berusaha dan menciptakan model pelayanan perizinan terintegrasi yang cepat dan murah, serta memberi kepastian.

Secara singkat, saya hanya menguraikan bahwa OSS itu bermanfaat untuk: 1)mempermudah pengurusan berbagai perizinan berusaha baik prasyarat untuk melakukan usaha (izin terkait lokasi, lingkungan, dan bangunan), izin usaha, maupun izin operasional untuk kegiatan operasional usaha di tingkat pusat ataupun daerah dengan mekanisme pemenuhan komitmen persyaratan izin; 2) memfasilitasi pelaku usaha untuk terhubung dengan semua stakeholder dan memperoleh izin secara aman, cepat dan real time; 3) memfasilitasi pelaku usaha dalam melakukan pelaporan dan pemecahan masalah perizinan dalam satu tempat; 4) memfasilitasi pelaku usaha untuk menyimpan data perizinan dalam satu identitas berusaha (NIB).

Nah untuk dapat mengakses OSS, ada beberapa prasyarat, seperti: 1) memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan menginputnya dalam proses pembuatan user-ID. Khusus untuk pelaku usaha berbentuk badan usaha, NIK yang dibutuhkan adalah NIK Penanggung Jawab Badan Usaha; 2) Pelaku usaha badan usaha berbentuk PT, badan usaha yang didirikan oleh yayasan, koperasi, CV, firma, dan persekutuan perdata menyelesaikan proses pengesahan badan usaha di Kementerian Hukum dan HAM melalui AHU Online, sebelum mengakses OSS; 3) pelaku usaha badan usaha berbentuk PERUM (Perusahaan Umum), PERUMDA (Perusahaan Umum Daerah), badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, badan layanan umum atau lembaga penyiaran menyiapkan dasar hukum pembentukan badan usaha.

Terkait hal tekhnisnya, semestinya saya tidak perlu menjelaskannya di sini. Tetapi apalah boleh buat, biar anda tahu sebelum saya mengatakan, silahkan tanya langsung kepada pegawai kantor DPMPTSP di Provinsi maupun di Kabupaten anda. Semua akan dijelaskan di situ. Sayangnya, perjalanan anda akan memakan biaya yang tidak sedikit, hanya untuk memperoleh informasi dari kantor OSS itu. Sehingga untuk memudahkan anda, saya akan melanjutkan uraian ini. Biar hemat anggaran, bagi pembaca SANCAPAPUANA.

Prosedurnya sederhana, tapi semoga tidak dirumitkan. Hehee dirumitkan oleh siapa? Ada dehhh, bisa saja signal jaringan internet. Kalau soal “pemulusan”, saya kira OSS itu Anti Pungli dan Anti Korupsi. Justru OSS itu ada untuk mencegah adanya Pungli dan Korupsi dalam proses perizinan.

Untuk menggunakan sistem OSS, anda hanya butuh: 1) membuat user-ID; 2) Log-in ke sistem OSS dengan menggunakan user-ID; 3) mengisi data untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB); 4) Untuk usaha baru, perlu melakukan proses untuk memperoleh izin dasar, izin usaha dan/atau izin komersial atau operasional, berikut dengan komitmennya. Untuk usaha yang telah berdiri: melanjutkan proses untuk memperoleh izin berusaha (izin usaha dan/atau komersial) baru yang belum dimiliki, memperpanjang izin berusaha yang sudah ada, mengembangkan usaha, mengubah dan/memperbarui data perusahaan.

Singkat ceritanya, OSS itu sistem perizinan berbasis elektronik untuk memudahkan masyarakat yang memiliki usaha. Nah untuk tekhnis pembuatan dan aktivasi account OSS, bagi Badan Usaha cukup melakukan pendaftaran di sistem OSS dengan memasukan NIK Penanggung Jawab Badan Usaha atau Direktur Utama dan beberapa informasi lainnya pada Form Registrasi yang tersedia. Sistem OSS akan mengirimkan 2 (dua) email ke Badan Usaha untuk registrasi dan verifikasi akun OSS. Email verifikasi berisi user-ID dan password sementara yang bisa digunakan untuk log-in sistem OSS. Hal yang sama juga berlaku untuk memudahkan pelaku usaha Perorangan.

Selanjutnya, pelaku usaha mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan dokumen pendaftaran lainnya. NIB adalah identitas pelaku usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS setelah pelaku usaha melakukan pendaftaran. NIB wajib dimiliki pelaku usaha yang ingin mengurus perizinan berusaha melalui OSS, baik usaha baru maupun usaha yang sudah berdiri sebelum operasionalisasi OSS. NIB ini sekaligus dapat berlaku sebagai: 1) Tanda Daftar Perusahaan (TDP); 2) Angka Pengenal Impor (API), jika pelaku usaha akan melakukan kegiatan impor; 3) Akses Kepabeanan, jika pelaku usaha akan melakukan kegiatan ekspor dan/atau impor.

Sedangkan dokumen Pendaftaran Lainnya yang diperoleh saat pendaftaran NIB itu, diantaranya: 1) NPWP Badan atau Perorangan, jika pelaku usaha belum memiliki; 2) Surat Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA); 3) Bukti Pendaftaran Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan; 4) Notifikasi kelayakan untuk memperoleh fasilitas fiskal dan/atau tidak; 5) Izin Usaha, misalnya untuk Izin Usaha di sektor Perdagangan (Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)).

Nah, apakah sampai di sini barang OSS yang gelap sudah jadi terang? Ohh ya, satu hal yang hampir terlupakan. Adapun langkah-langkah untuk memperoleh NIB, yakni: 1)Log-in pada sistem OSS; 2) Mengisi data-data yang diperlukan, seperti: data perusahaan, pemegang saham, kepemilikan modal, nilai investasi dan rencana penggunaan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja asing. Jika pelaku usaha menggunakan tenaga kerja asing, maka pelaku usaha menyetujui pernyataan penunjukan tenaga kerja pendamping serta akan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan atau dengan output surat pernyataan; 3) Mengisi informasi bidang usaha yang sesuai dengan 5 digit Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), selain informasi KBLI 2 digit yang telah tersedia dari AHU. Pelaku usaha juga harus memasukan informasi uraian bidang usaha; 4) Memberikan tanda checklist sebagai bukti persetujuan pernyataan mengenai kebenaran dan keabsahan data yang dimasukkan (disclaimer); 5) Mendapatkan NIB dan dokumen pendaftaran lainnya.

OSS yang pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018, merupakan upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan berusaha dan menciptakan model pelayanan perizinan terintegrasi yang cepat dan murah, serta memberi kepastian kepada pelaku usaha. Ya, yang dulu bisa berbulan-bulan menunggu prosesnya dengan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, sekarang bisa saja semua beres dalam waktu kurang dari satu jam, tanpa biaya pula. Hehee tapi paket pulsa data internetnya tanggung sendiri. Nah barang ini sebenarnya sudah digagas tahun 2017, saya ingat betul dalam sebuah pertemuan di Jakarta, barang ini sudah di singgung, tapi saat itu saya juga masih buta. Bahkan sampai saat diluncurkan secara resmi oleh pemerintah pusat pada 2018 juga, saya masih belum percaya. “Apakah bisa? Soalnya ego sektoral pemerintah kita di Indonesia juga sekuat kayu merbau”. Acara peresmian dan peluncuran OSS di Jakarta pada 2018 ini dihadiri oleh sejumlah Kementerian dan Lembaga Negara. Bayangkan saja, siapa-siapa yang hadir di situ? Hadir dalam peresmian sistem OSS ini antara lain Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo; Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso; Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo; Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil; Menteri Pariwisata Arief Yahya; Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur; Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong; Kepala Staf Presiden Moeldoko; serta perwakilan menteri dan kepala lembaga lainnya. Hmmmm, artinya apa yang saya mau bilang? OSS bukan barang mainan. Memudahkan Masyarakat Pelaku Usaha, dan Serius untuk Pencegahan Korupsi Perizinan!!!***Koordinator JASOIL Tanah Papua

RUMAH KITA: Jalan Menuju Bebas Korupsi……… (1)


Ibarat “Negara Kita adalah Rumah Kita”, maka sebagai tuan rumah kita perlu menjamin kenyamanan tamu baik dalam hal perilaku layanan maupun dalam hal kebersihan lingkungan. Bukan sekedar memasang slogan di pintu masuk: “Jagalah Kebersihan; Kami Siap Melayani Anda; Anda Sopan Kami Santun; Tamu Harap Lapor; Ketuk Pintu Sebelum Masuk; Bayar Dulu Baru Masuk”. Hmm, belum lagi “Lain di bibir, lain di hati; Lain di meja, lain di anflop”. Korupsi itu bisa terjadi karena ada “peluang dan kesempatan” yang memungkinkan terjadi dalam proses layanan perizinan. Sehingga memang perlu diatur dengan sistem yang menutup kemungkinan untuk itu dan memudahkan pengawasan untuk pencegahan dan penanganan korupsi berbasis perizinan.

Oleh Pietsau Amafnini

Ini bukan kisah gossip kawan. Bukan juga cerita hoax, tapi benar-benar sebuah perjuangan untuk meyakinkan diri untuk tidak terantuk pada batu yang sama dalam proses pembangunan bangsa dan Negara, terkait layanan public yang akuntabel dan transparan dari pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Untuk selanjutnya saya akan menyajikan serial-serial seputar “Rumah Kita” sebagai bacaan edukatif untuk menggerakan hati kita agar berperan aktif dalam pencegahan korupsi dengan memanfaatkan teknologi dan sistem perizinan berbasis online.

Perilaku Korupsi itu sudah membudaya di Indonesia. Rakyat kecil cenderung tak berdaya memiliki dan mengelola usaha karena tidak mampu mengurus surat izin. Sedangkan pengusaha kelas kakap baik di dalam negeri maupun dari luar negeri akan mudah baginya karena mereka sanggup memenuhi permintaan biaya tak berdasar alasan untuk kepentingan meningkatnya kekayaan negara. Justru malahan negara dirugikan sangat besar, karena praktek “pungutan liar/pungli” dalam proses-proses perizinan. Bahkan investor asing pun merasa enggan untuk berinvestasi di Indonesia, karena proses perizinan yang terlalu rumit dan tak bebas pungli.

Birokrasi pemerintah di Negara Indonesia telah terbiasa dengan rentetan kewenangan yang terpusat dan terstruktur rumit, sehingga rakyat selalu mengalami kesulitan untuk berurusan dengan perizinan untuk berusaha. Tidak hanya itu, birokrasi kita juga cenderung tertutup, bahkan selalu memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk mengambil untung dari kesempatan berusahanya setiap warga Negara. Lebih dari itu perilaku korupsi pun seakan sudah membudaya di negeri ini. Birokrasi butuh disuap, sedangkan rakyat tak segan memberi suapan dengan melumrahkan perilaku ini sebagai hal biasa di negeri ini.

Korupsi itu bisa terjadi karena ada “peluang dan kesempatan” yang memungkinkan terjadi dalam proses layanan perizinan. Sehingga memang perlu diatur dengan sistem yang menutup kemungkinan untuk itu dan memudahkan pengawasan untuk pencegahan dan penanganan korupsi berbasis perizinan. Karena itu perlu ada solusi yang handal untuk mencegah bahkan meniadakan peluang dan kesempatan itu. Salah satu jalan terbaik adalah Sistem Perizinan Berbasis Online sehingga transparan dan akuntabel dalam layanan perizinan berusaha dari pemerintah kepada masyarakat pelaku usaha.

Ibarat “Negara Kita adalah Rumah Kita”, maka sebagai tuan rumah kita perlu menjamin kenyamanan tamu baik dalam hal perilaku layanan maupun dalam hal kebersihan lingkungan. Bukan sekedar memasang slogan di pintu masuk “Jagalah Kebersihan; Kami Siap Melayani Anda; Anda Sopan Kami Santun; Tamu Harap Lapor; Ketuk Pintu Sebelum Masuk; Bayar Dulu Baru Masuk”. Hmm, belum lagi “Lain di bibir, lain di hati; Lain di meja, lain di anflop”.

Sejak tahun 2019, sudah diperkenalkan beberapa sistem database perizinan seperti OSS (One Single Submission), SiCANTIK dan JagaKPK. Semua aplikasi ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan dalam layanan perizinan berusaha bagi masyarakat di daerah seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, masyarakat juga bisa berperan aktif untuk mengawasi perizinan, selain kemudahan izin berusaha. Ketika Lokalatih Perizinan Berbasis Online OSS di Raja Ampat (November 2021), Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua Barat menyatakan bahwa “Aplikasi SiCANTIK Cloud ini dapat memberikan kemudahan-kemudahan dalam pelayanan perizinan di daerah, lebih khusus pada kinerja DPMPTSP sendiri. Bahkan hal ini merupakan salah satu arahan dari Presiden Jokowi yang meminta agar sistem perizinan lebih sederhana dan mudah. Peningkatan kwalitas layanan di bidang perizinan sangat penting untuk dilakukan karena pembangunan infrastruktur membutuhkan banyak investasi yang masuk. Indonesia sedang membangun dan pembangunan ini banyak sekali membutuhkan investasi”.

Aplikasi ini dapat diakses dari dan di mana pun oleh masyarakat umum yang ingin mengurus izin usaha. Bahkan seorang ibu rumah tangga bisa sambil memasak di dapur sambil mengurus surat izin usaha Kios atau Warung hanya melalui HP Android di tangannya. Selain itu, aplikasi ini juga dapat digunakan untuk segala bentuk perizinan, termasuk perizinan usaha sectoral pengelolaan Sumberdaya Alam, karena mudah digunakan, dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Daerah setempat. Selanjutnya, beberapa fitur yang tersedia dalam aplikasi ini sudah terhubung dengan layanan OSS dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) dan dapat dimonitor oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Dalam Negeri.

Aplikasi perizinan OSS juga langsung Link dengan JagaKPK dan juga dipantau dan diaudit langsung oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena salah satu tujuan dari adanya sistem layanan perizinan berbasis online ini adalah pencegahan tindak pidana korupsi pada proses perizinan berusaha bagi masyarakat. Untuk itulah KPK menggandeng GIZ (Germanny Internationale Zuzammenarbeit) Kerjasama Jerman – Indonesia untuk pencegahan Korupsi melakukan kegiatan pemberdayaan dan peningkatan sumberdaya manusia pada kelembagaan PTSP dari pusat sampai daerah kabupaten/kota, termasuk keahlian tekhnis operasional sistem perizinan berbasis online.

Sedangkan Si-CANTIK Cloud merupakan akronim dari Aplikasi Cerdas Layanan Perizinan Terpadu Untuk Publik yang merupakan aplikasi pemenuhan komitmen perizinan di PTSP daerah. Hal ini menjadi kewajiban tupoksi TPSP yang didukung Kementerian dan Lembaga Negara yang lain, termasuk KPK. Mengapa “Si-CANTIK”–nya KOMINFO dan “OSS”-nya Kementerian Investasi dan PTSP mengharuskan perizinan berbasis online…? Untuk memudahkan layanan perizinan berusaha bagi masyarakat, baik perorangan maupun badan hokum. Tidak pake lama, tidak ribet lagi dan tidak makan biaya, tidak pake “Pungli”. Selebihnya, agar tidak terjadi pungutan liar dan transaksi suap-menyuap dalam proses-proses layanan perizinan. Bagi anda pengguna Android, silahkan install Aplikasi OSS, Si-CANTIK dan JagaKPK (JAGA.ID) pada Playstore atau Googleplay di HP anda. OSS itu memang Cantik untuk bersama KPK dapat mencegah KORUPSI kawan.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Nasib Masa Dulu dan Masa Depan Orang Tipuka…..(2)


Saya mau bilang bahwa kawasan yang ditempati Suku Kamoro di kampung Tipuka itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”.

Oleh Pietsau Amafnini

Nimaome – Amole, saya kembali menyapa anda dengan salam persaudaraan dalam bahasa Kamoro dan Amungme. Mari lanjutkan cerita. Sebuah cerita tentang kehidupan orang-orang Kamoro di kampung Tipuka. Seperti yang telah saya gambarkan di serial sebelumnya bahwa Tipuka adalah salah satu kampung berada di kabupaten Mimika, provinsi Papua. Tipuka terletak di dataran rendah, persis bagian muara sungai di mana aliran pasir tailing dari hulu kali Ajkwa pun kandas di situ sejak 50 tahun lalu. Bisa dibayangkan, dari beberapa sungai akhirnya bermuara di Tipuka?

Hmmmm, belum lagi ceritanya Freeport mampu memproduksi tailing sebanyak 200ribu ton per hari. Coba tindis kalkulator sudah, 200.000 x 1000 (karena 1 ton = 1000 kg) dikalikan 366 hari trus dikalikan lagi dengan 50 tahun? Su dapat de pu hasil ka? Mama yooo, setumpukan itu? Ya itu tambang dia pu limbah yang dong bilang tai-ling.

Ohhh ya, selain kampung Tipuka, mungkin senasib juga orang Kamoro dan orang Amungme di kampung lainnya yang menempati dataran rendah hingga dataran tinggi di kawasan kekuasaan Freeport itu. Kampung lain yang berada di dataran rendah itu adalah kampung Ayuka, Koprapoka, Nayaro dan Nawaripi. Sedangkan kampung yang berada di dataran tinggi atau bagian hulu itu adalah kampung Banti, Arwanop dan Tsinga. Artinya ada 8 (delapan) kampung yang berada di sekitar kawasan kekuasaan PT Freeport Indonesia. Tetapi apabila karena dampak dari UU Desa No. 6/2014 dan ternyata jumlah kampung melebihi angka yang saya sebutkan, mohon maklum. Karena saya berkunjung terakhir di tahun 2015, dan tidak tahu apa yang terjadi dalam kurun waktu 5 atau 6 tahun terakhir. Semoga saja mereka tidak tergiur dengan semangat pemekaran kampung baru pasca pelaksanaan undang-undang desa.

Oh ya, saya tidak ingin kita terjebak dalam perdebatan angka perubahan, karena toh dari politik angka itu ternyata ekonomi masyarakat se-Tanah Papua masih menempati urutan tertinggi posisi berada di bawah garis kemiskinan. Belum tergantikan pula posisi itu di Indonesia, bahkan provinsi NTT dan Maluku masih lebih rendah posisinya ‘kan? Lho, koq bisa ya? Katanya Papua punya Freeport dan banyak emasnya pula? Belum lagi hasil alam lainnya di sector kehutanan, perkebunan dan kelautan? Aneh juga ya. Salahnya di mana ya. Ohhh Tuhan tolong. Achhh lupakan itu dulu, capek deh.

Mendingan kita cerita barang lain sudah. Seperti apa sih kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat di kampung Tipuka? Ya, namanya juga orang hidup di wilayah pantai, di muara sungai. Surganya adalah sungai dan laut. Surganya juga adalah dusun sagu dan hutan mangrove. Selebihnya jangan pernah bertanya, apakah orang-orang Tipuka semuanya bekerja di PT Freeport? Ya, wajarlah bertanya itu. Karena perusahaan raksasa ini berada di tempat mereka.

Namun yang saya tahu, orang Kamoro di kampung Tipuka itu juga turunan leluhur pencari ikan dan peramu hutan sesuai kebiasaan warisan leluhurnya, layaknya kehidupan orang pantai pada umumnya. Nelayan tradisional tepatnya menyebut matapencaharian orang-orang sekampung Tipuka. Sebagai nelayan tradisional dan peramu hasil hutan, tentu mati dan hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Dusun sagu, jangan ditanya lagi. Apalagi sungainya, kalau orang-orang tua cerita, katanya dulu masih zaman Belanda itu kapal-kapal bisa masuk sampai di bagian hilirnya. Wiiihhh, berarti dalam juga. Yooo, namanya juga muara, apalagi dataran rendah itu berarti rawa-rawa ganas punya yang dorang bilang lahan gambut.

Soal hasil apa yang diharapkan dari sungai dan laut di muara itu, saya mau bilang bahwa kawasan itu juga surganya buaya, penyu, kura-kura, karaka, kerang, kakap, kerapu, udang dan adiknya buaya yakni soa-soa. Katanya dulu itu ada istilah macam begini, “klo belum sempat habiskan seekor kepiting (karaka) dari muara Tipuka, anda belum sampai di Timika”. Saya membayangkan kira-kira kepiting itu besarnya bagaimana eee. Tapi itu hanya ada di saat sungai itu masih dalam, dan belum tertimbun oleh aliran pasir tailing dari pusat produksi emas dan tembaga oleh Freeport di bagian hulu.

Ya, Freeport lagi dan lagi-lagi Freeport selama 50 tahun lalu di tangan pemegang saham tertinggi, Amerika Serikat. Lain ceritanya klo 50 tahun ke depan di tangan Indonesia sebagai pemegang saham 51%, siapa tahu kondisi alam yang dirusak Amerika itu dikembalikan Indonesia ke wajah semulanya. Bisa, Tapi. Ya, optimis saja kawan. Barang apa jadi, karena memang saat ini sampai masa depan, kitorang wajib berpikir positif. Sekalipun “keperawanan” itu tak mungkin kembali lagi setelah dirusak secara paksa. Sayang achhh, trus masa depan orang Tipuka? Itu lagi. Ko jawab sendiri sudah, karena sa juga hati hancur kawan.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

TIPUKA: Kampung Orang Kamoro Di Muara Tailing Freeport Indonesia…..(1)


Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah.

Oleh Pietsau Amafnini

Kali ini saya mengajak pembaca untuk mengarahkan hati dan pikiran kepada sebuah wilayah kecil di Tanah Papua dengan sebutan TIPUKA.Tipuka adalah sebuah kampung kecil dengan jumlah penduduk sekitar 175 KK di Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Mayoritas suku di sini adalah Suku Kamoro. Kampung Tipuka terletak persis di muara sungai dimana tailling Freeport dilepas di situ. Semakin ke atas ada kampung Ayuka, Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Aroanop, Banti, dan Tsinga. Ketujuh kampung ini berada di sekitar kawasan pertambangan milik PT Freeport Indonesia yang telah lama mengeruk sumberdaya tambang emas dan tembaga wilayah ini, dan akibatnya sungai-sungai pun tertimbun oleh pembuangan pasir tailing itu.

Kalau kita bicara tentang Freeport Indonesia di Timika, selain berbicara tentang kemewahan produksi dengan hasilnya yang menggiurkan, tentu kita bicara tentang konflik pengelolaan sumberdaya alam hingga masalah pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan terhadap lingkungan hidup. Namun, adakah yang bisa membatasi perusahaan emas raksasa dari Amerika Serikat di Tanah Papua ini? Achhh cukup sudah, jangan kitong bicara masalah terus. Katanya kita harus positive thinking di zaman now.

Sebelumnya tentu kita hitung-hitungan soal keuntungan dan kerugian negara hingga kerugian masyarakat adat setempat. Tetapi setelah 50 tahun kemudian, tepatnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia konon katanya “berhasil” merebut saham 51% dari Freeport, sehingga normalnya Amerika Serikat (Freeport) hanya dapat 49%. Sementara banyak pihak di antara kita juga akan terus bertanya, siapa yang akan makan uang dari saham 51% itu? Bahkan dari namanya saja sudah bukan Freeport America, tapi Freeport Indonesia. Achhh, masih banyak hal lagi. Tetapi saya tidak mau membahas barang itu lagi, nanti saya tambah pikiran karena toh saya juga tidak dapat apa-apa juga mo. Karena saya bukan siapa-siapa, hanya orang biasa yang peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan hidup di Tanah Papua, terutama Orang Tipuka di muara sungai tailing itu.

Hmmm, namun yang perlu anda ketahui di sini adalah apa yang sekiranya menarik bagi saya untuk dibahas di sini, yakni persoalan lingkungan hidup. Ya, maksud saya terkait AMDAL dari perusahaan ini. Apakah sudah atau belum dibaharui? Bagaimana dengan pasir tailingnya? Emas dan tembaga itu telah dibawa pergi, tetapi pasirnya ditinggalkan dan dibiarkan mengalir melalui sungai-sungai yang berhulu di Grasberg dan berhilir melintasi tujuh kampung yang berada di sana hingga bermuara di wilayah kampung Tipuka. Anda bayangkan jikalau sungai yang semulanya adalah “aliran air” tetapi setelah 50 tahun kemudian justru yang ada itu “aliran pasir”. Beeehhhh, janganlah kau bilang barang ini tipu-tipu ka? Ini memang mbenar-benar kenyataan di kampung Tipuka. Bayangkan saja dalam sehari Freeport menghasilkan tailing 200ribu ton. Waoww, seandainya masyarakat adat Kamoro di Tipuka bisa eksport tailing ini? Klo tra percaya, silahkan datang sendiri ke kampung Tipuka yang dulu terkenal karena kepiting (keraka). Amole, amole sobatku, selanjutnya kita akan lihat kembali dinamika-dinamika yang terjadi sebelum tahun 2021. Ya bisa tarik sampe de pu akar-akar ka ini.

Mungkin saja ada banyak hal yang masih teka-teki di sana, dan semakin samar-samar untuk diingat. Yoooo, mbegitu sudah. Tapi saya kira biar kitong sedikit tarik waktu ke belakang untuk melihat bagaimana kondisi kehidupan masyarakat adat setempat dan juga ketergantungan mereka kepada sumberdaya alam yang mereka miliki, terutama sungai dan hutan alam sekitarnya sebagai sumber penghidupan bagi mereka. Saya akan berbagi cerita sedikit, karena hampir setiap 2 (dua) tahun saya berkunjung ke tempat ini. Sayangnya kunjungan terakhir itu tahun 2015. Achhh rindu seeee, sa ingin kembali ke Tipuka, kalau Tuhan tolong. Itu sudah, mungkin ko kira sa tipu ka? Trada eee sobat, kampung Tipuka itu unik kawan, de pu nama saja Tipuka. Klo tra percaya, ko juga bisa langsung brangkat ke sana sudah. Biar ko liat dengan ko pu mata sendiri, bagaimana sungai air itu bisa disulap Freeport dalam 50 tahun jadi sungai pasir. “weii tipu ka apa eee”.

Trus mungkin masyarakat dong su ada gedung gedung pencakar langit dari hasil Freeport ka? Sssttt tailing tralaku itu? Hahaa ini Tipuka di Timika sobat, bukan di Turky. Dekat saja to? Jang ko bilang sa tipu ko lagi eee. Sedangkan masyarakat dong mo mencari ikan di sungai saja harus ada semacam upacara ritual sedikit dengan mengucap kata “oto erkata” untuk memanggil ikan, bukan mengejar ikan. Sebelumnya mereka perlu meminta izin dan restu dari leluhur dengan memberikan sesajian berupa gulungan tembakau atau sebatang rokok sambil berucap, prapeka enaro kapaki makakeman e airu ta” artinya tete’ ini ambil rokok tolong kasih kami ikan untuk anak-cucu. Selanjutnya, “prapoka kau katna ikutu maha imaku ereka maka kemanu arie” artinya nene’ lindungi kami dalam perjalanan dan bawa ikan masuk ke jaring. Sadaaapppp. Itulah syarat yang harus dilakukan seorang pencari ikan (nelayan tradisional) yang disebut dengan Mikuku dalam bahasa Suku Kamoro di kampung Tipuka. Bukan ko cari dengan ko pu cara-cara tak karuan adat. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua

KAYU ILEGAL DI MUSIM CORONA


Lagi-lagi temuan kayu ilegal terjadi di musim Corona. Saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Oleh Pietsau Amafnini

Sejak WHO menetapkan keadaan darurat internasional karena serangan pandemic corona, termasuk masyarakat di Indonesia semuanya terdiam di rumah untuk bertahan hidup dan aman dari virus penyakit yang belum ada obat anti-virusnya di dunia. Pasalnya Virus Corona telah menelan banyak korban nyawa yang diduga sudah terjadi sejak bulan November 2019. Betapa tak kaget dan takutnya semua orang di dunia karena jahatnya Corona. Tanggal 14 Februari 2020 WHO merilis jika jumlah kasus terkonfirmasi virus tersebut mencapai 64,452 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1,384 jiwa yang tersebar di berbagai negara di belahan bumi ini. Angka tertinggi saat itu justru berada di Italia. Virus yang katanya bermula di Kota Wuhan, China ini ternyata menyebar begitu cepat.

Pemerintah China pun menuruti himbauan WHO untuk melakukan policy lockdown dengan mengkarantina 16 kota di China, terutama Kota Wuhan. Hal ini dimaksudkan agar dapat meminimalisir penyebaran virus Corona. Lockdown tentu menjadi pilihan tersulit, karena akan berdampak besar pada terpuruknya sector ekonomi. Namun, tidak ada pilihan lain, saat itu.

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang berpotensi besar akan terdampak baik pada penyebaran virus Corona, dan tentu juga pada lemahnya ekonomi China. Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai dampak dari virus Corona bersumber dari tiga sektor utama yakni sektor pariwisata, sektor investasi dan sektor perdagangan. Sementara baik Indonesia maupun negara-bangsa lain pun sepertinya tidak siap menghadapi masalah pandemic Corona beserta dampaknya pada kesehatan dan ekonomi. Pada akhirnya suka atau tidak suka, lockdown jadi pilihan walaupun tidak seutuhnya. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan “Belajar, Bekerja dan Beribadah dari Rumah” sebagai pilihan untuk “keselamatan”. Seluruh aktivitas rakyat dan pemerintah pun lumpuh, walaupun akan berdampak pada kesulitan akses pangan. Syukurlah dengan fasilitas teknologi informasi yang  walau masih terbatas, namun sejumlah kebutuhan dapat dilakukan secara online.

Sedihnya, Corona bukanlah halangan bagi cukong kayu. Para mafia kayu illegal terus melancarkan aktivitasnya dengan alasan bahwa arena hutan adalah medan bebas virus corona. Hal ini juga merupakan pilihan tepat bagi mereka karena memang aktivitas di perkotaan dibatasi, maka lancarlah aktivitas pencurian kayu dari hutan alam. Ohh tidak. Apakah saya karang cerita ini? Maybe yes, maybe no.

Adalah sebuah fakta telah terjadi di Sorong, Papua Barat. Tanggal 24 Maret 2020 adalah hari dimana Tim Gakkum-KLHK menyita 263 batang kayu olahan tanpa dokumen di Kabupaten Sorong. Kayu illegal yang diangkut 3 unit truck itu dicurigai akan dikirim ke pemeiliknya yakni CV. Anugerah Rimba Papua (ARP) yang berkedudukan di Distrik Aimas. Sayangnya para sopir truck yang menjadi sasaran interogasi karena beraktivitas di musim corona. Sedangkan sang pemilik yang menunggu kayu illegal itu justru tak tersentuh, walaupun sederet pasal dari UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah menjadi alasan dugaan dan hukumannya.

Anehnya kejadian ini terjadi pada saat musim corona, walaupun perilaku pembalakan liar dan pencurian kayu ini sudah berlangsung lama. Ya, seakan-akan tak pernah akan berakhir. Kayu merbau Papua memang ibarat primadona yang selalu diburu oleh para mafia kayu. Mereka tak peduli dengan kerusakan hutan dan dampaknya berupa banjir dan lain sebagainya. Ya, sedangkan keselamatan diri terhadap Corona saja mereka tidak peduli, apalagi keselamatan lingkungan alam?

Benar-benar Corona bukan halangan bagi mereka. Tanggal 13 Juli 2020 Tim Gakkum-KLHK kembali mengamankan 8 unit truck bermuatan kayu olahan jenis merbau di Aimas, kabupaten Sorong, Papua Barat. Kayu-kayu yang diduga berasal dari distrik Moswaren itu tidak dilengkapi dokumen angkutan kayu yang sah. Setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, maka Tim Operasi kemudian melakukan pemantauan dan pengawasan hingga akhirnya menghentikan iringan 8 unit truck itu bermuatan kayu itu dari arah jalan Klamono menuju sawmill di sekitar wilayah Kabupaten Sorong, dan selanjutnya digiring untuk diamankan ke gudang penyimpanan barang bukti yang berlokasi di Jalan Petrochina, Kelurahan Warmon Klalin, Aimas, Kabupaten Sorong.

Lagi-lagi peristiwa ini terjadi di masa musim Corona, saat dimana semua aktivitas masih setengah lumpuh, termasuk sulitnya akses sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat luas. Sementara para cukong kayu beserta para perusak hutan itu terus melancarkan kegiatan mereka. Mungkinkah ini yang namanya pandai memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan” ka? Toh ternyata Corona bukanlah halangan yang berarti bagi mereka, melainkan menjadi kesempatan emas untuk menggerogoti hasil hutan dan mengedarkannya secara illegal.

Semoga Gakkum-KLHK tiada goyahnya memproses pelakunya sesuai hokum yang berlaku. Sebab kerjanya sang pemburu kayu illegal tentu merugikan masyarakat adat pemilik kayu itu dengan segala tipu dayanya hingga dibelinya dengan harga murah. Belum lagi kerugian negara yang diakibatkan oleh cara kerjanya mafia kayu illegal.

Pada akhirnya, hati ini hanya bisa berharap pada lingkungan alam untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan yang ada, dan bila Alam Tanah Papua mendengarkan jeritan hati para penghuni Tanah Moi, maka biarlah mereka terhukum seadilnya setimpal air mata para korban banjir di antara Kali Klamono dan Kali Remu.***

“MR. WONG”, SANG PEMBURU MERBAU PAPUA


Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek illegal logging masih marak di Kabupaten Sorong. Para pemburu kayu komersil masih terus melakukan pembalakan kayu baik di hutan hak masyarakat adat maupun di kawasan HGU perkebunan sawit tanpa mengantongi IPK. Sasarannya tentu kayu merbau. Sementara ketersediaan tegakkan kayu jenis merbau sudah semakin jarang. Sudah hampir tidak ditemukan lagi pohon induk di hutan. Karena Sang Pemburu itu pun masih dan semakin bebas membalak secara liar dengan berbagai modus baru, dan alasan yang masuk akal dengan memperdayai masyarakat adat.

Kegiatan pembalakan kayu di Kabupaten Sorong seakan-akan tidak mungkin lagi untuk dihentikan. Pembalakan terus dilancarkan oleh cukong-cukong kayu dengan segala tipu daya untuk meyakinkan masyarakat pemilik hutan. Tidak hanya itu, banyak kayu jenis merbau juga keluar dari HGU perkebunan sawit. Apakah mereka memiliki IPK atau tidak? Bisa juga tidak, dan tidak juga bisa. Mungkin dan sangat mungkin semua itu non-IPK. Jika non-IPK, apalagi SVLK…..? Tentu saja kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu masih terus melaju dan akan semakin gila pula, setelah ada Pergub 51/2018 yang kembali membuka peluang untuk peredaran kayu bulat menjadi bebas beredar keluar antar pulau di luar Tanah Papua sebagai product unggulan dari provinsi Papua Barat.

Achhh, Sang Pemburu kayu merbau tentu merasa legah dan bahagia luar biasa. Apa yang sebelumnya menjadi “haram”, kini kayu bulat sudah boleh bebas diperdagangkan dan diedarkan antar pulau di dalam negeri atau bahkan diekspor sebagai barang dagang unggulan. Sedih memang, tetapi apa boleh buat. Pohon merbau itu sudah ditumbangkan, juga sudah dijadikan kayu olahan berupa balak 20 cm x 20 cm. Tumpukan kayu balak pun menjadi pemandangan indah di sepanjang jalan menuju distrik Sayosa, Sayosa Timur, Maudus, dan Moi Segen. Mobil-mobil truck pun Nampak berjejer antrian memuat kayu. Karena merbau masih ditempatkan pada posisi “primadona”.

Sang pemburu itu adalah seorang China Malaysia yang dikenal sebagai cukong pembalakan kayu secara liar (illegal logging) dan sudah melalang buana di Indonesia. Dia hanya dikenal dengan sebutan Mr. Wong yang dari rekam jejagnya pernah beroperasi di daerah Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Tanah Papua sejak tahun 2000. Menteri Kehutanan, Malem Sambat Kaban, pernah menjadikan Mr. Wong sebagai salah satu dari 50 cukong pembalakan kayu liar yang masuk dalam daftar hitam target operasi hutan lestari.

“Mr. Wong” pernah menjadi tersangka dan berurusan dengan Mabes Polri pada tahun 2010. Pada Juli 2006, petugas Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) di Pulau Adi, Fakfak, Papua Barat, menangkap kapal MV King Glory, kapal asal Thailand dan berbendera Panama. Kapal tersebut mengangkut kayu hasil penebangan liar di daerah setempat yang hendak diangkut ke Cina dengan menggunakan dokumen pemerintah Papua New Guinea. Kapal dan muatan kayu tersebut terkait dengan bisnis ilegal Mr. Wong. Tidak ada informasi detail kasus tersebut dan diberitakan Mr. Wong  bebas dari tuntutan hukum.

Mr. Wong dikenal selalu berganti nama setelah menjadi warga negara Indonesia. Dia pun beberapa kali lolos dari jeratan hokum dan bisnisnya justeru menggurita di Papua, di bawah bendera Mega Masindo Group, beralamat kantor di Jalan Kelapa Hybrida Raya Blok PF 18 Nomor 32, Kelapa Gading, Jakarta Utara, sedangkan alamat kantor di Sorong Jl. Tidar No.1 Kota Sorong .

Perusahaan-perusahaan pengusahaan hasil hutan kayu yang diketahui dimiliki, dikelola dan dikendalikan oleh Mr. Wong, terdiri dari: (1) PT. Alas Tirta Kencana, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Timika, Provinsi Papua, seluas 87.500 ha; (2) PT. Wukirasari, perusahaan pengusahaan kayu berlokasi di Teluk Bintuni dan Kaimana, Provinsi Papua Barat, seluas 116.320 ha; (3) PT. Arfak Indra, perusahaan kayu berlokasi di Fakfak, Provinsi Papua Barat, seluas 153.000 ha, dan (4) PT. Bagus Jaya Abadi (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.120/Menhut-II/2009, tanggal 12 Maret 2009, perusahaan industry pengolahan kayu berlokasi di Kampung Klayas, Distrik Seget, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, dengan kapasitas produksi 60.000 meter kubik per tahun.

Selain itu, terdapat juga perusahaan PT. Masindo Mitra Papua, yang beroperasi dalam bisnis angkutan kapal laut atas nama Maspapua, yang digunakan untuk membawa kayu keluar pulau Papua dan diduga menyelundupkan kayu logging ke industry kayu di Papua dan luar Papua. Mega Masindo juga memiliki PT. Mega Nusantara Indah, perusahaan yang menangani bisnis bidang penyewaan alat berat, logging, truk dan excavator. Alat-alat tersebut digunakan dalam operasional logging perusahaan di kota Sorong.

Bisnis pengusahaan hasil hutan kayu Mr. Wong di Papua sering mendapat complain keluhan masyarakat karena permasalahan hak buruh, kelalaian kewajiban pembayaran kompensasi, manipulasi terhadap masyarakat dan laporan hasil produksi, pengabaian tanggung jawab sosial, perampasan hak masyarakat, praktik kekerasan, intimidasi, pengrusakan hutan hingga kejahatan kehutanan di areal konsesi. Kasus-kasus tersebut hingga kini, belum ada penanganan dan penegakan hokum secara jelas. Kedekatan Mr. Wong dengan pejabat nasional dan pejabat daerah ditengarai melindungi aktifitas bisnis anak perusahaan Mega Masindo Group.

Dari hasil penelusuran dan pengembangan informasi selama proses investigasi dan monitoring di lapangan, terungkap bahwa perusahaan lainnya berada di bawah kontrol Mega Masindo Group adalah PT. Papua Lestari Abadi(15.231 ha) dan PT. Sorong Agro Sawitindo (11.000 ha), keduanya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sorong, Papua Barat. Terdapat pula perusahaan pertambangan, yakni: (1) PT. Bagus Jaya Abadi(SK BupatiNomor 223 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara berlokasi di Salawati, Kab. Sorong, seluas 7.843 hektar); (2) PT. Papua Lestari Abadi (SK BupatiNomor 224 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara di Mayamuk dan Salawati, Kab. Sorong, seluas 9.707 ha); (3) PT. Mega Masindo Bara Abadi (SK Bupati Mimika Nomor 122 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (4) PT. Mega Masindo Bara Sukses(SK Bupati Mimika Nomor 123 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (5) PT. Mega Masindo Coalindo(SK Bupati Mimika Nomor 124 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (6) PT. Kalteng Bara Persada(SK Bupati Mimika Nomor 125 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha; (7) PT. Mega Masindo Bara Utama (SK Bupati Mimika Nomor 126 Tahun 2009, IUP eksplorasi batubara, seluas 25.000 ha. Bisnis pertambangan tersebut berada dibawah bendera PT. Mega Masindo Energi.

Kejahatan Kehutanan masih marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal ini berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua.  Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang cangih dan terorganisir melibatkan banyak pihak. Walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH). Dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari Kementrian Lingungan Hidup dan Kehutanan, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang  di Indonesia. Sistem yang cangih dan ketat membuat para mavia kayu menciptkan bisnis ilegal yang cangih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus yang baru pula.

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hukum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) menyatakan bahwa di tanah Papua Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT, Provinsi Papua Barat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Dari fungsi kawasan hutan Papua Barat, Hutan Konservas (HK) 1.721.768 Hutan Lindung 1.66.590 hektar Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar sesuai dokumen RTRWP Provinsi Papua Barat tahun 2008-2029.

Papua Barat merupakan salah satu  Provinsi yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Daya tarik Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persensate luas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam.

Namun demikian, praktek mafia illegal logging dan illegal trading juga semakin marak di wilayah Papua Barat yang tentu berdampak pula pada kerusakan hutan alam dan semakin menipisnya tegakan pohon merbau di hutan alam Papua Barat. Mengapa mafia illegal logging masih marak di Papua Barat? Apakah karena masih berjayanya Sang Pemburu Merbau bernama Mr. Wong? Saya kira tergantung dari kita saja, apakah mau melindungi hutan atau melindungi Mr. Wong.***

REKOMENDASI KLASAMAN


Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019.

Oleh Pietsau Amafnini

Praktek perusakan hutan karena alasan pembangunan sektoral terutama pengelolaan kehutanan dan perkebunan sawit tentu sudah berdampak langsung pada perubahan iklim. Salah satu penyumbang perubahan iklim itu adalah deforestasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk lahan perkebunan sawit skala luas dan juga pengelolaan hasil hutan yang didominasi oleh aktivitas pembalakan liar. Praktek illegal logging juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan?

Emma Raw Malaseme, direktur Papua Forest Watch (PFW) menerangkan bahwa pihaknya menggelar berbagai macam rangkaian acara Pendidikan Lingkungan Hidup diantaranya: pelatihan pemantauan dan advokasi kejahatan kehutanan, focus group discussion, kuliah umum di kampus-kampus, hingga kampanye di ruang terbuka di Sorong pada tanggal 11 – 14 Desember 2019 dengan harapan bahwa masyarakat sipil dan pemerintah daerah sadar dan termotivasi untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Pihaknya mengkhawatirkan semakin hilangnya hutan alam di wilayah adat Orang Moi di kabupaten Sorong.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Selain itu, Papua Forest Watch sendiri juga menemukan beberapa aktivitas yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu sudah dilaporkan kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari Kondisi sebagaimana tergambarkan di atas, maka Papua Forest Watch bersama Peserta Kegiatan Pelatihan Pemantauan dan Advokasi Kejahatan Kehutanan di Klasaman tanggal 11 – 14 Desember 2019 bersama Perwakilan Kelembagaan Masyarakat Sipil Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup di Papua Barat merumuskan Point – Point Rekomendasi sebagaimana tersebut di bawah ini:

  1. Pemerintah melalui dinas kehutanan bekerjasama dengan stakeholder lainnya melakukan evaluasi implementasi peraturan yang terkait dengan kehutanan
  2. Pemerintah melalui dinas kehutanan Papua Barat perlu melakukan Evaluasi kinerja HPH terkait perencanaan dan laporan produksi kayu bulat
  3. Pemerintah melalui Dinas Kehutanan Papua Barat Perlu melakukan evaluasi jumlah produksi kayu bulat dengan jumlah dan kapasitas industry pengolahan kayu untuk memastikan telah sesuai dengan Pergub Papua Barat No 2 Tahun 2008
  4. Aparat kemanan baik Gakkum KLHK dan Kepolisian menggali keterlibatan pengusaha-pengusaha Surabaya dan China yang menjadi pemodal atas tindak kejahatan ilegal loging
  5. Aparat keamanan baik Gakkum, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menindak lanjuti kasus ilegal loging hingga sampai pada market internasional dan tidak hanya mengkambing hitamkan masyarakat adat Papua
  6. Tindak kejahatan ilegal loging tidak bisa dilakukan oleh orang perorangan sehingga Gakkum KLHK, Kepolisian dan Kejaksaan wajib menggali lebih dalam keterlibatan perusahaan pengolah kayu dengan menggunakan UU 18 Tahun 2013 terkait keterlibatan korporasi atas kejahatan ilegal loging.
  7. Memberikan Pendidikan dan pelatihan kepada masyarakat adat untuk dapat mengelolan kayu yang bersumber dari wilayah adat.
  8. Dinas Kehutanan wajib mereview ijin pemanfatan dan tata kelolan kehutanan (Hasil hutan kayu) di Papua Barat.
  9. Dalam hal pemantauan oleh masyarakat Pemantau Independen Kehutanan di Kabupaten Sorong, maka PFW membutuhkan informasi dan data RPBBI serta data prasyarat izin, data prasyarat produksi hingga data hasil produksi dari setiap perusahaan pemegang izin di wilayah kabupaten Sorong dan wilayah Provinsi Papua Barat untuk menjadi acuan pemantauan terhadap Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sesuai mekanisme SVLK.
  10. Review Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat Tahun 2018/2019:
  • Tanggal 7 Desember 2018; pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya
  • Tanggal 11 Februai 2019; Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat
  • Tanggal 19 Juni 2019; empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi
  • Tanggal 4 Juli 2019; Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong
  • Tanggal 1 November 2019; 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong
  1. Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPM/PTSP) dapat memberikan informasi terkait Daftar Izin Perusahaan Pengelola Hasil Hutan Kayu IUPHHK-HA, IPK, dan Izin Perusahaan Industri Kayu Primer IUI-PHHK dan Izin Industri Perusahaan Pengelolaan Kayu Lanjutan di Kabupaten Sorong dan di Provinsi Papua Barat. Karena sebagai Pemantau Independen Kehutanan, kami masih mengalami kesulitan untuk mengakses jumlah Izin Terdaftar, Nama dan Alamat Perusahaan, Jenis dan Kapasitas Produksi dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari Prasyarat SVLK dan PHPL di tingkat daerah.
  2. GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi Illegal Logging Papua Forest Wach :
  • Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati, PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.
  • Tgl 3 November 2019; Papua Forest Watch Melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri
  • Tanggal 4 November 2019; Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong. Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

Demikian Catatan dan Rekomendasi Klasaman ini, dibuat untuk menjadi perhatian bersama semua pihak terkait di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Indonesia untuk mewujudkan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang tetap menjamin Kelestarian Hutan Alam, Keadilan Iklim Dunia dan juga Keadilam Iklim Investasi, serta penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat atas tanah dan sumberdaya hutan yang dikelola dan dikuasakan oleh Negara kepada pihak pengembang investasi. Rekomendasi ini dibuat di Klasaman, Sorong, Papua Barat tertanggal 13 Desember 2019. Selain perwakilan komunitas masyarakat adat dan komunitas-komunitas pemantau independen kehutanan, perwakilan kelembagaan pemantau independen dari kalangan LSM yang ikut menandatangani Rekomendasi Klasaman ini adalah Papua Forest Watch, JASOIL Tanah Papua, SekNas JPIK, dan Greenpeace Indonesia kantor Papua Barat*** Koordinator JASOIL Tanah Papua

SVLK: Sebuah Cara Peranserta Masyarakat Dalam Penyelamatan Hutan


Pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Oleh Pietsau Amafnini

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hokum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. DalamUndang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang samadan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Selanjutnya diatur secara rinci dan tegas dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 Tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan  Produksi  Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak; Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Nomor: P.5/VI-BPPHH/2014, Tanggal: 14 Juli 2014 Tentang: Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

Ketegasan mengenai Tatakelola Kehutanan dan Pengawasannya juga semakin diperketat dengan adanya Permen KLHK p.30/2016 tentang Pelaksanaan SVLK dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari; Perdirjen p.14/2016 tentang Standard Pedoman Penilaian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Namun, kenyataannya masih terjadi penemuan kasus illegal logging dan illegal trading di Indonesia, termasuk di wilayah kabupaten Sorong, Papua Barat. Hak ini menurut hemat kami, sebagai masyarakat sipil Pemantau Independen Kehutanan, kelemahannya ada pada sistem pengawasan yang belum atau tidak sepenuhnya melibatkan peranserta masyarakat sebagai pioneer utama pengawasan itu sendiri sesuai mandate UU Kehutanan dan Aturan Terkait SVLK dan PHPL.

Praktek pembalakan liar juga masih marak di kabupaten Sorong dan sekitarnya dengan berbagai modus baru. Apakah mungkin masih ada kelemahan dalam setiap aturan atau memang pengusaha kayu yang masih tetap nakal untuk melanggar aturan? Pasalnya sudah banyak kasus yang ditemukan dan tindak tegas juga oleh GAKKUM/KLHK tetapi kenyataan bahwa usaha kayu illegal itu pun masih marak di Kabupaten Sorong. Karena itu pelibatan masyarakat sipil dalam pengawasan dan pemantauan pengelolaan hasil hutan kayu sudah sangat penting dilakukan. Tidak bisa mengharapkan tindakan GAKKUM/KLHK sendiri, karena selalu saja ada keterbatasan sarana-prasarana dan juga personalia. Masyarakat bisa memainkan peran sebagai Pemantau Independen Kehutanan dengan menggunakan dasar aturan yang ada, baik UU Kehutanan maupun Aturan main SVLK.

Emma Raw Malaseme mengharapkan kinerja extra dari GAKKUM/KLHK melakukan penelusuran dan review terhadap indikasi kegiatan illegal logging sesuai hasil Investigasi dan Monitoring kegiatan Illegal Logging oleh Papua Forest Watch (PFW). Emma, direktur Papua Forest menerangkan bahwa pihaknya meminta agar GAKKUM dapat melakukan review terhadap kemungkinan adanya Aktifitas Kejahatan Kehutanan (Illegal Loging) di Papua Barat, terutama di wilayah Sorong Raya.

Ceritanya, sepanjang tahun 2018/2019 para pemantau independen dari Papua Forest Watch mengetahui pula jika GAKKUM telah menemukan aktivitas yang diduga sebagai kegiatan illegal logging. Di antaranya: Tanggal 7 Desember 2018, pengangkutan kayu merbau ilegal sebanyak 40 kontainer dari Pelabuhan Sorong menuju Surabaya; Tanggal 11 Februai 2019, Direktorat Jenderal Penegak Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) menahan bos Alco Timber Group dalam kasus dugaan illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat; Tanggal 19 Juni 2019, empat peti kemas berisi kayu merbau olahan yang siap kirim yang sudah berada di Pelabuhan Sorong tidak dilengkapi dokumen resmi; Tanggal 4 Juli 2019, Polda Papua Barat mengamankan lima kontainer kayu merbau di Pelabuhan Sorong; Tanggal 1 November 2019, 15 kontainer kayu olahan Ilegal jenis merbau berasal dari Kampung Dulbatan, Distrik Salawati, Kabupaten Sorong.

Tidak hanya itu, Gunawan, Juru Kampanye Papua Forest Watch juga menjelaskan bahwa pihak penegak hokum kehutanan seperti GAKKUM semestinya tanggap terhadap laporan masyarakat. “Kami menemukan beberapa kasus yang diduga adalah kegiatan illegal logging, dan hal itu kami sudah laporkan juga kepada GAKKUM sebagai pihak yang berwenang”. Pada tgl 10 Oktober 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di Salawati menemukan aktifitas ilegal loging yang dilakukan oleh oknum masyarakat yang bekerjasama dengan industry pengolahan kayu di Salawati. PFW menduga kayu-kayu hasil ilegal loging tersebut dikirim ke industry kayu primer yang berada di kabupaten Sorong.

Selanjutnya tanggal 3 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di KM 30 tepatnya di kawasan Perkebunan Kelapa Sawit PT HIP, sekurangnya terdapat 5 Titik kayu olahan berada di sepanjang jalan menuju Logpon PT Mancaraya Agro Industri. Apakah itu kayu olahan dari IPK perkebunan sawit atau dari IPK jalan, ya semestinya GAKKUM yang bisa memastikan hal itu. Tanggal 4 November 2019, Papua Forest Watch melakukan investigasi di kampung Klamono. PFW mendapat informasi adanya pengiriman kayu merbau olahan yang akan dipergunakan sebagai bahan pembangunan Gereja, akan tetapi faktanya kayu tersebut dikumpulkan di Tempat Penampungan Kayu yang siap diangkut ke industry kayu eksportir di Kabupaten Sorong.

Dari lokasi TPK tersebut, PFW juga mendapat informasi bahwa selain dari kampung Klamono, TPK tersebut juga menampung kayu-kayu merbau olahan dari SP 3 dan SP 5 yang dikirim melalui jalur sungai ke industry kayu primer di kabupaten Sorong. PFW juga melanjutkan investigasi dengan mengikuti truck pengangkut kayu di tempat penampungan  di kampung Klamono. Investigasi PFW tidak berhenti pada TPK tersebut, malam harinya PFW mengikuti truck-truck yang membawa kayu dari dalam TPK tersebut menuju salah satu perusahaan industry kayu olahan di wilayah Aimas.

“Kami di Papua Forest Watch juga menjalankan mandate UU Kehutanan dan juga Permen-KLHK tentang SVLK dimana mengatur tentang peranserta masyarakat dalam pengawasan hutan, apalagi dalam aturan SVLK yang jelas-jelas mengakomodir masyarakat sebagai Pemantau Independen. Kami juga bermitra dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Nasional dan juga JASOIL Tanah Papua di tingkat daerah, yang mana peran masyarakat sipil ini sangat membantu dan mendukung Pengelolaan Hutan Produksi lestari. Aturan sudah menjamin semua itu, bahkan SVLK kami yakin dibuat untuk menjamin bisnis yang adil dimana bila dilaksanakan dengan baik, maka kepatuhan itu ada dan perilaku illegal logging dan peredaran kayu illegal bisa diberantas, atau setidaknya berkurang. Sayangnya, defacto apa yang kita temukan sebagai masalah di lapangan ternyata masih sulit juga ditanggapi oleh GAKKUM sebagai penegak hokum khusus untuk kasus illegal logging atau kasus lingkungan hidup. Kalau seperti ini, maka aktivitas illegal itu akan terus terjadi dan berakibat pada hancurnya hutan, tetapi juga negara dan masyarakat adat dirugikan oleh cukong-cukong kayu illegal”, ungkap Gunawan dengan nada kesal usai acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup bagi masyarakat umum di Klasaman, Sorong pada 13/12/2019. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

PAPUA FOREST WATCH: Paru-paru Dunia Itu Sudah Bocor Besar Di Sorong


HUTAN TERSISA 8,7 juta hektar di Papua Barat semestinya sudah harus terlindung untuk masa depan anak cucu dan juga untuk menjamin kesejukan bumi sebagai paru-paru dunia. Sayangnya, paru-paru itu sudah bocor besar di Kabupaten Sorong.

Oleh Pietsau Amafnini

Slogan kampanye yang sudah lama enak dalam ingatan kita adalah “Hutan Papua sebagai Paru-paru Dunia”. Siapa yang tidak bangga jika julukan ini kita di Tanah Papua menyandangnya sebagai harapan masyarakat dunia untuk keselamatan dan keseimbangan iklim di bumi ini. Hingga pada akhirnya matematika perhitungan stock carbon dari hutan alam Papua juga menjadi buah bibir dari kaum ilmuwan sampe masyarakat luas tentang soal carbon trade dan kompensasinya, hingga mekanisme penyaluran manfaat ekonomi dari pemanfaatan stock carbon sebagai sebuah komoditi jualan daerah. Bahkan sebuah kelembagaan donasi asing sempat membuat komitmen bersama Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri saat itu bahwa siap membeli (membayar) stock carbon Papua Barat dengan hitungan US Dollar.

Para ahli lingkungan dan kehutanan juga mulai menghitung stock carbon berdasarkan tegakan pohon hingga luasan kawasan hutan dan kemudian dengan kemampuan design grafisnya, begitu mudah menunjukkan dalam bacaan sederhana berupa peta tematik Stock Carbon di Papua dan Papua Barat. Selanjutnya isu REDD plus pun berhasil menggiring Carbon Trade hingga ikut terangkat pula slogan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi, dan kemudian disusul Kabupaten Tambrauw yang sebagian besar wilayahnya adalah Kawasan Hutan Konservasi. Namun, kenyataan menjadi lain.

Semua akhirnya masih perlu diperjuangkan, termasuk meninjau kembali semua kebijakan terkait Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kebijakan terkait pengmbangan investasi skala besar maupun kecil, hingga kebijakan RTRWP Papua Barat dan RTRWK setiap Kabupaten di provinsi ini. Tak semudah apa yang dibayangkan dalam angan-angan memperoleh kompensasi atas stock carbon dari hutan alam di Tanah Papua, terutama di Papua Barat seperti ‘gula-gula’ kepedulian dunia internasional yang sempat mengenakkan gendang telinga.

“Tidak perlu merusak hutan, tidak perlu menebang pohon. Bila hutan dijaga, atau pohon dijaga, maka akan mendapatkan uang kompensasi dari masyarakat internasional di negara-negara industry yang kaya-raya. Hmmm….katanya begitu. Selanjutnya, semua sebenarnya tergantung pada komitmen dan kemauan kita untuk mewujudkan impian itu. Jangan cuman slogan politik semata untuk mengenakkan telinga masyarakat dunia.

Sejauh mana upaya kita untuk menjalankan komitmen kita agar tetap menjaga hutan tersisa di dunia ini supaya tetap utuh dan lestari? Masyarakat internasional siapa yang akan membayar kompensasi itu? Sedangkan mekanismenya saat itu sudah banyak didiskusikan hingga akhirnya dirumuskan melalui terbentuknya Badan Pengelola REDD (BP-REDD) pada rezim Presiden Susilo Bambang Yughoyono (SBY). Dalam rangka menunjang carbon trade berbagai upaya juga dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sipil dan masyarakat adat. Bahkan kebijakan pemerintah SBY saat itu adalah “1 Miliar Pohon”. Ternyata semua berhasil saja di aksi-aksi penanaman seremonial di halaman-halaman kantor pemerintah pada saat memperingati Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup.

Hal yang lebih parah lagi adalah akhir-akhir masa jabatan SBY hingga masa periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terdapat begitu banyak izin baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bagi para pengembang investasi pada sector perkebunan sawit, sector kehutanan dan sector pertambangan ekstraktif. Belum lagi aktivitas perusahan hutan alam untuk perkebunan sawit yang melakukan land clearing di lahan-lahan HGU baru. Ditambah lagi aktivitas illegal logging yang semakin marak dilakukan oleh para pemilik modal besar dengan mendayagunakan masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menebang dan merusak hutan adatnya sendiri melalui kemudahan izin IPK dan IPHHK.

Akibatnya, “Paru-paru dunia” itu pun bocor di mana-mana, bahkan berimbas pula pada perubahan iklim yang semakin extrim yang kita nikmati saat ini. Hmmm…. Carbon belum laku di pasaran, sementara sudah panen hasil dari pemanasan global itu. Kebocoran itu saat ini menurut direktur LSM- Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme justru berada di wilayah Kabupaten Sorong.

“Luas hutan di Provinsi Papua Barat dari hari ke hari terus mengalami penyusutan sebagian besar karena alih fungsi lahan untuk kepentingan lain seperti perkebunan, pembangunan infrastruktur, pemukiman, kompleks pemerintahan maupun peruntukkan lainnya. Kegiatan penebangan hutan pun terus dilancarkan oleh para pemburu kayu merbau baik yang legal maupun yang illegal”, tegas Gunawan, coordinator Advokasi dan Kampanye Papua Forest Watch di Sorong, pada event Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Sorong Kota (13/12/19).

Semenetara itu kekhawatiran terhadap kerusakan hutan pun justru datang dari seorang pemimpin utama di Papua Barat. Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan menyatakan keperihatinannya bahwa saat ini luas hutan yang masih terjaga kelestariannya di Papua Barat hanya tersisa 8,7 juta hektar dari sebelumnya mencapai hampir sepuluh juta hektar di awal pemekaran provinsi. Berkaitan dengan itu, Gubernur Mandacan mengajak semua pihak menjaga kawasan hutan yang masih tersisa itu agar tetap lestari. Sebab hutan selain menjadi paru-paru dunia juga menyimpan sumber daya alam yang bermanfaat untuk keberlanjutan hidup manusia.

Pada sebuah kesempatan di kabupaten Teluk Wondama, Gubernur Provinsi Papua Barat, Dominggus Mandacan menghimbau masyarakat Se-Papua Barat agar menjaga kelestarian hutan yang tersisa di setiap daerah kabupaten. “……. saya menghimbau kita semua, mari kita manfaatkan hutan secara baik dan bijaksana serta menjaga kelestariannya agar manfaatnya berkelanjutan dan tetap lestari. Kawasan hutan yang sudah kritis kita tanam kembali dan kita pelihara sehingga dapat meningkatkan kualitas hutan dan fungsinya sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi,“ pesan Dominggus, sebagaimana dilansir media online Kabartimur.com (sumber: https://kabartimur.com/2019/11/15/luas-hutan-tersisa-87-juta-gubernur-ingatkan-komitmen-pembangunan-berkelanjutan-di-papua-barat/)

Sedangkan menurut Charles Tawaru, Koordinator Greenpeace Papua di Sorong, ia justru mengharapkan semua masyarakat sipil berperanserta dalam memantau pengelolaan hutan terutama oleh perusahaan-perusahaan Non-HPH karena merekalah penyebab semakin tingginya deforestasi hutan di Papua Barat. “Ini bukan saja tugasnya pemerintah, tetapi juga tugasnya kita semua aktivis lingkungan. Dengan melihat kondisi kerusakan hutan yang semakin parah di atas tanah ini (Papua), maka masyarakat sipil termasuk komunitas masyarakat adat yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan hutan semestinya dimotivasi untuk ikut ambil peransertanya dalam pengawasan pengelolaan hutan produksi lestari. Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum saja tidak cukup”, ungkap Charles.

Hal ini menurut Tawaru, dimaksudkan supaya memastikan bahwa pengusahaan hasil hutan kayu itu memang penting, tetapi tidak boleh dengan cara-cara illegal dan kecenderungan perusahan hutan. Karena kita semua mengharapkan agar hutan-hutan potensial yang masih tersisa di Tanah Papua, terutama di Kabupaten Sorong diharapkan untuk tetap dijaga dan dijamin keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan anak-cucu dan masa depan planet bumi. “….. bukankah Hutan Papua dijuluki sebagai Paru-paru Dunia, dan saya kira Papua Forest Watch adalah salah satu organisasi lingkungan hidup di kabupaten Sorong yang mempunyai tanggung jawab itu….”. Demikian kata Charles Tawaru pada saat tampil sebagai pembawa materi dalam Dialog Masyarakat dalam acara Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup yang digelar Papua Forest Watch di kampung Noken Klasaman, Sorong (13/12/19). *** Koordinator JASOIL Tanah Papua

BIARKAN HUTAN PAPUA YANG TERSISA TETAP UTUH UNTUK MASA DEPAN BUMI


“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang canggih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula di kabupaten Sorong. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula

Oleh Pietsau Amafnini

Pada event kampanye dan pendidikan lingkungan hidup yang digelar oleh Papua Forest Watch di Kampung Noken, Kota Sorong, pesan penting dari cuplikan keseluruhan prose situ adalah pernyataan masyarakat peserta kegiatan: “Kami menyadari bahwa pengelolaan sumberdaya hutan dan pengaturannya adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara Negara, termasuk memberikan kuasa pengelolaan dengan menerbitkan izin pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pihak pengembang investasi baik swasta dalam negeri maupun swasta asing, dan juga masyarakat local sendiri. Namun kami merasa bahwa pengawasan tatakelola kehutanan masih sangat jauh dari yang diharapkan untuk menjamin hutan itu tetap lestari sebagai salah satu prinsip dalam pengelolaan sumberdaya alam sector kehutanan dan lingkungan hidup”.

“Kurangnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam hal pembinaan pelaksanaan Pengelolaan  Hutan Produksi Lestari (PHPL) berakibat pada semakin luasnya tingkat kerusakan hutan dan juga maraknya perilaku illegal logging di Kabupaten Sorong”. Demikian kata direktur Papua Forest Watch, Emma Raw Malaseme pada Kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman Sorong, tanggal 13 Desember 2019.

Direktur Papua Forest Watch (PFW), Emma Raw Malaseme juga menerangkan bahwa Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap kekayaan sumberdaya hutan hujan tropis di Indonesia dengan luasan hutan sekitar 9.730.550 hektar, kontribusi yang diberikan mencapai 8,12% terhadap luas hutan Indonesia. Dengan luasan kawasan hutan alam seperti ini justru cukup besar juga menyumbang oksigen dari emisi karbion dari hutan alam itu untuk masyarakat dunia dan juga menjaga suhu planet bumi. Namun, luasan kawasan hutan ini juga menjadi daya tarik tersendiri pada dunia investasi. Provinsi Papua Barat dengan kawasan hutan produksi menempati posisi pertama dengan persentase terluas mencapai 61,44% di ikuti kawasan hutan konservasi dan lindung masing – masing 17%. Dengan adanya potensi hutan produksi yang sangat besar menjadi pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi terutama hutan alam. Sekarang ini, di kabupaten Sorong kawasan hutan alam itu sudah menipis, mungkin saja hutan lindung juga sudah mulai dirambah oleh kegiatan illegal logging. Sementara kawasan hutan produksi, rata-rata kerusakan hutan itu sudah merata pula. Karena aktifitas pembalakan baik yang legal maupun yang illegal terus dilancarkan. Hal ini juga terjadi karena kayu jenis merbau masih menjadi primadonna komoditi unggulan hasil hutan kayu di Papua Barat.

Terkait pengelolaan hutan di Tanah Papua, Emma menceritakan bahwa Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) pernah merilis bahwa di Provinsi Papua untuk keangggotaan tahun 2019 terdapat 18 unit IUPHHK HA, 3 unit pemegang IUPHHK HT. Sedangkan di Provinsi Papua Barat terdapat 26 unit pemegang IUPHHK HA, 1 unit pemegang IUPHHK HT. Data lain mengatakan untuk Provinsi Papua Barat terdapat 20 pemegang IUPHHK HA dengan luasan 3.568,080 hektar, dimana yang aktif 19 unit dengan luasan 3.413, 080 hektar. Mengutip RTRWP Papua Barat 2008-2029, Emma menjelaskan bahwa dari untuk fungsi kawasan hutan di Papua Barat, Hutan Konservasi (HK) 1.721.768, Hutan Lindung 1.66.590 hektar, Hutan Produksi (HP) 3.706.251 hektar, Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) 2.272.466 Hektar, dan  Areal Penggunaan Lain (APL) 369.474 hektar jadi jumlah total Hutan Provinsi Papua Barat 9.730.550 hektar.

Isak Chlumbless, Koordinator Risset Papua Forest Watch juga menyatakan bahwa dari analisis fakta lapangan terkait kawasan APL, peruntukannya lebih banyak untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Di kabupaten Sorong ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang memiliki izin HGU dan sudah beroperasi. APL memberikan peluang kepada munculnya izin-izin HGU perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya dari lokasi HGU, banyak kayu merbau bisa tumbang dan hilang dari lokasi itu dan ditemukan sudah dalam bentuk kayu eksport. Ada yang legal karena punya IPK dan Perjanjian Suplay Bahan Baku industry kayu dengan pihak perusahaan industry kayu. Tetapi, ada juga yang tidak mempunyai surat izin. Kebanyakan menggunakan modus Kayu Olahan Masyarakat sendiri.

Staff Advokasi dan Kampanye PFW, Jefry Duwit juga menjelaskan bahwa fakta pengelolaan hutan produksi lestari itu, terbukti sarat dengan perilaku Kejahatan Kehutanan, dimana terdapat sejumlah kasus illegal logging dan illegal trading yang semakin mengkhawatirkan di Papua Barat, termasuk di wilayah kabupaten Sorong. Kejahatan Kehutanan masih dan semakin marak terjadi di Papua Barat dimana pada bulan januari-februari 2019 tim GAKKUM- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap sebanyak 384 konteiner kayu olahan di Pelabuhan Surabaya dengan nilai Rp104,63 miliar, dengan volume 5.812,77 meter kubik kayu ilegal yang diketahui berasal dari Papua dan Papua Barat. Penangkapan ini menunjukan bahwa pembalakan kayu masih marak terjadi di Tanah Papua. Para mafia kayu mengunakan berbagai macam cara yang canggih dan terorganisir melibatkan banyak pihak, termasuk oknum-oknum yang diduga merupakan apparatus Negara baik sipil, militer maupun polisi.

Jefry menegaskan bahwa semua peraturan perundangan terkait pengelolaan kehutanan dan pengawasannya yang ada saat ini memang semakin memperketat dan menjamin tatakelola kehutanan yang baik. Namun, walaupun aturan terkait bisnis kayu semakin diperketat, dimana Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewajibkan semua unit manajemen dari hulu sampai hilir harus tunduk dan dan taat aturan mengikuti mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan terakhir Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PHH), akan tetapi “mafia kayu illegal” pun semakin menemukan modus-modus operandi yang baru dalam menjalankan usahanya.

“Sebagai masyarakat sipil pemantau independen kehutanan, kami berpendapat bahwa semestinya dengan adanya sistem yang dikeluarkan begitu ketat dari KLHK, diharapkan praktek ilegal loging semakin berkurang bahkan hilang dari bumi nusantara, Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah sistem yang cangih dan ketat membuat para mafia kayu pun semakin gencar menciptkan modus-modus baru dalam melaksanakan bisnis kayu ilegal yang canggih pula. Praktek ilegal loging bukan berkurang atau hilang malah marak terjadi dengan modus-modus yang baru pula”, kata Jefry.

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di kabupaten Sorong menurut Emma Malaseme, direktur PFW masih sangat tidak mendukung slogan kampanye besar dari Pemerintah Papua Barat tentang Provinsi Konservasi. Karena pengawasan dan pembinaan bahkan penanganan masalah lingkungan hidup terkait tindakan kejahatan kehutanan masih sangat lemah. Hutan semakin rusak karena kegiatan pembalakan liar. Papua Forest Watch dalam monitoring dan investigasinya sepanjang tahun 2018-2019 justru menemukan banyak fakta kegiatan illegal logging. Sayangnya penindakan sesuai prosedur hokum selalu saja masyarakat kecil yang hanya bekerja di situ karena dia mencari makan. Sementara cukong-cukong besar yang menjadi mafia sesungguhnya itu justru tidak diproses. Tidak mungkin tanpa izin, atau pemerintah tidak tahu kalau ada orang masuk tebang kayu dan memobilisasi kayu secara terang-terangan menggunakan kendaraan besar  membawa kayu lewat jalan umum atau mengeksportnya ke luar dari pulau Papua.

Aktivitas illegal logging yang semakin marak di kabupaten Sorong ini justru menambah semakin berkurangnya hutan alam. Kalau Hutan Papua dikampanyekan sebagai “Paru-paru dunia”, maka kebocoran paru-paru itu ada di Sorong, saat ini. Menurut saya, hutan-hutan alam yang tersisa saat ini, entah sebagai kawasan Hutan Lindung atau hutan adat, semestinya biar tetap dijaga keutuhan dan kelestariannya untuk masa depan. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah pengawasan ketat dan penindakan yang tegas kepada cukong-cukong pelaku pembalakan dan perdagangan kayu illegal. Kalau tidak ada langkah-langkah strategis untuk pemberantasan secara tuntas terhadap mafia kejahatan kehutanan di Sorong, maka cepat atau lambat hutan alam yang tersisa di kabupaten Sorong juga akan habis. Demikian catatan penting dari Emma Malaseme, direktur PFW dalam rangkaian kegiatan Kampanye dan Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Umum di Kampung Noken Klasaman, Kota Sorong. ***Koordinator JASOIL Tanah Papua