KALAU HUTAN PAPUA DIRUSAK, BURUNG CENDERAWASIH PUN HILANG


Ketika masyarakat adat Papua di Manokwari dan sekitarnya dimintai tanggapan tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan untuk kepentingan iklim dunia, secara sederhana mereka hanya berucap, “kami tidak tahu apa-apa tentang konsep konservasi modern, tetapi secara tradisional, leluhur kami bilang supaya anak-cucu masih bisa melihat dan mendengar suara burung kuning (cenderawasih), maka janganlah merusak hutan.”

Oleh Pietsau Amafnini

Seorang kepala marga dan pemilik hak ulayat di distrik Manowari Utara belum lama ini menyatakan bahwa pihaknya meminta LSM untuk membantu masyarakatnya dengan memberikan pendidikan dan pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. “Kami tidak bisa berharap banyak dari pemerintah. Salah satu contoh nyata adalah dengan masuknya perusahaan sawit, PT. Medcopapua Hijau Selaras di Masni, Sidey, Pantai Utara dan kebun ini akan sampai di Kebar. Hutan sudah habis, burung cenderawasih sudah tidak ada lagi, babi dan binatang buruan lain sudah lari jauh dari kampung. Kami tidak bisa berburu lagi. Pemerintah mau bangun jalan raya, itu bagus, karena kita semua membutuhkan sarana transportasi. Tetapi, jangan merusak hutan, apalagi dengan perkebunan sawit. Kami masyarakat ini tidak tahu apa-apa tentang konservasi, tapi kami mempunyai hak untuk mengelola hutan adat kami sesuai pesan leluhur, bahwa kami harus menjaga kelestarian hutan adat kami untuk kepentingan anak-cucu kami.”

“Kalau pemerintah mau buat lahan konservasi, boleh saja, asal tidak patok tanah masyarakat adat. Pemerintah buat program itu harus berpikir, karena masyarakat adat yang mempunyai tanah ini, bukan pemerintah. Jadi pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan. Jangan pemerintah pergi jual di tempat lain, terus datang mulai kapling tanah masyarakat bahwa ini tanah negara. Pemerintah harus tahu bahwa kami masyarakat adat sudah menempati wilayah ini sebelum ada negara. Semestinya kami ditanya  lebih dahulu, apakah kami bisa menerima yang namanya konservasi atau perkebunan, atau jenis program pembangunan lain. Yang jelas, kami membutuhkan pembangunan, tetapi jangan membawa bencana bagi kami.”

“Kami masyarakat sudah bosan dengan pemerintah punya tipu-tipu. Waktu sosialisasikan pembangunan perkebunan kelapa sawit, yang sekarang Medco ini, dorang bilang perusahaan ini baik, tidak seperti PT.PN Prafi. Karena nanti Medco akan bangun pabrik pengolah buah sawit sampai jadi bahan yang bisa langsung dipakai oleh masyarakat. tetapi ini baru tanam, kapan kita mau lihat hasilnya. Sekarang pemerintah bilang mau lindungi hutan untuk perdagangan karbon, tapi dorang yang merusak hutan itu. perusahaan masuk dan hutan dibabat habis, sekarang panas dan kalau hujan terjadi banjir besar. Ini yang namanya tipu-tipu dengan aturan ini dan itu.”

Tokoh Masyarakat  Adat  Tambrauw, Wellem Warijo menyatakan bahwa pemerintah jangan terus menipu masyarakat adat dengan konsep pembangunan yang hanya membuat masyarakat sengsara di atas tanah warisan leluhurnya sendiri. Masyarakat Adat Papua mempunyai kearifan lokal untuk mengelola hutan untuk bertani dan berburu. Sejarah membuktikan bahwa orang Amberbaken yang pertama kali mengenal dan mengembangkan sistem pertanian padi ladang. Kalau pemerintah memasukkan investor perkebunan dan lain sebagainya, lantas kawasan hutan mana yang akan tersisa untuk masyarakat adat bisa bertahan hidup? Jangan paksakan masyarakat adat untuk menderita di atas tanah warisan leluhur mereka sendiri.

Wellem menceritakan bahwa perusahaan sawit memang sudah pernah kunjungan ke Amberbaken dan Kebar. Tetapi contoh nyata sudah ada di lokasi Prafi, terdapat perkebunan sawit PTPN II dan daerah transmigrasi yang sudah dikembangkan semenjak tahun 1980-an, sedangkan di Sidey, merupakan perkampungan yang didiami oleh kebanyakan penduduk asli Papua dan sedang terancam oleh proyek perkebunan sawit PT. Medco Papau Hijau Selaras (MPHS). Tidak ada masyarakat asli Papua yang sukses dengan sawit. Yang terjadi selama ini adalah masyarakat adat kehilangan hak atas tanah adatnya, harga tanah dibayar murah.

Lokasi perkebunan sawit PTPN II mempunyai luas sekitar 8.000 hektar. Pola perkebunan adalah Inti dan Plasma, yang pengelolaannya melibatkan kelompok transmigrasi lokal dan penduduk dari luar Papua. Secara hukum (negara), status Hak Guna Usaha PTPN Prafi dimiliki oleh Pemda Kabupaten Manokwari semenjak Papua menjadi daerah otonom (2001), hanya saja pengelolaannya masih dilakukan oleh PTPN II, yang sebelumnya juga menjadi pemilik HGU. Sekarang HGU PTPN Prafi sudah berakhir. Aset perkebunan menjadi hak kelola pemerintah daerah provinsi. Suatu saat pemerintah akan merombak perkebunan itu menjadi areal pembangunan sektor lain. Lantas bagaimana dengan hak masyarakat adat atas lahan yang mereka miliki? Saya harap pengalaman ini tidak terjadi bagi kami masyarakat adat di Amberbaken dan Kebar yang sekarang sudah berada di kabupaten Tambrauw. Itu artinya, semua izin pembangunan sektor kehutanan, perkebunan dan lain sebagainya yang pernah dikeluarkan pemerintah kabupaten Manokwari, harus ditinjau ulang.***Koordinator JASOIL Tanah Papua

Tinggalkan komentar